Share

5. Selisih Paham

Suara lolongan serigala terdengar ke penjuru hutan. Para hewan omnivara bersembunyi membaur dengan alam dan tempat tinggal. Mereka berusaha mempertahankan koloni. Begitu pula dengan serigala lapar yang tidak berhenti melolong memberi peringatan dini. Setidaknya, ia memangsa dengan tanda terlebih dahulu. Sehingga, keacuhan pada peringatan mereka dapat berubah menjadi tanda bahaya bahwa hidup mereka tidak lebih dari kedipan mata.

"Uhuhk!"

Bumyen terbangun setelah mendengar suara mengerikan dari kejauhan. Kepalanya masih berdenyut nyeri. Ia bergeming ketika menemukan seorang gadis duduk di tepi pantai menatap angkasa yang malam itu ditaburi bintang-bintang.

"Kau sudah sadar, Kapten?"

Pita suara Bumyen mendadak bermasalah ketika gadis yang sedang duduk di depan menolehkan kepala menatap ke arahnya. Ia sungguh masih tidak menyangka jika gadis itu selamat dari gigitan sekelompok ikan hiu. 

"Jangan takut, aku bukan hantu."

Kini gadis dengan rambut bergelombang yang menikmati angin malam dari laut kembali menikmati eksotisme pemandangan para bintang. Bumyen memberanikan diri berjalan ke arah gadis misterius yang berasal dari sebuah negeri dengan nama asing menurutnya.

"Jangan terlalu banyak bergerak. Kau belum benar-benar pulih."

Kaki Bumyen berhenti di sebelah gadis misterius yang ia duga sebagai penyusup. Ia sebenarnya masih curiga dengan gadis yang kini memiliki aura berbeda ketika kulitnya tak sekusam di kapal. Ulah ombak laut membuat kulit gadis ringkih mengelupaskan noda jahat dikulitnya.

"Kau juga."

Bumyen merobek ujung bajunya. Ia duduk--menyibak rambut gadis penyusup yang terasa menghalangi luka di leher. Zahra--gadis penyusup itu tidak bernapas ketika Bumyen mengikat lehernya untuk menutupi luka yang sebenarnya tidak terlalu parah.

"Aku tidak ingin berhutang budi pada seorang penyusup."

Zahra bangkit menjauhi air laut yang mengejar tak kenal lelah. Ia menuju tempat Bumyen terakhir beristirahat. Di sana, ada beberapa buah-buahan dan kelapa segar yang sudah terbuka. Berkat kemampuannya berbicara dengan hewan, Zahra bisa meminta tolong pada mereka.  Walaupun tidak semuanya mau, tetapi beberapa masih ada yang bersedia membantu.

"Kau memanjat pohon kelapa?!"

Bumyen menutup mulutnya ketika Zahra tanpa menawarkan minuman menikmati apa yang dipikirkan lelaki dengan kecurigaan tak mendasar. Andai tenggorokan bisa berbicara, mungkin ia akan memperotes Bumyen yang masih kekeh jika Zahra adalah seorang penyusup. Sehingga, kecurigaan itu mengharuskan tenggorokan hanya menelan balik saliva yang kini semakin pahit rasanya.

"Anggap saja seperti itu."

Slurrrrp

Dahaga Zahra tuntas setelah air kelapa membasahi tenggorakannya. Ia sungguh berterimakasih pada monyet yang telah sudi melawan bahaya gravitasi dengan memanjaat pohon tertinggi di pesisir pantai. Kali ini suara asing mengusik ketenangan gadis penyusup yang tengah menikmati santap malam dengan  nikmat.

Kruukkk

Tangan Bumyen melingkari perut. Wajahnya mengikuti arah angin yang berembus ke sebelah Selatan. Sebenarnya ia hanya menahan malu ketika suara perut keroncongan bergema menyusul suara sendawa gadis rambut ikal.

"Makan, lha."

