Home / Romansa / LUKA HATI SEORANG ISTRI / BUKAN ANAK PAK HERMAWAN

Share

BUKAN ANAK PAK HERMAWAN

Author: Reinee
last update Last Updated: 2021-05-03 19:32:00

Aira mematut diri di cermin. Setelan gamis plus khimar warna salem jadi pilihannya untuk bertemu atasan Dhani malam ini. Cukup lama dia memperhatikan bayangan wajahnya di depan sana. Rupanya beberapa kerutan memang sudah lumayan terlihat jelas di wajahnya. Aira mendesah.

    "Ibuk cantik."

    Aira tersenyum tipis. Dari cermin dia bisa melihat Alif sudah berdiri bersandar di pintu kamarnya memperhatikannya yang masih duduk di depan meja rias. 

    Anak itu sudah rapi dengan celana jeans dan kaos polonya. Alif memang sudah terlihat sangat dewasa di usianya yang hampir menginjak 18 tahun. Apalagi jika sedang mengenakan baju casualnya. Besar dan tinggi badannya pun sudah sedikit melampaui ayahnya, Dhani. 

    "Apa sih, Mas?" Aira menepiskan tangannya ke udara sambil mengulum tersenyum. Alif pun kemudian berjalan menghampiri sang ibu. 

    "Beneran, ibu masih cantik kok. Nggak kalah sama yang masih gadis," goda Alif. Aira tahu Alif hanya bermaksud menghiburnya saja. 

    "Kalau ibuk cantik, ayah nggak akan berpaling," kata Aira sambil bangkit, meraih tas tangannya di atas meja rias. Masih dengan senyum di bibirnya yang dipolesnya lipstik warna peach.

    "Itu karena ayah aja yang nggak bersyukur," timpal Alif. Aira hanya menahan senyum. 

    "Dah ah, ngomong apa, Mas? Yuk jalan!" ajak Aira. Dan Alif pun mengekor di belakang ibunya. 

.

.

.

    Alif memilih memarkirkan mobil ibunya di pelataran parkir depan hotel. Dan saat memandang sekeliling, mata awasnya langsung bisa mengenali sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berhenti. 

    "Ayah ada di sini, Buk," katanya.

    "Oya?" Aira menoleh ke arah yang ditunjuk Alif. Iya benar, itu memang mobil Dhani yang sedang terparkir di pelataran hotel.

    "Sepertinya waktunya nggak tepat, Mas. Kita balik aja yuk?" ajak Aira. 

    "Sudah nggak ada waktu, Buk. Besok hari peresmiannya kan?" tanya Alif. 

    "Iya, katanya," jawab Aira sedikit ragu. 

    "Kita tunggu sebentar. Siapa tahu dia sudah mau pulang."

    Aira menatap anak sulungnya sambil mengulum senyum. Dia merasa ada yang aneh dengan kalimat Alif.

    "Ayah, Mas. Bukan 'Dia'," koreksi Aira. Bagaimana pun Aira ingin Alif tetap menghormati ayahnya meskipun dia dan suaminya akhirnya berpisah nanti. 

    "Iya, Dia," canda Alif, membuat Aira terkekeh. 

    "Kamu ini, Mas, Mas." Aira mencubit gemas lengan anaknya.

.

.

.

    Ternyata Alif benar, seperempat jam kemudian, nampak sepasang insan keluar dari lobby hotel sambil berpegangan tangan. Itu ayahnya dan istri barunya. Alif masih ingat sekali wajah perempuan itu. Memang masih muda. Jika dilihat dari penampilannya, masih lebih pantas jadi pacar Alif dibanding istri ayahnya.

    Sejenak Alif melirik ibunya yang diam terpaku mengawasi pemandangan di depannya. Hatinya pasti hancur. Dan refleks saja, tangan Alif terulur menggenggam tangan kanan sang ibu. 

    Dhani pasti tidak menyadari bahwa istri dan anaknya juga sedang berada di tempat itu, hingga dengan santainya dia berjalan sangat mesra dengan perempuan itu menuju ke mobilnya. 

    Setelah mobil ayahnya pergi, Alif pun membukakan pintu untuk ibunya. Aira nampak mengusap ekor matanya sebelum turun dari mobil. 

