Share

LOVELY MAN
LOVELY MAN
Penulis: Kumara

REUNI

Sepasang mata almond bergerak gelisah menyisir ballroom yang penuh dekorasi serba putih. Pria tinggi yang mengenakan kemeja putih gading itu mengusap bibirnya beberapa kali, ada sesuatu yang dicari oleh matanya. Tamu undangan berkerumun di tengah ballroom, menari sesuai irama yang menggema, terkecuali dirinya.

"Bhara?!"

Sampai sebuah suara menyapa membuyarkan lamunan si pemilik nama. "Hm?" Spontan dia menggumam seraya berbalik badan.

Sesosok pria bertubuh subur tersenyum begitu lebar. "Bhara! Ya ampun! Gue kira lu nggak datang!"

Bhara memaksakan diri untuk tersenyum walau rasanya canggung sekali. Sejak dia berdiri di tempatnya sekarang, ini pertama kali ada seseorang yang mengenali dirinya.

"Lu keliatan beda banget, Bro. Sampe pangling gue, sempat nggak ngenalin lu! Eh, lu sendirian?" Pria tambun itu bertanya lagi.

"Nunggu, sih--" Bhara tak menyelesaikan kalimatnya. Sebetulnya dia mengajak sekretaris pribadinya untuk datang mendampingi tapi entah mengapa gadis ceroboh itu belum kelihatan juga batang hidungnya, akan sangat memalukan kalau sampai dia tak memenuhi permintaan Bhara.

"Eh, lu ingat Maya, kan?!"

Tiba-tiba saja puncak kepala Bhara seolah dihantam palu godam, telinga dan kepalanya sebentar terasa pengang. Sudah lama nama itu tak dia dengar, mana mungkin dia lupa seseorang yang telah menghancurkan hatinya sampai berkeping-keping, membakar harapannya sampai hangus menjadi debu tak bersisa.

"Eum--" Lagi-lagi Bhara terlihat seperti orang kikuk nan bodoh.

"Dia datang juga, loh. Tuh di sana!" Si pemuda tambun setengah berbalik, menunjuk sebuah kerumunan di sudut ballroom.

O tentu saja, pikir Bhara. Maya selalu menarik perhatian seluruh pasang mata. Sejak di bangku kuliah, dia memang selalu populer, hampir seluruh mahasiswa maupun mahasiswi angkatan mereka mengagumi kecantikannya. Dan sialnya, Bharalah yang menjadi korban paling ganas dari pesona berbisa yang dimiliki Maya.

Sejak saling mengenal di tahun kedua, sebenarnya Bhara menghindari gadis itu, dia tak tertarik dengan orang-orang populer yang menurutnya penuh drama. Bhara pribadi yang sederhana, fokusnya pada saat itu hanya studi sebab bukan mudah baginya untuk memperoleh beasiswa. Dan alasan lainnya, dia sempat pula skeptis dengan motif Maya, entah apa yang diinginkan Maya dari pria seperti dia.

Mereka tidak setara nyaris di segala aspek. Maya adalah puteri seorang desainer ternama yang mempunyai merek dagang sendiri serta butik di beberapa mal, belum lagi dia juga kerap tampil mengisi halaman majalah. Dunianya jelas berbanding terbalik dengan Bhara yang sudah yatim piatu dan menghabiskan waktu untuk belajar dan belajar. Hanya belajar.

Namun toh, Maya pada akhirnya menang. Kecantikannya berhasil memikat si mahasiswa paling rajin di kampus kala itu. Dan seiring waktu berjalan, Maya juga berhasil menjadikannya budak atas nama cinta. Segala tugas, esai, sampai skripsinya dikerjakan oleh Bhara, dan Bhara dengan senang hati saja melaksanakannya tanpa ada rasa curiga. Sayangnya, segala keindahan pun akan ada masanya untuk layu, pil pahit harus rela ditelan oleh Bhara waktu mereka lulus.

Maya memutuskan hubungan mereka. Alasannya? Maya akan berangkat ke Australia untuk melanjutkan studi S2. Siapapun akan tahu apa alasan sebetulnya, tentu karena Bhara pemuda miskin dan Maya telah selesai memanfaatkan pria lugu itu.

Tapi seperti kata pepatah, musim pun akan berganti. Bhara justru menggunakan kesedihan serta tragedi asmara itu sebagai bahan bakarnya untuk membuktikan diri. Segala upaya dia tempuh sampai kini, dia telah berhasil meraih posisi direktur keuangan di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang properti, sedikit gila mengingat usianya masih muda. Level Maya tentu mudah untuk dia lampaui.

