Malam telah larut, Bhaga belum bisa juga memejamkan matanya. sekilas dilihatnya Jessica yang sejak tadi sudah terlelap dalam dunia mimpi di sampingnya. Dia putuskan untuk ke dapur, lalu menyeduh segelas teh. Sejak kemarin ponsel Atma tak bisa dihubungi, barangkali karena lemahnya jaringan, dia bisa mengerti soal itu, namun hatinya tak bisa berkompromi. Tak mungkin bisa tidur tenang bila dia belum tahu apakah Atma baik-baik saja atau tidak.
Bolak-balik dia cek layar ponsel pintarnya, mengecek apakah ada pesan masuk, namun nihil. Apa kuotanya habis? Tapi nggak mungkin, baru minggu lalu diisi, batinnya gundah. Telepon tak diangkat, pesan whatsapp tak dibalas, bagaimana mungkin pikiran Bhaga tak gusar.
Inilah yang paling dia benci dari jauhnya jarak mereka, mesti menghabiskan menit demi menit dalam kecemasan. Bhaga menyeruput tehnya di dekat pantri, sejenak melamun, menebak-nebak sedang apa Atma, barangkali dia sedang tidur di kamarnya saat ini, begitu p
Sebuah helaan napas yang begitu berat meluncur dari mulut Atma. Ujian memang berjalan lancar, namun tetap saja takut akan kegagalan masih mengintai ketenangannya. Sebagai bentuk apresiasi untuk kegigihan Atma, Bu Sona memasak makan siang khusus hari itu, karena dia berhasil melewati masa ujian paket C dengan baik.Usai makan bersama, Bu Sona pamit untuk tidur siang. Waktu yang tepat bagi Atma untuk menghubungi Bhaga, sejak kemarin dia belum mengangkat panggilan dari pria itu."Halo, Mas Bhaga?" sapa Atma setelah panggilannya diangkat."Ya ... halo,"balas Bhaga, pelan, setengah berbisik."Gimana ujiannya?""Lancar. Nggak terasa ya, waktu berjalan singkat, sebentar lagi udah pengumuman aja, aku deg-degan," beber Atma. Dia berjalan keluar untuk sekalian menikmati udara siang perbukitan yang lumayan panas siang itu. "Tadi aku sama ibu makan enak, ibu masak yang spesial, aku senang ibu akhirnya menerima soal paket C itu."
Entah kapan terakhir kali Atma mengalami euforia seperti yang dia rasakan hari ini. Hasil ujian susulan telah keluar, dan siapa sangka hasilnya melebihi ekspektasi. Tak sia-sia usaha belajar keras beberapa bulan terakhir. Semua terbayar dengan pengumuman kelulusan yang memuaskan."Karena kamu udah berhasil lulus, boleh aku traktir? Sebagai hadiah!" Adam lah yang pertama kali memberi ucapan selamat kepada Atma.Dan sudah sewajarnya Atma menolak ide tersebut. "Nggak! Nggak! Justru aku yang akan traktir Mas Adam. Tapi makan di rumah aja, ya? Biar bisa bareng ibu, ajak juga Nabila, anak Mas Adam.""Kamu yakin? Mau ketemu sama dia?" Adam tak bisa menyembunyikan binar di wajahnya.Muka Atma berubah, seolah berkata:emangnya kenapa?"Iya! Aku mau ketemu sama anak Mas Adam. Mau, kan?"Adam mengangguk dengan senyum simpul di bibirnya.***Cukup lama rasanya rumah di atas bukit itu tidak bercahaya seperti hari ini. Bu Sona
Setelah kekacauan yang disebabkan Salman terjadi, Bu Sona menjadi antipati kepadanya. Namun bukan berarti masalah telah selesai, dia mesti memikirkan selanjutnya bagaimana, apa yang akan terjadi dengan Atma nantinya. Bu Sona berpikir agak lama, satu-satunya orang yang bisa dia percaya saat ini adalah Adam. Oleh karena itu, pada pertemuan selanjutnya, dia berkata kepada Adam, "Tolong jaga Atma ya, Nak Adam. Saya percayakan dia sama kamu."Atma tahu soal itu, namun dia tidak protes sama sekali. Dia sadar benar, Adam jauh lebih baik ketimbang Salman. Meski hatinya setuju, dia pun tak lantas bisa tenang, sebab Bhaga akan kembali tak lama lagi. Usai Atma beri tahu soal kelulusannya, Bhaga berjanji segera datang.***Tak seperti kedatangannya beberapa bulan silam, kali ini Bhaga kembali dengan membawa warna yang berbeda. Bukan hanya kerinduan yang dia bawa, tapi juga keresahan, kesedihan, yang dia sendiri tak mampu menguraikannya.Baru selangkah turun dari mobi
Atma berjalan di depan Bhaga, menyusuri jalan setapak pematang sawah yang membentang hijau. Bhaga beberapa jengkal di belakangnya, matanya memandangi lekuk tubuh Atma yang terbalut gaun selutut bermotif polkadot, rambutnya yang terurai ditiup angin petang, warna jingga dan merah jatuh tepat di helai-helai rambutnya yang sedikit kusut karena angin.Warga desa tak terlihat lagi di sawah, biasa sebelum senja mereka sudah pulang. Hanya ada Bhaga dan Atma di area persawahan itu. Bhaga tak mau langsung pulang, dia teringat dengan air terjun di dekat situ. Hari ini akan sempurna bila ditutup dengan mandi malam di air terjun, pikirnya."Kalau ibu nungguin kita gimana?" tanya Atma cemas."Kita bukan anak-anak, Atma!" sahut Bhaga sembari melepas kaus oblong yang dia kenakan.Atma masih bimbang, dia berdiri gugup di atas sebuah batu besar. Mukanya sedikit basah akibat cipratan air terjun yang kuat dan deras. Sekilas kepalanya berputar, mengecek sekeliling. Langit be
