Dari kaca kecil dalam mobil, Fawaz melirik sang bunda yang tampak bahagia. Sejak dari rumah senyum cerah wanita itu sama sekali tidak luntur.
Akibat rasa tidak suka karena tetangganya menjelek-jelekan Aara, akhirnya keluar kalimat yang sama sekali tidak dia duga bisa terucap dari bibirnya. Hingga mengakibatkan di hari minggu yang cerah ini, sang ibu memaksanya untuk ke rumah Aara, melamar wanita itu.
Sebenarnya dia sudah berkata pada ibunya kalau dia asal ngomong. Berharap sang ibu membatalkan rencananya. Namun, alih-alih menuruti kemauannya, sang bunda justru berkata kalau laki-laki itu dipegang omongannya. Jadi, sekali dia berkata demikian maka harus direalisasikan.
"Pokoknya nanti, segera setelah lamaran harus langsung nikah! Gak boleh ditunda-tunda."
"Belum tentu juga Aara nerima lamaran kita, Bun."
Bu Laras mendelik pada anaknya yang tengah mengemudi. "Ya, tinggal pintar-pintarnya kamu bujuk Aara, biar lamaran kita diterima."
Fawaz mengangguk saja. Toh, percuma saja membantah sang bunda.
Kening Fawaz mengernyit, karena beberapa meter dari rumah Aara, dia melihat mobil yang begitu familiar. Dia langsung menoleh pada sang bunda, saat dia mendapatkan ingatannya. "Mereka ngapain?"
"Bunda yang nyuruh, biar rame saja. Soalnya Aara kan gak punya siapa-siapa. Terus bunda dan ayah kamu juga anak tunggal, jadi gak ada saudara lain yang diajak."
Laki-laki berkaca mata ini memilih pasrah. Tidak ingin raut bahagia sang ibu berubah menjadi sedih, karena dia terus-terusan membantah. Dia juga tahu, pasti ibunya akan selalu mendoakan yang terbaik untuknya.
Cengiran Rafi menjadi pemandangan pertama yang dia lihat saat keluar dari mobil. Seandainya tidak ada orang lain, bisa dipastikan kalau kunci mobil di tangan Fawaz pasti sudah mendarat di kening Rafi. Apalagi kini suami Rosi itu, menaik turunkan alisnya, menggoda Fawaz. Menjadikan laki-laki itu merasa kesal.
Setelah berbasa-basi sebentar, disertai godaan yang dilayangkan Rafi dan Rosi pada Fawaz. Mereka berjalan bersama menuju kediaman Aara, yang tampak asri karena semakin banyak tumbuhan yang ditanam wanita itu.
Begitu sampai di depan pintu, harum kue menguar dari dalam. Tanpa sadar bibir Fawaz tertarik menciptakan senyuman kecil. Tiba-tiba saja sudut hati laki-laki itu memiliki keyakinan, kalau ini adalah pilihan yang tepat.
Menunggu beberapa saat, pintu akhirnya terbuka menampilkan wanita yang memakai daster batik. Dengan kerudung lebar warna hitam, serta celemek biru yang sudah terdapat beberapa noda tepung.
Kilat terkejut begitu jelas tampak di mata yang dihiasi bulu mata lentik itu. Seingat Aara, tidak ada satupun dari orang yang berdiri di depannya itu, memberi kabar akan kedatangan mereka. Lalu kenapa sekarang mereka di sini dengan pakaian rapi?
"Kita gak disuruh masuk?" tanya Rosi memecah keheningan.
"Maaf, maaf. Silakan masuk." Aara menarik pintu agar terbuka lebih lebar, dia berjalan menjauhi pintu. Mempersilahkan tamunya untuk duduk di sofa.
"Lagi bikin apa? Baunya wangi banget?" tanya Rosi yang masih berdiri di sampingnya, sementara yang lain sudah duduk di sofa.
"Roti bolu," jawab Aara. Kemudian wanita itu, menatap ke arah Bu Laras. "Aara ke belakang dulu sebentar, sekalian ganti baju," pamitnya.
Aara segera beranjak, begitu tamunya mempersilahkannya. Sedangkan Rosi mengikuti langkah sang sahabat.
"Kalian janjian?" tanya Aara saat mereka sampai di dapur.
"Iya."
"Memangnya ada apa?"
"Nanti kamu juga tau, udah ganti baju sana," usir Rosi. Kemudian ibu hamil itu, mulai memasak air dan mengambil cangkir dalam kabinet. "Lha, masih di situ! Cepet ke kamar!"
