Home / Historical / LORO / 5. Selisih Paham

Share

5. Selisih Paham

Author: Itari Raiansa
last update Last Updated: 2021-04-07 23:07:59

Suara lolongan serigala terdengar ke penjuru hutan. Para hewan omnivara bersembunyi membaur dengan alam dan tempat tinggal. Mereka berusaha mempertahankan koloni. Begitu pula dengan serigala lapar yang tidak berhenti melolong memberi peringatan dini. Setidaknya, ia memangsa dengan tanda terlebih dahulu. Sehingga, keacuhan pada peringatan mereka dapat berubah menjadi tanda bahaya bahwa hidup mereka tidak lebih dari kedipan mata.

"Uhuhk!"

Bumyen terbangun setelah mendengar suara mengerikan dari kejauhan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia bergeming ketika menemukan seorang gadis duduk di tepi pantai menatap angkasa yang malam itu ditaburi bintang-bintang.

"Kau sudah sadar, Kapten?"

Pita suara Bumyen mendadak bermasalah ketika gadis yang sedang duduk di depan menolehkan kepala menatap ke arahnya. Ia sungguh masih tidak menyangka jika gadis itu selamat dari gigitan sekelompok ikan hiu. 

"Jangan takut, aku bukan hantu."

Kini gadis dengan rambut bergelombang yang menikmati angin malam dari laut kembali menikmati eksotisme pemandangan para bintang. Bumyen memberanikan diri berjalan ke arah gadis misterius yang berasal dari sebuah negeri dengan nama asing menurutnya.

"Jangan terlalu banyak bergerak. Kau belum benar-benar pulih."

Kaki Bumyen berhenti di sebelah gadis misterius yang ia duga sebagai penyusup. Ia sebenarnya masih curiga dengan gadis yang kini memiliki aura berbeda ketika kulitnya tak sekusam di kapal. Ulah ombak laut membuat kulit gadis ringkih mengelupaskan noda jahat dikulitnya.

"Kau juga."

Bumyen merobek ujung bajunya. Ia duduk--menyibak rambut gadis penyusup yang terasa menghalangi luka di leher. Zahra--gadis penyusup itu tidak bernapas ketika Bumyen mengikat lehernya untuk menutupi luka yang sebenarnya tidak terlalu parah.

"Aku tidak ingin berhutang budi pada seorang penyusup."

Zahra bangkit menjauhi air laut yang mengejar tak kenal lelah. Ia menuju tempat Bumyen terakhir beristirahat. Di sana, ada beberapa buah-buahan dan kelapa segar yang sudah terbuka. Berkat kemampuannya berbicara dengan hewan, Zahra bisa meminta tolong pada mereka.  Walaupun tidak semuanya mau, tetapi beberapa masih ada yang bersedia membantu.

"Kau memanjat pohon kelapa?!"

Bumyen menutup mulutnya ketika Zahra tanpa menawarkan minuman menikmati apa yang dipikirkan lelaki dengan kecurigaan tak mendasar. Andai tenggorokan bisa berbicara, mungkin ia akan memperotes Bumyen yang masih kekeh jika Zahra adalah seorang penyusup. Sehingga, kecurigaan itu mengharuskan tenggorokan hanya menelan balik saliva yang kini semakin pahit rasanya.

"Anggap saja seperti itu."

Slurrrrp

Dahaga Zahra tuntas setelah air kelapa membasahi tenggorakannya. Ia sungguh berterimakasih pada monyet yang telah sudi melawan bahaya gravitasi dengan memanjaat pohon tertinggi di pesisir pantai. Kali ini suara asing mengusik ketenangan gadis penyusup yang tengah menikmati santap malam dengan  nikmat.

Kruukkk

Tangan Bumyen melingkari perut. Wajahnya mengikuti arah angin yang berembus ke sebelah Selatan. Sebenarnya ia hanya menahan malu ketika suara perut keroncongan bergema menyusul suara sendawa gadis rambut ikal.

"Makan, lha."

Zahra beralih menyantap buah mangga. Ia menawarkan Bumyen agar perut Pria itu tidak gaduh meminta empunya mengisi dengan beberapa nutrisi. Gadis penyusup berambut ikal tidak seperti orang jahat yang ingin merebut sesuatu darinya. Namun tetap saja, Bumyen memasung kecurigaan pada tiap gerak-gerik gadis itu.

"Kau sudah berbaik hati memberiku makanan di kapal. Sekarang, waktunya aku membayar hutang itu." 

