Share

VIII. IT

Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan memulai kembali rutinitas bekerja. Aku sudah mengenakan kemeja putih, cardigan berwarna hitam, dan rok hitam selutut. Setelan ini adalah salah satu dari banyaknya pakaian rapih yang ku-khususkan untuk bekerja. 

Sebelum berangkat, aku menyiapkan bekal terlebih dahulu untukku dan untuk Immanuel, anak itu sedang tak ingin sarapan di rumah, tapi aku tak seburuk itu untuk mengabaikan perut Immanuel. Ya, aku harus menyiapkan bekal juga untuknya dengan porsi yang lebih banyak daripada isi bekalku. 

Menunya seperti biasa, makanan instan berupa sosis, nugget, ditambah brokoli kukus. Aku juga memberi saus mayonaise agar menambah cita rasa. 

Immanuel baru saja turun dari lantai atas, raut wajahnya normal, seperti yang sering kulihat setiap harinya. Datar, seakan tak memiliki minat apapun. 

"Mana bekalku?" tagihnya. 

"Kukira kau tak mau," desisku seraya menunjukan kotak makan.

"Omong kosong, perutku juga butuh makanan," pekiknya. Dia menyambar kotak makan berwarna biru yang ada dimeja, kemudian mengambil kunci motornya dan berlalu keluar rumah. 

Aku segera mengambil kotak makan berwarna pink milikku, tak lupa membawa tas yang tergeletak di atas sopa. 

Immanuel masih berada di halaman saat aku tengah mengunci pintu rumah. Entah mengapa ia masih berada di sini, pikiranku sedikit menaruh curiga, sepertinya ia memang menungguku. 

"Kenapa belum berangkat?" 

"Menunggumu. Aku ingin berangkat bersamamu."

Alisku naik sebelah, "Tapi kau memiliki motor."

"Aku sedang menghemat biaya bensin."

Aku memutar kedua bola mataku setelah mendengar kalimatnya. "Motor bagus, tapi tak mampu membeli bensin."

"Bukan tak mampu, tapi hemat. Jangan sembarangan, uangku banyak."

"Sombong!"

Tak berlangsung lama, aku pun menghampiri mobilku, diikuti oleh immanuel yang sudah mengenakan seragam khas SMA. Sejujurnya, aku tak tahu letak pasti sekolah Immanuel, laki-laki itu juga tak mau memberitahuku, ia bersedia diturunkan di persimpangan.

Sekarang Immanuel mulai menyalakan musik lewat radio saat mobil baru saja melaju, dia mencari-cari lagu berisik kesukaannya. Akhirnya terputarlah lagu Yellow Claw berjudul dj turn it up, lagu yang berisik.

Ketika laki-laki di sampingku asik menggerakan kepalanya mengikuti irama lagu, aku segera mengganti lagu pada siaran radio tersebut sambil tetap menyetir. Sebuah lagu berjudul Bangun Cinta yang  dinyanyikan salah satu penyanyi cover. Immanuel yang menyadari itu menatapku tak suka. 

"Kau harus mendengarkan lagu yang tenang," ujarku. 

Immanuel menghela nafas panjang, kali ini ia tak berbicara banyak. "Turunkan aku di depan sana."

Aku menghentikan mobil, sementara itu immanuel hendak keluar dari mobil tapi aku menarik tangannya lebih dulu. Kami bertemu pandang sesaat, aku segera mengancingkan seragamnya yang sedikit tak beraturan itu, membenarkan kerahnya yang tak rapih. Yang terakhir, memakaikan dasi yang tadinya hanya ia lilitkan ke lehernya. 

Sebagai murid SMA, dia sama sekali tak memiliki nilai kerapihan.

Saat aku akan beralih memasukan bajunya yang tidak dirapihkan, tangan kuatnya secepat mungkin menahanku, "Jangan mendekat ke bagian sensitif."

Tubuhku memberi jarak darinya. "Aku hanya ingin membantumu," kataku. 

Immanuel mendekatkan mulutnya ke telingaku, kemudian berbisik, "Ada batasan-batasan yang tidak boleh kau lewati, jika kau melanggar, maka yang beristirahat akan bangun."

Keningku berkerut. "Bicara apa kau ini?"

"Sudahlah," ucap Immanuel sedikit frustasi. 

Immanuel keluar dari mobil, sementara itu aku langsung melajukan mobilku kembali, meninggalkannya sendiri di pinggir jalan yang mungkin butuh beberapa puluh kaki lagi untuk sampai di sekolahnya. 

Sekilas, aku meliriknya lewat kaca spion mobil. Immanuel masih berdiri di sana, mengamati kepergianku. 

