"Mas."
Alif yang siang itu baru saja keluar dari kelas dan berniat menuju perpustakaan sontak menoleh. Adnan mengejar dengan langkah tergesa di belakangnya.
"Ada apa?" tanyanya.
"Ayah ngajak ketemuan, nanti habis pulang sekolah."
"Ya udah, temuin aja," jawab si sulung santai.
"Tapi ayah suruh aku ngajak Mas Alif juga."
"Dia nggak ngomong sama aku kok. Kamu aja yang pergi. Mas nanti mau buru-buru pulang, bantuin ibu."
"Tapi Mas, katanya penting. Soal Ibu."
"Kalau penting biar datang ke rumah aja. Udah Dek, nggak usah ikutan pusing mikirin ayah," kata Alif menepuk bahu adiknya.
"Mas mau kemana sih?"
"Perpus. Mau ikut?"
Adnan menggeleng. Lalu Alif pun berbalik melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.
*****
Siang harinya, Adnan terlihat sedang menunggu sang kakak di parkiran dengan gelisah. Kelasnya selesai setengah jam lebih awal dari kelas Alif. Sudah dari seperempat jam yang lalu ponselnya tak berhenti bergetar. Panggilan dari sang ayah yang sepertinya tak sabar ingin menemuinya. Karena merasa tidak enak hati, akhirnya Adnan memutuskan untuk mengangkatnya.
"Ya, Yah?"
"Gimana, Nan? Udah bilang ke Mas Alif?"
"Udah tadi, Yah. Tapi katanya Mas Alif mau buru-buru pulang."
"Kamu nggak bilang kalau ayah mau ngomong penting?"
"Udah. Katanya ayah disuruh ke rumah aja kalau ada yang penting."
Terdengar helaan nafas berat dari seberang. Dhani sudah menduga bahwa Alif tidak akan semudah itu untuk diajak kompromi. Apalagi dia yang paling paham masalah antara dirinya dengan sang ibu.
Alif memang sedikit berbeda dengan adik-adiknya. Dia paling dekat dengan Aira. Meskipun sebenarnya semua anak-anak Dhani dekat dengan ibunya, tapi Alif seolah punya kontak batin tersendiri dengan istri pertamanya itu.
Dhani ingat, suatu hari saat Aira sakit, Alif bahkan tak mau beranjak dari sisi ibunya sedetikpun. Padahal waktu itu, Dhani juga sedang berada di rumah karena cuti. Adik-adiknya pun beraktifitas seperti biasa tanpa terganggu dengan sakitnya Aira.
Alif berbeda. Mungkin karena dia anak sulung yang melihat susah payahnya sang ibu dari kecil. Dua tahun memiliki adik dan dua tahun berikutnya disusul adik lagi. Aira lebih banyak sendirian mengurusi anak-anaknya. Mungkin itu yang membuat Alif menjadi sangat dekat dengan ibunya.
Sejujurnya Dhani sangat mengakui betapa hebat istrinya itu mendidik anak-anaknya. Sendirian tanpa banyak campur tangannya. Bahkan tidak pernah mengeluh untuk dicarikan asisten rumah tangga juga.
Dulu saat anak-anak mereka masih kecil, Aira hanya butuh seorang pembantu pocokan yang datang sesekali. Itupun hanya bertugas mencuci dan membersihkan rumah. Saat anak-anak mereka sudah beranjak besar, Aira kembali melakukan semua pekerjaan rumahnya sendiri tanpa sedikitpun pernah mengeluh. Itulah sebenarnya salah satu yang membuat Dhani sangat berat hati melepas Aira.
Ada saat lelaki itu merasa sangat tolol telah mengkhianati istri yang setia dan tidak neko-neko. Apalagi telah memberinya tiga orang anak yang sudah beranjak remaja. Harusnya sebentar lagi dia bisa menikmati masa tua bahagia bersama mereka. Namun nasi telah menjadi bubur. Godaan jauh lebih menggiurkan. Kucing pun tak akan tahan jika disodori ikan terus-menerus. Soraya telah meruntuhkan dinding pertahanannya. Dhani benar-benar lupa diri.
*****
"Loh ... pulang-pulang kok mukanya pada ditekuk gitu, ada apa sih?"
Aku mengerutkan dahi saat menyambut dua jagoanku pulang hampir bersamaan, tapi dengan wajah sama-sama cemberut. Adnan masuk lebih dulu setelah mencium punggung tanganku. Sementara Alif yang di belakang berusaha bicara.
"Ayah tadi ngajakin ketemuan, Bu," jelasnya.
"Terus?" Aku mengiringi langkah anak sulungku menuju ke dalam dengan dahi berkerut.
"Nggak jadi. Alif nggak mau," sahut si sulung.
"Loh kenapa, Mas? Ibu nggak ngelarang kok kalau Mas mau ketemu ayah."
"Males," sahutnya lagi. Lalu berlalu dari hadapanku menuju ke dalam kamar.
Aku menggelengkan kepala. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi saat memutuskan untuk berpisah dari Mas Dhani. Anak-anak lah yang akan terkena imbasnya. Tapi bagaimanapun, kesalahan Mas Dhani kali ini sangatlah fatal. Aku selalu bisa mentolerir kesalahan-kesalahannya, kecuali pengkhianatan.