Bumyen nampak ragu. Namun semilir angin malam kian menghujam perutnya yang keroncongan. Ia tidak memiliki apa pun untuk dijadikan sebagai tumbal. Bahkan ia terdampar di tempat asing, lalu ditolong oleh seseorang yang sempat ia celakai. Debur ombak mengempas kencang ke pasir putih. Mereka seaakan menertawakan kebimbangan yang menahan hati Bumyen untuk menerima tawaran gadis penyusup.

"Kau masih takut padaku?" 

"Tidak!" Bumyen menjawab lantang. "Aku hanya masih curiga denganmu! Gadis dengan asal-usul tidak jelas...."

Mutiara meletakkan sebuah mangga di pangkuan Bumyen. "Makan saja dulu. Kau terlalu berpikir negatif pada orang asing."

Perut Bumyen menjerit bar-bar. Gelak tawa gadis penyusup kian memperparah suara perut keroncongannya. Menunduk sedikit, Bumyen memakan dengan rakus mangga yang diberi Zahra. Ia nampak bersemangat mengunyag buah berserat yang kaya gizi dan vitaman C. Bahkan tangan Bumyen tanpa malu-malu seperti di awal, mencomot buah lainnya yang sengaja Zahra letakkan di atas daun dekat tempat Bumyen beristirahat.

"Kau... dari Cina?"

Bumyen mengangguk. 

"Jadi, kapalmu tadi akan membawa kita ke negerimu?"

"Aku ingin bertemu Eng Kian." Selera makan Bumyen mulai menguap. Suara gemerincing gelang di kaki dengan alunan seruling bambu membawanya pada bayangan gadis oriental berwajah tirus.

"Dia ibumu?"

"Kekasihku," kata Bumyen. "Dia lebih cantik darimu."

Kalimat itu tidak akan berpengaruh pada kepercayaan diri Zahra. Ia justru semakin penasaran dengan sosok Eng Kian--kekasih Bumyen yang katanya cantik. 

"Jaman sekarang kalau mau jadi cantik itu gampang! Asal punya uang, tinggal pilih aja cara yang kita mau."

"Dia alami!" 

"Emang dia pake skincare apaan? Bedak bayi tambah kopi? Ah, cowo mana tau!"

"Dia memang selalu memakai riasan dan perhiasan mewah, tetapi wajahnya tidak jauh berbeda ketika dia bangun tidur."

"Astaghfirullah, jadi kalian udah pernah--"

"Tidak!" Bumyen melotot. Ia mengendurkan otot-ototnya ketika menahan diri dari godaan gadis penyusup. "Dia selalu menungguku di tepi danau. Kami selalu menyempatkan waktu duduk di tepi jembatan. Di sana, kami setia menanti matahari terbit."

Zahra heran masih ada kebiasaan kuno seperti itu. "Norak," komentarnya.

"Norak itu apa?"

"Serius, enggak tau?" 

Bumyen menggeleng. Zahra melongo melihat kaum manusia yang tidak tahu apa itu norak. Padahal, walau Bumyen memakai logat Melayu ia tetap mengerti apa yang disampaikan masing-masing pihak.

"Emm, norak itu kayak terlalu berlebihan dalam menampilkan sesuatu. Gitu sih, menurut aku."

"Menurut kamu?" 

"Eh seriusan deh! Kamu nanya lagi aku lempar pake batok kelapa, nih!" Tangan Zahra sudah bersiap di atas buah kelapa. Bukannya tidak mau menjawab, Zahra hanya tidak tahu mencari jawabannya. Tidak ada ponsel, internat, dan kuota, maka sama dengan, Zonk!

"Kenapa perempuan sepertimu ini sangat kasar? Fisikmu sangat tidak menunjang, Puan."

"Hah, Puan? Eh, enggak salah denger kamu manggil aku gitu?"

"Kamu bukan penyusup. Aku menganggapmu sebagai teman sekarang."

Teman? Zahra terdiam untuk sesaat. Ia hanya dekat dengan Ant.  Tidak ada yang menganggapnya seperti makhluk sosial selama tidak ada Ant. Zahra bak orang asing dimana pun ia berada. Keramaian selalu menjadi tempat bermain sepi dalam hati yang tak pernah singgah ke lain tempat. Zahra bukan tidak mau berteman dengan mereka, melainkan ketidakcocokan membuat Zahra tidak nyaman menjalin hubungan dengan seseorang. 

Bumyen menikmati wajah Zahra yang tengah melamun. Gadis itu mengukir wajah baru dalam benaknya.

"Tang Eng suka berekspresi seperti itu ketika aku berniat menikahinya."

Lamunan Zahra teralihkan. Mata sipit di depan memaklumi kesadarannya yang baru saja bangkit. "Dia tidak menyukaimu?"

