Sementara itu di kamar apartemen setelah melampiaskan hasrat, Imran memeluk Agnes dengan erat.
“Nes, dulu aku pernah menyatakan cinta padamu tapi kamu menolak. Dan saat ini, kamu seakan menggilaiku. Kenapa? Apa tidak ada pria yang mau denganmu?” ucap Imran sambil tertawa kecil. “Wanita seperti aku tidak laku? Mana mungkin!” sahut Agnes. “Aku sudah menolak lebih dari 10 lelaki yang mengajakku menikah dan memilihmu.” “Aku tersanjung, Agnes. Akhirnya gadis yang kutaksir kini berada di pelukanku dan memberikan cinta.” Imran berkali-kali mengecup bibir Agnes. Setelah itu, Imran bangkit dan menuju kamar mandi. Sedangkan Agnes masih menutupi tubuhnya dengan selimut sambil bermain ponsel. Senyum merekah di bibirnya, merasa puas setiap kali bercinta dengan Imran. Tak lama Imran keluar dari kamar mandi memakai handuk sebatas pinggang. “Menginaplah di sini,” pinta Agnes dengan suaranya yang manja. “Tidak bisa, Luna nanti curiga. Aku tidak mau hubungan kita diketahui Luna, setidaknya untuk saat ini,” jawab Imran. “Heummm oke, tapi kamu mau menceraikannya ‘kan?” “Iya, Nes, aku pasti akan menceraikannya. Ini demi Mora, aku tidak mau putri kesayanganku terluka.” Agnes tampak manyun. “Baiklah, aku hargai keputusanmu,” sahutnya kemudian. “Terima kasih.” Imran berjalan mendekati Agnes lalu mengecup keningnya, setelah itu berpamitan pergi. ** Pagi itu Mora berangkat sekolah diantar Imran. Semakin hari Imran semakin perhatian pada Mora, dan itu membuat Luna sangat senang. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Luna baru saja akan membuka laptopnya saat terdengar ketukan pintu depan. Luna pun beranjak dan membukakan pintu. “Alif, masuklah.” Pemuda tampan itu pun melangkah masuk. Pandangannya menyapu seluruh ruang tamu, hingga ia terhenti pada bingkai foto pernikahan Luna dan Imran. Cukup lama Alif menatapnya hingga decihan keluar di bibirnya. “Kenapa berdecih seperti itu?” tanya Luna di tangannya sudah ada nampan berisi minuman dan camilan. “Aku hanya kesal, kenapa Mbak Luna resign dan Mas Imran tidak bersedia membiayai kuliahku,” sahut Alif, tidak sepenuhnya jujur. “Jangan salahkan Mas Imran. Kami masih harus mengangsur rumah ini dan menabung untuk pendidikan Mora,” jawab Luna. Alif tampak jengah karena Luna selalu membela suaminya itu. “Apa Mbak Luna yakin uangnya Mas Imran beneran ditabung?” “Yakinlah, Lif. Mbak harus percaya ‘kan pada suami,” tukas Luna, heran dengan sikap adiknya yang terdengar sinis. Alif meraih gelas dan meminum minuman di tangannya. “Saat ini mbak belum mendapatkan pekerjaan, tapi Mbak punya perhiasan yang bisa kamu jual,” ujar Luna sambil membuka kotak yang berisi satu set perhiasan yang terdiri dari kalung, gelang dan cincin. “Perhiasan ini senilai 20 juta. Kamu bisa menggunakannya untuk biaya kuliah,” lanjut Luna. Tanpa bicara Alif meraih kotak perhiasan itu, lalu memasukannya dalam tas. “Aku akan menjualnya dan uangnya aku pakai untuk membayar kuliah.” “Sisanya transfer ke rekeningku ya. Sepertinya aku akan membuka usaha kecil-kecilan saja,” sahut Luna. Alif hanya mengangguk, lalu menghabiskan sisa minuman di gelasnya, setelahnya berpamitan pergi. Luna mengantar adiknya sampai ke depan gerbang. Benaknya sibuk bertanya-tanya akan sikap Alif yang tampak berbeda. Adiknya itu tampak lebih pendiam dari biasanya. Luna sampai lupa jika kemarin malam Alif berkata ingin membicarakan sesuatu yang penting. “Ah, sudahlah. Nanti dia pasti akan cerita,” pikir Luna. Sementara itu, Alif akhirnya tiba di kantor lama kakaknya. Setelah menemui resepsionis kantor, Alif di antar ke ruangan Imran. Kakak iparnya tampak sibuk dengan laptop saat Alif masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi serius. “Hai Lif, tumben kamu menemuiku di kantor?” kata Imran, terdengar malas. “Aku harap kamu tidak meminta uang kuliah, karena aku sudah bilang pada Luna tidak akan menanggung biaya kuliahmu,” lanjut Imran, matanya tetap fokus di layar laptop. “Tapi sayangnya Mas Imran harus tetap membiayai kuliahku, atau skandalmu dengan wanita yang bernama Agnes terbongkar,” ujar Alif. Suaranya tak kalah tenang. Imran sontak terkejut dengan perkataan adik iparnya itu. Perhatiannya segera teralihkan. Ia menatap Alif yang tersenyum sinis. “Dari mana kamu tahu Agnes?” tanya Imran. “Kami hanya—” Tanpa mengatakan apapun, Alif memperlihatkan rekaman kamera ponselnya yang memperlihatkan Imran masuk ke unit apartemen. Tidak hanya itu, Alif juga berhasil merekam keberadaan Imran di kamar yang hanya mengenakan handuk, juga Agnes yang hanya mengenakan pakaian minim. “Jadi selain jadi kurir makanan, kamu juga memata-matai orang? Aku bisa melaporkanmu pada bosmu,” Imran mengancam balik. “Laporkan saja, lagipula aku sudah tak berminat lagi kerja menjadi kurir,” jawab Alif santai. “Dasar pemuda brandal!” umpat Imran kesal. “Kamu yang brandal!” balas Alif tak mau kalah. “Apa yang kau inginkan?” tanya Imran. “Transfer ke rekeningku 20 juta, kurasa itu cukup untuk biaya kuliahku,” jawab Alif. “Gila kamu!” Imran memukul meja kerjanya. “Mas Imran yang lebih gila karena mengkhianati Mbak Luna! Mas Imran belum tahu siapa Mbak Luna jika mengetahui semua ini,” kata Alif serius. Imran mendengus. “Apa yang bisa dilakukan Luna memangnya? Toh aku memang berniat menceraikannya.” “Itu lebih baik daripada berkhianat di belakangnya!” sentak Alif dengan nada tinggi. Imran terdiam, tapi tatapannya seperti menusuk mata Alif yang terus menantangnya. “Itu karena Agnes adalah putri dari ketua yayasan sosial yang disegani di masyarakat ‘kan? Kalian takut skandal memalukan ini terbongkar,” lanjut Alif. Imran terkekeh sumbang. “Aku pikir kamu pemuda bodoh, ternyata otakmu pintar juga.” Ceklek! Tiba-tiba pintu terbuka dan terlihat Agnes masuk. “Oh… maaf, aku tidak tahu jika ada tamu,” ucap gadis itu. Alif seketika menoleh karena ia mengenal suara itu. Senyum getir langsung terbit di bibirnya melihat wanita yang ia kenal semalam, memakai baju kantor dan membawa berkas di tangannya. “Aku akan kembali nanti,” kata Agnes lagi. “Tak perlu, masuklah, aku adik ipar Mas Imran,” tukas Alif. “Agnes, keluarlah!” suruh Imran tegas. Agnes pun menatap penasaran pemuda yang mengaku adik ipar Imran, lalu ia melangkah pergi keluar ruangan. Alif menatap tajam Imran. “Jadi selingkuhanmu juga bekerja di sini,” katanya. Imran tampak frustrasi. “Aku akan memenuhi keinginanmu, aku akan transfer uang sesuai permintaanmu. Diamlah dan pergi dari sini,” usirnya. Alif berdiri dengan senyum miring. “Kamu aktor yang handal,” ucapnya lalu pergi meninggalkan ruangan Imran. Sementara itu, Luna sedang fokus berselancar di dunia maya untuk mencari ide usaha, sampai ia tak sengaja melihat postingan salah satu rekannya di kantor yang lama. Postingan itu memperlihatkan foto kebersamaan mereka dengan divisi operasional. Sepasang mata Luna membelalak melihat wajah familiar di dalam foto itu. Agnes tampak tersenyum dengan manisnya di antara karyawan WR Company. “Agnes…? Jadi dia sekarang bekerja di sana?”Mobil jeep Omar menuju kediamannya, setelah beberapa menit ia sampai di pintu pagar, Omar turun dari mobilnya dan berjalan ke pintu depan, ia membuka pintu lalu setelah terbuka Omar masuk, suasana rumah sepi, pembantu paruh waktu telah pulang, dan Dewi yang biasanya menyambut tidak ada, Omar merebahkan di sofa dan mengedarkan matanya menelusuri ruangan, berharap semua adalah mimpi dan Dewi masih menyambut kedatangannya, tapi tiba-tiba ia terfokus pada sebuah kunci almari yang tergeletak di lantai ruang tengah, perlahan Omar, bangkit dan mendekati kunci lalu meraihnya dari lantai.“Ini adalah kunci almari, kenapa ada di sini, apa ada pencuri masuk,” gumam Omar lalu bergegas masuk ke kamar dan memeriksanya almarinya, tidak ada hal mencurigakan, semuanya masih rapi, barang berharga berupa surat-surat penting masih ada juga perhiasan masih ada.“Ah…mungkin aku lupa menjatuhkan ini, “ gumam Omar.Omar menyimpan kunci kembali, lalu ke dapur untuk membuat makan malam sederhana.Sebuah ket
“Benar, kamu bisa melakukannya, jangan sampai orang lain tahu, ini adalah rahasia kita berdua,” Luna menyakinkan Mora.“Baik Mah, Mora akan berhati-hati, pasti bisa,”“Oke, kalau begitu lakukan akhir pekan ini, kamu harus menginap di rumah Papah,” suruh Luna.“Oke,” jawab Mora dengan yakin.Luna tersenyum, putri kecilnya sudah bisa diandalkan saat ini. Lalu Luna berpamitan pergi ke kantor.Sesampainya di kantor, Luna terlihat heran, karena ia tak mendapati Omar berada di kantor.Staf bilang jika Omar izin tidak datang ke kantor untuk beberapa hari ke depan.Dan itu membuat Luna sedih. Masalahnya semakin rumit, disisi lain Dewi terus mendesaknya sementara disisi lain ia takut terjadi hubungan emosional antara dirinya dan Omar.Dengan wajah lesu, Luna berjalan ke meja kerjanya, sampai disana ia terkejut karena Dewi duduk di kursi kerjanya begitu melihat Luna, wanita berpenampi
Setelah mendengarkan penjelasan, dan menyimpan berkas itu, Rosa pergi , ia mengendarai mobilnya menuju Yayasan Bahagia, dimana Basuki bekerja disana.Wajah Rosa tegang dan terlihat sangat kesal, begitu sampai ia langsung menuju ruang kerja Basuki.Pintu ruang dibuka kasar dan ditutup keras, Basuki yang melihat itu sempat meradang, tapi ia tahu jika putriya sedang marah.“Rosa sayang, ada apa, kenapa kamu marah?” Basuki mendekati sang putri.“Papah, kenapa Papah jahat sekali, kenapa Papah mengkhianati Mamah, bermain gila dengan Agnes!”“Rosa itu tidak benar,” bantah tegas Basuki.“Ini adalah berkas test DNA milik Papah dan Erik, hasilnya menyatakan jika kalian memiliki hubungan darah, ini adalah bukti nyata.” Rosa menangis.Seketika Basuki memeluk putrinya dan meraih kertas itu.“Maafkan Papah, jangan bilang Mamah, Papah akan mengakhiri hubungan ini, Papah janji, Rosa, jangan
Omar menatap kosong lahan yang akan dibangun apartemen, matanya tertuju pada proyek tapi pikirannya hanya ada Luna.Omar pun meninggalkan proyek tanpa berpamitan pada staf termasuk Luna, dan itu membuat Luna semakin serba salah.“Pak Omar pergi, tanpa berpamitan, apa menurutmu ada sesuatu yang terjadi?” tanya Ina pada Luna.“Aku harap semua baik-baik saja.” Luna menarik napas panjang lalu melanjutkan ucapannya.”Bu Ina ada sesuatu yang terjadi antara kami.” Luna berkata dengan pelan dan hati-hati.“Lun…jangan bilang kalian ada hubungan gelap, ingat Pak Omar pria beristri,” cerca Ina.“Aku tahu Bu Ina, tapi Dewi, istri Pak Omar yang tak lain adalah sahabatku, menjodohkan kami.”“Apa…jadi istrinya pak Omar menjodohkan kalian, maksudmu kamu dijadikan madunya begitu?”“Dewi, mandul, ia berharap Pak Omar memiliki keturunan, oleh karena itu memintaku untuk menjadi istri kedua Pak Omar, tentu aku menolaknya, tapi Dewi memiliki rencana lain, Dewi, menginginkan rahimku, untuk sel telurnya dan
Dewi kembali menatap gambar Luna di layar ponselnya.“Kamu harus bersedia menikah dengan Omar, lalu melakukan bayi tabung, benihku dan Omar, setelah kamu melahirkan bayi, kamu akan memenuhi kebutuhan biologis Omar,“ gumam Dewi dengan derai air mata.Tidak ada wanita yang bersedia di madu tapi dalam kasus ini, Dewi dengan suka rela membiarkan Omar menikah lagi demi kebahagian pria yang dicintainya, dan demi mendapatkan keturunan.***Sementara itu di tempat lain, Rosa dengan pelan masuk ke kamar orang tuanya, rumah dalam keadaan sepi, lalu gadis itu mengambil sikat gigi tapi ia bingung.“Yang mana sikat gigi Papah?” Rosa mengaruk kepalanya yang tak gatal itu seraya menatap dua sikat gigi di depannya.Rosa lalu beralih menuju meja rias di sudut kamar disana memang ada helaian rambut, tapi Rosa juga kembali bingung rambut mana milik Basuki.“Apa aku harus mencabut langsung rambut papah, aah tidak
Kedua pasang suami istri itu pun berjalan masuk ke dalam rumah dan menuju kamar. Omar berupaya mengalihkan perhatian pada Dewi, karena akhir-akhir ini bayangan wajah Luna selalu memenuhi kepalanya, perlahan diraihnya pinggang Dewi dan dipelukanya erat, ciuman mesra mendarat di bibir wanita yang sudah bersamanya 5 tahun ini. Pelukan hangat mereka beralih ke tempat tidur. Ini hubungan intim yang Dewi dan Omar lakukan setelah Dewi menjalani operasi pengangkatan rahim, dan Omar merasakan perbedaan, Dewi juga merasakan gairahnya menurun dalam berhubungan intim, bahkan tidak bisa merasakan nikmatnya bercinta rasanya hambar.Dewi hanya menahan rasa perih di area sensitifnya lalu ia meminta Omar menyudahi permainannya. Omar kecewa, ini pertama kali dalam pernikahannya ia merasa kecewa dalam berhubungan intim, tapi Omar mencoba tersenyum dan dan bersikap biasa dihadapan Dewi.“Maaf, jika kamu belum sehat, kita lakukan lain kali,” ucap Omar.“Maaf Omar, aku membuatmu kecewa, ada hal besar yang