Share

11

Dari kaca kecil dalam mobil, Fawaz melirik sang bunda yang tampak bahagia. Sejak dari rumah senyum cerah wanita itu sama sekali tidak luntur.

Akibat rasa tidak suka karena tetangganya menjelek-jelekan Aara, akhirnya keluar kalimat yang sama sekali tidak dia duga bisa terucap dari bibirnya. Hingga mengakibatkan di hari minggu yang cerah ini, sang ibu memaksanya untuk ke rumah Aara, melamar wanita itu.

Sebenarnya dia sudah berkata pada ibunya kalau dia asal ngomong. Berharap sang ibu membatalkan rencananya. Namun, alih-alih menuruti kemauannya, sang bunda justru berkata kalau laki-laki itu dipegang omongannya. Jadi, sekali dia berkata demikian maka harus direalisasikan.

"Pokoknya nanti, segera setelah lamaran harus langsung nikah! Gak boleh ditunda-tunda."

"Belum tentu juga Aara nerima lamaran kita, Bun."

Bu Laras mendelik pada anaknya yang tengah mengemudi. "Ya, tinggal pintar-pintarnya kamu bujuk Aara, biar lamaran kita diterima."

Fawaz mengangguk saja. Toh, percuma saja membantah sang bunda.

Kening Fawaz mengernyit, karena beberapa meter dari rumah Aara, dia melihat mobil yang begitu familiar. Dia langsung menoleh pada sang bunda, saat dia mendapatkan ingatannya. "Mereka ngapain?"

"Bunda yang nyuruh, biar rame saja. Soalnya Aara kan gak punya siapa-siapa. Terus bunda dan ayah kamu juga anak tunggal, jadi gak ada saudara lain yang diajak."

Laki-laki berkaca mata ini memilih pasrah. Tidak ingin raut bahagia sang ibu berubah menjadi sedih, karena dia terus-terusan membantah. Dia juga tahu, pasti ibunya akan selalu mendoakan yang terbaik untuknya.

Cengiran Rafi menjadi pemandangan pertama yang dia lihat saat keluar dari mobil. Seandainya tidak ada orang lain, bisa dipastikan kalau kunci mobil di tangan Fawaz pasti sudah mendarat di kening Rafi. Apalagi kini suami Rosi itu, menaik turunkan alisnya, menggoda Fawaz. Menjadikan laki-laki itu merasa kesal.

Setelah berbasa-basi sebentar, disertai godaan yang dilayangkan Rafi dan Rosi pada Fawaz. Mereka berjalan bersama menuju kediaman Aara, yang tampak asri karena semakin banyak tumbuhan yang ditanam wanita itu.

Begitu sampai di depan pintu, harum kue menguar dari dalam. Tanpa sadar bibir Fawaz tertarik menciptakan senyuman kecil. Tiba-tiba saja sudut hati laki-laki itu memiliki keyakinan, kalau ini adalah pilihan yang tepat.

Menunggu beberapa saat, pintu akhirnya terbuka menampilkan wanita yang memakai daster batik. Dengan kerudung lebar warna hitam, serta celemek biru yang sudah terdapat beberapa noda tepung.

Kilat terkejut begitu jelas tampak di mata yang dihiasi bulu mata lentik itu. Seingat Aara, tidak ada satupun dari orang yang berdiri di depannya itu, memberi kabar akan kedatangan mereka. Lalu kenapa sekarang mereka di sini dengan pakaian rapi?

"Kita gak disuruh masuk?" tanya Rosi memecah keheningan.

"Maaf, maaf. Silakan masuk." Aara menarik pintu agar terbuka lebih lebar, dia berjalan menjauhi pintu. Mempersilahkan tamunya untuk duduk di sofa.

"Lagi bikin apa? Baunya wangi banget?" tanya Rosi yang masih berdiri di sampingnya, sementara yang lain sudah duduk di sofa.

"Roti bolu," jawab Aara. Kemudian wanita itu, menatap ke arah Bu Laras. "Aara ke belakang dulu sebentar, sekalian ganti baju," pamitnya.

Aara segera beranjak, begitu tamunya mempersilahkannya. Sedangkan Rosi mengikuti langkah sang sahabat.