Mata Adam menatap tajam mata Bhaga. Keduanya masih sama-sama asing, namun yang lebih bingung tentu adalah Atma. Harus bagaimana dia di antara kedua pria ini?"Siapa?" tanya Adam, terdengar tidak senang, tak ada keramahan dari suaranya.Atma berbalik sesaat, memandang Bhaga, Bhaga memandang balik dengan muka tak kalah bertanya-tanya."Mas Adam, ini Mas Bhaga, anak tunggal Bu Sona," kata Atma pelan, lalu dia berbalik menatap Bhaga. "Mas Bhaga, ini Mas Adam, salah satu guru di tempat aku belajar untuk ngejar paket C.""O! Hai ..., saya Bhaga." Bhaga lah yang pertama berinisiatif untuk menjulurkan tangan, tak timbul satu pun prasangka aneh di hatinya. "Ada urusan apa?"Walau mulanya sedikit ragu, Adam menyambut uluran tangan Bhaga. "Adam.""Mau minum teh, Mas? Biar aku buatkan, tapi tunggu sebentar, ya. Aku mau ganti pakaian dulu," kata Atma."Kalau aku ganggu ...,""Nggak, kok! Tunggu bentar, ya." Atma menyela cepat. Dia bergegas
Hati Atma lebih terluka ketimbang Bhaga sebetulnya, kalau saja dia mau jujur mengakui. Ingin sekali dia melihat reaksi cemburu Bhaga, seperti dalam kisah-kisah cinta di film romansa. Bagaimana Bhaga semestinya kesal lalu mengatakan bahwa Atma adalah miliknya, dan tak akan ada laki-laki lain yang bisa menikahi dia selain Bhaga, namun Bhaga bukan laki-laki seperti itu. Dia selalu tenang dan realistis. Atma juga tahu semestinya dia bersyukur, dia tak seperti Adam yang menjadi racun saat cemburu, atau lebih buruk seperti Salman, yang selalu mengklaim dirinya sebagai hak milik."Udah malam, Atma. Kamu mau tidur, kan? Selamat malam." Bhaga berucap lembut sebelum dia menaiki tangga ke lantai atas.Atma masih diam mematung, dengan segala kalut yang dia rasa. Sampai Bu Sona datang dengan muka bingung. "Ada apa, Ma? Kok bengong?"Nyaris saja keluar kata-kata buruk dari mulut Atma, saking terkejutnya dia. "Nggak ada, Bu. Aku cuma nunggu ibu pulang.""Ya, kamu baca m
Begitu Bhaga tahu apa yang terjadi kepada Atma, murkalah dia, amarahnya meledak seperti lava yang meletus dari gunung berapi. Mustahil untuk tak marah dalam situasi ini. Perut Atma disepak, dia terpental sampai lututnya menabrak batu di pinggir jalan. Kulitnya lebam, biru dan merah. Dan lagi, dia yakin betul siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Salman."Aku akan ngomong sama dia sekarang! Aku akan kasih dia pelajaran! Ini keterlaluan!" teriak Bhaga.Sementara Atma sedang setengah berbaring di atas sofa, dan Bu Sona sedang mengobati luka di lututnya dengan kapas dan alkohol."Ga, jangan larut dalam amarah kamu. Kita juga nggak tau apa dia benar pelakunya atau bukan. Tenang sedikit, minum dulu sana." Bu Sona berusaha membujuk."Ibu suruh aku tenang dalam kondisi ini? Liat Atma, Bu! Liat! Ini yang terjadi karena Ibu terlalu naif, harusnya kita nggak pernah berurusan sama orang sakit jiwa itu. Kalau bukan dia, siapa lagi?" Bhaga mengomel. Dia menatap Atma
Ingin sekali sebenarnya Atma membawa sendiri tasnya, namun Bhaga terus menolak. Sebuah koper berisi pakaiannya serta sebuah tas berisi pakaian Atma ditariknya di tangan kanan, sedang tangan kirinya memegang tangan Atma yang berjalan di belakangnya. Setelah membeli dua buah tiket, Bhaga menarik Atma untuk sarapan lebih dulu di kantin bandara sambil menunggu jadwal penerbangan mereka.Ini adalah pengalaman pertama Atma di Bandara, Bhaga tak mau dia jauh-jauh darinya. Apa lagi Atma sejak tadi terus berputar-putar, melihat kanan-kiri, mengagumi semua yang baru pertama kali dia lihat. Lalu matanya terkunci pada FIDS (Flight Information Display System) yang menunjukkan informasi penerbangan. Saking fokusnya, meski kaki Atma terus bergerak ikut Bhaga ke arah kantin, mukanya terus menatap FIDS, sampai secara tidak sengaja dia menabrak seorang perempuan yang sedang berjalan buruk-buruk. Kepala mereka bertabrakan."Kalau jalan liat-liat dong!" bentak perempuan itu berang.