Tengah malam Kinara terbangun setelah seseorang mencubit-cubit pipinya. Matanya sayu menatap anak lelaki tampan yang baru saja menyelinap diam-diam ke dalam kamar seorang pelayan.
"Raden Wijaya? Ada apa?" Suara Kinara terdengar serak. Ia mengusap matanya pelan. Pangeran kecil itu menarik tangan Kinara dengan semangat. "Raden, jangan."
"Untuk malam ini saja, Kinara. Ayo mainkan musik untukku."
"Raja tidak akan senang mendengar ini. Dan, bagaimana jika seseorang tau Raden ada di kamarku?"
"Tenanglah, aku sudah merencanakan semuanya dengan sangat baik. Malam ini, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang saaaangaaat indah!"
Kinara tersenyum mendengar nada yang begitu ceria dari mulut Brawijaya. Ia tidak ingin membuat senyum itu hilang. Isyarat anggukan pun menjadi sebuah jawaban Kinara untuk Brawijaya.
Mereka berjalan mengendap-endap menghindari para penjaga. Mata Kinara fokus mengikuti arahan Brawijaya yang nampak cerdik den
Zahra terkepung diantara bisik-bisik para penduduk. Hamparan nyala obor mengawasi jarak yang sangat dekat. Meskipun kain milik Raden telah menutupi sebagian wajah--dari hidung hingga dagu, mata awas itu masih menelisik tiap jengkal wajah yang tersohor di desanya."Aku takut," cicitnya, memundurkan langkah. Kapten Bum meraih tangan Zahra, membawa anak angkatnya bersamaan dengan gerombolan para penduduk desa."Tidak seharusnya kau berkeliaran tengah malam!""Kapten ...." Suara Zahra tercekat. Ia menoleh ke belakang, menatap Raden yang hanya diam tanpa mengikuti gerombolan yang membawa dirinya. "Jinbun ...."Lelaki semampai berjubah putih di sana tersenyum tipis menatap seorang gadis yang berharap penuh kepadanya. Tidak ada yang dapat dilakukan Raden setelah ia memutuskan untuk memajukan jadwal kepulangan ke kampung halaman. Genting beradu suasana hening menerpa dua saudara yang kini berdiri masih mengawasi para gerombolan pen
Gerimis baru saja reda setelah dua hari yang lalu baru saja mengguyur tanah di desa Zahra. Gadis dengan rambut ikal itu masih memenjarakan diri di di dalam kamar. Dua hari setelah didiagnosis abnormal Zahra tidak banyak berbicara. Kesehariannya selain tidur berganti-ganti posisi ia juga menghabiskan waktu dengan melukis di taman.Biar pun ia lemah tiap mempelajari materi di sekolah, tetapi Zahra memiliki bakat melukis yang terbilang hebat. Tiap goresan yang ia lukis di atas media kanvas nyatanya selalu menuai pujian dari bibir yang tak sengaja memandang. Namun, bukan itu yang kini ia damba. Zahra mengalami kekosongan batin yang mendalam. Ia layaknya manusia tanpa nyawa yang berdiri tegap di atas muka bumi."Zahra."Bumyen berjalan mendekati anak gadis berparas ayu yang menjadi buah bibir desa. Gadis itu diangkat resmi menjadi keluarganya. Biar pun ia sempat mencoba membunuh Zahra fakta mengenai ketulusan hati gadis itu sulit ia t
Tubuh Zahra tiba-tiba membeku di tempat. Persendiannya kaku--tak bisa digerakkan sedikit pun. Namun, satu hal yang begitu menyiksanya sekarang ialah merasakan pening hebat tanpa dapat mengeluarkan suara lirih."Saya bukan ahli sihir! Tolong jangan sakiti anak saya!"Samar-samar ingatan tentang Kinara berputar kasar di kepala Zahra. Anehnya, gadis yang ia anggap sebagai raga utama itu tengah mengandung. Zahra bernapas lambat--alur oksigen masuk perlahan ketika Kinara kembali mengambil alih."Aku berjanji akan pergi dari sisi Raja, tapi kumohon, jangan pernah sakiti anakku!"Ada apa dengan Kinara? Siapa ayah dari bayi yang ia kandung? Pertanyaan itu berkecamuk di dalam kepala Zahra. Selang beberapa detik, pernapasannya berjalan normal. Tubuh Zahra lunglai ke dasar. Ia melirik ke depan--menatap bagaimana para prajurit masih mengintimidasi Bumyen dan Galih."Kenapa kalian datang kepadaku?! Kemana Raja yang Agung itu?! Apa