Zahra beralih menyantap buah mangga. Ia menawarkan Bumyen agar perut Pria itu tidak gaduh meminta empunya mengisi dengan beberapa nutrisi. Gadis penyusup berambut ikal tidak seperti orang jahat yang ingin merebut sesuatu darinya. Namun tetap saja, Bumyen memasung kecurigaan pada tiap gerak-gerik gadis itu.

"Kau sudah berbaik hati memberiku makanan di kapal. Sekarang, waktunya aku membayar hutang itu." 

Bumyen nampak ragu. Namun semilir angin malam kian menghujam perutnya yang keroncongan. Ia tidak memiliki apa pun untuk dijadikan sebagai tumbal. Bahkan ia terdampar di tempat asing, lalu ditolong oleh seseorang yang sempat ia celakai. Debur ombak mengempas kencang ke pasir putih. Mereka seaakan menertawakan kebimbangan yang menahan hati Bumyen untuk menerima tawaran gadis penyusup.

"Kau masih takut padaku?" 

"Tidak!" Bumyen menjawab lantang. "Aku hanya masih curiga denganmu! Gadis dengan asal-usul tidak jelas...."

Mutiara meletakkan sebuah mangga di pangkuan Bumyen. "Makan saja dulu. Kau terlalu berpikir negatif pada orang asing."

Perut Bumyen menjerit bar-bar. Gelak tawa gadis penyusup kian memperparah suara perut keroncongannya. Menunduk sedikit, Bumyen memakan dengan rakus mangga yang diberi Zahra. Ia nampak bersemangat mengunyag buah berserat yang kaya gizi dan vitaman C. Bahkan tangan Bumyen tanpa malu-malu seperti di awal, mencomot buah lainnya yang sengaja Zahra letakkan di atas daun dekat tempat Bumyen beristirahat.

"Kau... dari Cina?"

Bumyen mengangguk. 

"Jadi, kapalmu tadi akan membawa kita ke negerimu?"

"Aku ingin bertemu Eng Kian." Selera makan Bumyen mulai menguap. Suara gemerincing gelang di kaki dengan alunan seruling bambu membawanya pada bayangan gadis oriental berwajah tirus.

"Dia ibumu?"

"Kekasihku," kata Bumyen. "Dia lebih cantik darimu."

Kalimat itu tidak akan berpengaruh pada kepercayaan diri Zahra. Ia justru semakin penasaran dengan sosok Eng Kian--kekasih Bumyen yang katanya cantik. 

"Jaman sekarang kalau mau jadi cantik itu gampang! Asal punya uang, tinggal pilih aja cara yang kita mau."

"Dia alami!" 

"Emang dia pake skincare apaan? Bedak bayi tambah kopi? Ah, cowo mana tau!"

"Dia memang selalu memakai riasan dan perhiasan mewah, tetapi wajahnya tidak jauh berbeda ketika dia bangun tidur."

"Astaghfirullah, jadi kalian udah pernah--"

"Tidak!" Bumyen melotot. Ia mengendurkan otot-ototnya ketika menahan diri dari godaan gadis penyusup. "Dia selalu menungguku di tepi danau. Kami selalu menyempatkan waktu duduk di tepi jembatan. Di sana, kami setia menanti matahari terbit."

Zahra heran masih ada kebiasaan kuno seperti itu. "Norak," komentarnya.

"Norak itu apa?"

"Serius, enggak tau?" 

Bumyen menggeleng. Zahra melongo melihat kaum manusia yang tidak tahu apa itu norak. Padahal, walau Bumyen memakai logat Melayu ia tetap mengerti apa yang disampaikan masing-masing pihak.

"Emm, norak itu kayak terlalu berlebihan dalam menampilkan sesuatu. Gitu sih, menurut aku."

"Menurut kamu?" 

"Eh seriusan deh! Kamu nanya lagi aku lempar pake batok kelapa, nih!" Tangan Zahra sudah bersiap di atas buah kelapa. Bukannya tidak mau menjawab, Zahra hanya tidak tahu mencari jawabannya. Tidak ada ponsel, internat, dan kuota, maka sama dengan, Zonk!

"Kenapa perempuan sepertimu ini sangat kasar? Fisikmu sangat tidak menunjang, Puan."

