MasukLuna meraih ponsel dan menelpon salah satu temannya dulu di WR Company.
“Hai Lun, ada apa?”
“Ada yang ingin aku tanyakan, apakah Agnes yang sekarang menduduki jabatanku di WR Company?”
“Oh...kamu juga mengenal Agnes, kamu benar Luna, kamu digantikan oleh Agnes,” jawab staf WR Company.
Luna langsung menutup ponselnya, entah mengapa ia merasakan ada sesuatu yang aneh yang sedang mempermainkan hidupnya.
‘Agnes...ada di WR Company, menggantikan kedudukanku, apa ini kebetulan?’ batin Luna.
Wanita ramping itu, melihat kembali foto di layar ponselnya, matanya tiba-tiba fokus pada gelang yang dipakai Agnes.
‘Hai itu gelang yang sama yang ditemukan mbok Sumi,’ batin Luna.
Luna semakin bingung dengan situasi yang ada dihadapannya, ia berpikir kenapa Imran tidak bercerita tentang Agnes yang bekerja di WR Company dan gelang itu, nyatanya Imran sampai sekarang tidak pernah memberikan gelang itu, lagi pula ukurannya memang pas jika di tangan Agnes.
Luna melamun ia teringat waktu dulu, pernah mendengar jika Imran menyatakan cinta pada Agnes, tapi Agnes menolaknya. Pikiran Luna semakin kacau. Di saat hati kalut dan pikirannya kacau. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Mbok Sumi secepatnya membukakan pintu.
Ceklek! “Nyonya Amina?” Sumi terkejut melihat wanita tengah baya dengan wajah judesnya tepat berdiri di ambang pintu.
Luna yang mendengar nama Amina di sebut, langsung keluar kamar.
“Ibu...kenapa tidak kasih kabar jika ibu akan datang, aku bisa jemput di terminal ‘kan?”
“Tidak usah, ibu kemari memang ingin kasih kejutan untuk kalian, dan juga ingin membicarakan sesuatu yang penting,” ucap wanita tengah baya yang bernama Amina, yang merupakan ibu mertua Luna. Wanita itu langsung duduk di sofa tamu.
“Mas Imran, sebentar lagi pulang, ibu makan dulu biar aku siapkan,” tawar Luna.
Baru saja Luna akan beranjak tiba-tiba ibu mertuanya menarik tangannya.
“Duduk saja, apa kamu tidak bekerja lagi?”
“Sudah satu bulan aku resign, Bu,” jawab Luna.
“Kenapa?”
“Ini keputusan HRD.”
“Jika begitu kasihan Imran, harus banting tulang mencukupi biaya hidup, kamu dan anakmu, apa kamu tak mikir di Jakarta biaya hidup begitu tinggi,” omel wanita semakin terlihat marah dengan wajah yang menegang.
“Mas Imran, sekarang menjabat sebagai manager keuangan Bu, jadi gajinya dua kali lipat, aku rasa bisa memenuhi kebutuhan kami,” jawab Luna.
“Tidak bisa begitu, kamu juga harus bekerja, kelak jika Mora dewasa, ia akan membutuhkan biaya yang sangat tinggi, apa kamu tak memikirkan biaya pendidikan di perguruan tinggi yang lumayan menguras kantong!” gertak Amina.
Luna mendesah pelan, lalu berucap,” Ibu tak usah khawatir tentang Mora, kami akan berusaha untuk memenuhi semua kebutuhannya.”
“Bagaimana, kamu dan Imran akan memenuhi kebutuhan jika kamu saja tidak bekerja dan enak-enakan di rumah hanya menghabiskan uang Imran,” Amina, tampak kesal.
Mendengar ucapan sang mertua, Luna hanya terdiam, tapi hatinya mendidih. Sejak menikah pun Luna selalu berusaha bekerja dengan maksud membantu suaminya, supaya tercukupi kebutuhan keluarga, tapi jika saat ini ia tidak bekerja, itu bukan berarti dia menikmati dan bersenang –senang di rumah.
“Jika kamu tak bekerja, kenapa masih memperkerjakan Mbok Sum, apa kamu tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, buang–buang duitnya Imran,” gerutu Amina lagi.
