Share

5

Aara melambaikan tangan pada Rosi yang sudah menunggunya. Wanita itu segera berjalan ke arah balkon, tempat sang sahabat berada.

"Sorry, lama." Aara mendudukkan diri di depan sahabatnya.

"Gak, kok. Aku juga baru dateng." Tiba-tiba Rosi menatap Aara intens, sambil tersenyum misterius. "Tadi siapa?"

Kening Aara mengkerut. "Siapa?"

"Itu, lelaki berkaca mata yang ngobrol sama kamu di parkiran." Rosi menaik turunkan alisnya.

Aara berdecak kecil atas godaan sahabatnya. "Anaknya Bu Laras."

"Kalian udah kenalan?"

"Tadi dikenalin Bu Laras di bawah." Aara mulai membuka buku menu, untuk memilih makanan apa yang akan dia pesan.

"O ...."

Wanita berkulit kuning langsat itu mendongak, begitu mendengar nada aneh sang sahabat. Dia memutar bola mata, saat Rosi tengah tersenyum tipis padanya. Aara jelas tahu, apa maksud senyum itu. "Jangan mikir yang aneh-aneh!"

"Emang aku mikir apa?" goda Rosi.

"Kita sahabatan udah berapa lama sih? Tentu saja aku tau apa yang ada di pikiranmu sekarang."

Rosi tertawa, "emang kamu gak mau kenalan lebih lanjut?" tanyanya setelah bisa menormalkan situasi.

"Enggak!"

Jawaban cepat Aara, membuat Rosi menggeleng pelan, "apa salahnya, sih, mencoba memulai hubungan baru? Tuh, si Dafa, bahkan udah langsung pacaran aja sama Kirana begitu kalian resmi cerai."

Rosi menjadi kesal sendiri ketika membahas Dafa, yang menurut sang suami sudah resmi menjalin hubungan baru setelah tiga bulan bercerai dengan sahabatnya. Terus dulu mereka menuduh Aara selingkuh?

Sungguh, Rosi tidak habis pikir. Sebenarnya mereka waras tidak, sih?

"Gak ada yang salah, sih. Cuma mungkin belum waktunya. Dan soal Mas Dafa, itu bukan urusanku lagi." Aara tersenyum pada sang sahabat, "udah kita bahas yang lain aja usulnya.

Meski masih kesal. Tidak urung Rosi tetap mengangguk, "oke! kita bahas Mas Fawaz aja kalau gitu."

Mata Aara menyipit, "sepertinya aku gak pernah ngomong nama laki-laki itu."

Rosi tertawa canggung, kemudian berdeham pelan sebelum membalas kalimat sang sahabat. "Kamu umur berapa, sih? Kok udah pelupa? Tadi kamu nyebut kok." Rosi kembali membuka buku menu, agar Aara tidak bisa menatap matanya. Dia takut ketahuan kalau sudah berbohong pada Aara.

Aara mengangguk pelan, lalu mengedikkan bahu. Tidak mau membahas ini lebih lanjut. "Jangan mulai mikir aneh-aneh, ya! Karena menurutku kami gak cocok." Wanita berhijab biru itu, kembali ke topik mereka sebelumnya.

"Kenapa mikir gitu? Menurutku kalian cocok, kamu cantik, dia ganteng."

"Ck. Kamu mikir cuma fisiknya aja. Lagian, nih, ya. Secara fisik kami juga gak cocok. Dia putih aku kuning langsat."

Dengan kesal Rosi memukul telapak tangan sahabatnya. "Hari gini masih aja fisik jadi pembanding? Gak benget deh!"

Tertawa karena gaya bicara Rosi yang begitu berlebihan, Aara menghela napas agar tawanya berhenti. Karena takut akan jadi bahan perhatian orang-orang di sini.

Dia tidak serius ketika tadi membicarakan perbedaan fisik. Karena dia juga bersyukur dengan kuning langsatnya. Hanya saja, dia malas jika harus mendengar Rosi yang terus-terusan membahas masalah jodoh.

"Jadi? Kapan belanja keperluan bayi?" tanya Aara mengalihkan pembicaraan.

Memang pertemuan kali ini bukan hanya acara temu kangen. Karena hampir dua bulan mereka tidak bertemu. Namun, juga karena permintaan Rosi, agar Aara menemaninya belanja perlengkapan bayi yang masih dalam perut sahabat Aara itu.

Aara menatap wajah Rosi yang tampak cerah, pipi sahabatnya terlihat lebih gemuk. Dikarenakan usia kandungannya sudah menginjak lima bulan. Sungguh dia ikut bahagia dengan kabar kehamilan Rosi. Namun, dalam sudut hatinya, hal itu mengingatkannya pada pada janinnya yang telah pergi.

