Share

LOVE and LIE
LOVE and LIE
Author: SashiArumi

1

Bau obat-obatan masih tercium jelas, kepala wanita itu bahkan masih terasa pusing. Namun, dia tetap memfokuskan diri untuk mendengar penjelasan dokter di depannya.

Dokter cantik itu tersenyum hangat, tapi hal itu tidak bisa menutupi kilat kesedihan di matanya. Mengingat berita yang akan dia sampaikan adalah berita buruk, "maaf, Bu. Anda keguguran."

Satu kalimat yang diucapkan oleh wanita berbaju dokter itu, membuat dunia Aara seakan runtuh. Kebahagiaan yang kemarin dia rasakan ketika melihat dua garis biru, kini lenyap tidak tersisa. Kini bagaimana dia bisa bertahan jika satu-satunya penguat dalam hidupnya kini telah pergi?

"Yang sabar, Bu. Insya Allah ini yang terbaik dari Allah." Dokter dengan nametag Annisa itu, mencoba menguatkan sang pasien yang terlihat terguncang. Pasien yang dari data pribadinya diketahui bernama Aara Farhana, adalah korban tabrak lari semalam. Karena itulah dia harus kehilangan janin yang baru berusia tiga bulan.

"Terima kasih, Dokter," lirih Aara.

Suara pintu diketuk, membuat ketiga orang di ruang bercat putih itu menoleh secara bersamaan. "Maaf, Dokter,"  ucap suster yang baru masuk ruang rawat Aara.

Aara memperhatikan suster itu yang terlihat membisikkan sesuatu pada Dokter Annisa. Kemudian bergegas keluar setelah tersenyum pada Aara.

"Begini, Bu Aara. Dari semalam kami berusaha menghubungi suami Anda, tapi belum ada respon sama sekali. Tapi barusan Suster Ita mengabarkan kalau suami Anda sudah berhasil dihubungi, dan sekarang suami Anda sedang dalam perjalan ke sini."

Wanita berbalut pakaian rumah sakit berwarna putih itu, hanya tersenyum menanggapi ucapan sang dokter. Dia terlalu lelah, hingga berbicara saja terasa enggan.

"Kalau begitu kami permisi dulu, Bu Aara istirahat saja dulu. Semoga cepat sembuh."

Pandangan Aara mengikuti langkah dokter dan juga suster yang berjalan menuju pintu, lalu dia alihkan pandangan pada langit-langit kamar. Dia teringat ucapan Dokter Annisa, suaminya tidak bisa dihubungi? Senyum miris muncul di bibir pucat itu. Jelas dia tahu apa penyebabnya.

Dia juga yakin, seandainya saat ini dia sekarat sang suami juga tidak akan peduli. Aara menarik napas panjang, berharap dengan itu rasa sesak yang tiba-tiba membelenggu dadanya segera menghilang.

Mengalihkan pandangan pada jendela, Aara memegang pipinya yang terasa basah. Senyum miris terbit di bibir pucat itu, bersamaan dengan air mata yang mengalir semakin deras.

***

Aara yang menatap layar televisi di depannya dengan kosong. Acara komedi yang sedang ditampilkan tidak lantas membuatnya ikut tertawa. Bukan hanya pandangannya yang kosong, tapi juga jiwanya.

Wanita cantik itu merasa lelah. Kenapa ada saja masalah yang dialaminya beberapa waktu belakangan ini?

Saat Aara sibuk menganalisa kehidupannya, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka secara kasar. Kemudian muncul suami, ibu mertua, adik ipar serta seorang wanita cantik yang kehadirannya membuat hati Aara terasa nyeri.

Kepala Aara menoleh ke samping saat sebuah tamparan mendarat di pipinya. Disusul kemudian lemparan beberapa foto jatuh di atas pangkuannya.

"Berani-beraninya kamu selingkuh di belakang anakku!" ucap mertuanya yang tadi menampar pipinya. Wanita paruh baya itu memandang tajam pada Aara.

Aara menatap suaminya yang tidak melakukan pembelaan apapun. Laki-laki hanya diam, rautnya datar. Seakan menjelaskan kalau dia tidak peduli jika istrinya disakiti oleh sang ibu.

"Saya tidak selingkuh, Bu," bela Tari dengan nada lembut. Dia masih sadar untuk bersikap sopan pada orang yang lebih tua.

"Jangan ngeles kamu! Lihat semua foto itu adalah buktinya!" bentak ibu mertuanya sambil menunjuk foto yang belum Aara sentuh sama sekali.

