Share

KUNJUNGAN TIBA-TIBA

Sejauh mata memandang, yang bisa dilihat Bhara hanya puncak-puncak gedung pencakar langit yang beberapa bahkan menyentuh awan. Di antara jari telunjuk dan tengahnya terapit sebatang rokok yang masih menyala, dari mulutnya keluar asap tipis-tipis. Perkataan Maya beberapa hari lalu dia ingat kembali, dulu sewaktu kuliah dia memang tak pernah menyentuh satu batang pun rokok.

Semua berubah sejak berbagai masalah dan tumpukan pekerjaan menuntutnya untuk berpikir cepat, maka hanya rokok yang mampu membantunya mencairkan kepenatan di kepala. Berada di dalam ruangan mewah di puncak gedung tinggi seperti ini pun kadang tak membuatnya merasa cukup. Seperti ada lubang di hatinya yang masih menganga, ada sesuatu yang belum dia selesaikan.

Suara pintu yang terbuka menarik perhatian Bhara. Si ceroboh Alisa masuk membawa tumpukan berkas. "Pak, saya letakkan di sini, ya. Semuanya perlu Bapak tanda tangani." Berkas-berkas itu diletakkannya di atas meja kerja Bhara.

"Hari ini ada rapat?" tanya Bhara sambil memadamkan api rokok di asbak.

"Nggak ada, Pak. Tapi besok Bapak ada rencana makan siang sama pimpinan."

"Ya, yang saya tanya kan hari ini!"

Alisa menelan ludahnya setelah mendapat semprotan dari Bhara.

"Pak, cewek yang kemarin itu mantan pacar Bapak, ya?"

Bhara yang sekarang duduk di kursinya teralihkan kembali. "Kenapa kamu penasaran?"

"Eum ... maaf Pak kalau saya lancang, tapi saya cuma mengira-ngira aja, saya mau mastiin dugaan saya aja, Pak."

Bhara melipat kedua tangan di atas dada. "Kalau dugaan kamu benar, emang kamu dapat apa? Dapat payung gratis?" ketusnya.

Alisa menggaruk lehernya yang tak gatal. "Kalau Bapak nggak mau jawab juga nggak apa-apa, Pak. He he." Senyum pahit tersungging di bibirnya seraya berbalik hendak menuju pintu.

"Iya, dia itu mantan saya. Kami pacaran dua tahun lebih,"

Tapi sebelum tangan Alisa menjangkau daun pintu, mulut Bhara kembali terbuka. Alisa berbalik badan lagi, "Wah keren! Bapak pasti keren banget waktu kuliah!"

Alis Bhara terangkat sedikit, bingung apa maksud Alisa.

"Bapak bisa pacaran sama cewek sekeren itu ..."

"Jadi maksud kamu saya ini nggak keren? Nggak layak berpacaran sama cewek sekeren itu?"

"Bu-bukan, Pak--"

"Nggak apa-apa," potong Bhara, "toh itu bener, kok. Makanya dia mutusin saya, akhirnya dia sadar kami nggak selevel."

Tidak disangka, Bhara bisa bersikap sesantai ini meski di dalam hatinya sebetulnya telah terjadi gempa hebat, ada amarah yang sudah tahunan ditahan.

"Bapak nggak payah, kok!" seru Alisa tiba-tiba. "Bapak juga nggak kurang dibanding cewek itu," lanjutnya.

Hampir lima detik lamanya Bhara menatap Alisa dengan mata nanar. "Kamu habis minum-minum, ya? Omonganmu mulai ngaco. Sana keluar." Reaksi Bhara menunjukkan antara malu atau risih, belum pernah Alisa melemparkan pujian seperti ini.

"I-iya, Pak. Maaf."

***

Baru sedetik pantat Alisa menyentuh kursinya, seorang wanita yang memakai mantel krem dan rok mini jeans mendekati meja kerjanya. Hidung Alisa mengingat aroma kuat yang menguar dari tubuh wanita bersepatu tumit tinggi itu.

"Eh, Mbak--bukan, eum, Maya?!" Alisa langsung berdiri dan memasang senyum kaku, baru saja dia membahas Maya dengan Bhara.

"Hai, Bharanya ada?" Maya mencopot turun kaca mata hitam yang dia pakai. Gayanya persis seorang selebriti.

"A-ada. Di dalam, tapi lagi ngecek laporan. Ma-mau ketemu sekarang?"

