Share

VII. Rabu

Aku diam termenung setelah obrolan penting berakhir. Pak Putra tak bisa diam begitu saja, aku tau dalam pikirannya sedang ada sebuah pertimbangan. Eka mengenalkanku pada Pak Putra, seseorang yang memiliki posisi tinggi di NT, perusahaan IT tempat Eka bekerja. Kudengar, NT adalah perusahaan yang baru diresmikan tahun ini.

Kami terlibat pembicaraan selama 1 jam penuh disebuah cafe. Walau Pak Putra sangat ramah padaku sepanjang pembicaraan, aku tidak berpikir bahwa itu menjadi sebuah keuntungan. Ramah bukan berarti harus memberi sesuatu yang orang lain mau.

"Kau terlihat sangat gugup," ujarnya.

Aku tersenyum malu kala mendengar kalimat itu. "Tidak begitu," kilahku.

Kulihat Pak Putra mengeluarkan sebuah pena, kemudian mencatat sesuatu pada kertas yang berada di hadapannya. Apakah itu ada hubungannya denganku?

"Mulai sekarang jangan gugup lagi," jelasnya, kujawab dengan sebuah anggukan. "Kau diterima."

Kedua bola mataku hampir lolos, aku kaget mendengar ucapan Pak Putra yang sangat enteng itu. Sungguh, semudah itu?

"Anda tidak bercanda 'kan?" kataku ragu-ragu.

"Apa aku seorang pelawak sehingga kamu menganggapnya sebuah candaan?" Dia malah bertanya balik kepadaku.

Aku menggeleng kuat.

"Kau diterima. Besok sudah mulai bekerja," ujarnya.

Separuh pikiranku masih tak percaya, tapi di sisi lain aku sudah senang bukan main, "Terima kasih."

*   *   *

"Sebelumnya, aku tidak pernah melihat seseorang menjadi gila setelah ia mendapatkan pekerjaan."

"Tutup mulutmu!" sentakku.

Setelah keluar dari cafe, aku langsung kembali ke mobil. Sudah ada Immanuel yang tak nampak senang melihatku tersenyum sepanjang jalan menuju mobil.

Kali ini aku mengenakan mobil karena motor milik Immanuel tak ramah untuk rambutku, helm dan angin saat menaiki motor dapat mengurangi nilai kerapihan. Immanuel menawarkan diri lagi untuk menyetir, dia berjanji tidak akan mengulangi keluhan jika aku mengobrol berjam-jam seperti halnya saat di apartemen Eka.

Jangan berpikir bahwa dia menawarkan diri untuk menyetir dengan sukarela, Immanuel meminta dua buah burger sebagai imbalannya. Sekarang aku percaya bahwa dia tidak benar-benar kaya.

"Keluarlah," pintaku.

"Kau mengusirku?" ucapnya tak percaya.

"Aku hanya ingin bertukar posisi, biar aku yang menyetir."

Immanuel turun dari mobil, aku segera berpindah ke kursi samping saat itu.

Raut wajahnya masam, apakah aku harus peduli soal itu?

"Cepat jalan, aku ingin segera mendapat jatahku," ucapnya setelah pindah tempat duduk.

Setelah mengenakan sabuk pengaman dan memastikan hal yang sama pada Immanuel, aku pun langsung melajukan mobil putih milikku yang kubeli satu tahun yang lalu ini. Ada tempat makan siap saji yang letaknya sekitar 500 meter darisini, itu tujuan utamaku.

Jalan hari ini cukup macet, namun tak separah kemacetan pada hari senin. Mungkin karena ada masalah lalu lintas  atau karena hal lainnya? Ngomong-ngomong, hari ini adalah tanggal merah, dan aku tidak mengecek lebih lanjut.

Ketika sedang menunggu kendaraan lain merayap, dari jarak 5 meter ada sebuah tempat ibadah. Aku refleks melirik ke arah Immanuel yang tengah memutar musik berisik lewat radio mobil. Tanpa meminta izin darinya terlebih dahulu, segera kuparkirkan mobil di sana. Immanuel yang menyadari itu kemudian menatapku penuh tanya.

"Kau mau beribadah pada hari ini?"

"Kau yang akan beribadah. Ayo turun dan masuklah ke Gereja."

"Bagaimana mungkin kau menyimpulkan bahwa aku beribadah di Gereja? Lagipula ini bukan hari minggu."

"Aku melihat nama sekolah di lengan seragammu, kau sekolah di tempat khusus. Temanku juga pernah beribadah di Gereja pada hari rabu. Sambil menunggu jalanan sedikit lenggang, beribadah-lah di Gereja. Aku akan menunggumu dimobil."