"Kalian janjian?" tanya Aara saat mereka sampai di dapur.

"Iya."

"Memangnya ada apa?"

"Nanti kamu juga tau, udah ganti baju sana," usir Rosi. Kemudian ibu hamil itu, mulai memasak air dan mengambil cangkir dalam kabinet. "Lha, masih di situ! Cepet ke kamar!"

Dengan rasa penasaran yang masih bersarang di otaknya. Aara berjalan menuju tangga yang terdapat di ruang tengah.

Tidak butuh waktu lama, kini Aara sudah berdiri di depan cermin yang menempel pada lemari. Dia memperhatikan penampilannya yang terlihat sudah rapi dengan gamis warna pastel yang sesuai dengan kerudungnya.

Dia menghela napas berat, tatkala sebuah kemungkinan mampir di pikirannya. Namun, dia tidak mau merasa terlalu percaya diri. Hingga memilih membuang jauh-jauh kemungkinan tersebut.

Kembali ke ruang tamu, di sana sudah ada Rosi yang duduk di samping suaminya. Di atas meja pun sudah tertata cangkir yang berisi teh, juga roti bolu yang tadi diiris Rosi. Serta nastar, kue yang rutin dibuat oleh Aara.

Wanita berkulit kuning langsat itu tersenyum, lalu mendudukkan diri di sofa tunggal, yang tepat berada di tengah-tengan sofa panjang, yang sudah diisi oleh dua keluarga itu.

"Ada pesanan, Ra?" Rafi mengambil roti bolu untuk kesekian kalinya.

"Gak ada, Mas. Lagi iseng aja bikin."

"Enak, nanti pas pulang kamu minta, yang." Rafi melirik istrinya yang sedari tadi juga melakukan hal yang sama dengannya. Makan roti bolu terus-menerus.

"Iya, memang rencananya begitu."

Aara tertawa kecil melihat kelakuan sepasang suami istri tersebut, lalu dia menoleh ke samping kanan, menatap ibu dan anak yang juga tengah melihat interaksi Rafi dan Rosi. "Silakan dinikmati Tante, Mas Fawaz."

"Wah, kalau Fawaz gak usah dipersilakan lagi. Lihat tuh, nastarnya tinggal separuh. Dia doang yang makan dari tadi." Rafi tertawa melihat wajah sahabatnya yang sudah memerah.

"Gak sopan, Lo!" Fawaz melempar kunci mobilnya, hingga tepat mengenai kening sahabatnya. Dia lega, karena hal yang sedari tadi ingin dilakukannya, akhirnya tercapai.

"Sakit, ogeb." Rafi mengusap-usap keningnya secara dramatis.

"Sudah-sudah, kalian ini kayak anak kecil saja," lerai Bu Laras.

Pembicaraan kelima orang itu mengalir secara baik. Karena pada dasarnya mereka sudah sering berinteraksi, tentu saja kecuali Aara dan Fawaz.

Bu Laras berdeham sejenak, ketika dirasa basa-basinya sudah cukup. Tangan tuanya yang sudah dipenuhi keriput, meraih tangan Aara, membawa tangan halus itu dalam genggaman hangatnya.

Tanpa terasa hati Fawaz menghangat melihat interaksi itu. Meski sedetik kemudian jantungnya berdetak dengan cepat saat sang ibu mulai berbicara.

"Tante tau, pasti sedari tadi kamu sudah bertanya-tanya maksud kedatangan kami ke sini." Melihat anggukan Aara, Bu Laras kembali melanjutkan kalimatnya.

"Tante yakin, kamu pasti tahu kalau selama ini Tante berharap kamu bisa menjadi menantu Tante. Dan hari ini kami datang ke sini, berusaha untuk mewujudkan keinginan itu. Jadi, maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melamarmu menjadi istri Fawaz. Apa ... kamu bersedia?"

Hening. Semua mata terpaku pada Aara yang terdiam, seperti sedang mencerna kalimat Bu Laras.

Sementara itu, Fawaz merasakan telapak tangannya berkeringat. Antara gugup dan takut dengan jawaban Aara. Dia takut kalau penolakan lah yang bakal dia terima, padahal hatinya sudah yakin untuk melamar Aara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status