Aara menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita berkulit kulit langsat itu terlihat anggun, dengan gamis abu-abu tua yang menutupi lekuk tubuhnya. Juga, kerudung warna serupa yang menjuntai hingga punggungnya tertutup sempurna.
Satu tahun telah dia lalui untuk menyembuhkan hati. Berat? Iya, awalnya memang Aara merasa berat, tapi perlahan dia bisa bangkit.
Mengecek jam yang menempel pada dinding yang kini dicat biru muda. Aara bergegas turun ke bawah, karena jarum pendek sudah diangka delapan. Itu artinya sebentar lagi Mbak Yuli akan datang.
Benar perkiraan Aara, begitu dia sampai di ujung tangga bawah, sebuah bel berbunyi nyaring.
"Wa'alaikumsalam," jawab Aara sambil melangkah ke pintu, "masuk, Mbak."
Wanita yang sudah enam bulan terakhir membantu Aara membuat kue itu, segera masuk. "Hari ini banyak pesanan?" tanya Mbak Yuli seraya mengikuti Aara menuju dapur.
"Alhamdulillah, Mbak." Aara memperhatikan Mbak Yuli yang mulai bersiap-siap, menaruh tas di meja yang terletak di sudut dapur, lalu memakai apron yang tergantung di balik pintu.
Mbak Yuli salah satu orang yang berjasa dalam hidupnya. Waktu itu, Aara yang memulai bisnis pesanan kue kering kerepotan karena kurangnya tenaga. Hingga dia bertemu Mbak Yuli tetangganya yang saat itu mencari pekerjaan untuk menghidupi kedua anaknya.
Karena cerita hidup wanita dengan tubuh sedikit berisi itu juga, Aara memantapkan hati untuk melakukan salah satu kewajiban seorang muslimah. Menutup aurat.
Mbak Yuli ditinggal suaminya begitu saja dengan kedua anaknya yang masih kecil. Tanpa ada kabar tiba-tiba saja datang surat gugatan cerai. Meski awalnya Mbak Yuli merasa ingin menyerah, tapi dia memilih bertahan. Karena dia tahu, dia tidak sendiri. Ada Sang Pencipta yang akan selalu menjaganya.
"Lalu bagaimana tentang tawaran kerja sama dari FZ Cake&Bakery?"
Kemarin Aara mendapatkan pesan di media sosial, dari salah satu toko kue yang terkenal di kota ini. Mereka memberinya penawaran agar Aara mengirim kue buatannya ke toko mereka.
"Nanti siang aku ke sana Mbak, bicara lebih lanjut soal itu." Aara mulai mengeluarkan bahan-bahan untuk membuat nastar.
"Kamu gak usah kuatir, nanti Zahra bakal ke sini bantuin Mbak." Mbak Yuli menyebutkan nama anaknya yang berusia lima belas tahun. Zahra memang sering ikut membantu, jika pesanan banyak dan gadis itu juga tidak banyak pekerjaan rumah.
"Kira-kira nanti penawarannya aku terima atau enggak, ya, Mbak?"
"Lihat dulu, kalau bagus kamu terima saja. Biar nambah koneksi, kan?"
"Takutnya nanti kita kualahan Mbak."
"Ya, gak pa-pa dong. Nanti kamu bisa cari pegawai baru. Hitung-hitung bantu orang dapat kerjaan."
Aara mengangguk. Membenarkan kalimat Mbak Yuli. Memang sekarang ini dia berharap bisa menjadi orang yang lebih bermanfaat untuk orang lain.
***
Memarkir motor matik-nya. Wanita bergamis merah muda itu menatap papan nama yang berwarna merah dan emas, "FZ Cake & Bakery"
Pandangan Aara menyipit. Memperhatikan toko kue yang terlihat dengan jelas dari luar. Karena kaca besar digunakan sebagai tembok toko. Dari tempatnya berdiri terlihat lumayan ramai pengunjung di dalam sana.
Mendorong pintu yang berada di tengah, Aara melirik kanan dan kiri, di sana terdapat kursi panjang yang menghadap ke luar, sementara meja menempel pada tembok.