“Mbok Sum, sudah seperti keluarga sendiri, sejak Mora lahir, Mbok Sum yang menjaganya, “ sahut Luna.
“Sudah-sudah, jika kamu dalam waktu satu bulan tidak bekerja, pecat saja, Mbok Sum!” perintah Amina.
“Baik Bu...” Akhirnya Luna mengalah ia tak mau berdebat panjang lebar, toh saat ini dirinya sedang mencari pekerjaan, dan berharap bulan depan sudah mendapatkan pekerjaan.
Amina dengan rasa kecewa mendalam hanya memasang wajah cemberut, sedangkan Luna berusaha memyembunyikan kekesalannya pada ucapan sang mertua.
Sejak menikah ibu mertuanya memang selalu ikut campur tangan terutama soal keuangan.
“Luna , apa KPR belum lunas?”
“Belum, Bu, kurang 4 bulan bulan lagi.”
“Nah, tahu kebutuhan masih banyak, malah resign,“ umpat Amina.
Wanita tengah baya itu lalu memilih masuk kamar tamu dan beristirahat.
Luna terduduk di kursi makan, menatap sejenak asisten rumah tangga yang telah bersamanya selama 9 tahun, dan bekerja dengan baik.
“Jika Bu Luna, keberatan saya bekerja di sini, saya berhenti saja,” ucap Sumi.
“Tidak Mbok Sum, aku akan mencari pekerjaan, hanya Mbok Sum, yang bisa menjaga Mora,” jawab Luna.
Malam semakin larut, mobil Imran berhenti di depan rumah, Amina menyambutnya dengan antusias.
“Bu..kenapa dadakan sih datangnya,” ucap Imran.
“Kamu tak senang jika ibumu ini datang,” jawab Amina.
“Bukan begitu, aku tahu jika ibu datang pasti ibu butuh duit ‘kan?”
Amina tersenyum ia bergelayut manja pada putra semata wayangnya.
“Siapa lagi, jika tidak minta padamu, kamu anak satu-satunya ibu, toh nanti semua harta yang ibu punya menjadi milikmu, yang beruntung itu Luna, dia ikut menikmati hartaku kelak, dan sekarang ia enak-enakan tidak bekerja, dan membuatmu seperti sapi perah saja,” ucap Amina.
Imran dan Amina kini duduk di sofa, Luna pun membawakan camilan dan minuman untuk suami dan sang mertua.
“Duduklah Lun, aku ingin menyampaikan sesuatu pada kalian,” suruh Amina.
Perasan Luna menjadi tidak enak, dengan berat hati ia duduk di sofa, dan menatap sang mertua, sedangkan Imran sudah terlihat wajah tegangnya ketika ibunya mulai berbicara.
“Ibu membutuhkan uang, 20 juta,” ucap Amina dengan jelas.
“Untuk apa Bu?” tanya Imran.
“Untuk modal, tanam kebun, tahun ini gagal panen, jadi ibu perlu modal, dan akan ibu bayar jika ibu panen lagi,” ucap Amina.
“Aku sudah kasih saran Bu, lebih baik disewakan saja, atau bagi hasil, jadi ibu tak keluar modal,” balas Imran.
“Kamu sekarang ngatur ibu,” Amina terlihat kesal.
“Imran tak punya uang sebanyak itu, Bu..” jawab Imran.
“Lun, kamu punya perhiasan ’kan, pinjamkan ibu dulu,” pinta Amina.
“Perhiasan itu sudah aku jual untuk biaya kuliah Alif,” sahut Luna.
“Haa, jadi adikmu minta di biaya kuliah,” sela Amina sambil tatapannya menajam ke arah Luna.
“Lagi pula, itu perhiasan Luna sendiri yang sebagian Luna dapatkan dari hasil kerja Luna sebelum menikah,” jawab Luna.
“Tidak bisa begitu dong Luna, urusan adikmu itu ya urusan orang tuamu,” sela Amina.
“Mas Imran, kenapa kamu tidak memberikan gelang yang ditemukan mbok Sumi beberapa waktu yang lalu, kamu masih menyimpannya ‘kan?” suruh Luna.
Seketika wajah Imran menjadi pucat.
“Heumm...gelang itu, sebenarnya..” Imran tampak gugup.
