Yama dengan santai menarik sebuah handuk lalu melilitkannya ke pinggang. Tatapannya berubah tajam, tapi Dea, alih-alih takut, justru bergerak lebih cepat.
Dengan cekatan, dia menyambar celana Yama yang tergeletak di lantai. "Ini milikmu, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. Tanpa menunggu jawaban, Dea berlari ke arah pintu.
"Hei! Kembalikan itu!" seru Yama, tapi langkahnya terhenti saat Dea sudah membuka pintu kamar. Dengan hanya handuk melilit tubuhnya, tidak mungkin dia mengejar Dea.
Di luar pintu, tawa Dea menggema. "Sampai jumpa, pria bayaran! Nikmati sisa waktumu dengan handuk itu!" katanya sambil berlari menjauh.
Yama hanya bisa berdiri di tengah ruangan, matanya berkilat penuh kemarahan bercampur rasa penasaran. "Gadis ini..." gumamnya, mengulum senyum tipis lalu berbalik, melihat ke arah bungkusan kertas yang tadi dilempar Dea ke ranjang bersama dengan dompet kecil berwarna merah.
Isi bungkusan kertas itu adalah pakaian wanita, awalnya itu diperuntukkan kepada gadis yang bahkan dia tidak tahu namanya, tetapi gadis canggung itu malah merebut pakaiannya.
Yama mengambil napas panjang, matanya menyipit menatap pintu yang baru saja ditutup Dea dengan keras. Handuk yang melilit pinggangnya terasa makin menggelikan, namun kemarahannya menutupi rasa malu itu.
"Saya mau lihat sampai di mana kau bisa berlari!" gumamnya dingin. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil di samping sofa. Dengan cepat, dia menekan beberapa tombol panggilan.
"Selidiki identitas wanita itu," katanya tegas begitu panggilan tersambung. "Dan bersiaplah menanggung akibat dari kesalahan kalian dalam memberikan informasi semalam. Jangan sampai terulang lagi!"
Dari seberang telepon terdengar suara penuh kepanikan, mencoba menjelaskan sesuatu, tapi Yama memutus panggilan sebelum kalimatnya selesai. Tidak ada waktu untuk mendengarkan alasan.
Matanya beralih ke dompet kecil berwarna merah di atas ranjang, di mana lembaran uang berwarna merah—dua ratus ribu yang ditinggalkan Dea—terlipat di dalam dompet begitu saja, seolah mengejek dirinya.
"Membayarku serendah itu..." gumamnya sambil mengeluarkan lembaran itu dari dompet kecil, uang itu kumuh dan dalam kondisi terlipat. Yama memandanginya seperti barang menjijikkan. Bibirnya menyeringai penuh kebencian sekaligus kegembiraan aneh.
"Harga yang harus kau bayar adalah seumur hidup, gadis kecil!" lanjutnya dengan suara rendah, nyaris seperti janji yang menyeramkan.
Di luar Hotel...
Dea terus berlari, sesekali menoleh ke belakang dengan tawa kecil. "Hah! Dia pasti sangat marah sekarang!" gumamnya sambil tersenyum puas. "Tapi, dia cukup tampan."
Dea membuang celana panjang milik pria itu ke tong sampah umum yang dilewatinya lalu menepuk tangannya seolah-olah membersihkan debu dan rasa jijik.
"Hilangkan barang bukti, sekarang pergi membeli pakaian untukku. Kemejanya membuat tubuhku seperti patung jelek, eh, tapi lebih baik aku kembali ke rumah dulu, uangku bahkan tidak cukup membayar bus," gumamnya.
“Issh, sakit sekali aku dibuatnya,” desis Dea sambil memegang bagian bawah perutnya lalu kembali berjalan cepat.
Namun, kegembiraannya terganggu oleh dering ponselnya. Dea sudah hampir sampai di rumah sewanya yang berada tidak jauh dari hotel. Dea mengerutkan dahi, menarik ponselnya dari tasnya. Nama Jean muncul di layar.
"Halo, Jean? Ini bukan waktu yang tepat untuk—"
"Dea! Apa yang kau lakukan?!" suara Jean terdengar panik.
"Santai saja. Aku cuma sedikit bercanda dengan pria itu," jawab Dea dengan nada tak peduli.
"Bercanda?!" Suara Jean meledak dari ponsel, nyaris memekakkan telinga Dea. "Kau bermalam dengan siapa?"
Dea mengerutkan dahi, rasa cemas mulai menyelinap di dadanya. "Apa maksudmu, Jean?" tanyanya, mencoba terdengar tenang meskipun jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Dea mematung, menghentikan langkahnya.
"Mengapa pria yang kubayar menghubungimu semalam dan kau sama sekali tidak mengangkat ponselmu?! Kau bahkan tidak membalas pesan dariku! Jangan-jangan..." Jean terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada penuh kecurigaan, "Kau salah orangkah?"