***

"Pak Bhara!"

Sebuah suara nyaring dengan napas agak tersengal mengejutkan Bhara dan memecah gelembung memorinya. Matanya langsung melirik tajam, seorang perempuan mungil berdiri di sampingnya sekarang sambil mengatur napas.

"Udah saya bilang, kan? Jangan panggil pak." Bhara setengah berbisik.

"O ... maaf ... maaf! Saya lupa, Pa-- maksud aku, ya ... Mas Bhara." Gadis muda itu tergagap, dia rapikan anak rambutnya yang mencuat dari ikatannya.

"Kenapa kamu telat? Nggak di kantor, nggak di sini, telat terus kerjaan kamu." Bhara mengoceh, tapi mengusahakan agar suaranya terjaga supaya tamu undangan yang lain tidak ikut mendengar percakapan mereka.

"Tadi macet, Pak--Mas. Di jalan tadi ada kecelakaan terus jadinya macet, makanya aku akhirnya panggil ojek. Tapi sekarang, make up sama rambut aku berantakan," keluhnya.

Bhara mendengus, ada-ada saja ulah gadis yang baru sebulan menjadi sekretarisnya ini. Hampir tak bisa diandalkan dalam hal apapun.

"Ya udah sana ke toilet, rapikan dulu tuh muka cemong kamu," celoteh Bhara.

"Bhara?"

Tapi sebelum sekretarisnya itu melangkah, gerombolan yang tadi melingkari Maya sudah berada di hadapannya. Seketika tubuh Bhara membeku, sudah lama dia tak segugup ini, seolah dia akan segera diadili dengan dibakar di api suci.

"Betul kan? Kamu Bhara! Tadi si gendut Tommy bilang kamu di sini, tapi baru sekarang aku ngeh kamu emang Bhara!" Seorang gadis membuka mulut.

Sebelum orang-orang itu berkomentar panjang lebar, seorang perempuan bertubuh langsing dengan gaun ketat sepaha melewati kerumunan itu. Seluruh angin seakan berembus menerpa wajah Bhara begitu gadis berambut panjang ikal sepinggul itu berada di hadapannya. Mata kucing miliknya masih tajam seperti dulu, bibir penuhnya merah merona. Wangi parfum mahal menguar dari lehernya yang putih jenjang. Konsentrasi Bhara sedikit terusik.

"Wah, lama nggak ketemu. Aku pikir kamu nggak pernah tertarik datang ke pesta, Bhara." Dan suaranya, seperti guyuran hujan di tengah malam, dingin sekaligus memberi ketenangan.

"Kenapa? Kamu nggak berharap ketemu aku di sini, Maya?" balas Bhara mencoba mempertahankan harga diri. Rasanya asing menyebut nama itu kembali setelah sekian lama.

Sekretaris Bhara menelan ludahnya susah payah, suasana yang canggung membuatnya tak tahu harus berkata apa. Mata kucing milik Maya menatapnya seperti menatap anak ayam kecil. "O, hai ... kamu calonnya Bhara?" Maya bertanya dengan santai.

"Ini Alisa, bisa kamu panggil Lisa. Lisa, ini Maya, teman kuliahku dulu." Bhara berlagak santai memperkenalkan keduanya, akting naturalnya sejenak membuat Alisa terbius.

"Hai ... aku Alisa, sekre--maksudku, ya aku pacarnya Mas Bhara, tapi aku juga sekretarisnya." Alisa menjulurkan tangan.

Maya tertegun sebentar. Sekretaris? pikirnya. Bukankah hanya jabatan-jabatan tinggi saja yang memiliki sekretaris? Otak Maya berkelana, apa iya Bhara sudah bukan lagi Bhara si pemuda miskin yang dulu dia manfaatkan? Matanya menyisir tubuh Bhara dari kaki sampai kepala.

Sepatunya bermerek, ikat pinggangnya juga bermerek, dan begitu mata Maya sampai di pergelangan tangan Bhara, mulutnya sedikit menganga. Jam rolex? Nggak mungkin! Itu pasti palsu! pekik Maya dalam hati. Bagaimana bisa Bhara sanggup memiliki jam tangan miliaran rupiah?

"Kenapa, Maya? Ada yang mengejutkan kamu?" Bhara yang tahu benar Maya sedang menguliti dirinya bertanya dengan usil, rasa kemenangan mulai mengisi hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status