“Sebenarnya buat aku ‘kan, nggak apa-apa jika kamu berikan gelang itu pada ibu, jika aku tak salah taksir, gelang itu seharga 10 juta, lumayan ‘kan kekurangannya bisa kamu ambilkan dari tabunganmu,” saran Luna.
Imran semakin pucat, pasalnya gelang itu sudah diberikan pada Agnes.
“Oh...jadi kamu punya gelang yang akan kamu berikan pada Luna, nah sekarang berikan pada ibu, toh Luna sudah mengizinkannya ‘kan?” desak Amina.
“Gelang itu rusak sedikit, jadi aku bawa ke reparasi perhiasan, besok aku akan berikan pada ibu,” jawab Imran ragu.
Luna tersenyum getir, kini ia tahu jika gelang itu memang tidak ada di rumah, dan mungkin benar tebakannya gelang itu diberikan pada Agnes.
Agnes dan Iwan mencari tempat aman untuk berbicara.“Jadi apa rencanamu Agnes?” tanya Iwan.“Aku berniat menjadi istri Tuan Dargo dan mewarisi semua harta kekayaannya,” jelas Agnes pelan namun serius.“Ha..Ha…” Iwan tertawa, lalu berkata. ”Yang aku tahu Tuan Dargo memang hidung belang, sebelumnya ia memilik gundik, tapi tak satupun wanita yang dekat dengannya dijadikan istri sah, mereka hanya dijadikan simpanan,” jelas Iwan.“Betulkah …jadi hanya bersenang-senang dengan wanita?”“Betul, satu-satunya wanita yang dicintai istrinya tapi sayang istrinya kabur,” jelas Iwan.“Aku sudah dengar cerita itu, tapi apakah Tuan Dargo tidak berniat menikah lagi?”“Semoga kamu beruntung dan berjodoh dengan Tuan Dargo,” balas Iwan tersenyum kecil seakan meremehkan keinginan Agnes.“Kalau begitu, Aku akan buktikan jika aku bisa menaklukan pria tua itu dalam waktu beberapa bulan,” jawab Agnes dengan yakin.“Kamu memang ahlinya menaklukan pria , jika perlu bantuanku, Aku siap,” tawar Iwan.“Oke.”Agnes
Andini alias Agnes berjalan sejajar dengan Rina, sambil berbincang dan bercanda. Langkah kaki mereka menuju sebuah rumah mewah, sampai disana, para keryawan perkebunan, mulai berdatangan, semuanya tampak bahagia, karena acara seperti ini jarang di adakan.Agnes berjalan ke arah dalam, rumah, hidangan sudah tersaji di atas meja panjang dan besar, pera pekerja sudah duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan.“Duduk Andini, sebelum makan-makan biasanya Tuan Dargo akan menyampaikan sesuatu terlebih dahulu,” ucap Rina, Agnes hanya mengangguk dan duduk.Beberapa menit kemudian yang ditunggu para pekerja perkebunan datang, seorang pria yang berjalan menuju depan, senyum tampak menghiasi wajah tuanya yang sudah keriput. Lalu tak lama terdengar suara Tuan Dargo memecah keheningan.“Terima atas kedatangan kalian, seperti biasanya kita bersilahturahmi antar pekerja, dan selain itu saya akan membagikan bonus untuk kalian,” ucap Dargo.Semua pekerja sangat senang, Tuan Dargo dikenal, majikan yan
Pagi hari waktu subuh, Omar menyempatkan diri untuk jogging di sekitaran hotel, sementara Luna masih terlelap. Omar berlari kecil menembus hawa dingin, lalu berhenti di pasar, sebenarnya ia penasaran dengan cerita Luna yang melihat wanita mirip Dewi, oleh karena itu Omar mendatangi pasar, siapa tahu wanita yang mirip Dewi datang ke pasar lagi.Hingga matahari muncul tapi yang diharapkan Omar tak kunjung datang. Omar hanya bisa menarik napas dalam.‘Ahh sudahlah, Dewi atau bukan aku tak perlu memikirkannya. Sekarang aku memiliki Luna, Dewi masa laluku, jika benar duganku ia masih hidup dan sengaja bersembunyi, biarlah ia pasti memiliki alasan untuk melakukannya,’ batin Omar.Omar kembali berlari kecil, menyusurui jalan kecil pemukiman, rumah adat khas Bali sangat mendominasi pemukiman, hawa sejuk dan suasana tenang, pasti membuat betah penghuninya.Ketika Omar berlari kecil, tiba-tiba dari arah belakang ada seorang wanita yang menyalipnya, wanita dengan rambut warna merah tembaga, be
