Senja mulai beranjak, karena waktu siang yang telah berganti, menjadi sore hari dengan suasana mendung yang masih bergelayut.
Terlihat Agam dan Inez, duduk berdekatan di sebuah kafe yang tak begitu ramai, bersama dua laki-laki paruh baya yang duduk di seberangnya, belum juga menyelesaikan meeting setelah hampir satu jam lamanya.
"Terimakasih Pak, saya tunggu kabar baiknya," ucap Agam, berdiri dari duduknya, menjabat tangan kliennya bergantian, di ikuti dengan senyum ramah Inez, yang menganggukkan kepala pelan, sebagai bentuk sopan santunnya sebagai Sekretaris sementara Agam.
"Minuman kamu habis, mau pesan lagi?" tanya Inez, dengan sikapnya yang di buat sebaik mungkin, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Nggak perlu!" jawab Agam, masih berdiri di tempatnya, mengancingkan kembali jas kerjanya yang terbuka.
"Masukkan semua berkasnya, kita pulang sekarang!" lanjut Agam, segera mengayunkan langkahnya.
"Siyapppppppp!" jawab Inez, menaikkan sudut bibirnya, dengan sikapnya yang tergesa, segera memasukkan semua berkas yang ada di atas meja ke dalam tas kerja Agam.
Sebelum mengayunkan langkahnya cepat, untuk berlari mengikuti langkah Agam yang telah melangkahkan kaki jauh di depannya.
"Cepat sedikit! jangan kayak siput!" sentak Agam, menolehkan kepalanya, menatap Inez yang tergesa, dengan dua tas di bahunya.
"Ini sudah cepat! kamu nggak lihat?" Sewot Inez masih mengayunkan langkahnya cepat, berusaha mengimbangi langkah lebar Agam.
Hendak keluar dari pintu utama kafe, menuju parkiran tempat mobil yang di naikinya berhenti, sebelum...
"Ahh...," pekik Inez, mengusap dahinya cepat, karena dirinya yang tak sengaja menabrak Agam yang tiba-tiba berhenti di depannya.
"Apa kamu buta?" sentak Agam, memancing rasa kesal di diri Inez, dengan sorot mata tajamnya menatap Agam.
"Kamu marah? tepati janjimu!" lanjut Agam, dengan senyum miringnya menatap Inez yang membuang pandangan tak lagi menatapnya.
Tak membuat Inez bersuara, hanya terdiam, mengeratkan deretan giginya, berusaha untuk mengontrol rasa geram di hatinya, sebelum menegakkan kepalanya, dengan wajah datarnya mempersilahkan Agam, majikan sementaranya itu untuk keluar dari pintu utama.
"Bukain!"
"Ha?"
"Bukain pintunya!" lanjut Agam, mengedikkan dagunya ke arah pintu kafe yang tertutup.
Semakin membuat Inez geram, memejamkan matanya dalam, dengan helaan nafasnya yang pelan membuang pandangannya ke sembarang Arah.
"Sabar Nez...sabar... gadis sabar di sayang Papa!" batinnya, segera mengayunkan langkahnya malas, melewati Agam yang tersenyum miring hendak membuka pintu kafe yang tertutup.
"Sudah kan?" ucap Inez.
"Begitu caramu mempersilahkan majikanmu?" protes Agam, menciptakan teriakan batin di diri Inez.
Ingin sekali mencakar wajah laki-laki yang yang ada di depannya ini.
"Silahkan... sudah terbuka pintunya...," lanjut Inez, dengan sikapnya yang di buat sangat ramah, menundukkan kepalanya menatap langkah kaki Agam yang mengayunkan langkah melewatinya.
Menahan keras gerakan kakinya yang ingin sekali mengayun, untuk menjegal kaki laki-laki yang di anggapnya paling br*ngsek yang pernah di temuinya.
Sebelum menutup pintu kafe, mengayunkan kembali langkahnya di belakang Agam.
"Maaf Mas, saya di suruh ibu pulang duluan, karena Ibu butuh saya untuk mengantar Ibu ke rumah teman arisannya," ucap supir pribadi Agam, mengerutkan kening Agam menatapnya.
"Supir Mama kemana?"
"Lagi izin, anaknya sakit,"
"Kita pulang sekarang!" jawab Agam, hendak mengayunkan langkahnya kembali, sebelum terdiam karena kalimat supir pribadinya.
