"Mas …." Kupanggil pelan Alif setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali.
"Ada apa, Bu?" Alif berjalan mendekat tatkala melihat kepalaku menyembul dari balik pintu kamar yang perlahan kubuka.
"Belum tidur ya? Ibu mau bicara sebentar, boleh?" pintaku.
"Belum ngantuk kok. Masuk aja, Bu." Alif menyingkir dari depan pintu, membiarkanku masuk.
"Tolong tutup pintunya ya, ibu mau ngomong penting sama kamu, Mas," ucapku padanya. Kulihat Alif pun segera menutup pintu rapat-rapat. Mungkin dia bertanya-tanya melihat raut mukaku yang tanpa senyum sedikitpun. Atau bahkan, mungkin dia sudah tahu ada hal serius yang ingin kubicarakan dengannya. Alif kemudian berjalan mendekatiku yang sudah duduk di tepi ranjang.
Setelah melihatnya duduk, aku langsung menyerahkan ponsel pada anak sulungku itu. Di layar ponsel telah terpampang sebuah foto yang beberapa hari lalu dikirimkan oleh Linda padaku.
"Ada apa sih, Bu?" Alif terlihat ragu saat ingin menerima ponsel itu.
"Baca aja dulu, Mas. Nanti kamu akan tahu," ujarku. Lalu tanpa bertanya lagi, kulihat anak sulungku itu mengamati foto yang adalah sebuah undangan pernikahan.
Tak sepatah kata pun diucapkannya usai terdiam beberapa saat mengamati foto dalam ponsel di tangannya. Tapi aku sangat tahu, dia paham apa yang terjadi. Alif selama ini memang yang paling dekat denganku dibanding dua adiknya. Dia yang biasanya selalu paling peka dengan setiap apa yang sedang kurasakan.
"Mas sudah tahu kan apa maksudnya itu?"
Usai mengumpulkan kekuatan selama beberapa hari, aku pun akhirnya berhasil mengatakan hal itu pada si sulung. Berat memang, tapi tak ada pilihan lain lagi. Alif sudah selayaknya tahu kelakuan ayahnya. Setidaknya, agar kelak dia bisa paham mana baik dan buruk.
Dan persis seperti dugaanku sebelumnya, Alif menganggukkan kepala merespon pertanyaanku.
"Lusa, ibu berencana menemui ayah di sana. Apa Mas mau nemenin ibu? Tapi … Mas harus janji tidak akan mengatakan apapun tentang masalah ini dulu pada adik-adik." Kutatap sulungku penuh harap.
Seolah tanpa perlu berpikir, Alif langsung mengiyakan permintaanku.
"Kenapa kita nggak ke sana besok aja, Bu? Siapa tahu kita bisa mencegah ayah untuk menikah." Kini kulihat Alif yang berharap padaku.
"Enggak, Mas. Itu nggak perlu. Semua sudah sejauh ini dan ibu yakin ayah pasti sudah memikirkannya matang-matang. Lagipula, jika memang itu sudah menjadi niat ayah, maka siapapun termasuk ibu tidak akan bisa mencegahnya. Hal terpenting bagi ibu sekarang ini hanya kalian bertiga. Kamu dan adik-adikmu. Jadi, sebenarnya ibu ke sana hanya untuk memastikan bahwa meski ayah sudah yakin dengan keputusannya, dia akan harus tetap bertanggung jawab pada kalian."
“Tapi ini kan nggak adil buat Ibu. Ayah nggak boleh kayak gini sama Ibu.” Mata Alif terlihat membesar. Nyata sekali kekesalan di wajahnya pada sang ayah. Dan di detik itu, aku merasa tak lagi sendirian. Ada anak-anak yang pasti akan mendukungku.
“Mungkin ini sudah menjadi takdir ibu, Mas. Ibu nggak berhak melarang ayah untuk menikah lagi. Tapi meski begitu, ibu juga nggak akan sanggup menjadi bagian dari kehidupan ayah lagi. Mas Alif ngerti kan maksud ibu?”
Cukup lama kulihat anak sulungku itu terdiam, mungkin sedang mencerna kata-kataku. Hingga pada akhirnya helaan nafas panjangnya mengisi seluruh ruangan dan aku sangat yakin dia tahu bahwa sebentar lagi ayah dan ibunya ini tidak akan bisa terus bersama.