Dea membeku di tempat. Ucapan Jean menyentaknya seperti petir di siang bolong. Perlahan, wajahnya memucat saat pikirannya mulai merangkai semua kejadian yang terjadi semalam. Pria itu mengatakan beberapa hal yang dia tidak mengerti. Dia menebak itu adalah sebuah drama hiburan yang disiapkan Jean.
"Tunggu... tunggu..." gumam Dea, hampir tidak bisa berkata-kata. "Jadi... Yama, dia… pria yang bersamaku semalam... bukan...?"
"Ya Tuhan, Dea! Jangan bilang kau salah masuk kamar! Lalu siapa pria itu?!" Jean berteriak panik di seberang telepon.
"Lebih tepatnya, aku mungkin diculik lalu..." Dea memandang lurus ke depan, kepalanya dipenuhi kilasan wajah pria bernama 'Yama' yang tersenyum penuh arti, tatapan tajamnya yang dingin, serta semua dialog aneh yang mereka lakukan semalam. Dia memang mabuk, tetapi masih bisa mengingat samar-samar. Perlahan, dia menyadari betapa fatalnya kesalahan yang telah dibuatnya.
"L-lalu... siapa pria itu?" gumam Dea dengan suara bergetar, bertanya lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Jean.
“Kau kenal dia?” Jean balik bertanya.
"Mana kutahu?!" seru Dea, hampir memekik, suaranya terdengar bercampur frustrasi dan panik. Sisa efek minuman semalam masih membuat kepalanya terasa pusing.
Dia menjatuhkan dirinya ke lantai, terduduk dengan tangan yang memegang ponsel lemas di pangkuannya. Tatapannya kosong, seolah-olah otaknya masih berusaha memahami semua kekacauan yang baru saja terungkap.
"Aku benar-benar idiot..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Dia mengacak rambutnya dengan gerakan kasar, tanda frustrasi memuncak saat itu juga.
Namun, pikirannya langsung beralih ke satu hal lain yang membuatnya semakin kesal. "Dan uangku dua ratus itu... aih!" serunya sambil menjambak rambutnya sendiri.
Jean, di seberang telepon, menarik napas panjang. "Dua ratus? Dea, kau membayar pria itu?!" tanya Jean, terdengar tidak percaya.
"Bukan itu intinya, Jean!" potong Dea cepat. "Aku tidak tahu siapa dia, dan sekarang dia pasti berpikir aku... ah, sudahlah! Ini semua salahmu!"
"Salahku?! Jangan salahkan aku! Kau yang salah kamar!" balas Jean tak kalah cepat."Aku bahkan sudah membayar lunas pria yang tidak jadi menghiburmu semalam," lanjutnya.
"Ini namanya RUGI!" Jean berdecak dengan kesal.
Dea mendengus kesal, lalu menjatuhkan ponselnya ke lantai. Merasa malas untuk berbicara lebih lanjut. Dia menatap langit dengan perasaan campur aduk. Rasa malu, kesal, dan takut bercampur jadi satu. Dia baru saja diselingkuhi dan saat ini, apa yang dialaminya malah hanya akan menambah bahan tertawaan untuk dirinya sendiri.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca.
“Dea, hei!” Suara Jean memanggil teredengar panik, namun Dea hanya membiarkan ponsel itu di lantai yang sedingin hatinya saat ini.
Bayangan Sanjaya sebagai awali kesialan yang dia alami tiba-tiba lewat dalam renungannya. Pria itu akan menikah hari ini. Dalam sekejap, ekspresinya berubah.
"Tidak! Aku tidak bisa menyerah seperti ini!" katanya sambil berdiri dengan tiba-tiba, mengepalkan tangannya seakan hendak melawan.