"Mohon maaf Mas, ini Ibu titip pesan buat Mas Agam,"
"Pesan? pesan Apa?" tanya Agam.
"Ibu minta Mas Agam belanja ke supermarket, beli buah-buahan untuk persiapan makan malam bareng Mbak Inez, anak perempuannya." lanjut supir Agam, menyentakkan hati Inez yang berdiri di dekat Agam.
Segera mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang menghela nafas, membuang pandangan ke sembarang arah.
"Makan malam?" tanya Inez yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Supir.
"Iya Mbak," jawab supir sopan, berbarengan dengan Agam yang meraup wajah tampannya pelan, menyadari maksud dari tindakan Mamanya.
"Saya pamit duluan ya Mas?" pamit supir mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Apalagi pesan Mama?"
"Hanya itu Mas," jawab supir yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Agam.
"Permisi Mas," lanjut supir, segera mengayunkan langkahnya meninggalkan Agam dan Inez yang masih berdiri dan terdiam di tempatnya.
"Kenapa kamu diam?" sewot Agam, menyentakkan hati Inez, sebelum mengalihkan pandangan menatapnya.
"Ha?"
"Kamu lihat kan? supirku pulang! cepat bukain pintunya!"
"Apa tanganmu putus?" Sewot balik Inez, membulatkan mata Agam menatapnya.
"Tepati janjimu!" ucap Agam, dengan sorot mata tajamnya.
Semakin membuat Inez geram ingin sekali mencabik-cabik wajah laki-laki yang selalu saja memancing emosinya.
"Ayo cepat!" lanjut Agam, mengedikkan dagunya ke arah mobilnya, bersitatap dengan Inez yang mengeratkan tautan gigi menatapnya tajam.
Hanya menghela nafasnya kasar, membuang pandangannya ke sembarang arah, dengan tangannya yang berkacak pinggang, berusaha menetralkan emosi yang telah berhasil menguasainya.
"Ayo cepat!" ucap Agam lagi, sebelum mengayunkan langkahnya masuk ke dalam mobil, untuk duduk di kursi belakang penumpang yang telah di buka oleh Inez.
BRAKKKKKK
Tutup Inez, membanting keras pintu mobil Agam, mengejutkan si pemilik mobil, hingga membuatnya berjingkat dengan matanya yang menutup.
"Apa kamu gila????!!" teriak Agam dari dalam mobil, menatap tajam Inez yang mengayunkan langkah untuk masuk dan duduk di kursi kemudi.
"Mohon maaf, saya tidak sengaja," jawab Inez, setelah duduk di kursinya, menaikkan sudut bibirnya ke atas segera menyalakan mesin mobil yang harus di kendalikannya.
Mengacuhkan rasa kesal di diri Agam, yang sudah duduk bersandar, menghela nafas kasar menatapnya tajam.
"Kita kemana?" tanya Inez, setelah melajukan mobil Agam pelan untuk keluar dari halaman kafe, bersitatap dengan Agam dari pantulan kaca spion yang ada di atasnya.
"Supermarket X," jawab Agam.
***
"Selamat sore Mas," sapa asisten rumah tangga, wanita paruh baya yang menyambut kedatangan Abian.
Yang baru pulang dari rutinitas di perusahaan Papanya, Abian hanya menganggukkan kepalanya pelan untuk menjawab sapaan Bi Semi.
"Inez sudah pulang belum Bi?" tanya Abian, seraya melepaskan jas kerjanya, untuk di sampirkamnya di atas tangan kirinya.
"Belum Mas,"
"Belum?"
"Iya belum," jawab Bi Semi yang di sambut dengan anggukan pelan kepala Abian.
Segera mengayunkan langkahnya, masuk ke dalam rumah hendak masuk ke dalam kamarnya.
"Sudah pulang Bi?" sapa Mama Desi, duduk di atas sofa ruang tengah, mengalihkan pandangan Abian menatapnya.
"Ma...," panggil Abian, mengulaskan senyum di bibirnya, kembali mengayunkan langkahnya mendekati Mamanya.
"Sudah Ma," jawab Abian, mencium tangan mama Desi, sebelum ikut duduk di sebelah Mamanya.
"Lelah ya?" tanya Mama Desi yang di jawab dengan senyum tipis anak sulungnya.
"Lumayan Ma,"
"Papa mana?"
