Dea menatap Yama dalam-dalam. Ada perih di sana, ada marah yang masih membara, namun juga ada simpati yang samar dan cinta? Dea sendiri tidak tahu perasaannya lagi.
Fathi menatap Dea, mencoba membaca pikirannya. "Sayangku?"
“Baiklah,” ujar Dea akhirnya. “Kalian berdua ikut bersamaku. Tapi cukup sebagai penonton, tidak lebih.”
Yama tampak lega, sementara Fathi tidak berkata apa-apa. Walau sedikit kesal, Ia hanya mengangguk pelan dan berjalan mengiringi mereka masuk ke ruangan konsultasi. Ingin rasanya dia membeli semua peralatan medis yang ada dalam rumah sakit itu hanya agar Dea tidak perlu menghadapi kejadian seperti ini.
Di dalam, seorang dokter wanita berusia sekitar empat puluh tahunan tengah merapikan catatan di meja. Saat melihat siapa yang masuk, ia langsung berdiri dan membungkuk sopan.
“Tuan Fathi… dan…” matanya berpindah
Dea menatap Yama dalam-dalam. Ada perih di sana, ada marah yang masih membara, namun juga ada simpati yang samar dan cinta? Dea sendiri tidak tahu perasaannya lagi.Fathi menatap Dea, mencoba membaca pikirannya. "Sayangku?"“Baiklah,” ujar Dea akhirnya. “Kalian berdua ikut bersamaku. Tapi cukup sebagai penonton, tidak lebih.”Yama tampak lega, sementara Fathi tidak berkata apa-apa. Walau sedikit kesal, Ia hanya mengangguk pelan dan berjalan mengiringi mereka masuk ke ruangan konsultasi. Ingin rasanya dia membeli semua peralatan medis yang ada dalam rumah sakit itu hanya agar Dea tidak perlu menghadapi kejadian seperti ini.Di dalam, seorang dokter wanita berusia sekitar empat puluh tahunan tengah merapikan catatan di meja. Saat melihat siapa yang masuk, ia langsung berdiri dan membungkuk sopan.“Tuan Fathi… dan…” matanya berpindah
“Dan sekarang kau tidur dengan aku, setelah pernah membunuh ibu dari orang lain, kau terlalu kejam dan aku terlibat denganmu,” ucap Sanjaya tajam, dadanya naik-turun menahan gejolak.Meisya menatapnya, matanya basah tapi tajam. “Aku tidak datang ke hidupmu untuk menghancurkanmu, San. Aku datang karena aku… juga sudah hancur. Dan kamu yang duluan merayuku.”Sanjaya menutup mata, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi semua terasa terlalu kacau.“Aku harus pergi,” katanya. “Aku harus kembali ke Jakarta. Melia… anakku… dan—”“Dan Yama,” potong Meisya. “Kau ingin menyampaikan pada Yama soal ini, bukan?”"Aku tahu, kamu ingin lepas dariku, bukan?"Sanjaya tidak menjawab. Tapi sorot matanya cukup sebagai jawaban.Meisya mendekat, memegang lengannya. “Kalau
Meisya mengangguk. “Kamu tampak kuat, tapi kamu mudah terjatuh kalau diberi tempat yang hangat dan pelukan yang kamu butuhkan. Aku tahu kamu sedang hancur, dan aku hanya… membuka pintu. Kamu sendiri yang memasukinya.”"Dan Dea, kamu mengenal dia lebih dari Yama, bukan?""Tapi, kamu lalu merayuku, dan aku... membutuhkan belaian dari seseorang yang kuat dan bisa memuaskanku, seperti dirimu."Meisya melingkarkan tangannya ke leher Sanjaya dan membiarkan bagian depannya menempel di dada telanjang pria itu.Menatap kedua mata Sanjaya lalu ke bibirnya.Sementara bagi Sanjaya, kalimat itu menusuk lebih dalam daripada semua tuduhan yang pernah dilontarkan Melia padanya. Ia berdiri dalam diam, merasa telanjang, bukan secara fisik, tapi secara batin. Meisya melihat sisi dirinya yang bahkan tidak ia sadari. Meisya hanya menginginkan belaian dan kepuasan bathinnya sebagai wanita dewasa, tidak lebih. Dan dirinya, lebih tepat, tu
Meisya mengerjapkan mata, lalu berbalik badan, menyender ke sisi ranjang. “Aku tahu,” katanya datar. “Kamu terlalu baik untuk bisa benar-benar melupakan mereka, bahkan dalam pelukanku. Bahkan saat kamu berpacu atasku, aku tahu... kamu memikirkan mereka.”Sanjaya menoleh cepat. “Kalau kamu tahu, kenapa kamu tetap mengajakku liburan ini dan memaksaku untuk...”Meisya tersenyum, tajam. "Dan kamu menikmatinya, bukan?"Sanjaya terdiam. Dia tidak bisa memungkiri bahwa dia menikmati semua yang diberikan oleh Meisya untuknya.“Sayang," bisik Meisya. "Karena aku tahu kamu butuh pelarian. Dan aku tahu aku bisa memberikannya, maka kamu ada di sini, bersamaku.”Sanjaya mengernyit. Kata-kata itu bukan sekadar godaan. Ada sesuatu yang mengganjal, menyusup seperti duri dalam daging.“Aku penasaran, Meisya,” ujarnya perlahan, mengubah posisi h
Jumlah yang tak masuk akal bagi pria sepertinya. Dua kali lipat dari semua tabungan yang ia miliki, dan sisa uang dari Meisya sebelumnya hampir habis untuk perawatan darurat dan penginapan Melia. Ia tahu ini akan datang, tapi tetap saja... melihat angka itu di atas kertas seperti menerima vonis mati secara perlahan.Dengan jari gemetar, Sanjaya menghubungi Meisya. Butuh tiga kali napas dalam sebelum dia menekan tombol “call.”Tak butuh lama, Meisya menjawab. Suaranya cerah, seperti sedang menikmati teh sore di balkon hotel.“Sanjaya… akhirnya kamu telepon juga.”“Aku… butuh bantuan lagi.”Meisya tertawa kecil.“Tentu. Aku sudah menduga. Berapa kali kau jatuh, selalu aku yang menangkapmu, bukan? ”Sanjaya menelan ludah. “Tagihan rumah sakit naik jadi dua ratus juta…”Di seberang,
Saat pintu apartemen Meisya tertutup di belakangnya, tubuh Sanjaya limbung. Kakinya bergetar hebat, dan ia terpaksa berpegangan pada dinding koridor hanya agar tidak jatuh.Pinggangnya terasa seperti retak, tulangnya seolah patah dalam diam. Otot-otot tubuhnya menjerit. Tapi bukan hanya tubuhnya yang sakit, jiwanya pun retak, diseret di antara dua dunia yang sama-sama membinasakan.Namun satu hal membuatnya tetap berdiri: kerinduannya pada Melia dan anaknya.Dengan sisa tenaga, ia menuruni lift, menuju mobilnya yang diparkir di basement. Meski tubuhnya nyaris roboh, ia tetap mengemudi. Setiap kali gas diinjak, tubuhnya menegang karena rasa nyeri.Namun pikirannya sudah melayang jauh ke rumah sakit, ke wajah anaknya yang belum sempat ia peluk benar-benar, dan ke Melia yang sempat memaafkannya tanpa tahu bahwa suaminya baru saja menjual kehormatan demi sebuah tagihan.Di lampu merah, Sanjaya bersandar di seti