Share

5

Author: SashiArumi
last update Huling Na-update: 2021-05-30 11:36:45

Aara melambaikan tangan pada Rosi yang sudah menunggunya. Wanita itu segera berjalan ke arah balkon, tempat sang sahabat berada.

"Sorry, lama." Aara mendudukkan diri di depan sahabatnya.

"Gak, kok. Aku juga baru dateng." Tiba-tiba Rosi menatap Aara intens, sambil tersenyum misterius. "Tadi siapa?"

Kening Aara mengkerut. "Siapa?"

"Itu, lelaki berkaca mata yang ngobrol sama kamu di parkiran." Rosi menaik turunkan alisnya.

Aara berdecak kecil atas godaan sahabatnya. "Anaknya Bu Laras."

"Kalian udah kenalan?"

"Tadi dikenalin Bu Laras di bawah." Aara mulai membuka buku menu, untuk memilih makanan apa yang akan dia pesan.

"O ...."

Wanita berkulit kuning langsat itu mendongak, begitu mendengar nada aneh sang sahabat. Dia memutar bola mata, saat Rosi tengah tersenyum tipis padanya. Aara jelas tahu, apa maksud senyum itu. "Jangan mikir yang aneh-aneh!"

"Emang aku mikir apa?" goda Rosi.

"Kita sahabatan udah berapa lama sih? Tentu saja aku tau apa yang ada di pikiranmu sekarang."

Rosi tertawa, "emang kamu gak mau kenalan lebih lanjut?" tanyanya setelah bisa menormalkan situasi.

"Enggak!"

Jawaban cepat Aara, membuat Rosi menggeleng pelan, "apa salahnya, sih, mencoba memulai hubungan baru? Tuh, si Dafa, bahkan udah langsung pacaran aja sama Kirana begitu kalian resmi cerai."

Rosi menjadi kesal sendiri ketika membahas Dafa, yang menurut sang suami sudah resmi menjalin hubungan baru setelah tiga bulan bercerai dengan sahabatnya. Terus dulu mereka menuduh Aara selingkuh?

Sungguh, Rosi tidak habis pikir. Sebenarnya mereka waras tidak, sih?

"Gak ada yang salah, sih. Cuma mungkin belum waktunya. Dan soal Mas Dafa, itu bukan urusanku lagi." Aara tersenyum pada sang sahabat, "udah kita bahas yang lain aja usulnya.

Meski masih kesal. Tidak urung Rosi tetap mengangguk, "oke! kita bahas Mas Fawaz aja kalau gitu."

Mata Aara menyipit, "sepertinya aku gak pernah ngomong nama laki-laki itu."

Rosi tertawa canggung, kemudian berdeham pelan sebelum membalas kalimat sang sahabat. "Kamu umur berapa, sih? Kok udah pelupa? Tadi kamu nyebut kok." Rosi kembali membuka buku menu, agar Aara tidak bisa menatap matanya. Dia takut ketahuan kalau sudah berbohong pada Aara.

Aara mengangguk pelan, lalu mengedikkan bahu. Tidak mau membahas ini lebih lanjut. "Jangan mulai mikir aneh-aneh, ya! Karena menurutku kami gak cocok." Wanita berhijab biru itu, kembali ke topik mereka sebelumnya.

"Kenapa mikir gitu? Menurutku kalian cocok, kamu cantik, dia ganteng."

"Ck. Kamu mikir cuma fisiknya aja. Lagian, nih, ya. Secara fisik kami juga gak cocok. Dia putih aku kuning langsat."

Dengan kesal Rosi memukul telapak tangan sahabatnya. "Hari gini masih aja fisik jadi pembanding? Gak benget deh!"

Tertawa karena gaya bicara Rosi yang begitu berlebihan, Aara menghela napas agar tawanya berhenti. Karena takut akan jadi bahan perhatian orang-orang di sini.

Dia tidak serius ketika tadi membicarakan perbedaan fisik. Karena dia juga bersyukur dengan kuning langsatnya. Hanya saja, dia malas jika harus mendengar Rosi yang terus-terusan membahas masalah jodoh.

"Jadi? Kapan belanja keperluan bayi?" tanya Aara mengalihkan pembicaraan.

Memang pertemuan kali ini bukan hanya acara temu kangen. Karena hampir dua bulan mereka tidak bertemu. Namun, juga karena permintaan Rosi, agar Aara menemaninya belanja perlengkapan bayi yang masih dalam perut sahabat Aara itu.

Aara menatap wajah Rosi yang tampak cerah, pipi sahabatnya terlihat lebih gemuk. Dikarenakan usia kandungannya sudah menginjak lima bulan. Sungguh dia ikut bahagia dengan kabar kehamilan Rosi. Namun, dalam sudut hatinya, hal itu mengingatkannya pada pada janinnya yang telah pergi.

