Aku mematut diri di cermin. Setelan gamis plus khimar warna salem jadi pilihanku untuk bertemu atasan Mas Dhani malam itu. Cukup lama kuperhatikan bayangan wajah di depan sana. Rupanya aku memang sudah makin menua. Pantas saja Mas Dhani mencari yang lebih segar.
"Ibu cantik kok."
Aku tersipu mendengar ucapan itu. Dari cermin aku bisa melihat Alif sudah berdiri bersandar di pintu kamar, memperhatikanku yang masih duduk di depan meja rias.
Anak itu sudah rapi dengan celana jeans dan kaos polonya. Alif memang sudah terlihat sangat dewasa di usianya yang hampir menginjak 18 tahun. Apalagi jika sedang mengenakan baju casualnya. Besar dan tinggi badannya pun sudah sedikit melampaui ayahnya..
"Apa sih, Mas?" Aku menepis tangan ke udara sambil mengulum senyum. Kulihat Alif berjalan mendekat.
"Beneran, ibu masih cantik kok. Nggak kalah sama perempuan itu," godanya. Aku tahu dia hanya bermaksud menghibur saja.
"Kalau ibu cantik, ayah nggak akan berpaling," kataku seraya bangkit, meraih tas tangan di atas meja rias. Masih dengan senyum di bibir kupoles tipis lipstik warna peach.
"Itu karena ayah aja yang nggak bersyukur," timpalnya. Aku hanya menahan senyum mendengarnya terus-terusan membesarkan hati..
"Dah ah, ngomong apa sih, Mas? Yuk jalan!" ajakku. Alif pun mengekor di belakangku.
*****
Alif memilih memarkirkan mobil di pelataran depan hotel. Mata elangnya langsung bisa mengenali sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat kami berhenti.
"Ayah ada di sini, Bu," katanya.
"Oh ya?" Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. Benar saja, Ada mobil Mas Dhani yang sedang terparkir di pelataran hotel itu.
"Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas. Kita balik aja yuk?" ajakku.
"Sudah nggak ada waktu, Bu. Besok acara peresmiannya kan?" Alif terlihat tak ingin mundur.
"Iya sih katanya," jawabku sedikit ragu.
"Kita tunggu sebentar. Siapa tahu dia sudah mau pulang."
Kutatap anak sulungku dengan mata menyipit. Aku sepertinya tak salah dengar, dia menyebut ayahnya dengan kata ‘dia’. Itu tak pernah dilakukannya setahuku.
"Ayah, Mas. Bukan 'Dia'.” Aku segera mengoreksi. Bagaimanapun aku ingin Alif tetap menghormati ayahnya meski kami nanti akhirnya berpisah.
"Iya, Dia." Kali ini dia terkesan bercanda, membuatku terkekeh.
"Kamu ini, Mas, Mas." Aku mencubit gemas lengannya.
*****
Ternyata Alif benar, seperempat jam kemudian, nampak dua insan keluar dari lobby hotel sambil bergandengan tangan. Itu Mas Dhani dan istri barunya. Aku masih ingat betul wajah perempuan itu. Memang masih muda. Jauh lebih enerjik dariku, tentu saja. Pantas saja Mas Dhani sampai lupa diri. Padahal jika dilihat dari penampilannya, wanita itu lebih pantas jadi pasangan Alif dibanding dia.
Tangan Alif terasa menggenggam tangan kananku, membuatku sedikit kaget. Saat ku perhatikan, dia malah sedang fokus memperhatikan langkah ayahnya dan perempuan itu.Dia pasti sangat mengkhawatirkan perasaan ibunya ini. Dadaku sesak dibuatnya.
Mas Dhani ternyata tidak menyadari keberadaan kami di tempat itu. Dengan santainya berjalan sembari mengobrol mesra menuju mobil.
Setelah mobil ayahnya pergi, Alif pun turun untuk kemudian membukakan pintu untukku. Kuusap ekor mata sebelum akhirnya turun dari mobil.
"Nggak usah sedih, Bu. Ada Alif." Lagi-lagi anak itu berucap. Aku hanya bisa tersenyum. Alif memang selalu bisa membuatku tenang.
Setelah meminta tolong pada resepsionis hotel untuk dihubungkan dengan Pak Hermawan, kami pun diizinkan menemui.
"Istrinya Pak Dhani ya?" Seorang wanita cantik berusia hampir setengah abad dengan penampilan yang sangat elegan menyambut kami di pintu kamar hotel.
"Benar, Bu," jawabku, mengulurkan tangan untuk menjabat. Ada rasa kikuk dan ragu yang kurasakan saat itu. Namun wanita itu justru langsung memeluk dan mencium pipi kanan dan kiriku. Aku sempat canggung diperlakukan seramah itu.
"Ayo, masuk. Dan si ganteng ini, siapa?" tanya wanita itu saat pandangannya beralih ke Alif. Alif hanya memandang wanita itu dengan raut datar.
"Anak sulung saya, Bu,” jelasku.
"Alif.” Alif pun memperkenalkan diri.
"Oh iya, Alif. Mari masuk, ada sofa kok di dalam. Ayo!" ajak wanita itu ramah.
