“Siapa ini, Al? Temanmu?” tanya Oma Tuti saat tangannya memeluk Alina sedang matanya menatap Maura yang berdiri canggung.
“Ini istrinya Bang Rangga, Oma.” Alina menarik Maura mendekat. “Perkenalkan dirimu,” bisik Alina lirih.
Mata tua itu menatap tajam ke arah Maura, penuh rasa ingin tahu. “Istri Rangga? Cantik.” Oma mengulurkan tangannya.
“Senang berkenalan dengan Oma, saya Maura.”
Tangan kurus terbalut kulit keriput itu menggenggam erat tangan Maura, tetap seperti itu selama beberapa saat. “Kau wanita berpendirian kuat, cocok bersanding dengan Rangga.” Bibir yang tadi sinis dan kaku, kini menyungging senyuman hangat.
Alina menyikut lengan Maura dan mengerlingkan sebelah matanya. “Dia menyukaimu.”
“Ayo, masuklah. Aku sudah menyuruh Euis memasak makanan kesukaanmu, Al.”
Alina dan Oma saling berpandangan. “Nasi liwet, bakakak hayam, sa
Reno menarik lengan Vivian keluar dari vila keluarga Danutirta. Kali ini, Vivian sudah kelewat batas. Reno terus menarik sepupunya itu menjauh dari vila. “Lepas!” Vivian mengibaskan lengannya. “Sakit, Kak!” “Eve, kali ini kau terlalu jauh melewati batas. Apa maumu dengan bersikap begini? Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhi Maura.” “Bukan aku yang mengatur ini, takdir yang mengaturnya,” bantah Vivian. “Aku tidak tahu kalau vila mereka bersebelahan dengan vila Oma Tuti, nenek Cleo dan Jason. Mereka yang mengundangku dan Yuki untuk berlibur bersama mereka.” Reno menyugar rambutnya kasar. “Rahasia yang berusaha kau tutupi sekuat tenaga, akhirnya terbuka dengan sendirinya. Sudah waktunya semua tahu bahwa Yuki adalah anakku dan Rangga.” “EVE!” “Apa? Kau mau aku bagaimana kali ini? Pergi ke mana? Mengirimku ke mana?” Vivian meraih jemari Reno, mencoba membujuknya. “Kak, hanya kau yang aku punya. Harusnya kau menolongku, bukan be
Alina sedang menonton siaran pemilihan ratu sejagad di televisi sambil memangku setoples berondong jagung mentega yang masih hangat, saat Rangga dan Alina turun dengan penampilan memukau. “Rapi banget. Kalian mau ke mana?” tanya Alina penasaran. “Maura mengajakku makan malam romantis.” Rangga nyengir saking antusiasnya. “Keren?” “Kak, aku ikut, ya?” tanya Alina memelas. “Boring, nih.” Alina meletakkan toples kaca ke atas meja dan memakai sandalnya dengan tergesa. “Ya, ya, ya?” “Sejak kapan kencan rame-rame, Al? Kamu ajak aja Reno keluar.” Rangga mengulurkan kartu debit warna hitam. “Nih, unlimited. Balikin kalau sudah selesai pakai.” “Ogah, mending aku ajak Kang Asep bikin api unggun di belakang. Bakar jagung dan ikan,” ucap Alina kesal. “Masih belum baikan, Al?” tanya Maura lembut lalu maju selangkah dan berbisik, “Buka telinga dan hati, bicarakan baik-baik. Anggap kami keluar untuk memberimu ruang bicara leluasa dengan Reno.
“Silakan, saya siap mendengarkan.”“Dari reaksimu saat melihatku tadi, aku duga kau sudah tahu tentang kami di masa lalu.” Vivian berdiri dengan banggasaat berhadapan dengan Maura.“Ya, tentu. Saya tahu tentang bagaimana Anda meninggalkannya di hari pernikahan kalian karena kabur bersama Damian. Saya juga tahu Anda datang ke hotel beberapa saat setelah pesawat Anda mendarat. Dan saya tahu, Anda sengaja datang ke Bali untuk menemui suami saya.” Maura membalas serangan Vivian telak.“Rupanya Rangga tidak menyembunyikannya darimu.”“Kami sudah menikah, apalagi yang perlu disembunyikan. Kami menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Itu tandanya kami saling mencintai, bukan begitu?”Vivian mencibir kenaifan Maura memandang sebuah hubungan. “Jangan senang dulu, Maura. Menikah tidak membuat seseorang menghapus kenangan masa lalunya dan itu akan terus melekat bersamanya,” ujar
Alina masih duduk di depan TV, dengan kacamata bulat besar menggantung di hidungnya dan mulut mengunyah berondong jagung ketika ekor matanya menangkap bayangan orang berjalan menuju dapur.“Mau apa kemari?” tanyanya sinis.“Kang Asep meminta saya mengantarkan makan malam untuk Anda.”Brak.Alina meletakkan toples kaca dengan keras dan berjalan cepat ke depan Reno, memojokkan pria itu di antara kulkas dan dirinya. “Apa maumu sebenarnya?”Reno mendorong bahu Alina menjauh. “Jangan seperti ini, Nona. Akan menimbulkan kesalahpahaman bagi yang melihat.”“Biarkan saja, aku yang akan menjelaskannya nanti. Sekarang, jelaskan padaku kenapa sikapmu berubah?”“Nona, kejadian di Bali murni kesalahan saya. Saya minta maaf.”Plak.Alina menampar Reno dengan keras. “Pengecut!” Alina mundur dua langkah. “Oke, sesuai janjiku saat kita di Bali. Itu t
