Dilihatnya Alina sedang bersimpuh di depan kloset, memuntahkan semua isi perutnya. Anak rambutnya basah oleh keringat, wajahnya pucat.
“Nona.” Reno berjongkok sambil menepuk perlahan punggung Alina.
“Pergi!” Alina berusaha berdiri dan mengusap mulutnya dengan punggung tangannya.
“Saya bantu kembali ke ranjang.” Reno meraih lengan Alina dan melingkarkannya ke lehernya, sedangkan lengannya merengkuh pinggang ramping Alina.
“Lepas! Aku tidak butuh belas kasihanmu.”
Tap. Sret.
Reno mengangkat tubuh Alina, dengan cepat melintasi kamar dan membaringkan Alina di ranjang. Menutup tubuh berbalut piyama satin marun dengan cepat hingga dagu.
“Saya permisi, Nona.” Reno mengangguk hormat sebelum berbalik pergi.
“Tunggu. Aku hanya akan mengatakannya satu kali, dengar baik-baik. Perasaanku padamu selama tiga tahun ini, tulus. Dan malam ini adalah terakhir kalinya aku katakan pa
“Karena takut aku akan lari seperti Vivian?”“Siapa yang memberitahumu tentang dia?!”“Dia? Bahkan namanya saja enggan kamu sebut. Begitu bencikah kamu padanya? Karena dia kabur dengan kekasihnya di hari pernikahan kalian?”“Jaga ucapanmu, Ra!” desis Rangga marah.“Apa sikapmu yang suka memaksa dan seenaknya sendiri karena takut aku akan kabur seperti Vivian?” tanya Maura makin berani.“DIAM.”“Aku tegaskan padamu, aku adalah Maura. Apa yang aku lakukan dan katakan, berasal dariku sendiri, tidak meniru atau hasil pendapat orang. Jadi berhenti bersikap otoriter padaku.”Rangga melesat, meraih pinggang Maura dengan cepat. “Apa yang ada di pikiranmu saat aku melakukan ini?” Kepalanya menunduk dengan cepat, menyerang Maura yang lengah.Belum sempat Maura memikirkan apa yang harus dilakukan, Rangga sudah melepaskannya. “Morning
Pertanyaan polos Alina membuat pandangan mata Maura kabur oleh airmata. Alina benar, anak adalah buah cinta kedua orang tuanya. Bukan buah kesalahan seperti yang ia dan Rangga lakukan. “Kak, malah bengong.” “Kami tidak saling kenal. Malam itu, pertama kali kami bertemu dan melakukan kesalahan. Setelah malam itu, kami tidak lagi berhubungan sampai Rangga datang mencariku dan mengetahui kehamilanku.” “Apa benar kata Mama, kalau kamu berniat menggugurkan bayimu?” tanya Alina terdengar ngeri. Maura mengangguk. “Ya, benar. Aku tidak berniat melahirkannya atau menuntut pertanggungjawaban Rangga karena kondisi kami berdua malam itu di bawah pengaruh obat. Oleh sebab itu, aku menyebutnya kesalahan.” Maura mengelus perutnya sekilas. “Pantas saja, Reno dibuat kelimpungan beberapa minggu karena tugas mustahil yang dibebankan padanya. Menemukan gadis dalam video yang sedang mengacungkan jari tengahnya di depan pintu penthouse miliknya.” “
Maura menggelengkan kepalanya yang terasa berat. Perasaan seperti ini pernah ia rasakan sebelumnya. Kesadarannya seketika kembali, saat mengingat malam itu. ‘Ya, seperti ini rasanya ketika aku tersadar dari obat tidur. Kepala pening, mata mengantuk, badan terasa lemas dan berat.’ Pandangannya masih kabur, Maura mengerjapkan mata beberapa kali menjernihkannya. ‘Di mana ini?’ Matanya mengedar. Maura sedang duduk terikat di sebuah kursi stainles yang banyak digunakan di ruang perkuliahan. Kakinya juga diikat erat. Ia berada di sebuah bangunan kosong yang nampaknya sudah lama tidak terpakai. Dari luar tidak terdengar suara lalu lalang kendaraan. ‘Bangunan kosong di daerah terpencil,’ batinnya menarik kesimpulan. ‘Berteriak minta tolong, bukan pilihan tepat.’ “Hei! Apakah ada orang?!” teriaknya lantang. Dua orang pria kekar dengan wajah tidak bersahabat bergegas menghampirinya. “Sudah bangun rupanya, Nona Cantik. Ada apa?!” ujar pri
