Share

MARKO

Kulitnya yang sawo matang terlihat sehat, hidungnya mancung dengan mata besar yang berbinar. Untuk ukuran pemuda berusia dua puluh tiga tahun, tubuhnya terbilang cukup tinggi, Biola hanya selehernya saja.

Semua pendapat yang dominan memuji itu terus mengisi kepala Biola sejak pertama kali dia bertemu mata dengan Marko, Asisten Kepala Toko Buku yang baru.

***

"Hari ini ada suplai baru dari pusat, tolong di-cek ya apa semuanya udah benar," perintah Biola berusaha terlihat biasa saja.

Alih-alih menyahut dengan jelas dan lantang, Marko justru mengumbar senyum yang tampak nakal, membuat Biola bergidik ngeri.

Apa maksud tatapan bocah ini? batin Biola kebingungan.

"Kenapa kamu ngeliatin saya kayak gitu?!" tanya Biola terus terang, mulai terusik.

"Ah, maaf." Marko malah memberi respons setengah hati sambil tertawa kecil, membuat hati Biola justru tambah jengkel. "Saya terlalu fokus ngeliat muka Kakak makanya saya jadi nggak fokus sama apa yang Kakak bilang."

Biola melongo, baru kali ini dirinya dibuat bungkam oleh pemuda yang jauh lebih muda darinya. Bukan perasaan berbunga yang dia rasakan, justru campur aduk antara kesal dan bingung. "Hah? Maksud kamu apa?! Kamu kira kerjaan ini bercandaan apa?! Kamu nggak anggap serius tugas yang harus kamu kerjain, ya?!" Lantas dia meradang, memang sudah sewajarnya.

Bukan kata maaf yang keluar dari mulut seorang Marko, justru tangan kanannya terangkat. Biola kaget bukan kepalang, jantungnya berdebar lebih kencang. Mungkinkah Marko berani selancang itu untuk menaruh tangannya di kulit Biola yang merupakan atasannya sendiri? Apakah dia betul-betul seorang pemuda gila yang nekad?

Dan benar saja, ujung jari telunjuk pemuda itu menyentuh kulit kuning langsat milik Biola.

Sedetik setelah kembali ke mode normalnya, Biola bersiap untuk memukul Marko, sebelum mulut pemuda itu kembali terbuka, "Ada tinta pena di pipi Kakak."

Sekujur tubuh Biola membeku, untuk sesaat nyawanya seakan melayang. Setelah diam beberapa detik, dia bergegas ke sebuah sudut untuk bercermin. Mulutnya menganga agak lebar ketika dia sadari memang ada goretan pena tinta biru di sepanjang pipi kanannya.

Sial ...!

Biola meradang dalam hati. Sudah terlanjur dia mengira Marko punya niat lain terhadapnya, rupanya ini yang dia maksud!

Lagipula, pikirnya, dari mana tinta pena ini muncul? Kapan secara ceroboh dan tidak sadarnya dia menorehkan tinta pena ke mukanya sendiri? Bagaimana bisa dia alpa terhadap sesuatu yang memalukan seperti ini?!

Biola terus-terusan menggerutu dalam hati, sebelum Marko kembali mendekat lalu berbisik tepat di samping mukanya, "Maaf kalau nggak bilang dari tadi."

Sial! Sial! Sial!

Biola mengumpat lagi dalam hati. Sudah sejak kapan tepatnya wajahnya memiliki torehan tinta pena seperti ini? Bocah ingusan gila! pekiknya dalam hati.

***

"Eh eh, asisten toko yang baru ... udah pada liat, kan?"

Langkah Biola tertahan ketika dari luar toilet dia mendengar suara samar-samar.

"Pak Marko, ya?" Suara yang lain menyahut antusias.

"Kayaknya nggak perlu nyebut dia 'pak', deh ... masih muda banget, loh! Kayaknya seumuran sama kita-kita."

"Masa, sih? Pantesan mukanya imut-imut gitu!"

"Iya ... cakep banget kan ya!"

Biola memejamkan mata kuat-kuat, dia sudah tahu dari mana sumber suara-suara itu, itu pasti para karyawan perempuan.

"Jadi pengin kenal lebih dekat deh! Selama ini bosan banget ngeliat muka Mbak Biola lagi, aduh ... muka asemnya itu loh!"