Immanuel mendengus kesal, "Baiklah, aku akan masuk tapi kau harus ikut."

"Kau bercanda? Aku ini seorang muslim."

"Tidak akan ada yang menyadarinya, kau bahkan tak terlihat seperti seorang muslim. Rambut coklat panjang yang tergerai itu tidak cocok dengan identitas agamamu."

"Ya, ya. Aku akan menemanimu."

Aku menahan kekesalanku kepada laki-laki di sampingku. Saat memasuki Gereja, akulah yang memilih bangku, Immanuel benar-benar seperti tak akrab dengan tempat ibadahnya, dia bahkan tak bergerak lagi setelah kuperintahkan untuk duduk. Aku segara menarik tangannya, lalu membuatnya mengepalkan kedua tangannya. 

Astaga, dia harus dipandu olehku. 

Perlahan-lahan ia mulai melakukannya sendirian, kedua matanya mulai menutup, ia mulai berdo'a sesuai yang diyakininya. 

Meski aku memiliki kepercayaan yang berbeda dengannya, aku tetap menghargainya. Dulu aku pernah terlibat dengan hal semacam ini, mengantarkan seorang anak laki-laki memasuki Gereja. Seusainya, dia juga akan mengantarku ke Masjid. Itu hanya seutas kenanganku bersama anak laki-laki bernama Gabriel.

•••

"Apakah Tuhan itu ada 2?"

Waktu itu aku cukup kebingungan dengan pertanyaan asal yang dilontarkan anak laki-laki berusia 10 tahun itu kepadaku. Sudah jelas kami memiliki kepercayaan terhadap Tuhan yang berbeda.

Aku dan Gabriel sedang berada di Gereja. Aku hanya mengantar Gabriel atas perintah nenek Elish, yaitu neneknya Gabriel. Nenek Elish bercerita padaku bahwa Gabriel tidak pernah mau ke Gereja bersamanya, hanya karena Gabriel begitu dekat denganku, nenek Elish memintaku mengajak Gabriel ke Gereja. Dan cara tersebut berhasil.

Sekarang Gabriel malah melimpahkan pertanyaan padaku. Pertanyaan semacam ini bukan yang pertama kalinya ia tanyakan padaku, biasanya Gabriel menanyakan seputar agama islam, hanya dasarnya saja. Sebuah pertanyaan umum yang biasa orang yang tidak beragama islam tanyakan. 

"Tuhan itu ada satu," jawabku.

"Lalu mengapa kau menyebut Tuhan dengan sebutan Allah, tidak pernah menyebut nama Tuhan Yesus dalam do'a-mu?"

"Karena aku hanya percaya bahwa tiada Tuhan selain Allah swt."

"Jadi, agama mana yang benar?"

Aku menelan salivaku sesaat, sebenarnya aku yakin bahwa jawabanku akan berakhir percuma, "Agamaku."

"Tapi Yesus 'lah jalan kebenaran."

"Maka berhentilah bertanya padaku, Gabriel," pekikku.

Sudah kuduga ini tidak akan berhasil. Jika memeperdebatkan soal agama mana yang benar dan agama mana yang tidak benar, selalu berada diposisi saling merasa paling benar. Perdebatan semacam itu tidak akan ada habisnya.

Aku tahu Gabriel, dia anak laki-laki yang baik, dia ramah dan sering tersenyum padaku. Ya, sayangnya terkadang ia membuatku jengkel karena sering tidak toleransi. Di luar itu Gabriel memiliki perilaku yang baik. Apa yang harus diperdebatkan dengan anak SD? Dia hanya perlu diperbaiki.

"Jika Ayahku beragama kristen dan Ibuku beragama islam, agamaku apa?"

Pertanyaannya semakin membingungkanku, aku bukan seorang ahli agama, pertanyaan seperti itu juga sangat sulit untuk kupecahkan. Untuk ukuran anak yang lahir murni dari keluarga yang beragama islam, aku sangat buntu untuk menjawab pertanyaan mendasar dari Gabriel.

"Agama adalah sebuah kepercayaan, dan kepercayaanmu terhadap agama adalah hal pribadi antara manusia pada Tuhan. Jika orangtuamu memiliki agama yang berbeda, nantinya menjadi hakmu untuk memilih agama mana yang akan kau anut," tuturku.

"Tapi bukankah ini menjadi sangat sulit? Kupikir memilih agama adalah hal yang memusingkan," pekiknya.

"Nanti ketika kau dewasa, semua pertanyaan itu akan terjawab dengan sendirinya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status