Share

DIREKTUR

"Sekretaris?" ulang Maya setelah lamunannya terpecah. "Emang kamu kerja di mana sekarang, Bhara?" tanyanya lagi.

Senyum Bhara mengembang tipis di wajah tampannya, dia keluarkan kartu nama dari dompetnya. "Ini kartu nama aku."

Maya menerima kartu nama itu dengan muka sedikit melongo. Matanya bulat sempurna begitu dia baca pekerjaan dan posisi Bhara. "Di ... direktur?" lirihnya, sedikit memberi kesan udik. Tapi sungguh, siapa yang akan sangka Bhara berada di posisi ini sekarang?

Teman-teman kampus yang lain segera melirik, memastikan apakah benar Bhara sekarang menjabat sebagai direktur. Suara bisik-bisik mereka langsung mengisi ballroom itu, bising seperti lebah bergerombol.

"Hah? Masa sih?"

"Liat, itu kan perusahaan gede."

"Wah, keren ... Bhara pakai orang dalam kali ya?"

"Hush, jangan sembarangan lu, Bhara kan yatim."

"Kali aja dia punya tante om jauh, gitu."

Sebagian memuji kagum, sebagian sibuk menyusun berbagai asumsi.

Meski dalam hati Maya lumayan terpukau tapi dia tak otomatis mengutarakan rasa kekagumannya, justru berusaha terlihat biasa-biasa saja, demi gengsi. Dan kebetulan saat itu, seorang pria berkemeja hitam datang ke arahnya. "Oya, ini Dev, tunanganku. Dev, ini Bhara, teman kuliah aku."

Maya menggandeng pria berkulit sawo matang itu dengan mesra. Dari perawakan dan gayanya yang gagah, sepertinya dia juga bukan pria biasa. Dan tentu Maya tak akan mau bersamanya apabila dia hanya pria biasa.

Bhara menyalam tangan Dev cukup kuat. Wajah Alisa malahan berseri begitu dia menyadari sesuatu, "Mas Dev ini ... anak Bu Ria, kan?"

Bhara melirik Alisa dengan sorot mata tak senang, padahal sudah dia perintahkan sejak awal agar Alisa menutup mulutnya, jangan bicara bila dia tak meminta, untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.

"Bu Ria?" bisik Bhara.

"Ya, Mas. Bu Ria itu walikota sekaligus pengusaha ternama. Keren ... ini pertama kali aku melihat langsung seorang anak pejabat!"

"Ehem!" Bhara langsung berdeham kuat, memberi sinyal agar Alisa menutup mulutnya.

Tentu Maya langsung tertawa kecil dengan rasa bangga yang membuncah. "Itu benar, Dev memang anak pejabat. Tapi itu nggak bikin dia jadi merasa berbeda, kok. Dia tetap humble, dan pastinya tetap kerja keras. Dia sekarang udah berhasil jadi dokter bedah, atas kerja keras sendiri."

Omong kosong, Bhara menyahut dalam hati. Lagipula, siapa yang peduli semua itu hasil kerja keras sendiri atau tidak? Tidak ada yang bertanya, pikirnya dengan culas.

"Ayo, Lis. Kita makan dulu, habis itu kita balik." Bhara segera menarik Alisa, lama-lama dia muak juga melihat tingkah Maya. Gadis itu masih persis seperti dulu, kerap menyombongkan segala yang dia miliki meski tak ada yang bertanya.

"Nanti kapan-kapan kita harus ketemu lagi, ya. Aku mau bikin acara reunian!" seru Maya dibarengi senyum simpul yang justru terlihat mengerikan di mata Alisa.

"Hm." Bhara cuma bergumam cuek lantas menarik Alisa sebelum gadis itu bertingkah lebih udik.

***

Selama menyantap makanan yang tersedia, nyaris tak ada percakapan antara Bhara dan Alisa. Pikiran keduanya sama-sama melayang jauh. Terutama Bhara, yang dia ingat hanya kepicikan Maya, dan bagaimana gadis itu masih tetap menjalani hidup dengan baik. Padahal, dulu dia pernah menyumpahi dalam hati, semoga Maya mendapat karma atas semua perbuatan kejamnya.

"Cewek itu masih bisa bertingkah ya."

"Siapa?"

"Siapa lagi? Maya!"