Rosi memegang telapak tangan sahabatnya yang terletak di atas meja. "Gak pa-pa, semua sudah terjadi. Mungkin memang itu hal terbaik untukmu," ujarnya pelan.

Aara memandang sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Merasa bersyukur memiliki sahabat yang mengerti dirinya, meski dia tidak mengatakan bagaimana perasaannya.

Ya, Rosi benar. Semua sudah berlalu dan dia harus yakin kalau ini memang yang terbaik untuknya. Karena dia tahu, selalu ada hikmah dalam setiap kejadian.

***

Gerai toko perlengkapan bayi dengan dekorasi khas anak-anak, yang temboknya dicat warna cerah tampak tidak begitu ramai. Mungkin dikarenakan hari ini, masih hari aktif kerja.

Sejak awal masuk, Rosi sudah terlihat antusias. Ibu hamil seakan tidak lelah, mengitari toko untuk mencari apa yang dibutuhkan sang bayi. Atau lebih tepatnya apa yang diinginkan sang ibu. Karena Rosi merasa ingin membeli semua yang di matanya tampak lucu. 

Sementara itu, Aara yang selalu mengikuti langkah Rosi, menggeleng pelan seraya tersenyum kecil menyaksikan tingkah sang sahabat. Pantas saja, Rafi tidak mau menemaninya, pasti laki-laki akan menggerutu jika harus mengikuti sang istri.

"Mana yang bagus? Pink apa kuning? Eh, tapi aku mau kedua-duanya."

Aara memilih tidak menjawab, karena dia tahu pasti, Rosi akan membeli keduanya.

"Udah, lah. Aku beli semua."

Nah, 'kan! Tebakan Aara benar.

"Memang Mas Rafi, gak protes, kamu beli sebanyak itu?"

"Mau protes juga aku gak peduli, salah sendiri gak mau nemenin," gerutu Rosi yang sudah mencebikkan bibirnya."

"Salah sendiri kamu kalau belanja lama."

"Hei, kamu sahabatku bukan, sih?"

"Kalau bukan, aku gak akan di sini, lah." Aara tertawa menghadapi ibu hami yang suasana hatinya cepat berubah, terkadang terasa lucu bagi Aara. "Eh, masih lama? Kita makan, yuk. Kasihan juga debay-nya."

Rosi mengangguk, menandakan sudah selesai, meski matanya masih tampak memperhatikan seluruh ruangan. Tidak ingin sahabatnya berubah pikiran, Aara langsung menggandeng ibu hamil itu menuju kasir.

Baik Aara maupun Rosi sama-sama membawa empat kantong kertas, yang semuanya berisi baju bayi. Semoga saja, nantinya terpakai semua, harap Aara.

Sebuah teriakan menghentikan langkah Aara dan Rosi, yang baru saja memasuki warung khas Nusantara yang terletak di lantai satu.

"Rosi!"

Aara langsung memandang Rosi tajam, begitu mengetahui siapa yang memanggil sang sahabat, hanya hanya dibalas dengan cengengesan oleh sahabatnya.

"Dah, ayo ke sana." Rosi melingkarkan tangan di lengan Aara, kemudian menggeret wanita berkulit kuning langsat itu menuju meja yang terletak di pojok kanan.

"Tante."

Aara yang melihat sahabatnya, mencium tangan Bu Laras, sontak melongo. Jadi mereka saling mengenal? Terus kenapa tadi Rosi berakting selayaknya orang yang tidak tahu Fawaz?

"Hai, Mas," sapa Rosi pada laki-laki yang duduk di samping ibunya.

"Rosi kok bisa sama Aara?" tanya Bu Laras penasaran.

"Aara sahabat saya Tante."

"O ... sahabat?" Bu Laras tersenyum kecil sambil mengalihkan pandangan pada sang anak, yang membuat Fawaz menghela napas panjang.

Aara yang memperhatikan setiap gerakan Bu Laras, mengerutkan kening melihat interaksi ibu dan anak di depannya.

"Eh ... kok malah berdiri saja? Ayo sini kita makan bareng," ajak Bu Laras.

Sejujurnya Aara ingin menolak, melihat raut keberatan dari laki-laki berkaca mata itu. Akan tetapi, sebelum dia mengatakan hal itu, Rosi lebih dulu mendudukkan diri di depan Bu Laras. Hingga dengan terpaksa Aara duduk di depan Fawaz, satu-satu tempat yang tersisa.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • LOVE and LIE   47

    "Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""

  • LOVE and LIE   46

    "Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata

  • LOVE and LIE   45

    "Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki

  • LOVE and LIE   44

    Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete

  • LOVE and LIE   43

    Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.

  • LOVE and LIE   42

    Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia

  • LOVE and LIE   41

    Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F

  • LOVE and LIE   40

    Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba

  • LOVE and LIE   39

    Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status