Tak ingin lebih terbebani dengan pikirannya sendiri, Aku pun berniat kembali ke ruang makan, dimana sebelumnya sedang kubaca majalah bisnis untuk mencari inspirasi peluang usaha. Namun langkahku terhenti oleh suara salam seseorang dari luar rumah.
"Wa'alaikumsalam ...," sahutku. Kurapikan jilbab sebentar, sebelum kemudian bergegas menuju keluar. Seorang lelaki sebaya Mas Dhani sedang berdiri di depan pagar rumah.
"Cari siapa ya, Pak?" tanyaku ragu, sembari membuka pagar. Sepertinya aku belum pernah melihat lelaki itu sebelum ini.
"Benar ini rumahnya Pak Dhani Hendrawan Salim, Bu?" tanya lelaki itu.
"Iya, benar."
"Oh, alhamdulillah kalau gitu. Ini Bu, saya mau mengantar bingkisan. Sebentar saya ambilkan."
Lelaki itu lalu bergegas ke arah mobil yang terparkir di depan rumah. Membuka bagasi belakang dan mengeluarkan sebuah parcel berukuran besar. Dahiku berkerut melihat itu.
"Parcel dari siapa ya, Pak?"
"Ini dari Nyonya, Bu. Istrinya Pak Direktur, Hermawan Prasnowo Tedjosukmono."
"Ooh," Aku membulatkan mulut. Lalu menerima parcel itu dengan ragu.
"Saya sopir beliau," kata lelaki itu memperkenalkan diri tanpa kuminta. Aku hanya sedikit membungkuk sambil meletakkan satu tangan di depan dada, tanda menerima perkenalan.
"Ibu ini istrinya Pak Dhani ya?" tanya lelaki itu lagi.
"I-ya Pak," Ragu ku jawab pertanyaan itu. Rasanya tak mungkin aku mengatakan bahwa aku ini calon janda Mas Dhani pada orang yang baru saja ku kenal.
"Bapak sama Nyonya sudah sampai tadi pagi di kota ini untuk peresmian kantor cabang baru besok malam, Bu," jelasnya tanpa diminta juga. Sepertinya dia tipe pekerja yang ramah pada siapapun.
Aku mengangguk.Mas Dhani rupanya benar telah dipindahkan ke kota ini memimpin cabang baru. Harusnya saat ini menjadi waktu membahagiakan bagi kami. Tapi ternyata… ah sudahlah.
"Kalau begitu saya permisi, Bu. Mari," pamitnya kemudian.
"Ee, Pak tunggu!" Aku menghentikan langkahnya saat tiba-tiba teringat sesuatu.
"Ya, Bu?"
"Kalau boleh tahu, pak direktur dan istri menginap di mana ya?" tanyaku memberanikan diri.
"Hotel Best Continental, Bu."
"Oh, ya sudah. Terima kasih banyak, Pak."
Seperginya sang tamu, Aku membawa parcel besar itu ke dalam. Mendadak aku jadi gelisah. Namun sepertinya bukan parcel itu yang membuatku jadi tidak tenang.
"Dari siapa, Bu?" Tiba-tiba Alif sudah ikut duduk di sampingku saat ku sandarkan punggung di sofa ruang tamu.
"Dari atasannya ayah, Mas."
"Kok jauh amat ngirim parcel sampai ke sini?" tanyanya keheranan.
"Orangnya lagi ada di sini. Katanya besok kantor cabangnya mau diresmikan."
"Oh," sahut Alif. "Jadi ayah bener mau dipindahin ke sini?"
"Iya mungkin, Mas. Ibu juga nggak tahu." Aku menggeleng, malas.
"Alif denger, Bu."
Aku mendongak dengan dahi berkerut mendengar ucapan Alif. Kutatap anak sulungku itu dengan sedikit bingung.
"Waktu eyang kesini, Alif denger semuanya. Semua yang dikatakan eyang tentang alasan ayah menikah lagi."
Aira menghela nafas panjang. Dia sebenarnya sangat menyayangkan anak sulungnya sudah harus mendengar hal-hal seperti itu dalam hidupnya. Sungguh miris.
"Itu belum tentu benar, Mas. Hanya Allah saja yang tahu."
"Kalau gitu kenapa kita nggak cari tau?" Ucapan Alif tiba-tiba menggelitik, karena sebenarnya itulah yang sempat terbersit di pikiran saat kutanyakan dimana atasan Mas Dhani menginap.
"Maksudnya, Mas?" Aku pura-pura tak berminat.
"Tanyakan saja sama yang bersangkutan apakah semua itu benar atau tidak."
Aku menatap Alif lekat. Ternyata, kini sulungku sudah punya rasa se-begitu pedulinya dengan ibunya. Bahkan hal seperti ini saja sudah bisa dia pikirkan dengan baik jalan keluarnya.
"Tapi jika itu benar, maka akan ada satu keluarga lagi yang hancur, Mas," jelasku kemudian.
"Apa masalahnya, Bu? Orang itu juga nggak mikirin kita kan, saat menyuruh ayah menikahi orang yang harusnya jadi tanggung jawab dia?"
"Tapi ibu ragu. Kalau salah bagaimana?"
"Alif temenin. Nanti malam ya?" usulnya.
"Nanti ibu pikirkan lagi, Mas. Sekarang Mas istirahat aja dulu. Capek kan?" Kutatap lembut Alif yang kemudian ditanggapi dengan anggukan.
Bersambung …
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t