Share

BAB 2. - Sekolah Baru

"Mau sampe kapan main terus?" tanya pria berkemeja kotak-kotak yang duduk bersila di atas sofa. Ia sudah bosan hanya memandangi pria di depannya selama 2 jam tanpa melakukan apa-apa. 

Pria jangkung itu menarik busur panah, memfokuskan pandangannya pada titik tengah "Sampai ku bosan," jawabnya lalu melepaskan tarikan, dan-

Ctak…!

Satu anak panah berhasil menembak sempurna di angka 10. Poin yang sangat sempurna. Namun reaksi yang ditunjukkan pria itu berbeda. Tatapan datar tanpa ekspresi.

Poin yang berhasil dicetaknya; 2 kali 9 poin, dan 3 kali 10 poin.

"Jaemin! Lu pikir kehidupan gue cuma merhatiin lu main doang?"

Pria itu menurunkan busur panahnya, mengeram pelan, "Bilang sekali lagi," ucapnya dengan nada datar tapi menusuk.

"Emm iya. Engga engga! Baper amat ewh," pria berkemeja itu menghela. Ia sudah tahu, siapa Jaemin. Si pria minim perasaan.

Jaemin balik badan, menatap seseorang yang membuat moodnya turun, "Jangan membantah apa yang ku katakan."

Pria itu memutar bola matanya, ia tahu Jaemin akan menjawabnya seperti itu. Berdebat dengan Jaemin sama saja seperti berdebat dengan singa. Apalagi mendengar kata-kata Jaemin yang terlalu baku, layaknya robot. Berbeda sekali dengannya yang menggunakan tata bahasa kekinian.

"Jaem, sumpah ya! Mendingan lu banyak-banyak piknik dah sono! Biar ga kaku banget idup lu kayak kanebo kering. Atau ga, cari pacar kek- biar ga gersang amat idup lu kayak gurun pasir. Atau ga cari istri sono biar-"

Jaemin memotong pembicaraanya, "Mau jadi kelinci percobaan, Mr. Song?"

Pria bernama Song Mino terkesiap saat Jaemin mengangkat busur panahnya, ancang-ancang ingin memanahnya.

"Anjrit Jaemin!! bercanda doang elah ga seru banget la-u! Kalau ga ada gue. Siapa lagi coba temen yang akan bersabda saat temennya berada di jalan yang sesat?!"

Jaemin menurunkan busurnya, tak membalas ocehan cerewet Mino. Lalu berjalan mendekati Mino yang berjarak 200 meter dari tempatnya, membuat Mino terkesiap, mewanti-wanti takut di serang Jaemin.

Jaemin kan begitu, selalu bertindak tidak terduga.

Tapi pikirannya salah. Jaemin hanya melempar busur panah itu ke atas meja kaca yang terletak di sebelah sofa.

Mino bernafas lega, mengusap-usap dada. Jantungnya hampir saja copot.

"Kemana yang lain?" tanya pria bersurai legam itu berjalan menjauh menuju mesin kopi.

"Haechan ada urusan, Mark ke Kanada. Chenle ga tau kemana, belum ngabarin."

Jaemin membuang muka lalu memandang lurus mesin kopi, "Si brengsek itu ga mencoba menipu kita, kan?" tanyanya dengan nada berat.

Mino menegakkan tubuhnya saat Jaemin mengajaknya ke topik serius.

"Engga … Sekalipun dia nipu. Dia ga akan bisa kemana-mana. Kartu matinya udah kita pegang."

Jaemin mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di mesin kopi, berpikir keras.

"Kalau gitu ... bagaimana jika kita mainkan kartunya. Sangat menarik bukan?"

Song Mino terkejut, "JANGAN GILA JAEMIN!"

"Apa setiap kata yang ku katakan tidak masuk akal?"

Song Mino mengacak-acak rambutnya frustasi, "Tapi itu- lu- ARGGH. Jaemin jangan keterlaluan!"

*****

"Kak Doy!"

Pria yang sedang berdiri menatap sungai Han menoleh. Ia tersenyum lebar menatap gadis bermantel pink berlari ke arahnya. Syukurlah, gadis itu berpakaian musim dingin lengkap. Tidak seperti kemarin. 

"Kak Doyoung!" gadis itu melambaikan tangan ke arahnya. 

Doyoung tersenyum, membalas lambaian tangannya.

"Jangan lari Nari. Licin!"

Gadis itu tak menghiraukan, ia tetap berlari kecil dengan semangat. Meskipun beberapa kali ia tersandung batu yang tertutup salju.

"Kak Doyoung hah hah," nafas gadis itu terengah-engah saat di hadapan pria itu, "Aku ga telat,kan?" 

Doyoung tersenyum, lalu mengusap pelan puncak kepala Nari yang tertutup kupluk,"Telat 2 menit. Tapi gapapa."

"Kita mau kemana, kak?"

"Ke tempat sekolah baru kamu."

"Hah? Serius kak? Aku udah bisa sekolah?"

Doyoung menggeleng, "Engga, kamu sekolahnya nanti di tahun ajaran baru. Kita cuma lihat-lihat sekolahnya aja dari luar."

Mata gadis itu berbinar haru,"Kak Doyoung serius bantuin aku?"

Doyoung tersenyum, "Iya, apa aku terlihat bercanda?" ucapnya merapikan rambut Nari yang berantakan. Entah kenapa saat melihat senyuman polos gadis itu, ada sebersit perih yang tak bisa ia jelaskan.

Senyuman dari gadis yang tak bersalah.

Gadis lugu yang ia kenal sejak SMP. 

