Bau obat-obatan masih tercium jelas, kepala wanita itu bahkan masih terasa pusing. Namun, dia tetap memfokuskan diri untuk mendengar penjelasan dokter di depannya.
Dokter cantik itu tersenyum hangat, tapi hal itu tidak bisa menutupi kilat kesedihan di matanya. Mengingat berita yang akan dia sampaikan adalah berita buruk, "maaf, Bu. Anda keguguran."
Satu kalimat yang diucapkan oleh wanita berbaju dokter itu, membuat dunia Aara seakan runtuh. Kebahagiaan yang kemarin dia rasakan ketika melihat dua garis biru, kini lenyap tidak tersisa. Kini bagaimana dia bisa bertahan jika satu-satunya penguat dalam hidupnya kini telah pergi?
"Yang sabar, Bu. Insya Allah ini yang terbaik dari Allah." Dokter dengan nametag Annisa itu, mencoba menguatkan sang pasien yang terlihat terguncang. Pasien yang dari data pribadinya diketahui bernama Aara Farhana, adalah korban tabrak lari semalam. Karena itulah dia harus kehilangan janin yang baru berusia tiga bulan.
"Terima kasih, Dokter," lirih Aara.
Suara pintu diketuk, membuat ketiga orang di ruang bercat putih itu menoleh secara bersamaan. "Maaf, Dokter," ucap suster yang baru masuk ruang rawat Aara.
Aara memperhatikan suster itu yang terlihat membisikkan sesuatu pada Dokter Annisa. Kemudian bergegas keluar setelah tersenyum pada Aara.
"Begini, Bu Aara. Dari semalam kami berusaha menghubungi suami Anda, tapi belum ada respon sama sekali. Tapi barusan Suster Ita mengabarkan kalau suami Anda sudah berhasil dihubungi, dan sekarang suami Anda sedang dalam perjalan ke sini."
Wanita berbalut pakaian rumah sakit berwarna putih itu, hanya tersenyum menanggapi ucapan sang dokter. Dia terlalu lelah, hingga berbicara saja terasa enggan.
"Kalau begitu kami permisi dulu, Bu Aara istirahat saja dulu. Semoga cepat sembuh."
Pandangan Aara mengikuti langkah dokter dan juga suster yang berjalan menuju pintu, lalu dia alihkan pandangan pada langit-langit kamar. Dia teringat ucapan Dokter Annisa, suaminya tidak bisa dihubungi? Senyum miris muncul di bibir pucat itu. Jelas dia tahu apa penyebabnya.
Dia juga yakin, seandainya saat ini dia sekarat sang suami juga tidak akan peduli. Aara menarik napas panjang, berharap dengan itu rasa sesak yang tiba-tiba membelenggu dadanya segera menghilang.
Mengalihkan pandangan pada jendela, Aara memegang pipinya yang terasa basah. Senyum miris terbit di bibir pucat itu, bersamaan dengan air mata yang mengalir semakin deras.
***
Aara yang menatap layar televisi di depannya dengan kosong. Acara komedi yang sedang ditampilkan tidak lantas membuatnya ikut tertawa. Bukan hanya pandangannya yang kosong, tapi juga jiwanya.
Wanita cantik itu merasa lelah. Kenapa ada saja masalah yang dialaminya beberapa waktu belakangan ini?
Saat Aara sibuk menganalisa kehidupannya, tiba-tiba pintu kamarnya dibuka secara kasar. Kemudian muncul suami, ibu mertua, adik ipar serta seorang wanita cantik yang kehadirannya membuat hati Aara terasa nyeri.
Kepala Aara menoleh ke samping saat sebuah tamparan mendarat di pipinya. Disusul kemudian lemparan beberapa foto jatuh di atas pangkuannya.
"Berani-beraninya kamu selingkuh di belakang anakku!" ucap mertuanya yang tadi menampar pipinya. Wanita paruh baya itu memandang tajam pada Aara.
Aara menatap suaminya yang tidak melakukan pembelaan apapun. Laki-laki hanya diam, rautnya datar. Seakan menjelaskan kalau dia tidak peduli jika istrinya disakiti oleh sang ibu.
"Saya tidak selingkuh, Bu," bela Tari dengan nada lembut. Dia masih sadar untuk bersikap sopan pada orang yang lebih tua.