    "Nggak usah sedih, Buk. Ada Alif," kata anak itu. Lagi lagi Aira hanya bisa tersenyum. Alif memang selalu bisa membuatnya tenang. 

    "Malem, Mbak. Pak ... emm ..., siapa Buk namanya?" tanya Alif.

    "Hermawan Prasnowo Tejosukmono," sahut Aira. 

    "Iya, itu. Bisa ketemu?" tanya Alif pada resepsionis cantik yang bertugas di hotel malam itu. 

    "Maaf, kalau boleh tau, ibu siapa?" tanya sang resepsionis. 

    "Istrinya Pak Dhani Hendrawan Salim. Bilang saja begitu," kata Alif menjelaskan. 

    "Baik, tunggu sebentar ya, saya sambungkan dulu ke kamar beliau."

    Lalu, resepsionis itupun terlihat berbicara melalui telepon saluran internal ke kamar tamu hotel. 

    " .... Baik, Pak. Selamat malam," ucapnya kemudian sesaat sebelum menutup telepon. 

    "Silahkan langsung ke lantai 5 kamar nomer 11, Bu. Pak Hermawan dan istri sudah menunggu," katanya kemudian. 

    Alif segera menggandeng tangan Aira menuju lift. 

.

.

.

    "Istrinya Pak Dhani ya?" Seorang wanita cantik. Mungkin berusia hampir setengah abad, tapi masih terlihat cantik dengan penampilan yang sangat elegan menyambutnya di pintu kamar hotel. 

    "Benar, Bu," jawab Aira sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat. Ada rasa kikuk dan ragu yang dirasakan Aira. Namun wanita itu justru langsung memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri Aira, membuatnya wanita itu sangat canggung diperlakukan dengan begitu baik. 

    "Ayo, masuk. Dan ini si ganteng ini, siapa?" tanya wanita itu saat pandangannya beralih ke arah Alif. Alif hanya memandang wanita itu dengan raut datar.

    "Anak sulung saya, Bu."

    "Alif," kata Alif memperkenalkan diri.

    "Oh iya, Alif. Mari masuk, ada sofa kok di dalam. Ayo!" ajak wanita itu ramah. 

    "Ini bu Dhani dan putranya ya?" Pak Hermawan nampak berjalan dari arah mini kitchen kamar suitenya untuk bergabung. Menyalami Aira dan Alif, lalu ikut duduk di sebelah sang istri. 

    "Tadi baru saja pak Dhani dari sini, sama bawahannya. Iya kan, Mah?" kata Pak Hermawan pada sang istri. 

    "Iya, si Soraya sekretarisnya. Saya pikir tadi Ibu sedang sibuk, jadi sekretarisnya yang diajak," timpal Bu Hermawan. 

    Aira hanya tersenyum menanggapi itu. Sakit.

    "Sebenarnya, Saya ke sini juga ingin membicarakan masalah suami saya, Pak, Bu," kata Aira. 

    "Sepertinya serius?" tanya bu  Hermawan. Sejenak dia memandang ke arah suaminya. Dan mereka berdua pun bertatapan lumayan lama. "Baiklah bu Dhani. Silahkan, Kami akan mendengarkan. Ada apa?" lanjutnya kemudian.

    "Sebelum ramadhan kemarin, suami saya menikah lagi." Aira menghentikan kalimatnya, menatap dua orang di depannya. Sebenarnya dia hanya ingin tahu bagaimana reaksi mereka.

    Tapi aneh. Tak ada reaksi berlebihan yang ditunjukkan Pak Hermawan. Justru sepasang suami istri ini bahkan seperti kaget. Apakah pak Hermawan hanya akting saja? batin Aira.

    "Pernikahan bagaimana maksud Ibu? Maaf kalau saya salah, apakah pak Dhani menikah lagi dengan wanita lain, begitu? Poligami?" tanya bu Hermawan menyela. Raut mukanya seperti kurang enak hati saat mengatakan itu. 

    "Benar, Bu. Dengan wanita bernama Soraya."