"Papa lagi keluar sama Papanya Andre, mau bahas pertunangan Inez dan Andre katanya,"
"Kapan pertunangannya?" tanya Abian yang di jawab dengan mengediknya kedua bahu Mama Desi.
"Mama juga nggak tahu, mungkin setelah Inez wisuda." jawab Mama Desi yang di jawab dengan anggukan pelan kepala Abian.
"Aku masuk kamar ya Ma? mau mandi," pamit Abian, segera berdiri dari duduknya.
"Clara tadi telepon nanyain kamu,!" ucap Mama Desi.
"Ah iya, biarin dulu lah Ma, aku lagi males bicara sama dia!"
"Ada masalah di selesaikan Bi, jangan di buat lari." ucap Mama Desi, menggeleng kan kepalanya pelan, menatap langkah Abian yang mengangguk pelan meninggalkannya.
***
Di supermarket
"Ah! astaga... bisa bawa nggak sih?," pekik Agam, karena troli yang di dorong oleh Inez, menyerempet salah satu kakinya yang sedang melangkah.
"O..o.. sorry...!" ucap Inez dengan senyum miringnya, bersitatap dengan sorot mata Agam yang berhenti melangkah menatapnya tajam.
"Kamu sengaja?"
"Kalau aku sengaja sudah nyungsep kamu di sana!" jawab Inez, menunjuk lantai yang ada di depan Agam.
"Memang sengaja!" batin Inez, kembali mengulaskan senyum miringnya, karena dirinya yang merasa kesal dengan Agam yang menyerahkan tas dan belanjaan kepadanya.
Sedangkan laki-laki yang di anggapnya br*ngsek itu hanya melenggang tanpa beban, dengan memainkan ponsel di tangan menunjuk sana dan sini, memposisikan sebagai raja sedangkan dirinya tak lebih dari budak yang ada di bawah kaki dan kekuasaan Agam.
"Ambil itu!" tunjuk Agam lagi.
"Apa lagi?" sewot Inez dengan emosinya yang mulai meninggi, mengalihkan pandangannya ke arah rak buah yang di tunjuk Agam.
"Jeruk!" jawab Agam.
Tak ingin bersuara, Inez hanya mendorong trolinya malas mendekati rak buah jeruk yang di inginkan Agam.
Dengan di bantu oleh seorang pegawai yang menimbang, Inez hanya berdiri menatap pegawai supermarket yang terlihat cekatan.
"Berapa kilo?" tanya Inez kepada Agam.
"Tiga kilo, pilih yang benar!" jawab Agam.
"Tiga kilo Mas, tolong pilihkan yang benar, yang mulus, jangan sampai ada yang keriput macam dia!" ucap Inez, mengedikkan dagunya ke arah Agam, membulatkan mata Agam yang menendengar menatapnya.
"Jeruknya mulus-mulus Mbak, nggak ada yang keriput," jawab Pegawai, mengulaskan senyum di bibirnya masih melakukan pekerjaannya.
Begitupun dengan Inez yang tersenyum, menanggapi jawaban dari pegawai, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Agam yang mengayunkan langkah menjauhinya.
"Kemana?" tanya Inez, tak membuat Agam bersuara, hanya beradu tatap sejenak sebelum mengayunkan langkahnya kembali menuju rak kebutuhan dapur untuk membeli kecap asin pesanan mamanya.
"Terimakasih Mas," ucap Inez, menerima dua kantong plastik jeruk yang di pesannya, kembali mendorong troli yang di bawanya, mengikuti Agam yang sedikit jauh di depannya.
"Kecap asin?" gumam Agam, mengayunkan langkanya, sambil mengedarkan pandangan ke atas mencari barang yang di carinya, tanpa melihat situasi lantai yang akan di lewatinya.
Membulatkan mata Inez, karena pandangannya yang terjatuh pada ceceran minyak goreng yang ada di atas lantai di dekat Agam sebelum...
"Aaaaa," teriak Agam, yang tak sengaja menginjak tumpahan minyak, hingga membuatnya tergelincir, berbarengan dengan langkah cepat Inez yang berlari untuk menangkap tubuh Agam yang hendak terjatuh dan tersungkur di atas lantai.
"Kamu nggak papa?" tanya Inez, dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, berhasil menangkap tubuh Agam yang terjatuh ke dalam pelukannya.
Begitupun dengan Agam yang terdiam, meraup wajahnya pelan, karena rasa shock yang menguasainya, hingga membuatnya tak sadar dengan pelukan Inez yang masih menempel di tubuh tegapnya.
