Byurr!
Karena tarikan yang terlalu kuat dan tangan yang masih licin oleh busa sabun, mereka berdua pun tercebur ke dalam bathub. Acasha sontak memberontak dalam kepanikan. Namun karena terlalu panik, ia tak kunjung berhasil beranjak dari sana dan malah tergelincir oleh licinnya permukaan bathub, Demian, dan busa sabun."Acasha, hei, tenanglah," ujar Demian berusaha menenangkan perempuan yang seolah kehilangan keseimbangan dan titik tumpu. Namun, Acasha terus bergerak dengan limbung. Mau tak mau, Demian langsung mendekap Acasha dari belakang. "Tenanglah, Acasha. Tenanglah."Suara berat yang sangat dikenalnya, terdengar jelas dan sangat dekat di telinga. Dalam hitungan detik, Acasha mulai menemukan kembali fokusnya. Ia pun terdiam dan menatap jauh ke dalam air. Di sana ada sepasang kakinya dan ada sepasang kaki yang lain.Detik berikutnya, fokusnya lantas berpindah pada gelenyar aneh yang merayap di sepanjang punggung, lengan, dan lengan polosnya. Ada lapisan epideMendengar jawaban tak terduga dari Demian, Acasha langsung kehabisan kata. Ia hanya mengeratkan rahang sambil menahan gejolak dalam dada yang semakin menggebu-gebu."K-Kalau begitu, aku saja yang pergi. Aku akan menunggu sampai kamu selesai," ucap Acasha bersiap-siap bangun.Baru pinggangnya bergerak naik, Demian sudah kembali melingkarkan tangan di sana dan menahannya. "Di sini saja. Kita berendam bersama saja.""Demian, tolong, lepaskan," pinta Acasha memegangi lengan yang semakin erat itu."Kenapa? Bukankah tadi kamu memintaku untuk tidak meninggalkanmu? Kenapa sekarang malah kamu yang mau meninggalkanku?" balas Demian tepat sasaran.Deg!Tubuh Acasha membeku. "Bukannya tadi kamu tidak dengar?" tanyanya ragu-ragu."Sedikit. Di sini saja, ya," ucap Demian berbisik di telinga Acasha.Merasakan embusan napas Demian menyentuh daun telinganya, bulu roma Acasha meremang. Bola matanya bergerak gelisah tak tentu arah."Bagaimana ini? Aku harus
Selepas Bedros pergi, Orion langsung membawa Gretta berdiri di samping ranjang. Ia meminta Gretta berdiri membelakanginya, kemudian mendorongnya ke depan hingga sebagian tubuhnya telungkup di atas ranjang. Tanpa melepaskan ikatan di pergelangan tangan Gretta, Orion menahan tangan tersebut ke atas dengan sebelah tangannya dan langsung meluncurkan torpedonya, menembus medan pertempuran.Tanpa letih dan tanpa ampun, Orion melepaskan setengah dari kekuatannya agar medan pertempuran yang mudah rapuh itu tidak lekas hancur.Tanpa mampu melawan, Gretta hanya bisa berusaha untuk menarik napas sebanyak-banyaknya dan terkadang membenamkan wajah ke dalam empuknya ranjang. Gempuran demi gempuran terus menghajar wilayah kekuasaannya yang tak lagi memiliki benteng perlindungan.Gretta hanya bisa mengaduh, merintih, dan mengerang merasakan perpaduan antara kesakitan dan kenikmatan yang membombardir dirinya. Tubuh yang sudah tak seratus persen miliknya itu sudah dikuasai oleh Orion R
Sekitar empat puluh menit kemudian setelah pemesanan, ponsel Demian berdering. Ia pun menerima panggilan tersebut yang ternyata dari pos pengamanan."Ya?" sahut Demian menerima panggilan tersebut.Setelah mendengar kalimat di seberang, Demian menoleh ke arah kasur, di mana Acasha kini mengawasi dirinya. "Tolong, bawa ke sini. Aku sedang tidak bisa pergi dari kamar sekarang." Setelah itu, panggilan pun terputus.Demian meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu menoleh pada Acasha. Acasha tersenyum dari sana."Sudah sampai?" tanya Acasha dengan mata berbinar."Sebentar lagi," sahut Demian menahan senyum karena melihat ekspresi Acasha yang menggemaskan.Acasha mengangguk senang. Ia pun mulai merapikan diri dan beranjak dari ranjang menuju sofa di dekat Demian. Ia duduk di sana sambil memandang ke luar jendela.Tak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk.Tok tok tok."Biar aku yang membukanya." Demian bergegas menuju pintu dan menerima pes
Acasha bangun dari posisi tidurnya ke posisi duduk. "Tuan Athan?" sapanya ragu-ragu. Kemunculan Athan di pagi hari ini sungguh di luar ekspektasi.Athan mengangkat wajahnya dari buku dan beralih menatap Acasha. "Ah, Acasha. Apa aku membangunkanmu?"" T-Tidak, kok. Eum, ini memang waktunya saya bangun," jawab Acasha sangat gugup. Sebisa mungkin, ia menghindari kontak mata dengan Athan. "Syukurlah kalau begitu," balas Athan, sangat tenang.Ingin sekali, Acasha bergegas bangkit dan lari dari sana. Tapi, tubuhnya seperti terkunci, seakan ada magnet tak kasat mata yang menarik tubuhnya sangat kuat agar tetap melekat erat dengan ranjang."Eum, kalau boleh tahu, apa yang Tuan lakukan di sini? Apa Tuan ingin bertemu Demian? Oh, pasti dia sedang mandi, ya? Jadi, Tuan menunggu di sini," celoteh Acasha harapa-harap cemas. Ia tidak ingin menjadi alasan kedatangan Athan kemari.Mendengar ucapan Acasha, seketika Athan menutup buku dan berdiri. Ia mendekati Acasha sambil
