Share

PENERIMAAN

Terdengar langkah berderap dari arah punggung Biola ketika dia hendak masuk ke dalam lift, namun dia memilih untuk tidak acuh saja. Ketika pintu lift terbuka, dan Biola masuk, seseorang ikut masuk dengan agak tergesa-gesa di sampingnya.

Aroma parfum maskulin dengan sedikit aroma manis menguar menyapa indera penciuman Biola dan dia segera tahu siapa orang yang kini berada satu lift bersamanya, Marko.

"Kak Biola mau ke kafetaria, kan? Kita break sama-sama aja, ganti yang kemarin," ujar Marko seenaknya sendiri.

Sebetulnya Biola ingin tak acuh saja, tapi ucapan Marko kali ini tidak bisa dia abaikan begitu saja. "Kamu ini udah kayak hantu aja ..." gerutunya pelan secara spontan.

"Saya ini kan asisten Kakak, artinya saya harus berada di dekat Kakak terus." Marko tersenyum jahil, membuat Biola ingin segera melarikan diri dari sana.

Walau sesungguhnya Biola ingin meninggalkan Marko lagi seperti semalam, tapi gejolak lapar yang menyerang perutnya terlalu sulit untuk dia tepis.

Apa boleh buat, pikirnya, tampaknya kali ini dia harus menerima Marko sebagai teman makan siangnya.

"Nasi omlet yang kemarin Kakak rekomendasikan ke saya memang enak loh, Kak, saya suka, saya mau pesan itu lagi," ungkap Marko setelah mereka duduk berdua pada sebuah meja.

Siapa juga yang tanya! Lagian, kemarin aku kan cuma asal jawab! damprat Biola dalam hati.

***

Sepanjang sepuluh menit pertama, Biola nyaris tidak mengindahkan kalimat apa pun yang keluar dari mulut Marko. Sebaliknya, Marko berceloteh panjang lebar, kebanyakan adalah pertanyaan soal seputar pekerjaan Biola, termasuk pengalamannya selama ini, tapi Biola hanya menjawab dengan setengah hati saja, berharap Marko akan menyerah dan berhenti bicara dengannya.

Biola seakan sudah buntu, dia mengeluarkan sebuah buku dari tas sandang kecil yang dia bawa, berharap dengan dirinya asyik membaca, Marko akan diam dengan sendirinya.

Alih-alih dibuat bungkam, Marko justru mengenal buku yang dibaca oleh Biola.

"Wah, novel Still ya, Kak? Nggak nyangka saya, ternyata Kakak suka baca novel picisan kayak gitu, ya."

Tubuh Biola menegang seketika.

Tunggu dulu, apa yang baru saja dikatakan bocah ini? batinnya mulai terusik. Novel picisan?

"Ini?" Biola mengangkat novel itu ke depan mukanya sendiri. "Ini yang kamu sebut novel picisan?! Tau apa kamu soal novel?!" dampratnya jengkel betulan.

"So-sorry, Kak ... saya bukan bermaksud nyinggung Kakak, tapi saya kira Kakak bukan tipe orang yang akan baca buku kayak gitu, saya cuma kaget--"

"Buku kayak gitu?! Maksud kamu?!" Biola justru tambah meradang dibuatnya.

Secara tidak langsung dirinya baru saja direndahkan oleh Marko, Marko baru saja menyebut dirinya tidak intelek alias bodoh.

"Kamu ini--"

Baru saja Biola mengangkat tangan, berniat untuk memukul Marko dengan geram, tapi suara bunyi ponsel Marko mengurungkan niatnya.

"Bentar, Kak!" ucap Marko seraya bergegas mengangkat panggilan telepon tersebut.

Kamu beruntung sekarang, bocah tengik, batin Biola jengkel.

Marko berdiri, menjauh sedikit dari meja tempatnya duduk bersama Biola lalu menyahut panggilan, "Halo, Gi? Ada apa? Abang masih kerja."

Tak bisa dihindarkan, secara otomatis Biola tersedot ke dalam percakapan itu, dia ingin tahu kelanjutannya seperti apa. Sedang bicara dengan siapa Marko kira-kira? Dia tak ingin menguping, tapi dirinya juga sulit untuk tidak menguping, Biola menyingkirkan novel di tangannya lebih dulu agar bisa mendengar lebih jelas percakapan Marko.