Sendok di tangan kanan Bhara berhenti menyuap begitu dia secara tak sengaja menguping percakapan tiga orang gadis di meja sebelah. Bhara dan Alisa saling memandang kikuk, keduanya kompak mempertajam pendengaran untuk mendengarkan lebih jauh.

"Kenapa emangnya sama Maya?"

"Kalian nggak tau? Mamanya bangkrut! Makanya butiknya udah pada tutup."

Bhara terkesiap, kabar mengejutkan ini tak dia duga akan dia dengar sekarang.

"Udah bangkrut pun dia masih bisa belaga angkuh, sok banget, kan dia itu artis gagal!"

"Masa sih?"

"Iya. Dia kan dulu selalu pamer kalau dia itu model, tapi nyatanya, itu mamanya yang bayar majalah supaya mau menerima dia sebagai model mereka. Habis itu, dia ikut casting sana sini mau jadi artis, tapi ditolak semua. Bahkan dia pernah menggoda sutradara, tapi nggak mempan juga. Sekarang? Cih, kasihan ... cuma anak pejabat lokal kayak gitu doang yang bisa dia sedot hartanya."

Entah mengapa, mendengarkan gadis-gadis itu menggosip buruk tentang Maya, membuat hati Bhara tak nyaman. Mestinya dia senang mendengar kabar kehancuran bisnis orang tua Maya, tapi sebaliknya, justru dia bersimpati, ada sedikit rasa kasihan. Tapi ganjil jika dia kasihan, Maya tetap Maya, akan ada seribu anak orang kaya yang siap membantunya dan siap menjadikannya permaisuri.

"Uhuk! Uhuk!"

Lamunan Bhara buyar lagi begitu Alisa terbatuk-batuk, mulutnya penuh dengan macam-macam kue. Bhara mendecakkan lidah sebal sambil memberikan air minum. "Makanya makan itu pelan-pelan. Cuma karena kamu jarang makan enak, bukan berarti semuanya bisa kamu makan dalam sekali waktu! Idiot."

Alisa tertunduk membisu. Mendapat hinaan kejam dari mulut pahit Bhara bukanlah hal baru bagi Alisa, lagipula, siapapun akan gemas bila melihat kecerobohannya.

"Maaf, Pak ..." lirih Alisa malu.

"Cepat abisin, kita balik."

Usai menyalam mempelai pengantin serta berfoto bersama, Bhara dan Alisa berjalan bersama menuju pintu keluar. Langkah mereka ditahan oleh suara Maya yang lagi-lagi muncul seperti hantu.

"Udah mau pulang? Cepat banget, kita ada rencana untuk pergi minum-minum ke bar, loh! Dekat dari sini."

"Aku nggak minum. Terima kasih, kalian aja." Bhara menolak.

Maya lantas tertawa seakan mengejeak. "Ya ampun, Bhara, kamu nggak berubah ya ... sama sekali! Masih persis kayak dulu. Nggak merokok, nggak minum, terus apa lagi?"

"Nggak mengolok-olok pilihan hidup orang lain," sahut Bhara menandas dingin.

Alisa sontak tertawa. Baru kali ini dia melihat Bhara membuat orang selain dirinya mati kutu, dan ternyata lucu juga walau bisa dikatakan agak tak berperasaan.

"Kenapa ketawa? Ada yang lucu?" Maya cepat tersinggung, ditatapnya Alisa dengan garang.

"Nggak, maaf ... spontan aja. Tapi Pak Bhara merokok kok di kantor--" Alisa langsung menutup mulutnya.

Sial, cewek ini memang tidak bisa jaga mulut! Bhara mengutuk dalam hati. Maya menatap keduanya penuh tanda tanya.

"He he, ma-maaf ... kebiasaan, karena kita sekantor aku jadi sering salah sebut," ralat Alisa ketakutan. "Inilah repotnya kalau satu kantor. Di kantor kan tetap harus profesional," tambahnya.

"Kami harus pergi sekarang. Masih banyak kerjaan yang harus kami kerjakan." Bhara langsung menarik tangan Alisa sebelum jantungnya copot karena gadis itu tak bisa menahan lisannya.

"Bhara," Maya memanggil kembali. "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau ikut, tapi lain kali, boleh kan kita ketemu lagi? Jangan putus kontak lagi."

Bhara terdiam beberapa detik. Pertanyaan Maya terdengar seperti permohonan. "Hm. Terserah kamu," sahutnya masih dingin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status