Frans menunduk, dadanya terasa sesak. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar kehilangan kendali atas semuanya. Dea hilang. Elsa ditarik paksa. Dan sang Ratu... kini memandangnya seolah dia bukan lagi bagian dari keluarga kerajaan.Ratu duduk kembali ke kursi mewahnya, tenang namun mematikan. “Siapkan armada pencarian. Dan jika Dea ditemukan lebih dulu daripada kehormatanku dipulihkan... maka yang akan kuhukum bukan hanya wanita jalang itu, tapi juga kamu, Frans.”Frans jatuh berlutut, akhirnya menyadari betapa fatal kesalahan yang telah ia buat."Tidak adil!"Tiba-tiba sebuah suara wanita muncul di tengah pintu.Elsa berdiri dengan kedua mata memerah, dia berhasil melarikan diri dari dua pengawal yang menariknya tadi.Ratu memicingkan kedua matanya, "siapa yang tidak adil?""Yang Mulia!" sahut Elsa. Namun, dua pengawal itu sudah berhasil menarik tanganny
Waktu seakan membeku. Elsa yang berbaring dengan wajah pucat, menundukkan kepala. Matanya bersinar, tapi bukan karena sedih—melainkan puas. Tapi dia menutupinya dengan gerakan menggenggam perut sambil meringis.“Aku... aku khawatir dengan Dea... tolong cari dia, Frans... dia mungkin terluka,” ucap Elsa dengan suara pilu yang dibuat-buat.Frans sudah tidak mendengarnya. Ia sudah keluar dari kamar, berteriak ke koridor, memanggil semua kepala pengawalnya.“Kerahkan semua tim pencari! Cek semua rumah sakit, hutan, jalur kereta, terminal! Blokir semua bandara! Jangan ada yang keluar dari negara ini tanpa izin dariku!”Namun, perintahnya sudah terlalu lambat. Dea sudah jauh dari sana.Beberapa pengawal langsung bergerak. Frans mencabut ponsel, menghubungi Ratu.“Ratu, Yang Mulia, ini darurat.”Frans melaporkan semuanya dengan sin
Bu Ranti menghela napas panjang sekali lalu bangkit berdiri, masuk ke kamarnya, dan tak lama kemudian kembali sambil membawa ponsel kecil dan sobekan kertas lusuh. Ia menekan nomor dengan jari gemetar, lalu berbicara dalam bahasa samar yang tidak dipahami Dea.Bahasa lokal yang mungkin dari salah satu suku tersembunyi di Inggris atau bahasa lokal negara lain, Dea tidak mengerti.“Dia setuju,” kata Bu Ranti setelah menutup telepon. “Orang itu akan menjemput kita jam dua malam, di gang dekat rel kereta lama. Kita harus menyamar. Aku akan ambilkan pakaian buruh pabrik—kau harus terlihat seperti pekerja harian yang tak menarik perhatian.”"Namun, aku hanya mengantarkan dirimu kepadanya, aku tidak mungkin ikut.""Baik, Bu. Sudah cukup, ini baik sekali."Dea mengangguk cepat. Ia tak peduli lagi dengan penampilan. Dia tidak peduli siapa yang akan ikut dengannya. Dia bahkan tidak peduli resiko yang
Dea mengangkat wajahnya. Matanya merah dan tubuhnya dipenuhi luka."Tolong aku..."“Aku... baru saja dirampok,” ucapnya lemah. “Mereka ambil semuanya... aku sedang hamil... suamiku sedang di luar negeri…”Wanita itu mendesah, antara bingung dan iba. “Ya Tuhan... ayo ikut saya ke kantor polisi, biar mereka bantu—”“Jangan,” Dea memotong cepat, suaranya pelan namun tegas. “Aku takut... aku cuma ingin istirahat... tolong... bawa aku ke rumah Ibu saja. Hanya untuk malam ini. Aku akan memanggil suamiku untuk menjemputku.”Wanita itu menatapnya ragu, namun ada keibuan yang menang atas logikanya. Ia menggandeng Dea dengan lembut.“Namaku Bu Ranti. Ayo, Nak... kita ke rumah. Rumah saya tidak jauh dari sini.”Dea hanya mengangguk. Matanya mulai kabur, langkahnya melemah. Saat i
Frans menelan ludah. Tenggorokannya tercekat. Ia sendiri tidak yakin lagi dengan kata-katanya. Yang ia tahu, pelukan Elsa tadi terasa berbeda. Ada kelembutan yang juga membuatnya merasa dibutuhkan. Tubuh Elsa yang menjadi candu baginya. Awalnya memang hanya pelampiasan kekesalan semata, tapi saat ini... dengan kondisi wanita itu sudah memberikan anak dalam rahimnya.Sungguh tidak mungkin dia mengabaikan wanita itu, terutama saat ini. Apa pun alasannya.Tapi Dea... Dea adalah wanita yang ia kejar sejak lama, yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.“Kamu mulai mencintainya, bukan?” ulang Dea, lirih namun tajam.Frans tidak menjawab.Dan ketidakjawaban itu terasa lebih menyakitkan daripada pengakuan apa pun.Dea menarik napas panjang, lalu duduk lebih tegak. “Kalau kamu mencintainya... kenapa kamu tidak melepaskanku saja?” ia menatap Frans lurus.“Aku akan kemb
Lampu remang menyinari ruangan. Dea terlihat tertidur dengan selimut membungkus tubuhnya. Nafasnya teratur, wajahnya damai meskipun sedikit pucat.Frans melangkah pelan, berdiri di sisi ranjangnya, menatap lama, namun memilih tak membangunkannya. Ia hanya menarik selimut lebih rapi, membetulkan letak gelas air minum, dan menghela napas."Maafkan aku... sebentar saja dan aku akan kembali," bisiknya, lalu meninggalkan ruangan.Langkahnya menuju kamar Elsa.Di depan pintu, dua pengawal masih berjaga. Ia menghentikan langkah dan bertanya dengan suara pelan namun berwibawa, “Bagaimana hari ini?”Salah satu pengawal menjawab dengan cepat, “Semua terkendali, Paduka. Tidak ada insiden besar. Nona Elsa tidak keluar dari kamar sama sekali. Hanya meminta kami menyampaikan buah untuk Nyonya Dea, sebagai bentuk itikad baik.”Frans mengangguk pelan. “Kirim