Beberapa minggu berlalu, keadaan Luna sudah pulih, bahkan sudah mulai beraktivitas seperti biasanya, ia kini berada di Omara Kontruksi, yang saat ini di pimpinnya, wajahnya kembali ceria setelah beberapa minggu yang lalu tampak masih bersedih kehilangan janinnya.“Bagaimana keadaanmu Lun?” tanya Bu Ina.“Aku sudah membaik, kata Dokter. Aku sudah boleh beraktivias, Aku mulai bekerja, Mas Omar juga sudah mengizinkanku untuk bekerja, supaya Aku tidak terlalu larut dalam kesedihan,” jawab Luna.“Kamu tahu ngak Lun, menurut kau keguguranmu kali ini ada baiknya, untuk pernikahanmu kedepannya, kalian bisa memiliki anak sendiri,“ jelas Ina.“Aku merasa bersalah pada Dewi, ia sahabatku aku berhutang budi padanya,“ desahan napas berat terdengar dari bibir Luna.“Sudahlah, toh Dewi sudah meninggal, tidak baik membicarakan orang sudah meninggal, sekarang fokuslah pada pernikahanmu, jangan sampai Omar terlepas, jaga suamiu dengan baik.” Ina berkata seraya tertawa kecil.Luna hanya tersenyum menang
Di Jakarta masih dengan kesibukannya yang luar biasa, seperti biasanya Omar pagi-pagi sudah berangkat, Luna untuk saat ini mengurangi ativitasnya di luar rumah, mengingat kandungannya yang masih rentan. Kini ia menyibukan diri berselancar di dunia maya , browshing tentang kehamilan, wanita yang semakin cantik itu kini fokus pada kehamilannya, walau janin yang di rahimnya adalah benih Omar dan Dewi, Luna tetap bersemangat dan menjaga kesehatannya.Luna berjalan ke arah jendela ruang tengah yang menghadap ke jalan, tangannya mengusap perut datarnya seraya tersenyum. Pagi itu mentari bersinar dengan cerahnya, hingga angin juga berhembus lembut, sangat menyejukan, tiba-tiba mata Luna tertarik pada sosok wanita yang berdiri di tepat depan jalan, wanita yang menutupi wajahnya dengan masker dan topi serta kaca mata itu seakan sedang mengawasi rumahnya.‘Siapa wanita itu, kenapa ia menatap lama rumah ini,’ batin Luna.Tapi Ketika mereka saling beradu pandang, dengan cepat wanita itu mengal
Luna tersenyum ke arah Omar, keduanya saling tatap dan melempar senyum, kemudian dokter memberi resep obat pada Luna, terutama obat penguat kandungan.“Terima kasih Dokter,” ucap Luna.Lalu Luna dan Omar pun meninggalkan ruangan dengan hati penuh harapan ada janin yang kini tumbuh di rahim Luna.“Kita akan rayakan kehamilanmu Luna, undanglah Mora ke rumah, kita makan malam, aku ingin memberitahukan Mora jika sebentar lagi adiknya akan lahir,” suruh Omar.“Betul Mas..Mora harus tahu kabar gembira ini dari kita, aku harap ia juga akan bahagia dengan kehadiran adiknya,” jawab Luna.Malam itu juga Mora memenuhi undangan Luna dan Omar, gadis kecil itu dijemput oleh sopir Omar. Setelah sampai di rumah mewah dimana sang ibu tinggal, Mora hanya berdecak kagum, melihat betapa mewahnya rumah yang di tempati Luna sekarang.“Selamat datang Mora, Mamah dan Papah Omar sangat senang kamu memenuhi undangan kami,” sapa Omar pada Mora.“Terima kasih Papah Omar,” sahut Mora.Lalu Luna mengajak Mora ke