Hidup itu terbagi dua. Abadi dan fana. Namun, entah yang mana Zahra berada diantara dua golongan hidup. Bahkan saat ia dihujani dengan rasa sakit pun ia masih terjebak di dalam kecemasan. Seakan tabir itu begitu kokohnya mengukung Zahra dalam dimensi waktu yang tidak masuk akal."Zahra?"Wajah lelaki tirus dengan kulit putih susu menyapa pagi Zahra. Dia duduk membawa segelas air putih dan sepiring nasi. Zahra terdiam beberapa detik. Ia mengumpulkan kesadaran penuh setelah beberapa hari terkecamuk peristiwa sehari yang lalu."Kenapa kamu kembali?" Bibir Zahra yang kering pucat teratup."Kamu makan dulu, ya." Lelaki itu membantu Zahra duduk, tetapi tangan Zahra lebih dulu menampik tangannya. "Zahra.""Jinbun!" Zahra mendorong piring yang dibawa Raden Patah hingga nasinya jatuh berserakan. "Kamu harusnya malu! Meninggalkan aku dan menyelamatkan aku tanpa membawa serta ayahku!""Jadi, kamu masih tidak percaya jika a
Zahra terdiam untuk beberapa saat. Ia menyingkirkan tangan Raden Patah agar menjauh dari wajahnya."Setidaknya, hari ini kamu bercerita mengenai kabar ayahku."Entah bagaimana nasib Kapten itu sekarang. Jika pun selamat sudah dipastikan ia dibawa para prajurit Majapahit ke Istana. Apa yang ditakuti Kapten itu akan terjadi. Tentang Zahra yang akan pergi menemui Brawijaya dan membalaskan dendam pada Raja tersebut."Kita berdoa agar ayahmu senantiasa dalam lindungan Allah.""Allah?" Zahra mencebikkan bibirnya. "Dimana Allah ketika ketidakadilan terus terjadi padaku?!""Kamu tau? Tanda-tanda Allah menyayangi hambanya adalah dengan mengirimkan ujian kepada mereka. Dan ketika mereka melaluinya dengan sabar dan bertawakal, Allah akan mengangkat derajat hambanya."Angin bertiup lambat--menyisir helai perhelai rambut Zahra. "Omong kosong!" Wajah Zahra menatap depan dengan pandangan yang kosong. "Aku ... bukan hamba yang
Menjelang tengah hari Raden Patah mengajak Zahra untuk pulang. Gadis itu diminta berjalan di belakang, sedang ia menuntun di depan. Melewati jalan setapak Zahra tidak hanya memperhatikan langkahnya. Namun, juga seorang lelaki semampai bersurai panjang yang sekarang menoleh ke belakang. Terlalu mendadak baginya. Zahra lekas membuang wajah ke samping menghindari senyum usil Raden Patah."Kamu lucu.""Ha?! Apa?""Enggak, tadi ada serangga lewat." Raden Patah kembali pada posisinya. Ia tahu jika Zahra tengah salah tingkah di belakang sana."Kita--maksud aku ... eng ... kenapa harus kayak gini?""Gini gimana?"Zahra mengakat kepalanya. Memperhatikan Raden Patah yang sibuk mengangkat beberapa ranting untuk dilewati."Deket. Kamu kan tau, aku ... pernah--""Suka sama aku?""Hah?" Mengedipkan mata tiga kali Zahra hampir dibuat limbung dengan tatapan Raden Patah.Sumber: Pinterest"Tuh, ka
Raja Brawijaya duduk di atas singasana megah. Ia sedang mengikuti jalannya pertemuan dengan salah satu Laksamana terkenal yang sudah berjasa membawa Tan Eng Kian ke Majapahit puluhan tahun yang silam. Laksaman Cheng Ho namanya. Ia membawa armada besar di era Dinasti Ming. Saat ini Cheng Ho datang berkunjung sekaligus menemui Brawijaya."Kudengar daratan Melayu mengalami penyerangan oleh pasukanmu. Apakah itu benar?""Darimana kau mendapat berita itu? Aku bahkan masih sibuk dengan pengelolaan pasar beras yang kudistribusikan ke wilayah Nusantara.""Aku mendengarnya dari para pedagang yang mengambil kain dari penyuplai asal Cina. Yang paling membuatku terkejut adalah kabar penumpasan pekerja saudagar asal Cina itu. Dan kau tau? Dia pernah satu pelayaran denganku."Menyeruput teh sejenak Brawijaya menatap Cheng Ho dengan lekat. Kabar yang dibawa laksama itu tentu saja cukup mengejutkan baginya. Selama ini, tidak sekali pun ia menyentuh keris ma
Mulanya semua terlihat normal. Makanan terhidang di atas meja. Minuman segar sudah diracik di dalam teko. Harusnya semua yang ada disana sudah dapat menikmati sarapan pagi. Namun, kekacauan baru bermula ketika Zahra datang membawa serta seekor kuda."Kudaku belum makan seharian ini. Apakah kalian tidak memiliki rumput yang bagus untuknya?"Mereka minus Raden Patah menganga lebar melihat kuda putih itu masuk ke dalam rumah. Zahra nampak tenang tanpa rasa bersalah telah mengotori lantai di rumah. Tan berdiri--merangkul Zahra membawa serta Hans--kudanya untuk keluar."Bibi, kudaku butuh makan.""Ibu, panggil aku Ibu!" Tan tersenyum mengelus rambut Zahra. "Aku tau dimana rumput bermutu ditanam.""Kasihan Hans. Dia terlihat tidak baik setelah memakan rumput perkarangan rumah kalian."Tan melirik Arya yang hampir menyemburkan minum ke depan. Pasti ulah suaminya yang telah memberikan obat racun agar rumput liar lekas mati dan mudah untuk dibersihka