"Ini Bu Dhani dan putranya ya?" Seorang lelaki dengan penampilan berkelas terlihat berjalan dari arah mini kitchen kamar suitenya untuk bergabung. Menyalami kami sebentar, lalu ikut duduk di sebelah sang istri.
"Tadi baru saja Pak Dhani dari sini, sama bawahannya. Iya kan, Mah?" Dia bertanya basa-basi pada sang istri.
"Iya, Si Soraya sekretarisnya. Saya pikir tadi Bu Dhani sedang sibuk, jadi sekretarisnya yang diajak," timpal Bu Hermawan.
Aku hanya tersenyum menanggapi itu. Sakit.
"Sebenarnya, Saya ke sini juga ingin membicarakan masalah suami saya, Pak, Bu," kataku.
"Sepertinya serius?" tanya Bu Hermawan. Sejenak dia memandang suaminya, hingga keduanya bertatapan lumayan lama. "Baiklah Bu Dhani. Silahkan, Kami akan mendengarkan. Apa yang terjadi?" lanjutnya kemudian.
"Suami saya menikah lagi." Aku langsung berbicara inti masalah. Kutatap sepasang suami istri itu hanya untuk tahu bagaimana reaksi mereka.
Tapi aneh. Tak ada reaksi berlebihan yang ditunjukkan Pak Hermawan dan istrinya. Justru keduanya terkesan kaget. “Apakah mereka hanya akting saja?” batinku.
"Pernikahan bagaimana maksud Ibu? Maaf kalau saya salah, apakah Pak Dhani menikah lagi dengan wanita lain, begitu? Poligami?" tanya Bu Hermawan menyela. Raut mukanya seperti kurang enak hati saat mengatakan hal itu.
"Benar, Bu. Dengan wanita bernama Soraya."
"Apa?!" Bukan cuma Bu Hermawan, Pak Hermawan bahkan nampak lebih kaget. Aku mengerutkan dahi. Benarkah Pak Hermawan tidak tahu menahu soal itu? Kenapa dia sampai begitu kaget?
"Apa itu benar, Bu Dhani?" Bu Hermawan kembali bertanya.
"Benar, Bu. Saya sendiri mendatangi pernikahannya bersama anak saya ini. Jadi, maksud kedatangan saya ke sini ingin menanyakan sesuatu, khususnya pada Pak Hermawan."
"Sama saya, Bu?" Pak Hermawan nampak mengerutkan dahi.
"Benar, Pak. Karena menurut pengakuan suami saya, pernikahan itu bukan atas kemauannya sendiri, melainkan ...."Aku menghentikan kalimat, sedikit ragu untuk melanjutkan. "Apakah benar Anda lah yang menyuruh suami saya untuk menikahi wanita itu? Dan wanita itu sebenarnya sedang hamil dan suami saya bilang bahwa bapak yang menghamilinya?"
"Apa?!" Bu Hermawan membelalakkan mata. Dia bergantian menatapku dan suaminya. Pak Hermawan yang dipandang justru tampak kebingungan.
"Maksudnya bagaimana ini, Bu? Saya kok kurang paham," kata Pak Hermawan.
"Sebelumnya saya minta maaf jika saya lancang. Saya hanya ingin tahu apakah yang dikatakan suami saya itu.benar atau tidak. Jadi, suami saya mengaku bahwa wanita yang dinikahinya itu hamil oleh Anda, Pak. Anda meminta suami saya untuk menggantikan Anda bertanggung jawab dengan imbalan jabatan kepala cabang. Apakah itu benar?"
"Astagaaa, Dhani!" Pak Hermawan kini bangkit. Memegang kepala dengan dua tangannya. Dia terlihat sangat murka. Sementara Bu Hermawan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, Bu Dhani. Saya bisa pastikan itu tidak benar. Saya sangat kenal suami saya. Suami saya sudah tidak mungkin memiliki anak. Pak Hermawan ini sudah steril, Bu Dhani. Jadi, pasti ada yang tidak beres dengan suami anda." Bu Hermawan sepertinya segera paham dengan situasi ini.
"Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengacaukan rumah tangga Bapak dan Ibu. Tapi rumah tangga saya telah hancur dengan alasan seperti itu. Jadi saya pikir, saya harus mencari jawaban atas semua ini. Untuk itulah saya datang ke sini. Maafkan kelancangan saya. Maafkan jika semua yang saya tanyakan tadi tidak benar."
"Tidak. Tidak, Bu Dhani, Anda tidak bersalah. Pah, duduklah! Ada yang tidak beres ini dengan bawahanmu," ujar sang istri. Pak Hermawan yang nampak kacau pun segera duduk kembali.
"Jelas ini fitnah atas nama baikku, Mah. Dhani, Dhani, bagaimana mungkin dia bisa berbuat seperti itu? Padahal aku sangat mempercayainya."
Mata lelaki kaya itu terlihat memerah. Berulang kali dia menggeleng-gelengkan kepala. Mungkin dia sedang menahan amarah yang siap diledakkannya pada Mas Dhani.
Bersambung …
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t