Dengan rasa penasaran yang masih bersarang di otaknya. Aara berjalan menuju tangga yang terdapat di ruang tengah.
Tidak butuh waktu lama, kini Aara sudah berdiri di depan cermin yang menempel pada lemari. Dia memperhatikan penampilannya yang terlihat sudah rapi dengan gamis warna pastel yang sesuai dengan kerudungnya.
Dia menghela napas berat, tatkala sebuah kemungkinan mampir di pikirannya. Namun, dia tidak mau merasa terlalu percaya diri. Hingga memilih membuang jauh-jauh kemungkinan tersebut.
Kembali ke ruang tamu, di sana sudah ada Rosi yang duduk di samping suaminya. Di atas meja pun sudah tertata cangkir yang berisi teh, juga roti bolu yang tadi diiris Rosi. Serta nastar, kue yang rutin dibuat oleh Aara.
Wanita berkulit kuning langsat itu tersenyum, lalu mendudukkan diri di sofa tunggal, yang tepat berada di tengah-tengan sofa panjang, yang sudah diisi oleh dua keluarga itu.
"Ada pesanan, Ra?" Rafi mengambil roti bolu untuk kesekian kalinya.
"Gak ada, Mas. Lagi iseng aja bikin."
"Enak, nanti pas pulang kamu minta, yang." Rafi melirik istrinya yang sedari tadi juga melakukan hal yang sama dengannya. Makan roti bolu terus-menerus.
"Iya, memang rencananya begitu."
Aara tertawa kecil melihat kelakuan sepasang suami istri tersebut, lalu dia menoleh ke samping kanan, menatap ibu dan anak yang juga tengah melihat interaksi Rafi dan Rosi. "Silakan dinikmati Tante, Mas Fawaz."
"Wah, kalau Fawaz gak usah dipersilakan lagi. Lihat tuh, nastarnya tinggal separuh. Dia doang yang makan dari tadi." Rafi tertawa melihat wajah sahabatnya yang sudah memerah.
"Gak sopan, Lo!" Fawaz melempar kunci mobilnya, hingga tepat mengenai kening sahabatnya. Dia lega, karena hal yang sedari tadi ingin dilakukannya, akhirnya tercapai.
"Sakit, ogeb." Rafi mengusap-usap keningnya secara dramatis.
"Sudah-sudah, kalian ini kayak anak kecil saja," lerai Bu Laras.
Pembicaraan kelima orang itu mengalir secara baik. Karena pada dasarnya mereka sudah sering berinteraksi, tentu saja kecuali Aara dan Fawaz.
Bu Laras berdeham sejenak, ketika dirasa basa-basinya sudah cukup. Tangan tuanya yang sudah dipenuhi keriput, meraih tangan Aara, membawa tangan halus itu dalam genggaman hangatnya.
Tanpa terasa hati Fawaz menghangat melihat interaksi itu. Meski sedetik kemudian jantungnya berdetak dengan cepat saat sang ibu mulai berbicara.
"Tante tau, pasti sedari tadi kamu sudah bertanya-tanya maksud kedatangan kami ke sini." Melihat anggukan Aara, Bu Laras kembali melanjutkan kalimatnya.
"Tante yakin, kamu pasti tahu kalau selama ini Tante berharap kamu bisa menjadi menantu Tante. Dan hari ini kami datang ke sini, berusaha untuk mewujudkan keinginan itu. Jadi, maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melamarmu menjadi istri Fawaz. Apa ... kamu bersedia?"
Hening. Semua mata terpaku pada Aara yang terdiam, seperti sedang mencerna kalimat Bu Laras.
Sementara itu, Fawaz merasakan telapak tangannya berkeringat. Antara gugup dan takut dengan jawaban Aara. Dia takut kalau penolakan lah yang bakal dia terima, padahal hatinya sudah yakin untuk melamar Aara.