Di sebelah kanan juga terdapat tangga melingkar yang menuju lantai dua. Ya, dari info yang dilihat Aara di akun media sosial toko ini. Lantai dua adalah tempat bagi yang ingin makan kue langsung di sini.
"Siang Mbak, ada yang bisa dibantu?" sapa pegawai perempuan begitu Aara tiba di depan etalase yang memajang aneka jenis kue.
"Siang. Saya Aara Mbak, ke sini mau bertemu dengan Bu Laras." Aara tersenyum pada wanita muda di depannya.
"O ... Mbak Aara? Ibu sudah nunggu Mbak, ayo saya antar."
Pegawai yang memperkenalkan diri dengan nama Manda itu, membuka pintu kecil yang terdapat di pojok etalase.
Kemudian dia membawa Aara masuk, hingga mereka berhenti di sebuah ruangan berpintu coklat. Aara memperhatikan Manda yang mengetuk pintu di depannya, tidak berapa lama kemudian sebuah seruan yang menyuruh mereka masuk terdengar dari dalam.
"Bu, ini Mbak Aara sudah datang."
Wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi belakang meja, tersenyum lebar menatap Manda dan Aara. Langkahnya begitu anggun saat berjalan ke arah pintu.
"Ayo, masuk. Manda tolong buatkan minum," Bu Laras mengalihkan pandangan pada Aara, "kamu mau minum apa?"
"Gak usah repot-repot, Bu." Aara tersenyum sungkan pada pemilik toko itu.
"Halah ... gak repot kok, yaudah, teh aja mau?" tawarnya.
Aara mengangguk sebagai jawaban, akhirnya dia melangkah di belakang Bu Laras menuju meja kerja wanita itu. Sembari berjalan, Aara menatap takjub pada sekelilingnya.
Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi penataan yang bagus menjadikan ruangan itu tampak begitu apik. Hanya ada meja kerja dengan tiga kursi, di sampingnya terdapat rak kayu yang berisi buku. Serta di pojok terdapat tanaman hidup, yang membuat ruangan tampak lebih segar.
Mata bulat Aara berbinar takjub, karena saat menoleh ke kanan terdapat sekat kaca, yang memungkinkan orang di ruangan itu dapat melihat kegiatan di dapur.
"Gak sulit, 'kan cari tempatnya?" Bu Laras membuka percakapan.
"Tidak, Bu."
"Duh, tante aja manggilnya. Saya gak ngira, lo, kamu masih semuda ini. Cantik lagi."
Aara tersenyum canggung, "iya, tante."
"Nah, sambil nunggu minum dan camilan. Kita bahas sedikit tentang kerja sama yang saya tawarkan, ya."
Aara mengangguk. Kemudian dia mendengarkan dengan seksama penjelasan yang diberikan oleh Bu Laras.
"Jadi gimana? Kamu setuju?"
"Iya, Bu." Sudut bibir Aara tertarik, hingga memunculkan sebuah lesung pipi.
"Alhamdulillah kalau kayak gitu. Saya suka kepo medsos kamu. Soalnya tampilannya menarik dan juga semua kue yang kamu upload terlihat menarik." Bu Laras tertawa menceritakan tentang dia yang begitu penasaran pada Aara.
"Jangan berlebihan seperti itu tante. Saya belum semahir itu, kok." Aara menepuk keningnya pelan, saat ingat sesuatu. Dia mengambil kantong yang tadi dia letakkan di kursi sampingnya, "ini tante. Silakan dicicipi." Aara mengulurkan kantong yang berisi nastar kepada Bu Laras.
Membuka wadah mika, Bu Laras mulai mencicipi nastar buatan Aara. "Enak sekali! rasanya pas!" Bu Laras tersenyum lebar, binar matanya menunjukkan kejujuran.
Pipi Aara bersemu, selayaknya orang yang baru dapat pujian, "terima kasih, Bu."
"Ini mau saya bawa pulang, soalnya anak saya suka sekali sama nastar. Kalau nanti dia bilang enak, sudah pasti enak. Dia pemilih sekali," gerutu Bu Laras yang membuat Aara tertawa.
Wanita berkulit langsat itu sangat bersyukur. Bisnisnya berkembang dengan baik, dan kini dia dipertemukan dengan orang baik yang begitu menghargai karyanya.
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan