Hari berikutnya Linda menelpon Aira lagi. Wanita itu benar-benar tidak menyangka Aira nekat pergi ke pernikahan suaminya.
"Kamu tahu dari mana, Lin, aku pergi ke sana?"
"Ya dari keponakanku lah. Dia ada di sana pas kamu bikin semua tamu undangan melongo. Lalu saat kamu pergi, ibu mertua suamimu katanya sampai pingsan."
"Oya? Kasihan juga ya sebenarnya. Tapi aku nggak terima dibohongi seperti ini, Lin."
Linda menelponku lagi hari berikutnya. Merasa sedikit geli karena dia malah memberiku ucapan selamat. Dia bilang mendapat cerita dari keponakannya jika Mas Dhani diusir oleh mertuanya setelah insiden kedatanganku ke pesta itu. Namun ironisnya, istri baru Mas Dhani memilih pergi mengikuti suaminya.
“Rupanya perempuan itu cinta mati sama Mas Dhani ya,” gumamku perih.
“Nggak juga sih kayaknya, Ra.” Linda mengoreksi.
“Kenapa memangnya, Lin?” Aku penasaran.
“Kabarnya madumu itu hamil duluan, Ra. Makanya kan ngebet banget nikah.”
Aku terkekeh singkat, “Kalau itu aku sudah tahu sih, Lin.”
Meski awalnya aku mengira kehamilan itu hanya alasan Mas Dhani untuk tetap mempertahankanku, tapi akhirnya aku percaya bahwa perempuan itu memang benar-benar tengah mengandung.
*****
"Bu, ayah datang,"
Aku baru saja meletakkan ponsel di atas nakas saat Adnan masuk kamar..
"Oya? Sama siapa, Mas?" "Sendiri."Aku hanya mengangguk pelan. Rupanya Mas Dhani belum punya nyali untuk membawa istri mudanya itu ke depan anak-anak
"Mas Alif sama adek dimana?" tanyaku lagi.
"Ada di kamarnya, Bu."
"Tolong panggilin ya, Mas? Kita temui ayah sama-sama."Adnan bergegas menuruti perintahku. Sementara aku segera keluar kamar untuk menemui Mas Dhani.
"Dek." Sapaan Mas Dhani masih terlihat biasa saja, seolah tak pernah terjadi apapun di antara kami. Namun tak bisa menipu jika wajah itu terlihat kuyu dan tak bersemangat.
"Duduk, Mas! Aku sudah menyuruh anak-anak untuk ke sini. Tunggulah sebentar," ucapku tenang."Dek, bisa nggak kita simpan saja masalah ini untuk berdua? Tidak perlu melibatkan anak-anak dalam hal ini kan?" pintanya."Sudah terlanjur, Mas. Alif sudah tahu semuanya. Lagipula, mereka semua sudah besar. Mereka sudah cukup paham soal seperti ini. Jadi untuk apa di tutup tutupi? Kalau kamu memang ayah yang gentle, bicaralah dengan mereka,” sindirku.
Aku baru menyelesaikan kalimat saat ketiga anak kami datang. Sofia yang melihat ayahnya di ruang tamu segera menghambur. Dipeluknya Mas Dhani penuh rindu.
"Ayah katanya nggak pulang? Kok ini pulang?" celoteh gadis remaja itu bergelayut manja di bahu ayahnya. Kulihat raut muka Mas Dhani berubah pias, mengamati tingkah putri yang begitu disayanginya itu.
'Bagaimana jika Sofi tahu apa yang telah kau lakukan, Mas? Apakah dia akan tetap menyayangimu seperti ini?' tanyaku dalam hati.
"Sofi, duduk dulu Nak. Ayah mau bicara sesuatu sama kalian. Ayo sini, Mas Alif, Mas Adnan." Aku mulai memerintahkan anak-anak untuk duduk.
Ketiganya pun segera duduk. Sofia dan Adnan terlihat tak sabar ingin mendengarkan apa yang ingin dibicarakan oleh ayah mereka.
Mas Dhani terlihat makin tegang. Aku dan Alif pun sepertinya sama. Aku lebih memikirkan reaksi Sofi jika sampai akhirnya tahu apa yang sedang terjadi dengan keluarganya ini.
Tak berapa lama kemudian terdengar Mas Dhani mulai mengoceh cerita-cerita masa lalu. Tak lupa mengedepankan cerita heroiknya telah berjuang menafkahi kami. Semua persis seperti yang kuduga, Mas Dhani akan menggunakan hal itu sebagai senjata menarik simpati anak-anak.
Hingga akhirnya tiba saat dia harus menceritakan pernikahan keduanya dan seketika Adnan menggeser tempat duduk menjauh dari ayahnya. Sofi diluar dugaan, dia berteriak-teriak, justru makin mendekati ayahnya dan memukul-mukul dada Mas Dhani berkali-kali.
"Ayah jahat! Kenapa ayah begitu? Ayah tidak kasihan sama ibu!"
Mas Dhani berusaha menghentikan dengan mencekal pergelangan tangannya, namun Sofi ternyata lebih kuat. Sekali lagi dia memukul, tapi kemudian berlari menuju kamar sambil terus terisak.
Alif yang melihat adiknya menangis, langsung bangkit mengejar. Sementara aku masih bertahan di tempat duduk, menatap Mas Dhani dengan rasa yang sulit ku ungkapkan.
"Puas kamu sudah menghancurkan impian anak-anak hanya demi kesenanganmu sesaat, Mas?"
"Kamu itu salah paham, Dek. Aku sama sekali tidak merencanakan semua ini. Ini terjadi tiba-tiba saja. Aku tidak ..."
"Kamu tidak perlu menjelaskan apapun padaku, Mas. Yang penting sekarang anak-anakmu sudah tahu. Kamu harus menerima jika akhirnya mereka jadi membencimu. Itu salahmu sendiri. Oh ya satu lagi, aku ingin kita bercerai, Mas."
"Apa?! Cerai? Nggak, Nggak bisa! Sampai kapanpun aku nggak akan menceraikan kamu, Aira. Nggak akan!" Mas Dhani berkata lantang, membuatku meradang.
Bersambung …
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t