"Ibu jangan sedih. Alif akan tetap bersama Ibu,” ucapnya kemudian.
Hanya sebuah ucapan singkat, tapi efeknya begitu besar menelusup ke relung kalbuku. Alif mampu mengobati hati yang terluka ini. Air mataku pun tak lagi bisa kubendung.
"Terima kasih ya, Mas. Ibu nggak tahu kalau nggak ada kamu dan adik-adik saat ini.” Kutangkup wajah si sulung dengan dua telapak tanganku. Lalu kucium dahinya dengan penuh haru sebelum akhirnya bertanya lagi. “Jadi, Mas mau kan nemenin ibu pergi ke sana?"
"Tentu. Alif nggak akan biarin Ibu ke sana sendirian."
*
Dua hari setelah kejadian itu, Alif pun menemaniku ke kota yang tertulis dalam undangan yang dikirim Linda. Jaraknya hanya beberapa jam perjalanan saja dari kota kami menggunakan kendaraan pribadi.
Tak perlu membayangkan betapa hancur perasaan saat itu, melakukan perjalanan hanya demi untuk melihat suami tercintaku bersanding dengan wanita lain yang konon katanya adalah seorang gadis yang menjadi sekretaris pribadinya di kantor.
Tak kudengar Alif banyak bertanya selama hampir tiga jam perjalanan kami. Hanya sesekali saja dia menawarkan diri untuk menggantikanku menyetir. Mungkin dia mengkhawatirkan kondisi jiwa ibunya ini. Tapi aku menolaknya. Selain karena tak ingin hanya duduk melamun saja di kursi penumpang, Alif juga baru akan memperoleh Surat Izin Mengemudinya beberapa bulan lagi.
Setelah mengikuti petunjuk pada peta, kami sampai di sebuah rumah di dalam satu kompleks pemukiman di pinggiran kota. Tampak dari luar, memang sedang berlangsung sebuah pesta cukup mewah di sana.
Rupanya benar apa yang dikatakan Linda bahwa gadis yang dinikahi Mas Dhani memang masih sangat muda dan cantik. Dari foto-foto prewedding yang dipajang di depan pintu penerimaan tamu, aku sudah bisa menebak berapa kira-kira usianya.
Berulang kali kuhela nafas dalam usai memarkirkan mobil dan berjalan menuju ke tempat acara berlangsung. Kukembangkan senyum sekedarnya pada beberapa jajaran penerima tamu yang menyambut kami hanya agar bisa leluasa masuk sebagai tamu undangan seperti yang lainnya. Sementara di sampingku, Alif terlihat tak bisa menyembunyikan wajah muramnya. Tak ada senyum sedikitpun di wajah anak sulungku yang semakin terlihat lebih dewasa dengan setelan jas warna hitam yang kupilihkan untuknya hari itu.
Kaki ini terus melangkah mendekati pelaminan dengan tangan Alif yang tak lepas menggenggam. Tak seperti tamu-tamu undangan lain yang sempat duduk dan mengobrol dengan canda tawa, aku mengajak Alif terus berjalan melewati tempat duduk para tamu, menuju ke panggung pelaminan.
Saat jarak kami hanya tinggal beberapa meter saja dari kursi pelaminan, makin jelas kulihat Mas Dhani yang mulanya sedang asik bercanda dengan mempelai wanitanya, mendadak menghentikan tawa. Wajahnya berubah tegang menatapku dan Alif yang sudah berada di tempat itu. Mungkin karena perubahan jelas di wajah pasangannya, sang mempelai wanita pun terlihat bertanya.
"Ada apa sih, Mas? Siapa mereka?" Wajah wanita muda itu pun juga memucat di balik make up tebal yang menghiasinya.
"Halo Mas, Selamat ya atas pernikahannya. Kamu nggak nyangka kan aku dan Alif ada di sini sekarang?" sapaku yang akhirnya berdiri tepat di hadapannya. Tak lupa, kuberikan padanya senyum paling manis yang bisa kupaksakan.
"A- Aira, aku bisa jelaskan ini, Dek!"
Bersambung …
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t