Share

Bab 3. Salah Kamar ?

Penulis: Runayanti
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-04 14:49:30

Yama dengan santai menarik sebuah handuk lalu melilitkannya ke pinggang. Tatapannya berubah tajam, tapi Dea, alih-alih takut, justru bergerak lebih cepat.

Dengan cekatan, dia menyambar celana Yama yang tergeletak di lantai. "Ini milikmu, kan?" tanyanya dengan nada mengejek. Tanpa menunggu jawaban, Dea berlari ke arah pintu.

"Hei! Kembalikan itu!" seru Yama, tapi langkahnya terhenti saat Dea sudah membuka pintu kamar. Dengan hanya handuk melilit tubuhnya, tidak mungkin dia mengejar Dea.

Di luar pintu, tawa Dea menggema. "Sampai jumpa, pria bayaran! Nikmati sisa waktumu dengan handuk itu!" katanya sambil berlari menjauh.

Yama hanya bisa berdiri di tengah ruangan, matanya berkilat penuh kemarahan bercampur rasa penasaran. "Gadis ini..." gumamnya, mengulum senyum tipis lalu berbalik, melihat ke arah bungkusan kertas yang tadi dilempar Dea ke ranjang bersama dengan dompet kecil berwarna merah.

Isi bungkusan kertas itu adalah pakaian wanita, awalnya itu diperuntukkan kepada gadis yang bahkan dia tidak tahu namanya, tetapi gadis canggung itu malah merebut pakaiannya.

Yama mengambil napas panjang, matanya menyipit menatap pintu yang baru saja ditutup Dea dengan keras. Handuk yang melilit pinggangnya terasa makin menggelikan, namun kemarahannya menutupi rasa malu itu.

"Saya mau lihat sampai di mana kau bisa berlari!" gumamnya dingin. Dia meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil di samping sofa. Dengan cepat, dia menekan beberapa tombol panggilan.

"Selidiki identitas wanita itu," katanya tegas begitu panggilan tersambung. "Dan bersiaplah menanggung akibat dari kesalahan kalian dalam memberikan informasi semalam. Jangan sampai terulang lagi!"

Dari seberang telepon terdengar suara penuh kepanikan, mencoba menjelaskan sesuatu, tapi Yama memutus panggilan sebelum kalimatnya selesai. Tidak ada waktu untuk mendengarkan alasan.

Matanya beralih ke dompet kecil berwarna merah di atas ranjang, di mana lembaran uang berwarna merah—dua ratus ribu yang ditinggalkan Dea—terlipat di dalam dompet begitu saja, seolah mengejek dirinya.

"Membayarku serendah itu..." gumamnya sambil mengeluarkan lembaran itu dari dompet kecil, uang itu kumuh dan dalam kondisi terlipat. Yama memandanginya seperti barang menjijikkan. Bibirnya menyeringai penuh kebencian sekaligus kegembiraan aneh.

"Harga yang harus kau bayar adalah seumur hidup, gadis kecil!" lanjutnya dengan suara rendah, nyaris seperti janji yang menyeramkan.

Di luar  Hotel...

Dea terus berlari, sesekali menoleh ke belakang dengan tawa kecil. "Hah! Dia pasti sangat marah sekarang!" gumamnya sambil tersenyum puas. "Tapi, dia cukup tampan."

Dea membuang celana panjang milik pria itu ke tong sampah umum yang dilewatinya lalu menepuk tangannya seolah-olah membersihkan debu dan rasa jijik.

"Hilangkan barang bukti, sekarang pergi membeli pakaian untukku. Kemejanya membuat tubuhku seperti patung jelek, eh, tapi lebih baik aku kembali ke rumah dulu, uangku bahkan tidak cukup membayar bus," gumamnya.

“Issh, sakit sekali aku dibuatnya,” desis Dea sambil memegang bagian bawah perutnya lalu kembali berjalan cepat.

Namun, kegembiraannya terganggu oleh dering ponselnya. Dea sudah hampir sampai di rumah sewanya yang berada tidak jauh dari hotel. Dea mengerutkan dahi, menarik ponselnya dari tasnya. Nama Jean muncul di layar.