Fawaz memandang langit yang malam tidak menampakkan bintang, dari jendela kamarnya. Meski matanya menatap lurus langit luas, tapi pikirannya berkelana pada kejadian dua minggu lalu.***Fawaz melajukan mobilnya dengan hati tidak karuan, setelah dua hari lalu Aara meminta waktu untuk menjawab lamarannya. Tadi selesai praktek, dia menerima pesan singkat dari wanita itu yang mengatakan ingin betemu dengannya.Maka di sinilah dia sekarang. Di depan rumah sang sahabat, tempat yang dipilih Aara untuk menjawab pertanyaannya. Dengan langkah tegap, Fawaz berjalan memasuki rumah yang sudah sering dia kunjungi itu.Dari depan pintu, dia bisa melihat Aara yang tengah berbincang dengan Rosi. Sementara Rafi tampak sibuk dengan ponselnya, yang bisa Fawaz tebak, kalau laki-laki itu tengah asyik bermain game.Setelah mengucapkan salam, yang dibalas oleh ketiga orang itu. Fawaz segera masuk dan duduk di depan Aara.Aara melirik sekilas laki-laki yang dua hari lalu
"Kalau Aara selesai berkemas, langsung berangkat. Jangan ditunda-tunda!"Fawaz yang mengantarkan sang ibu menuju mobil yang akan membawa wanita itu pulang, hanya mengangguk sebagai jawaban. Karena sedari tadi sang ibu tidak berhenti mewanti-wantinya ini dan itu.Acara memang sudah berakhir dua jam yang lalu, rumah Aara pun sudah bersih karena para petugas WO sudah merapikan semuanya. Sedangkan Nilam tadi sudah mengabarkan, kalau persiapan acara syukuran nanti malam, di rumah sang ibu sudah hampir selesai. Untuk itu lah ibunya memilih pulang duluan.Kembali berjalan memasuki rumah yang kini tampak sepi. Fawaz dibuat bingung sendiri, karena tidak tahu harus melakukan apa. Hingga akhirnya dia memilih untuk ke kamar Aara, menanyakan istrinya sudah siap apa belum.Istri? Tanpa sadar Fawaz tersenyum saat kata itu terus berputar di otaknya.Mengetuk pintu tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Fawaz memutuskan membuka kamar yang ternyata tidak dikunci. Laki-l
Malam semakin larut, langit masih gelap dan suasana pun masih terasa sepi. Namun, hal itu tidak lantas membuat Fawaz segera memejamkan mata. Laki-laki itu malah masih sibuk mengamati wajah cantik istrinya yang sudah terlelap.Dulu ketika salah satu temannya bercerita, tentang cinta yang tiba-tiba tumbuh setelah ijab qabul. Fawaz mencibir habis-habisan, dia berpikir hal itu mustahil. Baginya rasa cinta itu tumbuh seiiring berjalannya waktu.Akan tetapi, saat ini dia ingin menarik kalimatnya dulu. Karena sekarang dia merasakan apa yang dialami temannya. Mungkin memang perasaan cintanya belum besar, mengingat masih ada nama Kirana di hatinya, tapi bukankah ini awal yang baik untuk sebuah hubungan?Dalam hati Fawaz terus berdoa, agar hatinya dapat mencintai sang istri sepenuh hati.Aara membuka matanya yang sedari tadi pura-pura terpejam, setelah tidak merasakan gerakan apapun dari sampingnya. Sebenarnya dia masih merasa gugup, itu lah alasan kenapa dia pura-
Suasana mobil bercat hitam milik Fawaz terasa sunyi. Karena ketiga orang di dalamnya merasa canggung untuk saling memulai percakapan. Baik Fawaz, Aara maupun Kirana seperti sibuk dengan pikiran masing-masing?Lalu bagaimana mereka bisa berakhir dalam satu mobil?Itu semua karena Bu Laras. Kirana yang sudah terbiasa diantar Fawaz, mengalami kebingungan karena tadi tidak langsung berangkat, melainkan ke rumah Fawaz dulu. Hingga akhirnya dia bisa terlambat jika tidak segera berangkat.Karena itulah Fawaz menawarkan diri untuk mengantar, yang langsung dipotong oleh sang ibu dengan mengatakan kalau Aara harus ikut juga. Sekalian mereka disuruh untuk membeli keperluan rumah Bu Laras."Terima kasih Kak, Ra," ujar Kirana begitu mobil berhenti di depan lobi."Sama-sama.""Mas, sepertinya itu punya Mbak Kirana," kata Aara ketika melihat sesuatu di kursi belakang dari balik kaca kecil.Fawaz menepikan mobilnya, kemudian menoleh untuk melihat ben