"Mas, kamu percaya padaku, 'kan?" Mata bulat itu memandang penuh harap pada suaminya. Namun, sayangnya Dafa—suaminya—malah mengalihkan pandangan pada tiang infus di samping ranjang.

"Mas," lirih Aara. Ini kesempatan terakhirnya untuk mempertahankan rumah tangganya.

Panggilan lirih itu berhasil membuat Dafa kembali menoleh pada istrinya, dia bertanya dengan nada yang datar, "dia, anakku?"

"Astaghfirullah, Mas. Dia anakmu, Mas!" Aara menatap tidak percaya pada suaminya. Sehancur apapun hubungan mereka, tidak lantas membuat laki-laki itu bisa berpikir buruk seperti itu.

"Jangan percaya lagi pada wanita munafik ini. Sudah pasti anak itu adalah anak selingkuhannya. Itulah kenapa anak itu mati, karena mungkin dia tidak mau dilahirkan dari hasil perselingkuhan." Wanita dengan potongan rambut bob itu memandang menantunya penuh cemoohan.

"Tolong jaga ucapan Mama. Tidak sepantasnya sebagai seoarang ibu, Mama berkata seperti itu!" tegas Tari.

"Apa yang Mama katakan benar, Mbak. Aku malah kasihan seandainya anak itu selamat. Dia pasti anak dibully sebagai anak tukang selingkuh." Wanita seusia Aara itu, memandang sinis kakak iparnya.

"Percaya padaku, Mas. Aku tidak mungkin melakukan itu." Aara menghembuskan napas, ketika tidak ada jawaban apapun dari suaminya.

"Sudahlah. Percuma juga ngomong sama wanita ini. Dia pasti akan terus ngeles. Dasar wanita munafik. Lebih baik sekarang kita pulang, lagipula Mama jadi pusing berada di sini terus."

Tidak mempedulikan ucapan mertuanya, Aara memandang lurus pada suaminya yang juga tengah menatapnya. 

"Kamu juga mau pergi, Mas?"

"Iya. Tapi kamu tenang saja semua biaya rumah sakit ini aku yang akan menanggungnya."

"Kalau begitu tidak perlu, Mas. Aku masih mampu membayarnya sendiri," ucap Aara tegas.

Dafa kembali menatap tajam pada istrinya. Terbesit rasa tidak tega melihat wajah pucat itu, tapi dengan segera dia buang perasaan itu. Dia tidak akan lagi tertipu wajah polos yang sudah menipunya habis-habisan.

"Terserah kamu. Sekalian saja setelah ini kamu tidak perlu pulang lagi."

"Kamu mengusirku, Mas? Apa karena wanita itu?" tanya Aara menunjuk wanita yang sedari tadi hanya diam. Aara bisa melihat wanita berkulit putih itu tersentak, sebelum kemudian menunduk.

"Jelas di sini kamu yang salah! Jangan mencari kambing hitam! Atau—"

"Atau apa, Mas? Atau kamu akan mengancam menceraikanku seperti kemarin, begitu, Mas?" tanya Aara berani. Karena dia tidak akan lagi memohon pada seseorang yang jelas-jelas sudah tidak mengharapkannya lagi.

"Iya, aku akan menceraikanmu."

Sudut hati wanita berambut hitam legam itu, terasa nyeri. Meski sudah mempersiapkan hal ini akan terjadi. Namun, tetap saja rasanya begitu sesak saat pertanyannya dibenarkan oleh sang suami.

Wanita itu menghela napas sebelum menjawab, "silakan, aku akan menunggu surat panggilan dari pengadilan." Aara tersenyum tipis melihat raut wajah terkejut suaminya.

Beberapa saat tadi dia masih berharap hubungan ini bisa bertahan. Namun, setelah penolakan sang suami, kecurigaannya dan juga perlakuan keluarga laki-laki itu. Aara bertekad tidak akan lagi membiarkan mereka menginjak-injak harga dirinya lagi. Dia ingin membuktikan pada mereka semua, kalau dia bisa bertahan hidup di atas kakinya sendiri.

Sementara itu dari balik jendela, seorang laki-laki berjas putih menatap nanar pada salah satu wanita di ruangan itu. "Kenapa kamu harus bertindak sejauh ini?" gumamnya sedih.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
kunami asdamo
sediiiih sediiiih
goodnovel comment avatar
Anisah Yasan
nyesek Thor, mengsedih tapi aku yakin Aara kuat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status