Share

IV. Up to you

Sejak kemarin suasana hatiku menjadi sangat buruk setelah mengetahui kabar kehamilan Haura. Tidur tak nyenyak, makan tak enak, beraktivitas tak ada minat. Seharian aku menangis, membayangkan hal yang pernah Yunanda janjikan padaku. Ia pernah bicara padaku bahwa ia tak mencintai Haura, ia menikahi Haura hanya demi impiannya untuk berkecimpung di dunia politik, dan untuk mewujudkannya ia harus menikahi Haura yang memiliki koneksi kuat dari sang ayah yang merupakan konglomerat sekaligus pemilik partai. 

Harusnya akulah yang pergi, sudah tentu pasangan yang tidur diranjang yang sama dapat melakukannya, semua itu bisa saja terjadi tanpa sepengetahuanku.

"Jangan menangis," Tubuhku refleks tersentak kala Immanuel memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu.

Aku memiringkan wajahku agar Immanuel tidak melihatnya, "Lain kali buka pintu!" ketusku.

"Ya ya ya, ayo keluar. Pacarmu sedang menunggu," ujarnya. 

"Memangnya kau tau siapa pacarku? Bahkan tetanggaku saja tidak ada yang tau," cicitku. 

"Dia menggunakan mobil mewah berwarna putih, pakaiannya rapih dan ya... Wajahnya lumayan walau tak setampan diriku."

Omong kosong. Aku bahkan tak pernah memberitahu soal hubunganku dan Yunanda kepada siapapun. Jika itu memang Yunanda, aku tak bisa terang-terangan berinteraksi dengannya di depan Immanuel.

"Apa kau membukakan pintu untuknya?" tanyaku. 

"Tidak. Aku hanya melihatnya dari jendela di atas."

"Tolong diam di kamarku dulu, dan jangan keluar sampai aku memanggilmu," pintaku.

"Kuberi waktu 30 menit, setelah itu aku tak peduli boleh atau tidak, aku akan keluar dari kamar sesuai kemauanku."

"Satu jam?" tawarku. 

"30 menit atau tidak sama sekali."

"Baiklah."

Aku segera berlari menuju pintu utama rumah, tapi sebelum membukanya, aku menyeka sisa-sisa air mataku terlebih dahulu.

Pintu dibuka, dan memang benar itu Yunanda. Dia berdiri dengan wajah sedih di hadapanku, tak sampai sedetik, kurasakan pelukan hangat ditubuhku. 

Aroma parfum yang sudah lama tak menyapa indera penciumanku, akhirnya dapat dipertemukan lagi. Aku rindu Yunanda, aku rindu aroma tubuhnya, aku lebih rindu lagi pada sentuhannnya. 

Bagaimana bisa aku berpisah dengan laki-laki yang memelukku seakan tidak pernah mau melepaskanku. Terlalu sering bersamanya membuatku sulit berpisah dengannya.

Aku melepas pelukan Yunanda dari tubuhku "ayo bicara di dalam," ajakku. 

Kami memasuki rumah dan duduk di sopa yang sama. Ia memelukku lagi, kali ini lebih erat dan aku seperti bisa merasakan apa yang ia rasakan. Raka sangat mencintaiku, aku pun begitu.

"Selamat," ucapku tanpa keterangan lebih jelas.

"Kau marah padaku, kenapa tak membalas pesanku?" tanyanya. Aku tahu Yunanda memahami ucapanku tadi, tapi dia tidak ingin memperpanjangnya, jadi ia mengalihkan pembicaraan. 

"Entahlah, mungkin nanti akan kututup semua akses komunikasi denganmu," kataku sambil tersenyum pedih.

"Aku tidak akan membiarkannya. Jangan mengabaikan pesanku lagi, aku bisa bertindak lebih jauh," jelasnya. 

"Tapi kau akan segera memiliki seorang anak. Aku yakin, perlahan-lahan kau akan melupakanku."

"Tidak akan pernah, aku akan selalu ada untukmu. Bukankah kita sudah membuat rencana bersama untuk lima tahun ke depan, kau hanya perlu menunggu sebentar lagi."

"Tapi---"

Yunanda menempelkan jari telunjuknya tepat dibibirku, tak membiarkanku berbicara lagi. "Percaya padaku."

Kemudian ia melumat bibirku, pelan-pelan, aku mulai tergoda dengan permainan bibirnya. Aku juga merindukan yang satu ini.

Kami saling membalas ciuman hingga tanpa sadar tanganku sudah mengalung pada lehernya. Tempo ciuman kami semakin cepat, ia menelusuri lidahku, dan yang kurasakan saat ini adalah menginginkannya lagi dan lagi. 

Lalu dia beralih ke leher, melumat dan mengemutnya hingga aku sedikit mengeluarkan desahan. Tanggannya mulai berkeliaran pada kedua buah dadaku, sedikit meremasnya. 

Dan ketika tangan yang satu mulai mengusap lembut bagian inti yang masih tertutupi celana pendek, aku segera mendorong Raka dari tubuhku. Adegannya akan semakin panas jika terus kubiarkan. 