"Bukan seperti itu," kata Bumyen. "Kedua orangtuanya adalah orang terpandang di wilayah Tang. Mereka keluarga yang sangat agamis. Tang Eng keturunan Islam. Ia dan ayahnya memiliki pedoman hidup yang sama."

"Kau bukan seorang Muslim?"

Bumyen mengangguk. "Aku pikir Tang menakutkan hubungan kami. Sebab itu, aku kemari untuk menjemput Tang. Kuharap, kedua orangtuanya mau menerimaku yang sudah berusaha sejauh ini."

Hubungan Bumyen tidak dapat dimengerti Zahra. Ia hanya siswi SMA yang bahkan tidak pernah mencicipi ungkapan cinta dari lawan jenisnya. Kehidupan Zahra begitu monoton. 

"Kenapa tidak jadi muallaf saja?"

"Itu memang sudah menjadi niatku. Dan nanti, biar orang tua Tang yang menjadikanku umat mereka."

Mungkin itu yang disebut penyebaran agama Islama melalui jalur perkawinan. Selama ini Zahra hanya tahu dari pelajaran di sekolah dan beberapa berita dari artis dan orang ternama saja. Namun, kali ini ia mendengarnya secara langsung sekali pun orang yang ia temui tidak begitu ia kenal.

"Niat yang bagus."

"Terimakasih."

Angin dari laut datang membelai. Memecah keheningan usai percakapan Zahra dan Bumyen. Suara gemerisik dari balik semak-semak menyentil tombol waspada. Bumyen berdiri disusul Zahra. 

"Merpati!" Zahra begitu girang ketika tahu seekor merpati putih yang muncul dari dalam semak-semak itu. "Aku tau kau akan datang!"

"Hai, Zahra?" 

Kini seekor kuda putih ikut muncul dari belakang. Bumyen menganga melihat Zahra yang nampak tenang membelai kepala seekor merpati dan kedatangan kuda gagah berambut bersih.

"Kau membawakanku teman baru?"

Merpati putih terbang ke atas pundak kuda. "Namanya Hans, dan aku Miko. Kami baru saja sepakat untuk menolongmu."

Zahra terharu dengan kalimat Miko--merpati putih yang sempat ia bentak. Bakat baru yang ia miliki ternyata mendekatkannya pada hal-hal yang tidak pernah ia duga. Meskipun terkesan aneh, tetapi Zahra bersyukur memiliki keistimewaan ini.

"Ehm! Aku akan sangat berterimakasih pada kalian!"

Bumyen kian merasakan kengerian melihat Zahra yang berbicara pada dua hewan di depan. Ia mundur selangkah demi selangkah ketika imajinasinya mulai liar berkhayal. Siapa yang akan tahu jika Zahra adalah orang gila? Atau... gadis itu memang bukan benar seorang manusia.

"Kapten," panggil Zahra. Gadis itu berlari menarik tangan Bumyen yang berkeringat dingin. "Mari antarkan aku pulang!"

"Ke-Kemana?"

"Indonesia, negaraku!"

***


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LORO   63 : Mengangkut Ingatan Tentangmu

    Ant turun dari mobil. Berjalan ke samping dan membukakan pintu untuk Zahra. Keduanya berjalan masuk ke palataran Masjid. Ant sedikit ragu dengan tatapan Zahra yang nampak menyedihkan. Bahkan gadis itu kini menitihkan air mata tanpa sebab. Ant pun membiarkan Zahra berkeliling seorang diri. Gadis itu seperti orang yang baru saja ditinggalkan kekasih.Zahra terdiam beberapa menit. Ia menyapu wajahnya dengan tangan. Namun, perlahan bayangan seseorang hadir di kepalanya. Dia seorang pria, tersenyum dengan bajunya yang berkibar di terpa angin.Zahra mengirup napas sesak. Ia kembali melihat pria yang sama. Ia menarik tangan seorang wanita ke atas kuda. Saat melihat wanita itu Zahra terhenyak. Itu dirinya! Napas Zahra semakin terdengar lirih. Ia terjatuh dan membuat Ant terkejut hebat."Zahra!