Belum genap sebulan aku mengenalnya, kini aku menyadari bahwa hubungan diantaraku dan Immanuel sudah terjalin, hubungan harmonis antara pemiliki rumah dan penyewa, atau hubungan kami lebih dari itu? 

Entahlah. 

*   *   *

Pak Putra membawaku berkeliling perusahaan, dia juga mengajariku hal-hal yang harus kupelajari saat pertama kali berkecimpung di dunia IT. Karena aku tidak memiliki keahlian pada bidang tersebut, jadi Pak Putra mengajariku, dia bersedia melakukannya. 

Mungkin karena pengaruh Eka, jadi kurasa itulah sebabnya Pak Putra menerimaku yang tak memiliki keahlian di dunia IT untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan bersedia ia mengajariku. Bukankah untuk mendapatkan semua ini dibutuhkan koneksi yang kuat? 

Bukan hal yang baru bagiku bisa memiliki kesempatan bekerja di tempat yang bagus berkat koneksi. Di dunia pekerjaan, semua itu hal yang lumrah.

"Aku sudah berkecimpung di dunia IT selama 12 tahun lalu, belajar sendiri hingga mahir dan bisa merangkap mengerjakan beberapa spesialis IT. Kau memang tak memiliki pengalaman, sama sepertiku dulu, kau hanya perlu mengawalinya dengan belajar. aku percaya bahwa setiap orang dibekali sebuah bakat, tapi sebuah bakat itu dimulai dengan belajar, mendalami lagi dan terus menerus hingga mahir. Jika kau mau memulainya dengan belajar dan terus mendalami, aku pastikan kau bisa menguasai dunia IT."

Eka melambaikan tangannya ke arahku saat aku dan Pak Putra melewati sebuah ruangan berdinding kaca, gadis itu tengah berdiri didekat meja kerja. Kudengar Eka bertugas untuk mengontrol. Pekerjaan yang tak begitu sulit jika dipikir-pikir, tapi entahlah. Tidak seharusnya aku menyimpulkan demikian pada hari pertamaku bekerja.

Sekitar 1 jam aku berinteraksi dengan Pak Putra, laki-laki berusia 30-an itu pun akhirnya meninggalkanku dengan seorang laki-laki berkaca mata. Namanya Tirta, ia bekerja membuat aplikasi baru dan maintenance aplikasi sistem yang sudah ada sesuai requirement user.

Kesan pertamku saat bertemu Tirta, yaitu ramah, dia juga sangat profesional. Ia mengenalkanku dengan tugas yang dikerjakannya, "Dunia IT itu luas, spesialis dibidang IT tertentu sangatlah banyak. Sombong sedikit, aku sudah sangat mahir dibeberapa spesialis IT, sudah beberapa kali diincar perusahaan di luar negri, akhirnya aku memilih NT sebagai perusahaan tempatku bekerja," tuturnya. 

"Kira-kira, apa yang membuatmu lebih tertarik di NT?" tanyaku penasaran. 

Tirta menyanggah dagunya dengan tangan kananya, kemudain berkata, "Tentu saja karena kesepakatan yang sangat menjanjikan," jelasnya. "Bagaimana denganmu?"

"Perusahaan ini bersedia menerimaku yang tidak memiliki keahlian sama sekali."

"Sungguh? Apa bahkan kau tidak pernah kuliah dan mengambil jurusan teknologi informasi??"

Aku menggeleng kuat, "Tidak."

"Itu cukup aneh. Kau mau berbagi cerita pada jam istirahat? Kurasa kita perlu minum segelas kopi di lantai atas sambil membicarakan banyak hal. Tentunya mengenai pekerjaan juga," katanya. 

"Ya, kurasa kita perlu membicarakan banyak hal sebagai rekan kerja yang baru."

Kembali fokus pada pembahasan pekerjaan, Tirta mulai memaparkan mengenai spesialis yang dikerjakannya. 

Aku tidak bisa menyepelekan Tirta, dia tak kalah hebatnya dari Pak Putra pada pertemuan pertama. Walau NT belum seterkenal perusahaan IT lainnya, sepertinya perusahaan ini akan berkembang pesat lima tahun ke depan, mengetahui adanya orang-orang berbakat yang sudah didapatkan, salahsatunya Pak putra dan Tirta. Entah berapa banyak lagi karyawan yang sangat berbakat. Mungkin hanya aku yang tidak berguna.

Bisa berada di NT membuatku gugup. Astaga, aku berada disebuah perusahaan besar, dan anehnya meski aku tak memiliki keahlian sama sekali, perusahaan ini membuka tangannya lebar-lebar untuk menerimaku.

Harus kusebut keberuntungan atau apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status