"Jangan lagi," pekikku.

Sekarang posisi tubuhnya sedikit menjauh dariku.

"Siapa yang datang bersamamu waktu itu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. 

"Itu tidak penting lagi."

"Tentu saja itu penting karena kau adalah milikku."

"Tapi kau bukan milikku," sentakku. 

Yunanda terdiam, sedangkan aku mulai menangis tanpa suara. Aku mengingat kejadian kemarin dengan baik, saat Haura mengumumkan kebahagiaannya. Seorang anak yang tengah dikandungnya, suatu hari nanti juga bisa menjadi penguat hubungannya bersama Yunanda.

Sepertinya hubungan kami memang cukup sampai di sini. Rencana masa depan yang sudah kami atur, perjuangan yang sempat kami bicarakan, sekarang semua hanya sekedar harapan yang tak akan kami wujudkan. 

Pada titik ini aku telah menyerah, aku sudah tak ingin melanjutkannya lagi. Mungkin kali ini Yunanda menerima keputusanku, dia sudah pasrah dengan hubungan kami yang kandas hari ini.

"Mari kita akhiri ini."

"Up to you."

*   *   *

Malam ini Immanuel tak pulang, harusnya ia sudah berada di rumah tepat pukul 10, tapi aku menunggunya hingga jam 12, masih tidak muncul juga batang hidungnya. 

Ini bukan karena aku mengkhawatirkanya, aku lebih mengkhawatirkan jam tidurku. Tetapi dia adalah penyewa di rumahku yang kebetulan tidak membawa kunci cadangan. 

kemana perginya anak itu sampai tengah malam minggu begini, apa dia sedang menghabiskan malam minggu dengan kekasihnya? 

6 jam lalu, sebelum ia pergi, aku sempat mendengarnya berbicara dengan seorang perempuan, setelah panggilan selesai ia pun langsung pergi meninggalkan rumah. mungkin itu pacarnya.

Aku juga pernah muda, pernah juga menghabiskan seharian penuh dengan Raka, namun setidaknya dia minta izin dariku agar aku tak perlu menunggunya. karena aku menganggap normal remaja yang pergi saat malam minggu, toh itu urusan pribadi. 

Beberapa kali aku mengirimnya email, namun tak ada balasan. lagi-lagi aku lupa meminta nomor whatsappnya. 

Keadaan di luar hujan, tidak begitu deras. Apa Immanuel akan menginap di rumah temannya?

Tok Tok Tok Tok

Suara pintu diketuk, ketukannya seperti tengah menggerutu, ingin segera di bukakan pintu. Pikiranku mengatakan bahwa itu adalah Immanuel. 

"Iya," ujarku setelah membukakan pintu. 

Ada seorang gadis berpakaian casual yang membopong laki-laki seumurannya dengan susah payah. Dia cantik, tapi raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan keramahan.

"Tolong bawa Gabriel masuk, di luar dingin," ucap gadis itu kepadaku. 

"Gabriel?"

"Iya," ketusnya.

Akhirnya, aku pun membantu membopong Immanuel menuju sopa. Kami merasa tidak cukup kuat membawanya ke lantai atas. 

Sekali lagi, raut wajahnya benar-benar tak ramah. Ia terlihat tak menyukaiku atau mungkin dia memang begitu. Kurasasa dugaan kedua adalah yang paling tepat. Aku tak pernah melihat orang itu sebelumnya, jadi mana mungkin ia tak menyukaiku. 

"Tolong jaga dia," titipnya.

"Jangan khwatir, aku sudah menganggapnya sebagai adikku," kataku. 

"Sungguh?" Dia memandangiku ragu, "Apakah kau tau dia menganggapmu apa?" tanyanya. 

"Maksudmu?" Aku bertanya balik.

"Sebenarnya dia itu..."

"Apa?" sentakku menuntut penjelasannya. 

"Lupakan saja," putusnya.

Dia mengabaikanku, dan tanpa sopan santun hendak pergi dari rumahku tanpa pamitan. Tidak tahu didikan!

"Siapa namamu?" tanyaku sebelum ia keluar rumah. 

Gadis itu menoleh padaku "Veronika."

Aku ingat nama itu, sempat dibicarakan Immanuel kepadaku. Ia pergi keluar rumah dengan sedikit bantingan pada pintu. Sumpah, aku ingin memarahinya, hanya saja ini sudah larut malam, tak enak jika terdengar oleh tetangga. 

Mungkin ia sedang memiliki masalah dengan Immanuel, kebetulan ada aku, dia jadi marah padaku. Perasaan perempuan memang mudah sekali berubah-ubah, aku paham akan itu. Tapi jujur saja aku sangat tersinggung dengan perlakuannya yang sangat tak ramah padaku yang lebih tua darinya. 

Dia seperti cemburu padaku, atau mungkin memang dia cemburu padaku? Bisa jadi ia seperti Yunanda yang tak suka melihat pasangannya berinteraksi bersama lawan jenisnya.

Entahlah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status