“Apa yang kamu lakukan, Mel?! Ahh!” Maura memekik sambil menahan ngilu yang menembus lengannya. Kepala jarum itu begitu tajam, dengan mudahnya mengoyak kulit dan dagingnya. “Apa yang kamu suntikkan?! Wanita iblis!” desisnya marah. “Tenang, itu hanya setengah dari dosis yang dibutuhkan untuk mengeluarkan janinmu. Dua jam lagi aku akan naikkan dosisnya, kalau Rangga terlambat datang.” Amelia tersenyum puas melihat tatapan marah Maura. “Kenapa? Merasa tidak berdaya? Marah aja, Ra. Sorot matamu seperti ingin menelanku hidup-hidup.” Amelia tergelak, tawa bahagia yang menjijikkan. “Jangan sentuh anakku. Kalau kamu mau pukul, pukul aku, lepaskan dia.” “Kenapa? Takut Rangga menceraikanmu kalau bayi itu sudah tidak ada? Bukannya kamu berencana membuangnya? Harusnya kamu terima kasih, karena aku membantu mewujudkan harapanmu.” Amelia tersenyum culas. Amelia menutup kepala jarumnya dan meletakkannya kembali ke dalam kotak stainles. Membersihkan tangannya
“Sudah kamu temukan lokasinya?” tanya Rangga begitu masuk ke dalam mobil.“Sudah, Bos.”“Bagus, ayo berangkat.”Reno mengarahkan mobilnya mengikuti GPS lokasi yang dikirimkan tim pengintai markasnya. Melihat air muka bosnya, Reno memilih diam. Tidak memberitahukan kondisi terakhir Maura di dalam gedung. Sebelum Rangga masuk ke dalam mobil, salah satu timnya melapor bahwa dia mendengar jeritan yang ditengarai sebagai suara Maura.“Rem!” Hardik Rangga. “Ke mana pikiranmu, Ren?! Fokus!”“Maaf, Bos.”Mereka sampai di lokasi yang dituju setengah jam kemudian. Reno menghentikan mobilnya di bawah pohon yang rindang, berjarak tiga ratus meter dari bangunan kosong tempat Maura disandera.“Gedung di depan sana, Bos!” tunjuk Reno lurus ke depan.“Oke, siapkan semuanya. Aku akan masuk sekarang.” Rangga meraih tas kerja hitam di sampingnya seraya
“Maaf, tidak ada yang bisa kita lakukan. Obat perangsang persalinan yang disuntikkan sudah melebihi dosis. Saat ini, sedang proses peluruhan janin. Jantungnya sudah berhenti berdetak.” Siska menguatkan hatinya mengatakan yang sedang terjadi pada dua keponakannya.Kata-kata dokter Siska memberi sengatan kekuatan pada Maura. “TIDAK! Selamatkan dia, Kak. Aku janji, aku akan bersikap baik padamu. Tolong, Kak!” Maura berteriak, menarik lengan Rangga, memukulnya.Rangga memeluk istrinya dengan lengan lainnya. Hatinya perih, matanya panas. Tidak ada hati yang masih bisa membeku melihat tangis sedih dan jerit marah Maura.‘Aku akan balas mereka, Ra!’“Maafkan aku, Ra.”“Tidak, aku tidak akan memaafkanmu! Selamatkan dia, Kak!” Maura terus memukul punggung Rangga dengan kepalan tangannya. “Dokter, lakukan sesua-tu….” Maura terkulai lemas.“Ra, Maura. Tante, dia kenapa
“Hehh! Kenapa kamu bisa di sini? Bukannya kamu bilang sudah pergi jauh dari Jakarta?” Amelia melotot kesal.“Anak buah Rangga menangkap saya, Mbak. Saya sudah keliling kota hanya untuk menarik tunai uang yang Mbak kirimkan agar tidak bisa dilacak. Mbak sendiri kenapa bisa tertangkap?”“Aku lebih berani dari kamu. Aku menculik istri Rangga dan membuatnya kehilangan bayi yang dikandungnya.” Amel tersenyum bangga ketika mengatakannya. Senyumnya kian lebar melihat Bayu mengernyit ngeri ke arahnya.“Aku sudah pernah katakan padamu, aku menyimpan dendam yang besar pada wanita itu.”“Ranggapati tidak akan melepaskanmu dengan mudah, Mbak.”“Tidak masalah. Asal aku sudah membalas sakit hatiku, tidak masalah bagiku. Dan aku pikir, Rangga bukan tipe pria bejat yang tega menyakiti wanita. Buktinya, dia sama sekali tidak menyentuhku.”“Mbak terlalu memandang remeh Ranggapati Da
“Kak, dia baik-baik saja, ‘kan?” Maura mengulang pertanyaannya. “Kenapa diam?”“Dia baik, sangat baik. Kamu tenang saja. Tidurlah, kamu pasti masih mengantuk.” Rangga mengusap lembut anak rambut yang lengket di kening Maura.Maura menekuk jarinya, meminta Rangga mendekat. “Aku lapar, Kak,” bisiknya.“Tan, apa dia sudah boleh makan?” Rangga berbalik menatap Siska.“Minum yang hangat dulu. Kalau tidak mual, muntah, bisa lanjut makan.”“Ren, tolong belikan minuman dan makanan hangat.”“Tidak, aku mau kamu yang belikan. Aku ingin minum teh hangat dan makan nasi rawon.”Rangga mengernyit sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan keluar kamar diikuti Reno. Setelah Rangga pergi, Alina duduk di samping ranjang dan meraih tangan Maura.“Kak, maafkan aku. Kalau bukan karena aku memaksamu keluar bersamaku, semua ini tidak akan terjadi