"Hah, Puan? Eh, enggak salah denger kamu manggil aku gitu?"

"Kamu bukan penyusup. Aku menganggapmu sebagai teman sekarang."

Teman? Zahra terdiam untuk sesaat. Ia hanya dekat dengan Ant.  Tidak ada yang menganggapnya seperti makhluk sosial selama tidak ada Ant. Zahra bak orang asing dimana pun ia berada. Keramaian selalu menjadi tempat bermain sepi dalam hati yang tak pernah singgah ke lain tempat. Zahra bukan tidak mau berteman dengan mereka, melainkan ketidakcocokan membuat Zahra tidak nyaman menjalin hubungan dengan seseorang. 

Bumyen menikmati wajah Zahra yang tengah melamun. Gadis itu mengukir wajah baru dalam benaknya.

"Tang Eng suka berekspresi seperti itu ketika aku berniat menikahinya."

Lamunan Zahra teralihkan. Mata sipit di depan memaklumi kesadarannya yang baru saja bangkit. "Dia tidak menyukaimu?"

"Bukan seperti itu," kata Bumyen. "Kedua orangtuanya adalah orang terpandang di wilayah Tang. Mereka keluarga yang sangat agamis. Tang Eng keturunan Islam. Ia dan ayahnya memiliki pedoman hidup yang sama."

"Kau bukan seorang Muslim?"

Bumyen mengangguk. "Aku pikir Tang menakutkan hubungan kami. Sebab itu, aku kemari untuk menjemput Tang. Kuharap, kedua orangtuanya mau menerimaku yang sudah berusaha sejauh ini."

Hubungan Bumyen tidak dapat dimengerti Zahra. Ia hanya siswi SMA yang bahkan tidak pernah mencicipi ungkapan cinta dari lawan jenisnya. Kehidupan Zahra begitu monoton. 

"Kenapa tidak jadi muallaf saja?"

"Itu memang sudah menjadi niatku. Dan nanti, biar orang tua Tang yang menjadikanku umat mereka."

Mungkin itu yang disebut penyebaran agama Islama melalui jalur perkawinan. Selama ini Zahra hanya tahu dari pelajaran di sekolah dan beberapa berita dari artis dan orang ternama saja. Namun, kali ini ia mendengarnya secara langsung sekali pun orang yang ia temui tidak begitu ia kenal.

"Niat yang bagus."

"Terimakasih."

Angin dari laut datang membelai. Memecah keheningan usai percakapan Zahra dan Bumyen. Suara gemerisik dari balik semak-semak menyentil tombol waspada. Bumyen berdiri disusul Zahra. 

"Merpati!" Zahra begitu girang ketika tahu seekor merpati putih yang muncul dari dalam semak-semak itu. "Aku tau kau akan datang!"

"Hai, Zahra?" 

Kini seekor kuda putih ikut muncul dari belakang. Bumyen menganga melihat Zahra yang nampak tenang membelai kepala seekor merpati dan kedatangan kuda gagah berambut bersih.

"Kau membawakanku teman baru?"

Merpati putih terbang ke atas pundak kuda. "Namanya Hans, dan aku Miko. Kami baru saja sepakat untuk menolongmu."

Zahra terharu dengan kalimat Miko--merpati putih yang sempat ia bentak. Bakat baru yang ia miliki ternyata mendekatkannya pada hal-hal yang tidak pernah ia duga. Meskipun terkesan aneh, tetapi Zahra bersyukur memiliki keistimewaan ini.

"Ehm! Aku akan sangat berterimakasih pada kalian!"

Bumyen kian merasakan kengerian melihat Zahra yang berbicara pada dua hewan di depan. Ia mundur selangkah demi selangkah ketika imajinasinya mulai liar berkhayal. Siapa yang akan tahu jika Zahra adalah orang gila? Atau... gadis itu memang bukan benar seorang manusia.

"Kapten," panggil Zahra. Gadis itu berlari menarik tangan Bumyen yang berkeringat dingin. "Mari antarkan aku pulang!"

"Ke-Kemana?"

"Indonesia, negaraku!"

***


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status