Untuk beberapa saat, Acasha memandangi Demian tanpa berucap. Ia menerka-nerka tentang kemungkinan bahwa Demian sebenarnya mengetahui fakta mengerikan ini. Ataukah mungkin, dia bagian dari mereka?Tidak. Mau dilihat dari sudut pandang mana pun, dari sisi mana pun, Demian memang sangatlah tampan. Ah, bukan. Bukan saatnya untuk itu. Demian memang tampan, tapi dia sekarang sedang memakan makanan manusia di meja makan yang sama dengan Acasha yang seorang manusia."Jika Demian vampir, dia tidak mungkin memakan roti panggang. Jika dia vampir, dia pasti minum darah. Tapi, dia makan roti panggang bersamaku, berarti Demian bukan vampir. Demian adalah manusia. Sama sepertiku," batin Acasha menarik kesimpulan paling logis.Acasha mengangguk pelan sambil mengunyah sarapannya. Ia semakin percaya diri dengan menaruh keyakinan dan kepercayaan kepada Demian. Ia tidak perlu takut dan mengkhawatirkan hal lain selama bersama Demian. Ya, itu adalah keputusan terbaik karena mereka sama-sam
Demian mendesahkan napas pelan. "Nona, ingat? Ini di kantor," ucap Demian menyadarkan Acasha."Oh, ah, maaf. Saya lanjutkan laporannya," jawab Acasha kelabakan. Dengan cepat, ia membuka lembaran dokumen di tangan dan menaikkan scroll hingga halaman teratas.Demian mengerjap pelan sambil memiringkan kepala. "Yang itu sudah. Coba buka halaman sembilan," ujar Demian masih mengawasi dari samping.Dengan gugup, Acasha mengikuti ucapan Demian dan langsung memperhatikan setiap detail."Selesaikan hari ini kalau tidak ingin lembur!" perintah Demian sebelum kembali ke kursi kebesarannya."Baik, Presdir," sahut Acasha lantas menggigit bibir. "Duh, jangan lembur, dong! Ayo, Acasha! Fokus, fokus!" batin Acasha menyemangati diri. Tangannya terkepal erat dan sedikit disentakkan di udara. Kemudian, ia langsung mengerutkan alisnya supaya hanya terfokus pada pekerjaan yang dikejar deadline.Dari kursi kebesarannya, Demian mengawasi tingkah Acasha. Ia sadar betul dengan sikap aneh A
Acasha melirik Demian dan menatapnya lama sekali. Tapi, Demian membiarkannya dan berpura-pura tidak tahu."Apa dia merasa bersalah?" batin Demian, tetap fokus memperhatikan jalanan di depan.Setelah dirasa cukup lama hingga membuat jantung Demian berdetak lebih kencang dan salah tingkah, ia menoleh sebentar dan berkata, "Sudah cukup menatapku dan lihat saja pemandangan di luar. Sekarang, aku sedang membawamu berkeliling kota.""Maaf, Demian. Aku—""Sssst. Sudah, aku tidak mau mendengar permintaan maaf darimu. Lihat saja pemandangannya," ucap Demian langsung memotong ucapan Acasha."Hmm. Baiklah," lirih Acasha.Acasha menatap ke luar jendela. Salju tidak turun malam ini, hanya meninggalkan lapisan putih yang sudah menipis karena matahari bersinar cerah akhir-akhir ini. Menyisakan suhu dingin yang masih wajar untuk keluar saat malam hari.Tampak kerlap-kerlip lampu berwarna-warni menghiasi setiap bangunan, semakin indah ketika dilihat saat mala
"Hehehe." Acasha tertawa sambil bertopang dagu, menatap Demian. "La ... gi ...." Suaranya terdengar lirih dan menggoda. Demian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sudah. Ayo, kita pulang," ajak Demian seraya menjauhkan gelas dan botol tersebut dari hadapan Acasha. "Eum ... enggak mau ... di sini aja ...." Ujung telunjuk Acasha menekan-nekan lengan Demian. Namun, Demian bersikap sok cuek dan memasang tampang datar. Padahal, di relung hatinya yang terdalam tengah bergejolak hebat dan dengan susah payah batinnya menahan diri untuk tidak terpancing pesona memikat wanita berwajah merah di depannya. Usai membayar dan memberi tip pada bartender, Demian pun memapah Acasha keluar dari sana. Disandarkannya perlahan kepala Acasha di sandaran kursi setelah mendudukkan Acasha yang sudah kehilangan kesadaran itu di kursi penumpang. "Sudah tahu tidak biasa, malah nekat minum. Hah ... sebenarnya, seberat apa beban pikiranmu itu?" gumam Demian sembari mengusap lem