Share

V. Bersinar di langit

Sudah seminggu tidak kudapatkan kabar tentang Yunanda, dia sudah lenyap dari hidupku. Yang tersisa hanya kenangan dengannya yang tak akan terulang lagi.

Selama itu juga aku hanya berdiam diri di dalam rumah, tidak memiliki rencana untuk keluar dari sangkar sepi ini. Waktu kosongku hanya dipenuhi rutinitas sederhana yang diselingi mengirim pesan atau email kepada beberapa tempat yang tengah membutuhkan seorang pekerja. Tidak ada yang begitu berkesan. 

Aku juga sudah jarang mengontrol Immanuel yang jam pulangnya semakin tak beraturan. Terkadang anak itu mengajakku keluar, entah ke super market atau semacamnya. Tapi aku selalu menolaknya.

"Mau ikut?" tawar Immanuel tiba-tiba. Aku sedang duduk di sopa, Immanuel baru saja turun dari lantai dua. 

"Kemana?" tanyaku. 

"Kemana saja mumpung malam minggu," jawabnya seraya meminum kopi yang tersedia di atas meja. 

"Itu punyaku!" keluhku. 

Immanuel tak menghiraukan soal kopi, ia kembali ke topik sebelumnya. "Mau ikut atau tidak, di sana ada pemandangan yang bagus, kalau tidak yasudah."

"Aku ikut, sudah terlalu jenuh."

Aku mengganti bajuku terlebih dahulu sebelum pergi bersama Immanuel. 

Ngomong-ngomong aku penasaran, mengapa Immanuel mengajakku? Apa mungkin karena kasihan. Ya, mungkin dia kasihan melihatku yang selama seminggu ini sering mengurung diri di kamar. 

Saat keluar rumah aku sedikit terkejut dengan motor sport yang ada di halaman rumahku, sebelumnya tidak pernah ada motor sport yang terparkir di sini, apalagi kendaraan milik tetangga, tak pernah ada. 

Aku melirik Immanuel, ia menaikan kedua alisnya ketika pandangan kami saling bertemu, "punyamu?" tebakku.

Immanuel mengangguk kemudian berkata, "Kau terlalu sering berdiam diri di kamar hingga tak mengetahui kalau aku telah memiliki motor. Ini harganya sangat mahal," tuturnya. 

"Apa orang tuamu yang membelikannya?" tanyaku penasaran.

"Aku yang membelinya sendiri."

"Aku ragu, memangnya kau kerja apa hingga bisa membeli motor mahal?"

"Kerja disebuah tempat yang sangat keren. Lain kali akan kuajak kesana jika kau mau," ucapnya. 

Immanuel menyalakan motornya, bersiap-siap untuk tancap gas. Ia juga memakaikan helm untukku, sesuatu yang sebenarnya dapat kulakukan sendiri, tapi biarlah. 

Setelah semua siap, kami pun pergi tak tahu mau kemana, Immanuel juga tak bertanya, ia hanya mengendarai motornya menyusuri jalan raya. 

Ini malam minggu, sepanjang perjalanan terlihat banyak orang yang lalu lalang di atas trotoar. Seingatku pernah juga berjalan kaki pada malam minggu bersama Yunanda, tapi kejadiannya sudah sangat lama. 

"Mau kemana?" teriakku pada Immanuel. 

"Nanti juga tau," sahutnya.

Melihat begitu banyaknya makanan kaki lima disepanjang perjalanan membuatku lapar, mungkin nanti akan kuminta Immanuel untuk mampir ke beberapa tempat makan di pinggir jalan.

Angin malam menusuk tubuhku, bahkan pakaian tebal yang kukenakan tidak benar-benar berfungsi dengan baik. Motor yang Immanuel kendarai semakin melaju kencang, hal tersebut membuatku refleks memeluknya. Tidak ada sekat penghalang diantara kami, wangi parfum ditubuhnya dapat kucium, semakin tubuhku mendekat wanginya semakin menyeruak. 

Kata orang, kalau tidak memiliki wajah yang tampan setidaknya memiliki aroma yang wangi, tetapi Immanuel memiliki keduanya. Dia adalah definisi paket komplit. 

Akhirnya kami parkir disebuah pasar malam. Immanuel segera membawaku berjalan melewati pedagang kaki lima. Di sini jauh lebih ramai ketimbang dagangan yang kulihat di jalan tadi. Berbagai jenis makanan tertata rapih, langsung dapat kami lihat secara langsung. 

Ah, melihatnya saja sudah membuatku lapar. 

Pengunjung di sini juga jauh lebih ramai. Tentu saja, karena selain makanan yang menarik perhatian, beberapa spot di sini juga bisa dijadikan untuk mengambil sebuah foto. 