Kedongkolan Biola makin bertambah-tambah ketika dia mendengar para karyawan itu bergosip miring tentangnya. Memang bukan rahasia lagi, kebanyakan karyawan perempuan memang tidak begitu menyukainya sebab dia begitu tegas, kesalahan sekecil apa pun tidak akan lepas dari mulut pedasnya.

Suara-suara sumbang itu sekejap padam ketika pintu toilet terbuka, betapa terkejut mereka saat mendapati sosok Biola dengan muka masamnya.

"Mbak ... Mbak Biola ..."

Karyawan-karayawan perempuan muda itu panik, kompak mundur beberapa langkah. Seperti baru melihat penampakan hantu, mereka memucat.

"Hebat ya, waktu istirahat dipake bukan buat hal positif, malah ngegosip!" damprat Biola kesal.

"Ma-maaf, Mbak ... kami--"

"Kak Biola."

Kemunculan sebuah suara halus mengejutkan mereka semua. Biola langsung menoleh ke arah sumber suara. Sosok Marko lengkap dengan senyum semringahnya berjalan agak tergesa-gesa mendekat.

Kening Biola mengerut, tampak tak menyambut sama sekali. Sekarang apa lagi? batinnya jengkel.

"Kak Biola, mau makan siang sama-sama?"

Kening Biola tambah berkerut ketika pertanyaan itu diajukan oleh Marko. Bocah tengik ini ... setengah berlari ke arahnya ... hanya untuk ... menanyakan hal itu? Biola kebingungan dengan mirisnya.

"Saya baru di sekitar sini, belum tau makanan apa yang enak di kafetaria," ujar Marko seperti bocah pengadu yang manis.

"Saya tau, Mas! Mau saya temani?!"

Dan secara luar biasanya, salah satu karyawan perempuan itu menyahut dengan penuh percaya diri sambil merapat manja kepada Marko.

Biola mendengkus lebih kesal lagi, bagaimana tidak? Baru sebentar tadi Biola mengkritik sikap mereka, tapi sekarang mereka justru tanpa malu-malu menunjukkan ketertarikan di depan Marko. Sungguh tidak punya rasa malu sama sekali!

Meski Biola sebetulnya tidak ingin terlibat dengan urusan sepele Marko, tapi demi untuk menyingkirkan karyawan-karyawan genit itu, Biola memilih untuk ikut turun tangan.

Agak kasar, ditepisnya karyawan itu dari sisi Marko. "Minggir. Mending kalian fokus aja sama kerjaan kalian. Mumpung sekarang lagi break time, ya pakelah buat hal yang bermanfaat! Sana makan, minum dulu! Jangan malah ngegibah kalian di sini!" damprat Biola, lalu dia beralih kepada Marko dengan setengah hati. "Kita ke kafetaria sekarang!" putusnya seenaknya.

***

"Saya sempat salah paham tadi," ujar Marko saat keduanya tengah berjalan menuju kafetaria.

Alis Biola terangkat satu. "Maksudnya?"

"Ya ... saya kira Kak Biola nggak suka sama saya, benci sama saya, ternyata saya aja yang terlalu overthinking, ya. Kakak mau nemani saya makan juga," ucap Marko penuh percaya diri.

Lagi-lagi omongan nih orang bikin bulu kuduk merinding! pekik Biola dalam hati.

"Jangan salah sangka, justru saya temani kamu karena memang udah tugas saya untuk membantu kamu, dalam hal sekecil apa pun." Biola mencoba merespons sedatar mungkin.

"Saya bayarin makan siangnya, deh!"

"Nggak perlu, saya juga punya uang, kok!" Biola menolak mentah-mentah.

Alih-alih menerima dengan pasrah, Marko justru merapatkan tubuhnya kepada Biola. "Ini ucapan terima kasih, dan anggaplah juga sebagai sapaan dari saya, kan saya orang baru di sini, semoga ke depannya kita bisa jadi akrab!" katanya penuh harap.

Biola tak bisa diam saja jika sudah begini. Begitu mereka sampai di pintu kafetaria, Biola berbalik badan. "Saya cuma akan kasih tau kamu menu rekomendasi di sini, nasi omlet enak, soto juga enak! Atau apa pun yang mau kamu makan, terserah! Saya balik sekarang, ada hal lain yang harus saya kerjakan!"

Biola berlalu begitu saja, bahkan tak memberi kesempatan untuk Marko menyusulnya.

"Eh? Kak Biola ..." Hanya wajahnya saja yang terlihat agak kecewa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status