Share

2

Bunyi ketuk palu hakim, menandakan berakhirnya pernikahan dua manusia yang duduk bersebelahan. Tidak raut berarti di wajah kedua orang itu. Mereka sama-sama terlihat biasa saja di depan semua orang. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka sebenarnya.

Secara bersamaan mereka berdiri. Dafa berjalan menghampiri Aara, mengajak bersalaman yang dibalas Aara dengan menangkupkan kedua tanggannya di dada.

"Semoga kamu bahagia, Mas." Doa Aara tulus.

Dafa menatap kepergiaan mantan istrinya dengan perasaan berkecamuk. Tidak! Dia tidak akan menyesal. Tekad Dafa dalam hati.

Meski ragu kian menggelayuti hati. Dia tetap akan bertahan, tidak akan kembali pada masa lalunya.

Sedangkan Aara tetap berjalan tegap menuju pintu keluar. Raut wajahnya tenang, senyum tipis menghiasai bibir saat tidak sengaja bertatap dengan orang-orang berada di tempat yang sama dengannya. Itu semua semata-mata dilakukan untuk menutupi hatinya yang remuk redam.

Bayangan indahnya pernikahan hingga maut memisahkan. Keinginan menua bersama pasangan, terpaksa harus berakhir detik ini. Menyesal? Entah lah, Aara masih kesulitan meraba perasaannya saat ini. Namun, yang jelas dia berusaha untuk mengambil pelajaran dalam hal ini.

Semilir angin menerbangkan rambut hitam sebahu milik Aara, dia tersenyum pada Rosi—sahabatnya—yang sudah menunggu di depan bangunan bertuliskan Pengadilan Agama. Pelukan erat langsung dia dapatkan dari sang sahabat.

"Sa–sabar, ya." Terbata-bata Rosi mengatakan itu seiring dengan air mata yang mengalir di pipinya. Memikirkan nasib sahabatnya.

"Udah, aku gak pa-pa. Jangan nangis lagi. Malu sama suami." Aara tersenyum pada suami sahabatnya yang berdiri di belakang Rosi, yang dibalas gelengan pelan oleh laki-laki itu.

Aara paham, sahabatnya masih merasa bersalah atas perceraiannya. Karena bisa dibilang Rosi lah yang mengenalkannya pada sang mantan suami. Mas Rafi—suami Rosi—adalah teman satu kantor Mas Dafa.

"Nanti aja dilanjut di rumah. Malu, yang." Mas Rafi mengusap kepala istrinya.

Melihat pemandangan di depannya. Rasa nyeri yang selama ini berusaha dia tepis muncul kembali. Bukan. Aara bukannya iri, hanya saja perlakuan Mas Rafi pada Rosi mengingatkannya pada awal-awal pernikahannya dengan Dafa.

"Ini semua gara-gara teman kamu Mas! Rasanya aku pengen jambak cewek itu!"

Aara mengikuti arah pandang Rosi. Di sana, di tempat parkir, terdapat Dafa dan keluarganya juga Kirana yang hari ini tampil menawan dengan gaun kasual selutut warna biru. Ya, bukan hari ini saja. Karena Kirana selalu terlihat menawan setiap waktu.

Menatap orang-orang itu yang juga tengah memandangnya dengan ekspresi berbeda-beda. Sudut bibir Aara tertarik, hingga terlihat jelas sebuah lesung pipi di sebelah kanan. Terserah kalau mereka memandangnya sinis, tapi Aara tidak akan melakukan hal yang sama. Toh, kini sudah tidak ada lagi hubungan di antara mereka.

Aara tersentak saat tiba-tiba tangannya ditarik dengan kuat. "Gak usah diliat! Bikin enek aja!"

"Hei, gak boleh bilang gitu."

"Kamu, sih, terlalu baik jadi orang. Jadi gini, kan? Mereka berlaku seenaknya padamu."

Menghela napas berat. Aara membenarkan ucapan sang sahabat. "Udah, gak usah bahas masa lalu. Kita bahas masa depan saja," usul Aara.

"Baiklah, tapi mulai sekarang kamu harus belajar melawan. Jangan iya-iya terus!" ujar Rosi menggebu-gebu. Gemas dengan sifat sahabatnya yang selalu mementingkan perasaan orang lain. Hingga tidak jarang, karena kebaikan itu dia dimanfaatkan orang lain.