"Mas Fawaz lagi apa?" Dania bertanya seakan-akan Aara tidak ada di sana."Belanja.""Oh, aku juga lagi belanja. Ngomong-ngomong belanja buat apa? Kok banyak?""Buat sendiri, kan sekarang rumahnya dua."Jawaban Fawaz sontak membuat Dania melirik pada Aara yang sedari tadi hanya diam. Wanita itu mendengkus kesal. Bagaimana bisa mantan istri kakaknya itu menikah dengan laki-laki pujaannya?Sejak mengetahui kalau Fawaz akan menikah dengan Aara, rasa benci Dania pada wanita itu semakin tinggi."Maaf, Dan. Aku duluan, ya." Fawaz membalik badannya, lalu mulai mendorong troli diikuti oleh Aara."Kak, tunggu! Aku boleh nebeng pulangnya?" Dania kini telah berada di depan pasangan itu.Fawaz tidak langsung menjawab, malah menoleh pada sang istri. Seolah meminta saran, yang dibalas anggukan oleh istrinya."Baiklah."Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Fawaz merasakan pandangan orang-orang terpusat padanya. Bagaimana ti
"Selain mata, mulut Lo juga gak sopan, ya?" cibir Fawaz.Kevin yang sudah paham dengan sikap sahabatnya yang tidak suka basa-basi, balas mencibir ucapan Fawaz, "gue pan cuma tanya. Sensi banget Lo!""Gue serius nikah. Jadi, gak ada yang namanya pelarian segala.""Terus Kirana?"Fawaz mengernyitkan kening. Apa hubungannya dengan Kirana?"Denger, ya. Adek Lo udah nolak gue tiga kali. Jadi, gue memutuskan untuk berhenti," jelas Fawaz dengan penuh keyakinan."Secepat itu perasaan Lo bisa berubah?" Ada nada tidak suka saat Kevin bertanya."Gue realistis, ya. Gak mungkin kan terus berharap pada Kirana? Sedangkan jelas-jelas dia suka orang lain. Dan juga nyokap gue juga pengen gue segera nikah."Kevin sadar apa yang dikatakan sahabatnya memang benar, tapi di sudut hatinya dia tidak suka sang sahabat berpaling dari adiknya. Karena dari dulu dia berharap Fawaz lah yang akan menjadi pendamping Kirana.Tapi apa mau dikata, ad
Rumah berlantai dua milik pasangan yang baru saja dikaruniai seorang anak itu, masih tampak ramai. Meski sebagian tamu sudah pulang. Karena acara sudah berakhir satu jam yang lalu."Lucu, ya?" Aara yang tengah menggendong Rania—anak Rosi dan Rafi—bertanya pada suaminya."Iya." Fawaz mengusap pipi Rania yang terasa halus itu."Kayaknya bini Lo dah pingin itu, bikin sana!" ujar Rafi yang duduk di depan mereka."Udah, bikin setiap hari," jawab Fawaz cuek.Kalimat itu sukses membuat pipi Aara bersemu kemerahan. Malu. "Mas!" peringatnya."Apa? Aku benar, kan?" tanya Fawaz sok polos. Bermaksud menggoda istrinya."Kalian jangan bisik-bisik di sini. Itu kasian si Kevin, ngenes gak ada gandengan."Tidak terima dengan ucapan sahabatnya, Kevin melempar kulit kacang pada Rafi. Aksi saling ejek pun terjadi pada ketiga sahabat itu.Keributan tiga orang itu, sama sekali tidak mempengaruhi Dafa dan Kirana yang berada di sana
Pagi ini Fawaz berencana mengajak istrinya berolahraga. Mumpung mereka menginap di rumah bunda. Jadi, Aara tidak terlalu sibuk dengan urusan beberes, karena di sini sudah ada Nilam.Laki-laki itu menatap istrinya yang tampak selalu cantik di matanya. Meski sekarang sang istri hanya memakai baju gamis olahraga, yang sengaja kemarin dia belikan untuk sang istri."Kenapa cemberut?" tanya Fawaz melihat wajah sang istri yang tertekuk."Mas kan tau sendiri aku gak suka olahraga." Aara memajukan bibirnya.Hal itu tentu saja membuat Fawaz menjadi kelimpungan, tidak mau acaranya berantakan. Fawaz segera menarik Aara keluar rumah setelah berpamitan pada sang ibu."Nantinya bukan cuma olahraga, tapi aku mau mengajakmu makan bubur paling enak di sini."Berhasil! Kalimat itu berhasil membuat Aara tersenyum cerah. Beberapa bulan ini, Fawaz sudah mempunyai cara agar Aara berhenti ngambek, yaitu dengan membelikan sang istri makanan.Istrinya bukan or