"Jangan ngeles kamu! Lihat semua foto itu adalah buktinya!" bentak ibu mertuanya sambil menunjuk foto yang belum Aara sentuh sama sekali.
"Mas, kamu percaya padaku, 'kan?" Mata bulat itu memandang penuh harap pada suaminya. Namun, sayangnya Dafa—suaminya—malah mengalihkan pandangan pada tiang infus di samping ranjang.
"Mas," lirih Aara. Ini kesempatan terakhirnya untuk mempertahankan rumah tangganya.
Panggilan lirih itu berhasil membuat Dafa kembali menoleh pada istrinya, dia bertanya dengan nada yang datar, "dia, anakku?"
"Astaghfirullah, Mas. Dia anakmu, Mas!" Aara menatap tidak percaya pada suaminya. Sehancur apapun hubungan mereka, tidak lantas membuat laki-laki itu bisa berpikir buruk seperti itu.
"Jangan percaya lagi pada wanita munafik ini. Sudah pasti anak itu adalah anak selingkuhannya. Itulah kenapa anak itu mati, karena mungkin dia tidak mau dilahirkan dari hasil perselingkuhan." Wanita dengan potongan rambut bob itu memandang menantunya penuh cemoohan.
"Tolong jaga ucapan Mama. Tidak sepantasnya sebagai seoarang ibu, Mama berkata seperti itu!" tegas Tari.
"Apa yang Mama katakan benar, Mbak. Aku malah kasihan seandainya anak itu selamat. Dia pasti anak dibully sebagai anak tukang selingkuh." Wanita seusia Aara itu, memandang sinis kakak iparnya.
"Percaya padaku, Mas. Aku tidak mungkin melakukan itu." Aara menghembuskan napas, ketika tidak ada jawaban apapun dari suaminya.
"Sudahlah. Percuma juga ngomong sama wanita ini. Dia pasti akan terus ngeles. Dasar wanita munafik. Lebih baik sekarang kita pulang, lagipula Mama jadi pusing berada di sini terus."
Tidak mempedulikan ucapan mertuanya, Aara memandang lurus pada suaminya yang juga tengah menatapnya.
"Kamu juga mau pergi, Mas?"
"Iya. Tapi kamu tenang saja semua biaya rumah sakit ini aku yang akan menanggungnya."
"Kalau begitu tidak perlu, Mas. Aku masih mampu membayarnya sendiri," ucap Aara tegas.
Dafa kembali menatap tajam pada istrinya. Terbesit rasa tidak tega melihat wajah pucat itu, tapi dengan segera dia buang perasaan itu. Dia tidak akan lagi tertipu wajah polos yang sudah menipunya habis-habisan.
"Terserah kamu. Sekalian saja setelah ini kamu tidak perlu pulang lagi."
"Kamu mengusirku, Mas? Apa karena wanita itu?" tanya Aara menunjuk wanita yang sedari tadi hanya diam. Aara bisa melihat wanita berkulit putih itu tersentak, sebelum kemudian menunduk.
"Jelas di sini kamu yang salah! Jangan mencari kambing hitam! Atau—"
"Atau apa, Mas? Atau kamu akan mengancam menceraikanku seperti kemarin, begitu, Mas?" tanya Aara berani. Karena dia tidak akan lagi memohon pada seseorang yang jelas-jelas sudah tidak mengharapkannya lagi.
"Iya, aku akan menceraikanmu."
Sudut hati wanita berambut hitam legam itu, terasa nyeri. Meski sudah mempersiapkan hal ini akan terjadi. Namun, tetap saja rasanya begitu sesak saat pertanyannya dibenarkan oleh sang suami.
Wanita itu menghela napas sebelum menjawab, "silakan, aku akan menunggu surat panggilan dari pengadilan." Aara tersenyum tipis melihat raut wajah terkejut suaminya.
Beberapa saat tadi dia masih berharap hubungan ini bisa bertahan. Namun, setelah penolakan sang suami, kecurigaannya dan juga perlakuan keluarga laki-laki itu. Aara bertekad tidak akan lagi membiarkan mereka menginjak-injak harga dirinya lagi. Dia ingin membuktikan pada mereka semua, kalau dia bisa bertahan hidup di atas kakinya sendiri.
Sementara itu dari balik jendela, seorang laki-laki berjas putih menatap nanar pada salah satu wanita di ruangan itu. "Kenapa kamu harus bertindak sejauh ini?" gumamnya sedih.
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan