Share

4

Suasana cafe violet, tidak begitu ramai. Mengingat waktu menunjukkan pukul dua, di mana orang-orang yang biasanya nongkrong di tempat itu, sudah kembali pada rutinitas masing-masing.

Hanya ada beberapa pengunjung di sana, yang asyik bercengkrama dengan temannya di cafe yang bernuansa ungu itu. Namun, ada yang berbeda. Dua pasang manusia yang duduk di pojok ruangan seperti tengah berbicara dengan serius.

"Bagaimana ini? Sampai sekarang Mas Dafa gak ada tanda-tanda akan melamarku. Padahal perceraiannya sudah satu tahun lebih." Mata wanita berkulit putih itu berkaca-kaca, dengan segera dia menunduk ketika air matanya mulai jatuh.

Terlambat! Laki-laki berkaca mata di depannya sudah mengetahui hal itu. Maka dengan pandangan sendu, dia mengulurkan tisu pada sang wanita pujaan.

"Kalau begitu menyerah lah." Fawaz—si laki-laki berkaca mata—menatap lembut wanita yang kini juga balas memandangnya.

"Aku gak bisa, Kak. Aku cinta sama dia."

Tanpa wanita itu sadari, tangan Fawaz yang berada di bawah meja, mengepal erat. Menyalurkan rasa kecewa yang menggerogoti hatinya.

Kirana—wanita di depannya—adalah seseorang yang telah menguasai seluruh hatinya sejak beberapa tahun silam. Namun, sayang, rasa cintanya sama sekali tidak berbalas. Sang wanita malah mencintai seseorang yang tidak sepantasnya dicintai.

Apakah kisah mereka seperti drama? Di mana sang laki-laki hanya menyimpan sendiri rasa itu tanpa berani mengungkapkan?

Jelas tidak! Karena sudah terhitung tiga kali Fawaz menyatakan perasaan, tapi semuanya berakhir dengan penolakan. Jadi pantas saja jika Rafi—sahabat Dafa—menyebutnya laki-laki bodoh. Karena mau saja mendengarkan curhatan sang pujaan. Lebih parahnya laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu, dengan suka rela dimanfaatkan oleh Kirana.

"Terus apa yang kamu inginkan?" Sebisa mungkin Fawaz menampilkan raut tenang.

"Aku gak tau, Kak. Aku bingung." Air mata kembali mengalir di pipi putih Kirana.

Fawaz menghela napas berat. Sebenarnya siapa di sini yang paling bodoh? Namun, sepertinya mereka berdua pantas disebut bodoh. Karena dalam hati terus mempertahankan rasa cinta bertepuk sebelah tangannya.

"Apa perlu aku bicara pada Dafa?"

Dengan cepat Kirana menggeleng, menyebabkan rambut panjangnya itu bergerak tidak tentu arah, "jangan!" ucapnya putus asa.

Mata Fawaz menyorot pada wanita yang kini tengah menghapus air matanya. "Baiklah, sudah jangan menangis lagi, nanti dikira orang-orang aku menyakitimu. Padahal kenyataannya kamu lah yang membuat aku patah hati."

Kirana tertawa kecil, ketika melihat wajah Fawaz yang pura-pura terluka.

Padahal tanpa wanita itu tahu, itu adalah raut jujur Fawaz. Bahwa dia tengah patah hati. Patah hati untuk yang kesekian kalinya. Pada orang yang sama.

***

Sebulan berlalu sejak kerja sama antara Aara dan Bu Laras. Sejak saat itu, hari-hari Aara semakin disibukkan dengan pesanan yang datang terus-menerus. Tidak berhenti wanita berlesung pipi itu mengucap syukur. Atas semua karunia yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Bahkan kini Aara menambah dua orang lagi untuk membantunya. Mbak Anggun dan juga Mbak Rina. Mereka adalah sesama wali murid di sekolah Zidni—anak kedua Mbak Yuli.

"Ra, ini sudah selesai dikemas. Mau diantar sekarang?" tanya Mbak Yuli yang melihat Aara memasuki dapur.

"Iya, Mbak. Ini aku berangkat. Catatan berapa pesanan hari ini aku tempel di kulkas, ya." Aara segera berjalan menuju lemari pendingin setelah mendapatkan jawaban dari Mbak Yuli.

"Mau dibantu ngangkat?" Mbak Anggun menatap Aara yang akan mengangkat kardus berisi dua puluh lima nastar itu.

"Gak usah, Mbak. Gak berat, kok. Aku pergi dulu, ya," pamit Aara. "O ... ya, nanti kalau waktunya istirahat langsung istirahat saja. Soalnya aku ada janji sama Rosi. Lauknya nanti manasin aja."

"Iya. Hati-hati," jawab ketiga wanita yang begitu kagum dengan kepribadian Aara. Meski wanita berkulit kuning langsat itu, adalah seorang majikan tapi dia begitu menghormati para pegawainya.

Sebenarnya selama ini Aara selalu memakai jasa kurir untuk mengantar pesanan. Namun, hari ini dia ada janji temu dengan sahabatnya. Jadi dia memutuskan untuk mengantarkannya sendiri. Toh, mereka janjian di toko Bu Laras, biar sekali jalan saja maksud Aara.

***

"Mau dibantu?"

Kardus yang Aara pegang hampir terjatuh, saat dia mendengar suara berat dari arah belakang. Perlahan wanita itu, menaruh kembali kardusnya di jok motornya, lalu memutar tubuh untuk mengetahui siapa si tersangka.

Kening Aara berkerut, karena sekilas dia bisa melihat kilat terkejut di mata laki-laki yang entah siapa itu. Namun, dengan cepat laki-laki berkaca mata itu, menormalkan ekspresi dan tersenyum pada Aara.

"Gak usah, Mas. Terima kasih." Aara kembali memutar tubuhnya untuk mengambil kembali kardusnya.

Kepala Aara mengangguk sedikit, saat langkahnya melewati laki-laki yang terus saja menatapnya. Jujur saya dia ingin segera pergi. Risih dengan tatapan yang dilayangkan laki-laki itu.

Sementara Fawaz tetap mengikuti pergerakan wanita yang menggunakan gamis biru muda. Rasa bersalah kembali hadir di hatinya, akibat pertemuan tidak terduga ini.

"Kenapa kami bertemu lagi? Kenapa juga harus di tempat ini?" gumam Fawaz pelan. 

Setelahnya, laki-laki itu melangkah ke arah yang sama dengan Aara. Sambil terus berharap semoga ini pertemuan terakhir mereka. Tidak ada lagi pertemuan-pertemuan selanjutnya, baik disengaja atau tidak.

"Fawaz sini!"

Teriakan dari sang ibu, membuat Fawaz yang baru saja membuka berdecak kecil. Mau marah takut dosa. Namun, ini sungguh memalukan. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian.

Maka dengan malas, laki-laki itu langsung berjalan cepat ke arah etalase. Di sana sudah ada sang ibu yang tersenyum lebar padanya. Juga ada wanita yang dilihatnya di depan berdiri sebelah ibunya. Sementara Manda yang berdiri di belakang etalase tersenyum penuh makna padanya.

Pasti ada sesuatu yang direncanakan sang ibu! pikir Fawaz.

"Kamu lama banget, sih, sudah bunda tunggu dari tadi, lo." Bu Laras melingkarkan tangan pada lengan sang anak, kemudian pandangannya beralih pada Aara. "Aara ini kenalin anak tante Fawaz. Nah, ini Aara yang kemarin bunda ceritakan pada kamu."

Fawaz berusaha tidak memutar bola matanya. Jelas! Dia amat sangat mengerti maksud ibunya. Akhirnya dengan terpaksa laki-laki itu mengulurkan tangan. Daripada nanti dia mendapat petuah panjang lebar dari ibunya, tetang pentingnya sopan santun.

"Fawaz." Laki-laki itu berdeham, lalu dengan canggung menarik kembali tangannya. Karena wanita di depannya tidak menerima tangannya, tapi malah menangkupkan kedua tangannya.

"Aara," jawab wanita itu tidak kalah canggung. Untuk menghindari situasi yang aneh ini, Aara segera berpamitan pada mereka, "Aara ke atas dulu tante, sudah ditunggu teman. Duluan Manda, mari Mas." Wanita itu tersenyum tipis lalu berjalan ke arah tangga.

Bu Laras menyikut pinggang sang anak. "Gimana? Cantikkan?"

Fawaz menatap malas pada ibunya. "Cantik."

Tiba-tiba Bu Laras bertepuk tangan heboh. "Kalau begitu, jadikan dia mantu bunda."

"Apa-apaan, sih, Bun? Aku bilang cantik, bukan berarti aku tertarik." Fawaz berjalan menuju ruang kerja ibunya.

"Coba kenalan dulu aja Mas," usul Manda.

"Nah betul itu!" Bu Laras menatap Manda dengan senyum lebar.

"Barusan kenalan, 'kan?" Fawaz terus saja melangkah. Tidak mau menanggapi dua wanita di belakangnya.

"Ck. Anak itu!" gerutu Bu Laras sambil mengikuti langkah sang anak. Dalam hati dia bertekad untuk menjodohkan anaknya dengan Aara. Wanita lembut yang mampu membuat Bu Laras terpesona, pada perjumpaan pertama.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status