Ketiga orang itu segera berlalu menuju ke arah kanan. Tempat mobil Rafi di parkir. Hingga tidak menyadari, kalau langkah mereka diawasi oleh empat orang dewasa yang memandang mereka dengan ekspresi berbeda-beda. Senang, terluka, dan sedih.

***

Kata orang menyembuhkan luka memang butuh waktu. Hal itu disadari betul oleh Aara. Selepas pulang dari pengadilan, wanita berkulit kuning langsat itu meminta diantarkan langsung ke rumah. Meski tadi Rosi sempat menawarkan agar Aara sementara tidur di rumahnya.

Penolakan halus Aara berikan pada sang sahabat. Dia butuh waktu sendiri, merenungi apa yang terjadi dalam hidupnya serta membuat rencana-rencana baru untuk masa depannya.

Menatap sekeliling kamar, yang pernah menjadi saksi bisu bagaimana dulu dia dan mantan suaminya pernah begitu saling mencintai. Aara mendesah lelah ketika rasa sakit mulai menjalari hatinya. Oksigen terasa menipis hingga menimbulkan sesak di dada.

Aara menarik napas beberapa kali, berharap dengan itu bisa menetralkan pikiran dan hatinya. Maka ketika dia sudah mulai tenang, segera Aara berjalan keluar menuju dapur, untuk melakukan sesuatu yang sudah dia niatkan sejak dari pengadilan tadi.

Kembali dalam kamar yang bernuansa minimalis, dengan cat putih dan juga gorden coklat serta furnitur dari bahan kayu. Aara yang sudah membawa kardus, mulai mengambil foto-foto yang ada di nakas. Kemudian dia menyeret kursi meja rias untuk membantunya mengambil foto yang menempel di tembok.

Dia bersyukur semua foto yang terpajang di dinding ukurannya tidak terlalu besar, hingga dia tidak kesulitan mengambilnya. Setelah selesai memasukkan semua dalam kardus, Aara berniat menyimpannya dalam gudang. Karena sekarang dia masih belum sanggup membakar semua itu. Namun, dia yakin suatu saat pasti dia akan siap melakukannya. Ketika dia sudah bisa berdamai dengan rasa sakit yang dirasakannya.

Langkah wanita dengan rambut sebahu itu terhenti, melihat sebuah kantong dari kertas tergolek di samping lemari. Penasaran dengan benda itu, Aara segera meletakkan kardus di lantai dan berjalan menuju arah lemari besar berwarna natural.

Aara berjalan menuju ranjang untuk membuka kantong itu, yang ternyata berisi pakaian yang dibawanya dari rumah sakit. Aara heran, kenapa dia sampai lupa? Seharusnya dari awal dia sudah membuang benda ini.

Baru saja Aara kan bangkit, tanpa sengaja tangannya menjatuhkan kantong itu. Menyebabkan isinya berhamburan keluar, hal yang membuat Aara mematung adalah beberapa foto yang dijadikan bukti perselingkuhan, yang tidak pernah dia lakukan, berserakan di lantai 

Dia mengambil foto-foto itu, dan mengamatinya kembali karena kemarin dia hanya melihat sekilas.

Tawa kecil lolos dari bibir tipisnya. Bagaimana mungkin orang-orang percaya dia selingkuh hanya dari foto ini?

Dalam foto itu tergambar dia yang sedang berdiri menatap jalan raya, sedang di sampingnya berdiri laki-laki jangkung menggunakan jaket biru navy bertuliskan "I am your doctor"

Kening Aara mengkerut, matanya menyipit melihat foto itu lagi. Tidak ada gestur orang yang saling berhubungan di sana, bahkan ada jarak antara dirinya dan laki-laki di foto itu. Meski hanya sejengkal.

Sudah lah, Aara lelah memikirkan hal itu. Toh, sekarang analisanya tidak akan berguna. Karena dia juga sudah bercerai. Akhirnya dia memilih meletakkan foto itu dalam kardus bersama masa lalunya.

Dengan langkah tegap, Aara bersiap membuang semua masa lalu buruknya, menyimpannya di tempat paling sudut. Agar tidak mengganggu masa depannya dan bisa dia ingat sebagai pelajaran paling berharga.

Kini dia siap menyambut masa depan dengan senyum lebar, hati yang lebih lembut dan juga pribadi yang lebih baik lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status