Rosi memegang telapak tangan sahabatnya yang terletak di atas meja. "Gak pa-pa, semua sudah terjadi. Mungkin memang itu hal terbaik untukmu," ujarnya pelan.

Aara memandang sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Merasa bersyukur memiliki sahabat yang mengerti dirinya, meski dia tidak mengatakan bagaimana perasaannya.

Ya, Rosi benar. Semua sudah berlalu dan dia harus yakin kalau ini memang yang terbaik untuknya. Karena dia tahu, selalu ada hikmah dalam setiap kejadian.

***

Gerai toko perlengkapan bayi dengan dekorasi khas anak-anak, yang temboknya dicat warna cerah tampak tidak begitu ramai. Mungkin dikarenakan hari ini, masih hari aktif kerja.

Sejak awal masuk, Rosi sudah terlihat antusias. Ibu hamil seakan tidak lelah, mengitari toko untuk mencari apa yang dibutuhkan sang bayi. Atau lebih tepatnya apa yang diinginkan sang ibu. Karena Rosi merasa ingin membeli semua yang di matanya tampak lucu. 

Sementara itu, Aara yang selalu mengikuti langkah Rosi, menggeleng pelan seraya tersenyum kecil menyaksikan tingkah sang sahabat. Pantas saja, Rafi tidak mau menemaninya, pasti laki-laki akan menggerutu jika harus mengikuti sang istri.

"Mana yang bagus? Pink apa kuning? Eh, tapi aku mau kedua-duanya."

Aara memilih tidak menjawab, karena dia tahu pasti, Rosi akan membeli keduanya.

"Udah, lah. Aku beli semua."

Nah, 'kan! Tebakan Aara benar.

"Memang Mas Rafi, gak protes, kamu beli sebanyak itu?"

"Mau protes juga aku gak peduli, salah sendiri gak mau nemenin," gerutu Rosi yang sudah mencebikkan bibirnya."

"Salah sendiri kamu kalau belanja lama."

"Hei, kamu sahabatku bukan, sih?"

"Kalau bukan, aku gak akan di sini, lah." Aara tertawa menghadapi ibu hami yang suasana hatinya cepat berubah, terkadang terasa lucu bagi Aara. "Eh, masih lama? Kita makan, yuk. Kasihan juga debay-nya."

Rosi mengangguk, menandakan sudah selesai, meski matanya masih tampak memperhatikan seluruh ruangan. Tidak ingin sahabatnya berubah pikiran, Aara langsung menggandeng ibu hamil itu menuju kasir.

Baik Aara maupun Rosi sama-sama membawa empat kantong kertas, yang semuanya berisi baju bayi. Semoga saja, nantinya terpakai semua, harap Aara.

Sebuah teriakan menghentikan langkah Aara dan Rosi, yang baru saja memasuki warung khas Nusantara yang terletak di lantai satu.

"Rosi!"

Aara langsung memandang Rosi tajam, begitu mengetahui siapa yang memanggil sang sahabat, hanya hanya dibalas dengan cengengesan oleh sahabatnya.

"Dah, ayo ke sana." Rosi melingkarkan tangan di lengan Aara, kemudian menggeret wanita berkulit kuning langsat itu menuju meja yang terletak di pojok kanan.

"Tante."

Aara yang melihat sahabatnya, mencium tangan Bu Laras, sontak melongo. Jadi mereka saling mengenal? Terus kenapa tadi Rosi berakting selayaknya orang yang tidak tahu Fawaz?

"Hai, Mas," sapa Rosi pada laki-laki yang duduk di samping ibunya.

"Rosi kok bisa sama Aara?" tanya Bu Laras penasaran.

"Aara sahabat saya Tante."

"O ... sahabat?" Bu Laras tersenyum kecil sambil mengalihkan pandangan pada sang anak, yang membuat Fawaz menghela napas panjang.

Aara yang memperhatikan setiap gerakan Bu Laras, mengerutkan kening melihat interaksi ibu dan anak di depannya.

"Eh ... kok malah berdiri saja? Ayo sini kita makan bareng," ajak Bu Laras.

Sejujurnya Aara ingin menolak, melihat raut keberatan dari laki-laki berkaca mata itu. Akan tetapi, sebelum dia mengatakan hal itu, Rosi lebih dulu mendudukkan diri di depan Bu Laras. Hingga dengan terpaksa Aara duduk di depan Fawaz, satu-satu tempat yang tersisa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status