"Kamu nggak papa?" tanya Inez lagi, melepaskan pelukannya, sesaat sebelum memukul pelan lengan Agam yang terdiam, menyadarkan Agam dari rasa terkejutnya beradu pandang.
"Nggak papa!" jawab Agam cepat, masih dengan detak jantungnya yang berdetak sangat cepat, segera menegakkan kakinya.
"Maaf Mas, Mbak, Masnya nggak papa?" ucap Seorang cleaning service perempuan, dengan membawa peralatan pel yang hendak di gunakannya, mengalihkan pandangan Inez dan Agam menatapnya.
"Kamu ingin membahayakan pengunjung?" sentak Agam, menatap tajam cleaning service yang terlihat ketakutan.
"Mohon maaf Mas, ini baru mau saya pel lantainya Mas, karena saya juga baru dapat informasi kalau ada kemasan minyak goreng yang bocor!" jawab cleaning service, menundukkan kepalanya tak berani menatap Agam.
"Sudah lah, jangan marah-marah disini! malu di lihatin banyak orang, kamu juga baik-baik saja kan?" bisik Inez, mengedarkan pandangannya ke arah para pengunjung yang memperhatikannya.
Mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Kamu punya malu?" sungut Agam, kembali membuat Inez berdecak kesal, segera menarik lengan Agam untuk dibawanya menjauhi cleaning service.
"Sudah kan belanjanya? sekarang kita pulang! lagian kamu juga yang salah, jalan nggak lihat bawah! jangan nyalahin orang di depan umum! kasihan kan dianya merasa malu!" omel Inez, melepaskan tarikannya.
"Kamu menyalahkanku?" protes Agam.
"Sudah lah...aku sudah terlalu emosi untuk berdebat sama kamu!" jawab Inez.
"Tunggu sebentar ya," lanjut Inez, segera mengayunkan langkahnya cepat, berlari ke arah rak minuman hendak mengambil dua botol Air meneral untuk dirinya dan Agam.
Sebelum mengayunkan langkahnya kembali, setengah berlari mendekati Agam yang masih berdiri menunggunya.
"Minum dulu, kamu terkejut kan?" ucap Inez, memberikan salah satu botol air yang baru di ambilnya.
Tak membuat Agam bersuara, hanya menatap lekat botol yang terulur di depannya, tanpa bergerak untuk mengambilnya.
"Ayo ambil...!" lanjut Inez, masih mengulurkan tangannya, mengalihkan pandangan Agam menatapnya.
"Nggak mau? ya sudah!" tambah Inez, sebelum mengulaskan senyum tipisnya, beradu pandang dengan Agam yang mengambil alih botol air pemberiannya.
Menenggak air bersama, sesaat setelah membuang pandangan kompak ke sembarang arah, berusaha menetralkan rasa terkejut yang ada di diri keduanya.
Bersambung.
Gerimis mulai menyapa, tepat di saat selesainya acara makan malam untuk merayakan hari jadi pernikahan Inez dan juga Agam yang kedua. Kini sepasang suami istri yang sedang berbahagia telah berada di dalam mobil yang di kendarai oleh Agam.Saling melempar senyuman, tak lagi bisa menyembunyikan binar kebahagiaan yang terlihat begitu jelas kentara dari binar di sorot mata keduanya, saling bergenggaman tangan, dan berkali kali, hampir tak berhenti Agam mencium punggung tangan Inez melampiaskan rasa beryukurnya."Terimakasih Yang, Ya Allah... apa kamu nggak tahu gimana bahagianya aku sekarang?" ucap Agam, kembali mencium punggung tangan istrinya yang telah merona tersenyum senang.Membagi fokusnya antara jalanan dan juga istrinya, akibat berita bahagia yang baru di sampaikan Inez kepadanya beberapa jam yang lalu, sewaktu masih menikmati makan malam sungguh berhasil membuncahkan rasa haru dan juga bahagia di dada Agam, bersora
"Halo Yang," suara Agam, sesaat setelah menggeser layar ponsenya. Merasa begitu bersalah, "Gagal lagi gagal lagi! gagal terus!" batin Agam berteriak, merasa kesal dengan kejutannya yang selalu saja gagal tak pernah bisa berhasil.Dan terdiam, mendengar suara isakan tangis istrinya yang terdengar khawatir menanyakan keadannya. "Kamu nggak papa kan Yang? masak ada orang kesini ngaku karyawan kamu dan bilang kamu pingsan Yang,"Entah kenapa, terdengar begitu melow, semakin mengembangkan rasa bersalah di hati Agam, meraup wajah tampannya frustasi."Aku...,""Kamu dimana? kamu baik baik saja kan Yang?"Semakin membuat Agam dilema, harus meneruskan sandiwaranya atau mengh
Minggu telah bergulir, bertemu dengan Minggu Minggu setelahnya menambahkan jumlah bulan yang telah di lewati oleh Agam dan juga Inez.Yang kini telah meneguk manisnya kesembuhan total, tanpa rasa sakit ataupun ketakutan yang menguasai sebelum melakukan hubungan intim.Sudah berganti menjadi gairah yang membahagiakan, yang harus segera di tuntaskan hampir setiap harinya dengan perasaan yang begitu bahagia sebelum di terbangkan ke awan oleh permainan Agam yang selalu saja luar biasa.Tepat di usia pernikahan keduanya yang sudah menginjak usia dua tahun, tepatnya sehari sebelum merayakan aniversary pernikahan yang ke dua, terlihat Inez, sedang mengayunkan langkahnya keluar dari kamar mandi.Terus saja memasang senyum di bi
Pagi mulai menyapa, di tandai dengan hangatya sinar mentari yang kembali bersinar, baru datang dari peraduan tepat di pukul tujuh pagi.Terlihat Agam, sedang tidur berbaring di atas ranjangnya, memeluk sayang istrinya yang masih memejamkan mata di dalam pelukan. Akhirnya bisa meneguk manisnya rasa klimaks yang sempat tertunda akibat gangguan dari Aga.Melakukan pertempuran yang begitu luar biasa nikmatnya, selepas shubuh setelah sempat ketiduran di kamar tamu bersama dengan Aga, berhasil membuat istrinya itu kelelahan."Selamat pagi Yang," goda Agam, memainkan bulu mata lentik Inez, mengecup dahi istrinya yang menggeliat merasa terganggu dengan sentuhannya."Apa sih Yang, aku capek," lirih Inez, masih memejamkan matanya
Hasrat yang menguasai, seolah tak mampu lagi di bendung oleh Agam yang kini sedang mempermainkan buah dada istrinya yang begitu kenyal dan menantang.Tak lagi menggunakan jemari tangannya yang sekarang sudah bergerilya menelusup dan membelai punggung putih Inez yang masih tertutup baju, namun sudah menggunakan bibir tebalnya untuk menghisap dan menggigit ujung buah dada yang kian menegang.Hampir berhasil memporak porandakan konsentrasi Inez yang masih melakukan panggilan telepon, berusaha keras untuk tetap sadar tak mengeluarkan desahan, mendorong kepala suaminya pelan. "Yang!" lirih Inez, dengan deru nafasnya yang hampir memburu menekankan. Harus bisa mengatasi gairah yang kini telah bersemayam, menjauhkan kembali ponselnya dari telinga.Namun Sayang, Agam yang tak lagi terkontrol, sama sekali tak menggubrisnya, mengacuhkan dirinya yang masih melakukan panggilan telepon tetap melakukan aktifitas yang membuatnya kian melayang."Ha
Suasana hening yang menyelimuti ruang tamu di unit apartemen Agam dan juga Inez, akibat rasa bingung yang melanda hati melihat gurat sendu di wajah tampan Aga. Membuat keduanya saling diam, hanya memperhatikan Aga yang terdiam masih menundukkan kepala."Jadi boleh nggak Kak?" tanya Aga, setelah beberapa menit membisu, kembali memandang Inez yang tersenyum mengangguk palan."Yang!" lirih Agam.Mengalihkan pandangan Aga, "Nggak boleh ya Om?""Bukannya begitu, tapi kami nggak mau di sangka menyembunyikan anak orang karena kamu yang nggak izin sama Papa kamu," sahut Agam.Menganggukkan kepala Inez membenarkan. "Benar kata Om Agam, Pak Dafa pasti khawatir,"Papa nggak mungkin khawatir Kak, harus berapa kali aku bilang, kalau Papa nggak mungkin khawatir," sahut Aga emosional, menampakkan kesenduhan di netra matanya yang berkaca kaca."Aga sudah makan malam?" tanya Inez, lebih memilih untuk mengalihk