"Iya ... soal itu ... Abang minta maaf ya, nanti Abang bakal transfer lagi, oke? Tolong ngerti sedikitlah ... nanti Abang bakal ngomong sama Ibu juga. Iya ... oke, bye."

Telepon terputus kemudian. Suasana yang tadi agak cerah berubah menjadi sendu, raut muka Marko yang sebelumnya jahil dan hangat tampak layu tak bersemangat. Ragu-ragu, Biola memberanikan diri untuk bertanya,

"Kenapa? Ada masalah di rumah? Maaf kalau saya lancang bertanya, ya."

Seketika senyum lebar yang tampak dipaksakan menghias wajah tampan Marko. Seraya dirinya kembali ke tempat duduk, dia hanya menggeleng pelan dengan senyum tawar di wajah.

"Biasalah, urusan keluarga."

Biola tak ingin tahu masalah pribadi Marko sebetulnya, tapi mengingat bagaimana biasanya pria itu amat cerah dan penuh semangat, rasanya sangat asing melihatnya demikian murung.

"Terlalu personal?" selidik Biola tanpa sadar terkesan ingin tahu.

"Nggak juga kok, Kak. Saya nggak malu juga buat ngasih tau Kakak, tapi saya takut malah bikin Kakak nggak nyaman kalau saya bicara terlalu dalam tentang keluarga saya."

"Apa?" tuntut Biola makin ingin tahu.

"Ya, ibu saya lagi sakit sekarang, lagi dirawat di rumah sakit, dijaga sama adik laki-laki saya," keluh Marko, matanya menerawang tapi kosong. "Saya punya abang, tapi abang saya juga nggak bisa terlalu diandalkan. Mau nggak mau, semua harus saya yang urus. Agak menyedihkan ya, tapi begitulah keadaannya. Makanya ... saya bersyukur banget bisa diterima kerja di sini, saya udah beberapa bulan ini nganggur, dan bingung juga harus kerja apa lagi. Syukurlah HRD menerima saya."

Biola tanpa sadar merasakan iba yang amat besar bagi Marko. Tampaknya dari luar, Marko tak lebih dari seorang pemuda konyol, jahil, nan iseng, tapi siapa sangka, di balik wajah menyebalkannya itu, tersimpan masalah besar yang harus dia tanggung seorang diri.

Ditambah lagi, sejak semula, Marko begitu terbuka dan hangat terhadapnya, tapi justru Biola lah yang terlalu keras terhadapnya, memandangnya sebelah mata, dan justru memperlakukannya seperti seorang senior jahat memperlakukan seorang junior tak bersalah.

Barangkali Marko hanya terlalu antusias lantaran diterima bekerja di tempat yang bagus dan dia impikan, dan tentu dia ingin betah, berusaha mengenal lebih dekat semua karyawan yang lebih senior darinya, tapi mengapa Biola harus bersikap begitu pahit kepadanya? Mendadak Biola merasa bersalah.

"Semoga ibu kamu cepat sembuh, ya ..." ucap Biola tulus, dengan mata sayu menatap Marko.

Alih-alih tersentuh, Marko justru tertawa kecil. "Jangan liat saya dengan mata kasihan kayak gitu, Kak. Saya merasa nggak nyaman dikasihani, he he."

"Kamu juga!" damprat Biola tak bisa mengontrol diri. "Jangan pura-pura kuat kalau emang kamu capek! Jangan pura-pura sok tegar kalau emang kamu lagi ada masalah!" tambahnya.

Perubahan sikap yang cukup drastis itu tampak sangat mengejutkan Marko. Jangankan Marko, Biola sendiri tak percaya dirinya baru saja mengatakan hal seperti itu di depan Marko.

"Kak Biola ..."

"Udahlah, lupakan aja, intinya kamu harus bertahan terus ya! Selamat datang dan selamat bergabung! Semoga kamu betah dan nyaman kerja di sini sama saya! Tetap semangat, ingat ibu kamu, ingat adik kamu, itu aja yang harus kamu perjuangkan!"

Petuah sungguh-sungguh yang meluncur dari mulut Biola sukses menciptakan rona merah di pipi Marko. Ini adalah pertama kalinya secara formal Biola menerima Marko sebagai asistennya.

Tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, wanita yang sebelumnya bersikap seperti peti es tiap di depannya tiba-tiba berubah menjadi begitu manis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status