    "Apa?!" Bukan cuma bu Hermawan, Pak Hermawan bahkan nampak lebih kaget. Aira mengerutkan dahinya. Benarkah Pak Hermawan tidak tahu? Kenapa dia sampai begitu kaget? 

    "Apa itu benar, bu Dhani?" bu Hermawan kembali bertanya.

    "Benar, Bu. Saya sendiri mendatangi pernikahannya bersama anak saya ini. Dan maksud kedatangan saya kesini, saya ingin menanyakan sesuatu, khususnya pada pak Hermawan."

    "Sama saya, Bu?" Pak Hermawan nampak mengerutkan dahi.

    "Benar, Pak. Menurut pengakuan suami saya, pernikahan itu bukan atas kemauannya sendiri, melainkan ...." Aira menghentikan kalimatnya. Sedikit ragu untuk melanjutkan. "Apakah benar bapak yang menyuruh suami saya untuk menikahi wanita itu? Dan wanita itu yang sebenarnya bapak yang menghamili?"

    "Apa?!" Bu Hermawan membelalakkan mata. Dia bergantian menatap Aira dan suaminya. Pak Hermawan yang dipandang justru nampak kebingungn.

    "Maksudnya bagaimana ini, Bu? Saya kok kurang paham," kata pak Hermawan.

    "Sebelumnya saya minta maaf jika daya lancang. Saya hanya ingin tahu apakah yang dikatakan suami saya itu.benar atau tidak. Jadi, suami saya mengaku bahwa wanita yang dinikahinya itu hamil oleh anda, Pak. Dan anda meminta suami saya untuk menggantikan anda menikahinya untuk mendapatkan jabatan kepala cabang. Apakah itu benar?"

    "Astagaaa, Dhaniiii!" Pak Hermawan kini bangkit. Memegang kepala dengan dua tangannya. Dia nampak sangat kaget dan marah. 

    Sementara bu Hermawan menggeleng-gelengkan kepalanya.

    "Tidak, bu Dhani. Saya bisa pastikan itu tidak benar. Saya sangat kenal suami saya. Suami saya sudah tidak mungkin memiliki anak. Pak Hermawan ini sudah steril, Bu Dhani. Jadi, pasti ada yang tidak beres dengan suami anda." Bu Hermawan yang sepertinya segera menyadari situasi, segera menjelaskan. 

    "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud mengacaukan rumah tangga bapak dan Ibu. Tapi rumah tangga saya telah hancur dengan alasan seperti itu. Jadi saya pikir saya harus mencari jawaban atas semua ini. Untuk itulah saya datang ke sini. Maafkan kelancangan saya. Dan maafkan jika semua yang saya tanyakan tadi tidak benar."

    "Tidak. Tidak, bu Dhani, Anda tidak bersalah. Pah, duduklah! Ada yang tidak beres ini dengan bawahanmu," kata sang istri. Pak Hermawan yang nampak kacau pun segera duduk kembali.

    "Jelas ini fitnah atas nama baikku, Mah. Dhani, Dhani, bagaimana mungkin dia bisa berbuat seperti itu? Padahal aku sangat mempercayainya." 

    Mata lelaki kaya itu memerah, menggeleng gelengkan kepalanya. Seperti menahan amarah yang siap diledakkan saat itu juga. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (12)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
bagus SALUT deh sama kamu Mbak Aira dan mas Alif jangan takut demi sebuah KEBENARAN juga KEADILAN Biar tahu rasa si DAJJAL
goodnovel comment avatar
Leni Riyana
hemmm gangguan nih. gak bisa online
goodnovel comment avatar
Gusty Ibunda Alwufi
wah alif sm mama memang hebat berani utk mencari kebenaran.suka aku sm aira.tunggu kau dhani impas nya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   PASANGAN-PASANGAN BAHAGIA (ENDING)

    "Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   SEMUA BISA BERUBAH

    Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   ALIF & AISHA

    Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   OBROLAN SERIUS CALON IPAR

    "Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   KEMATIAN SORAYA

    Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   CUCU PERTAMA AIRA

    Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   MARETHA & ABIDZAR

    Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   DATANGNYA CINTA LAIN

    Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...

  • LUKA HATI SEORANG ISTRI   KUNJUNGAN ADNAN

    Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status