  • LORO   62 : Beku dalam Mimpi

    Angin menyisir dedaunan dengan lembut. Membawa sehelai daun kering ke arah jendela yang terbuka. Meniupnya ke atas tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang putih. Suara mesin peralatan medis berbunyi lembut. Menghantarkan suasana hening sesaat sebelum seorang lelaki sampai membuka pintu. Ia menutup pintu kembali. Membawa sebuah buku dan duduk di sebelah perempuan yang sedang terbaring itu."Ra, aku bawa komik kesukaan kamu lagi, nih. Edisi terbaru dari komik kemarin yang aku bacain." Lelaki itu terdiam beberapa saat. Ia mengambil sehelai daun kering yang menempel di atas selimut. "Bahkan kamu masih enggak mau buka mata walaupun udah aku bawain semua yang kamu suka."Ant, sahabat Zahra yang selalu setia menjenguk Zahra setiap minggunya di rumah sakit. Ia tidak tau apa yang terjadi dengan gadis itu setelah kejadian tiga bulan yang lalu.

  • LORO   61. Akhir Kesedihan

    Siang itu matahari bersinar dengan terik. Entah ia sedang labil atau kah bumi yang sedang bimbang? Baru saja ia menurunkan air bah yang datang dengan derasnya. Kini ia menghujani permukaan dengan sengatan yang terasa panas. Bahkan tanah yang basah pun kering dengan cepat. Sulit menemukan jejak jika barusan di tempat itu hujan turun beberapa jam yang lalu.Bahkan tubuh Zahra kini sudah mengering. Ia merasa normal kembali ketika sengatan matahari menyentuh kulit. Ia terjatuh di antara dedaunan kering. Bibirnya sangat pucat dan pecah di beberapa tempat. Ia kehausan, tak dapat berjalan, hingga akhirnya menutup mata sembari terbaring di bakar sinar matahari."Apakah kau ingin pulang?" Zahra membuka matanya perlahan. Ia menyipit, namun masih dapat melihat dengan jelas siapa o

  • LORO   60 : Tusukan Pedang dalam Perang

    Orang lain sering berkata jika hidup ini tak pernah pasti. Namun mereka lupa jika ada Dzat yang sudah menentukan garis takdir di hidup tiap insan. Kita lalai, tak acuh, menganggap segalanya dapat kita kendalikan. Lantas, apa yang dapat kita buat untuk bangkit dari kenyataan yang tak diinginkan? ~ZAHRA~Hujan turun dengan deras. Membelah dedaunan lebat. Menepis angin yang bertiup kencang. Zahra duduk di bawah pohon besar. Ia tidak sedang berteduh. Hanya lelah untuk melangkah. Pandangannya kosong, ia tak dapat mengeluarkan air mata lagi.Zahra menatap tangannya , melihat bayangan putih di sana. Tepat dua jam yang lalu setelah ia memutuskan pergi dari kawasan Demak satu-persatu bagaian tubuhnya mengalami perubahan. Ia tak dapat merasakan sakit ketika terjatu

  • LORO   59 : Yang Paling Berarti Untukku

    Aku berkaca pada dunia. Tentang kenangan yang ia bawa. Menyimpan cerita di balik luka. Menghapus luka pada rintik hujan yang ia tinggalkan. Mengajarkanku tersenyum dengan menengadah ke atas langit. Dunia yang luar biasa dengan segala isinya. Allah menuntunku dalam dunia ini. Mengajarkan ku banyak hal tentang arti mencintai. Juga melepaskan serta mengikhlaskan. Allah tahu apa yang ada di balik senyumku. Mendekapku yang diam ketakutan pada ketidakmampuan.Kini aku mencoba berdiri. Berlari ke tempat yang ku mau. Jika aku butuh, aku takkan berlari ke muara hatinya lagi. Cukup Allah yang menjagaku. Tiada tempat yang paling aman selain disisinya.Jujur, jika aku tak percaya pada Allah, sudah sejak dulu aku tak mampu. Aku lemah, hidup dalam am

  • LORO   58 : Memperjuangkan Rasa ini dan Negara ini

    Sang singa membawa Zahra mendaki bukit. Ia berlari sangat kencang. Bahkan hewan yang sedang melintas bergegas menyingkir. Rambut Zahra berkibar mengikuti arah angin. Ia tidak tahu kemana singa itu membawanya. Namun ia telah terlanjur memberikan kepercayaan kepada singa tersebut.Perlahan singa itu mulai bergerak lebih lambat. Zahra mengerutkan kening, perasaan was-was hinggap di hatinya."Aku mencium aromanya," kata singa. Zahra turun dari atas tubuh sang Singa. Ia mengelus rambut singa itu dengan lembut. "Jangan perlakukan aku seperti hewan lainnya. Kau tidak ingin menyesal, bukan?"Zahra mencebik. Namun ia terperangah ketika melihat tangannya berubah tembus pandang. Zahra meraih tangan kanannya, kemudian tangan itu mulai kembali ke bentuk semula.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status