"Jam makan siang bentar lagi, kan? Boleh kami ketemu sekarang aja?" Maya tampak begitu percaya diri.

"Bentar, aku tanya dulu. Tunggu sebentar."

Gugup, Alisa buru-buru masuk kembali ke dalam ruang kerja Bhara. Pintu dia tutup rapat agar memastikan Maya tak menguping pembicaraan mereka. "Pak, i-itu ... di luar, di luar ada Maya."

Bhara menutup berkas yang baru saja dia buka. "Maya? Siapa?"

Hanya satu Maya yang dia kenal, tapi sepertinya tak mungkin Maya yang itu yang datang menemuinya.

"Maya yang kemarin di pesta pernikahan, Pak. Maya mantan Bapak," jelas Alisa.

Jantung Bhara langsung berdegup ganjil. Sial, untuk apa gadis itu kemari? Dan apa niatnya? Bhara berpikir. Matanya menerawang gugup tanpa alasan.

"Pak, apa saya suruh pulang aja?" tanya Alisa lagi.

"Jangan, suruh masuk aja." Bhara segera merapikan kemejanya, memastikan penampilannya tidak kacau.

Alisa keluar lagi untuk sebentar, lantas mempersilakan Maya masuk ke dalam ruang kerja Bhara. Mata Maya seketika berbinar, seperti mata seorang yang pertama kali melihat kilau emas. Lukisan yang menghias dinding ruang kerja itu paling menarik perhatiannya, lukisan itu terlihat begitu indah dan tentunya ... mahal. Patung dan guci pun tak selesai-selesai dia pandangi, sampai membuat Bhara sendiri tidak nyaman.

"Aku penasaran kamu dapat guci ini dari mana, ini keliatan langka."

Alih-alih menyapa dan mengatakan apa maksud kedatangannya, Maya malah menyentuh guci di sudut ruang kerja Bhara.

"Jadi kamu ngapain ke sini?" Bhara tak menanggapi pertanyaan Maya yang menurutnya tidak penting.

"Ah! Maaf, aku terlalu asyik ngeliat guci kamu. Sampai lupa datang ke sini buat apa." Maya tertawa malu.

"Itu bukan guci punya aku, punya perusahaan," ralat Bhara.

"Tapi tetap aja. Kalau semua koleksi ini diuangkan, pasti bisa miliaran," ucap Maya takjub.

"Jadi kamu mau ngasih aku penawaran?"

"Ya bukanlah, Bhara!" Maya bahkan tanpa canggung duduk di depan meja kerja Bhara. "Boleh aku minta teh?"

"Kamu mau bicara banyak emangnya?"

"Apa nggak boleh? Ini pertama kali aku datang melihat kantor kamu, loh. Masa nggak ditawari teh satu gelas pun?" protes Maya berlagak manja.

Bhara melirik Alisa yang masih menunggu di dekat pintu. "Tolong buatkan satu gelas teh hangat--"

"Pakai susu, ya. Susu rendah lemak." Maya segera menambah perintah Bhara.

Alisa menutup pintu kembali, sambil berjalan menuju dapur kantor, dia merutuk, "Apaan sih cewek itu? Kenapa gayanya melebihi bos besar? Duh, tahan, Lisa ... tahan, kenapa aku jadi julid? Itu kan bukan urusan aku, mereka kan emang mantan pacar."

Sementara itu, di dalam ruang kerja Bhara, keheningan telah merajai Bhara dan Maya. "Jadi, maksud kedatangan kamu apa, May?" Akhirnya Bhara yang mengajukan pertanyaan lebih dulu.

"Nggak ada maksud apa-apa, Bhar. Aku kan simpan kartu nama kamu, jadi aku kepikiran mau liat, kantor kamu di mana lokasinya. Sekalian mau ngajak kamu makan siang."

Bhara mengepal tinjunya. Lama-lama kesabarannya mulai habis. "Apa kamu sudah lupa apa yang dulu kamu perbuat?" ungkitnya.

Sorot mata Maya langsung meredup. "Kenapa, Bhar? Kamu masih mengingat masa lalu? Itu udah lama berlalu. Kamu masih nyimpan dendam sama aku?"

"Aku? Nggaklah. Kamu tau aku bukan pendendam, aku cuma kaget kamu bisa menemui aku dan bersikap seolah nggak pernah terjadi apa-apa di antara kita."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status