"Deal?” Alina mengulurkan tangannya. Aldo hanya bisa tersenyum mengakui kehebatan Alina. Dia tahu betul kelemahan Aldo yang menggilai Ranggapati Danutirta dan arsitektur. “Apa dia pria yang mengantarmu pulang saat resepsi pernikahan kakakmu?” Alina mengangguk. “Dia pria beruntung karena berhasil mendapatkan cintamu. Apa hebatnya dia?” “Aku adalah wanita paling beruntung apabila bisa mendapatkan cintanya. Dia pria paling lurus dan setia yang pernah aku temui. Limited edition,” aku Alina penuh kekaguman dan binar di matanya. Aldo menangkap sosok yang Alina maksud. “Dia baru saja masuk dan sedang menatap ke arah kita. Apa yang perlu aku lakukan?” “Sialan! Kamu mau bantu atau tidak?!” geram Alina. “Jangan pernah katakan kamu menyesal berbisnis denganku.” Aldo meraih tangan Alina dan menariknya hingga gadis itu duduk di pangkuannya. Perlahan Aldo mendekatkan wajahnya membuat Alina terbeliak. “Apa yang kamu
“Apa yang kamu katakan padanya di bawah tadi?” tanya Rangga tiba-tiba setelah memarkir mobilnya di garasi. “Rahasia wanita.” “Aku perlu tahu, Ra.” “Untuk?” Maura menggeser bahunya menghadap Rangga. “Merencanakan sesuatu di belakangku?” “Hanya ingin tahu agar mudah bersikap.” “Akan sangat mudah menentukan sikap setelah kamu memutuskan siapa yang lebih penting untukmu, Kak.” Kata-kata dan tatapan Maura menohok Rangga tepat di ulu hati. “Kau tahu pasti siapa prioritasku, Ra.” “Aku belum tahu karena kamu belum mengatakannya padaku, Kak.” Maura terus menatap suaminya. “Keluargaku. Orang-orang yang terikat darah, hukum dan perasaan, adalah prioritasku.” Rangga meraih jemari Maura dan membawanya ke atas pangkuannya. “Yuki?” tanya Maura hati-hati. “Dia akan menjadi penting bagiku setelah tes DNA membuktikan bahwa darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah Danutirta. Aku harap kamu mengerti yang aku maksud.”
Kediaman Danutirta, JakartaKedua lututnya tak berhenti bergerak sejak Yuni mempersilakannya duduk. Reno berangkat pukul tiga pagi dengan mengendarai mobil menuju Jakarta, memenuhi janji temu dengan calon mertuanya, kalau lamarannya diterima.“Diminum dulu kopinya, Den. Tegang sekali mukanya. Bapak biasanya sarapan roti, bukan orang,” canda Yuni sambil terkikik geli, menambah kecepatan debar jantung Reno.“Makasih, Teh Yuni.”Bibirnya baru saja menempel pada bibir cangkir menghirup aroma kopi yang menenangkan ketika Galih dan Hanna keluar dari kamar utama. Cepat-cepat diletakkannya cangkir, diusapnya celana denim dengan telapak tangan untuk mengurangi keringat yang tiba-tiba keluar.“Pagi, Ren. Sudah sarapan?”Deg.“Pagi, Pak, Bu. Sudah, tadi sebelum berangkat saya sempatkan untuk makan.”“Makan angin?” Galih menggeleng dan tersenyum melihat kegugupan pertama pria kepe
“Coba kamu ulangi lagi kata-katamu barusan. Kamu bilang apa?” “Mungkin kita perlu pikirkan ulang keputusan kita untuk bersama,” ulang Reno lebih lantang dari sebelumnya. “Pikirkan ulang? Batal maksudnya?” Reno tidak menjawab pertanyaan Alina, hanya menutup pintu rumahnya dan duduk di sofa, seperti tidak ada Alina di sana. “Reno, jawab aku. Apa maksud perkataanmu barusan? Tidak, beri aku alasannya kenapa kamu minta kita pikirkan ulang.” “Aku rasa kita tidak cocok bila bersama.” “Tahu dari mana? Pernah kita bersama sebelumnya?” Alina kesal dengan jawaban Reno yang dinilainya asal. “Beri aku jawaban yang sesungguhnya.” Reno berdiri berhadapan dengan Alina dengan wajah serius. “Oke, kalau itu maumu. Aku tidak terbiasa dipimpin seorang wanita.” Dahi Alina seketika berkerut dalam. Mulutnya sudah setengah terbuka ingin memprotes Reno, tapi diurungkannya. Ia pikirkan semua informasi yang didapatnya dari Hanna saat perjalanan ke