Lebih bagus kalau kemari bersama kekasih. Kalau tidak, kau hanya akan memperhatikan orang-orang pacaran yang mengambil foto atau bergandengan tangan sepanjang melewati pasar. 

Kemudian entah bisikan darimana, laki-laki di sampingku ini malah menggenggam tanganku. "Takut hilang."

Aku mendongak, melotot padanya. "Hey, yah. Aku hanya pendek, bukan tak kasat mata!" cicitku.

Immanuel tertawa kecil, "Aku hanya bergurau," ucapnya sambil mengelus rambutku. 

Bolehkah aku jujur? Hatiku sedikit menghangat mendapat perlakuan semacam itu darinya. Hal yang persis dilakukan Yunanda padaku dulu. Oh, kumohon aku ingin melupakan Yunanda.

Beberapakali jariku menunjuk dagangan yang menarik perhatianku, tubuhku juga hendak pergi kesana, namun Immanuem menahanku, dia mengatakan padaku agar tidak membeli apapun dulu, ia ingin menunjukan sesuatu padaku. 

Dan dengan berat hati kuiyakan. 

Laki-laki ini mulai menarik tanganku ketika sudah terlihat sebuah kedai mie ayam di depan kami. Immanuel menariku masuk ke dalam kedai tersebut, pengunjungnya lumayan banyak, tapi dia membawaku ke lantai atas, menaiki puluhan anak tangga hingga sampai di lantai tiga. 

Ternyat sebuah balkon di lantai tiga, ada satu meja yang ditengahnya terdapat kaca hias berisikan bunga mawar, sudah ada pula dua kursi yang seakan menyapa kami. 

Immanuel pun memberikan aba-aba lewat kedua matanya, dia mempersilahkanku duduk. Aku pun tanpa ragu menurutinya. 

"Kenapa hanya ada kita berdua?" tanyaku.

"Kebetulan saja tidak ada yang ingin berada di sini," jawabnya.

Serius? Balkon di lantai tiga ini adalah pemandangan terindah. Banyak lampu hias, spot menarik dan minimalis untuk mengambil foto, pemandangannya mengarah langsung keluar, menampakan aktivitas jalan warga beserta beberapa perumahan warga seakan kami bisa memonitor semuanya dari atas sini.

Tak lama seorang pelayan datang membawa dua mangkuk mie ayam, padahal kami belum memesannya, atau mungkin Immanuel yang memesannya. Tidak peduli ah, yang penting makan.

"Terima kasih," ucapku kepada pelayan laki-laki itu sebelum ia melenggang pergi.

"Mau kusuapi?" tawar Immanuel. 

"Tidak perlu," singkatku.

"Kau selalu terlihat pucat selama seminggu ini, aku tidak yakin kalau kau baik-baik saja. Apa kau putus cinta dengan Yunanda?"

Sontak, aku terkejut bukan main. "Darimana kau tau kalau aku berpacaran dengannya?" tanyaku penasaran. 

"Mudah saja. Saat kita memenuhi undangan, aku dapat melihat dengan jelas kalau laki-laki itu memandangimu bersamaku seperti seorang kekasih yang cemburu buta. Aku memang lebih muda darimu tapi tidak lebih bodoh."

Aku tidak pernah berpikir bahwa akan ada orang lain yang mengetahui hubungan itu selain aku dan Yunanda. Kami adalah pihak yang salah, namun sama-sama merasa tersakiti. 

Walau kami telah berpisah, apakah aku dapat tenang dengan satu orang seperti Immanuel yang mengetahui hubungan terlarang antara aku dan Yunanda? Sekarang aku mulai gelisah. 

"Lihat di belakangmu," kata Immanuel. 

Refleks aku menoleh ke belakang. Rupanya ada sebuah petasan yang dinyalakan secara beruntun dan bersinar indah di langit. Daridulu, aku sangat senang melihat petasan, sebuah keindahan yang ingin selalu berada di langit. 

Ini mengingatkanku pada momen saat masih menyewa rumah nenek Elish dulu, menonton petasan di balkon rumah saat malam tahun baru bersama Gabriel. 

Apa kabar dengan anak laki-laki itu? Jika boleh, aku ingin mengunjunginya, namun aku tidak tahu dimana ia tinggal. Mungkinkah nenek Elish masih hidup, atau mungkin tidak. Aku tidak tahu. Aku juga tidak tau apakah Gabriel akan mengingatku atau tidak. 

"Immanuel, apa kau membenciku?" tanyaku tanpa menatapnya.

"Tidak."

"Kalau begitu, ajaklah aku pergi ketika kau tak memiliki kesibukan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status