Gadis itu tiba-tiba memeluk pinggang Doyoung, membuat sang empu terkejut setengah mati, "Kak Doyoung makasih ya … kakak baik banget sama aku."

"Aku gatau lagi kalo ga ada kakak. Aku janji akan bekerja keras! Aku janji akan jadi anak yang rajin. Aku janji akan meraih impianku jadi dokter hewan."

"Aku janji akan jadi anak yang baik. Aku janji akan-"

"I-i-ya Nari, tap- tapi lepas dulu. Kamu meluknya kekencengan," ucap Doyoung menepuk-nepuk pelan punggung ringkih itu.

"Hehehe oh iya," Gadis itu melepaskan pelukannya sambil cengengesan.

"Abisnya aku seneng banget! Akhirnya aku bisa sekolah lagi!"

Gadis itu bertepuk tangan ceria, lalu melompat-lompat girang. Membuat Doyoung terkekeh. Ia senang melihat gadis itu senang, tapi kesenangan yang ia rasakan tidak akan sama pada apa yang akan terjadi selanjutnya.

*****

"Wah ini sekolahnya ya kak?" Gadis itu menatap kagum sekolahan itu dari luar gerbang. Tak henti-hentinya memuji betapa indahnya sekolah barunya sekarang.

"Lebih bagus dari sekolahanku dulu," ucap gadis itu dengan mata berbinar-binar. Ia berjalan mendekati gerbang yang tertutup rapat. Mengelus-elus pagar hitam nan dingin itu. Ia benar-benar kagum dan tak percaya akan sekolah disini. Ini seperti mimpi di siang bolong.

Gadis itu menoleh ke belakang, menatap Doyoung yang berdiri kaku di jarak 200 meter.

"Kak aku beneran sekolah disini?"

Doyoung tersenyum tipis, "Iya." 

Melihat tingkah polos itu membuat dadanya terasa dihantam. Doyoung menunduk, tak kuat menatap gadis itu lama-lama.

"Aku seneng banget kak! Ini kayak mimpi!"

Gadis itu menatap kembali pagar itu, memandang isi dalam sekolah melalui celah-celah pagar. Sekolah ini benar-benar luas, membuat Nari tak sabar ingin masuk ke dalamnya. Sayangnya, sekolah sedang tutup karena liburan musim dingin. 

Nari menerawang, apakah ia akan mendapatkan banyak teman? Apakah ia akan nyaman sekolah disini? Apakah guru-gurunya ramah dan menyenangkan? Ah ia begitu penasaran.

"Kak? Kapan ujian masuknya? Aku udah ga sabar mau sekolah."

Doyoung mengangkat wajahnya, "Kamu masuk tanpa ujian Nari."

Jawaban Doyoung membuat Nari tercenung. Ia sedikit bingung bisa masuk sekolah bergengsi tanpa ujian. Nari kembali menatap gerbang, memandang seisi sekolah itu.

Benarkah? Rasanya aneh bisa masuk sekolah tanpa ujian. Tapi Doyoung tak mungkin berbohong.

Doyoung telah baik padanya mencarikan sekolah g****s tanpa dipungut biaya. Tapi kenapa otaknya berpikiran yang tidak-tidak?

Apa yang ia khawatirkan? Doyoung orang baik.

"Kak, kalau aku sekolah disini. Kakak janji ya harus sering-sering main kesini."

Doyoung menarik nafas dalam kemudian mengangguk. Menatap Nari yang terus-menerus menatap sekolah itu penuh harap.

Punggung kecil nan ringkih itu.

Tatapan polos seperti anak anjing.

Senyuman lugu yang begitu tulus.

Tawa yang begitu ceria seakan tidak ada beban.

Anak manis yang tak pernah kenal lelah.

Semua itu membuat perasaan Doyoung terombang-ambing. Ia menunduk dengan tatapan kosong.

*****

Cklek…!

Gadis itu membuka pintu rumahnya. Ia baru pulang jam 1 malam setelah menyelesaikan semua pekerjaan. Merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal. Seharian bekerja membuat tulangnya terasa remuk.

Nari menutup pintu, menyusuri semua sudut rumahnya yang sangat sederhana. Ia tinggal sendirian. Tak memiliki siapapun. Orang tua ataupun sanak keluarga. Ia berjuang dengan punggungnya sendiri, menghadapi hidup yang begitu keras.

Nari membuka pintu kamarnya. Lalu menyalakan lampu, kemudian menutup pintu rapat-rapat. 

Nari melepaskan mantelnya yang basah dan menggantungkannya di Kapstok yang berada di balik pintu.

"Huh, lelah sekali."

Nari melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Rasa lelah seolah terbayar saat menyentuh kasur. Gadis itu memandang langit-langit kamar yang ditempel dengan hiasan bintang-bintang. 

Suatu hari ia ingin menjadi bintang.

Bersinar karena cahayanya sendiri tanpa mengambil cahaya yang lain.

Bersinar menjadi yang paling indah dan yang paling terang.

Gadis itu menerawang jauh, mengingat dirinya dan Doyoung yang kembali bertemu.

Doyoung, kakak kelas sekaligus cinta pertamanya.

Gadis itu tersenyum, membuka kembali kenangan lama. Dimana ia belajar mati-matian agar bisa satu sekolah dengan Doyoung. Pria yang sering jadi objek perbincangan wanita di sekolah, karena kecerdasan dan ketampanannya. Sang cassanova, yang punya banyak penggemar.

Nari menutup wajahnya yang memerah dengan bantal. Mengingat Doyoung, membuatnya tersipu malu.

Bukankah pria itu sangat baik? Pria itu seperti malaikat penolong yang datang membantunya.

"Kak Doy, aku janji akan buat kak Doy bangga sama aku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status