"Halo, Jean? Ini bukan waktu yang tepat untuk—"

"Dea! Apa yang kau lakukan?!" suara Jean terdengar panik.

"Santai saja. Aku cuma sedikit bercanda dengan pria itu," jawab Dea dengan nada tak peduli.

"Bercanda?!" Suara Jean meledak dari ponsel, nyaris memekakkan telinga Dea. "Kau bermalam dengan siapa?"

Dea mengerutkan dahi, rasa cemas mulai menyelinap di dadanya. "Apa maksudmu, Jean?" tanyanya, mencoba terdengar tenang meskipun jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Dea mematung, menghentikan langkahnya.

"Mengapa pria yang kubayar menghubungimu semalam dan kau sama sekali tidak mengangkat ponselmu?! Kau bahkan tidak membalas pesan dariku! Jangan-jangan..." Jean terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada penuh kecurigaan, "Kau salah orangkah?"

Dea membeku di tempat. Ucapan Jean menyentaknya seperti petir di siang bolong. Perlahan, wajahnya memucat saat pikirannya mulai merangkai semua kejadian yang terjadi semalam. Pria itu mengatakan beberapa hal yang dia tidak mengerti. Dia menebak itu adalah sebuah drama hiburan yang disiapkan Jean.

"Tunggu... tunggu..." gumam Dea, hampir tidak bisa berkata-kata. "Jadi... Yama, dia… pria yang bersamaku semalam... bukan...?"

"Ya Tuhan, Dea! Jangan bilang kau salah masuk kamar! Lalu siapa pria itu?!" Jean berteriak panik di seberang telepon.

"Lebih tepatnya, aku mungkin diculik lalu..." Dea memandang lurus ke depan, kepalanya dipenuhi kilasan wajah pria bernama 'Yama' yang tersenyum penuh arti, tatapan tajamnya yang dingin, serta semua dialog aneh yang mereka lakukan semalam. Dia memang mabuk, tetapi masih bisa mengingat samar-samar. Perlahan, dia menyadari betapa fatalnya kesalahan yang telah dibuatnya.

"L-lalu... siapa pria itu?" gumam Dea dengan suara bergetar, bertanya lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Jean.

“Kau kenal dia?” Jean balik bertanya.

"Mana kutahu?!" seru Dea, hampir memekik, suaranya terdengar bercampur frustrasi dan panik. Sisa efek minuman semalam masih membuat kepalanya terasa pusing.

Dia menjatuhkan dirinya ke lantai, terduduk dengan tangan yang memegang ponsel lemas di pangkuannya. Tatapannya kosong, seolah-olah otaknya masih berusaha memahami semua kekacauan yang baru saja terungkap.

"Aku benar-benar idiot..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Dia mengacak rambutnya dengan gerakan kasar, tanda frustrasi memuncak saat itu juga.

Namun, pikirannya langsung beralih ke satu hal lain yang membuatnya semakin kesal. "Dan uangku dua ratus itu... aih!" serunya sambil menjambak rambutnya sendiri.

Jean, di seberang telepon, menarik napas panjang. "Dua ratus? Dea, kau membayar pria itu?!" tanya Jean, terdengar tidak percaya.

"Bukan itu intinya, Jean!" potong Dea cepat. "Aku tidak tahu siapa dia, dan sekarang dia pasti berpikir aku... ah, sudahlah! Ini semua salahmu!"

"Salahku?! Jangan salahkan aku! Kau yang salah kamar!" balas Jean tak kalah cepat.

"Aku bahkan sudah membayar lunas pria yang tidak jadi menghiburmu semalam," lanjutnya.

"Ini namanya RUGI!" Jean berdecak dengan kesal.

Dea mendengus kesal, lalu menjatuhkan ponselnya ke lantai. Merasa malas untuk berbicara lebih lanjut. Dia menatap langit dengan perasaan campur aduk. Rasa malu, kesal, dan takut bercampur jadi satu. Dia baru saja diselingkuhi dan saat ini, apa yang dialaminya malah hanya akan menambah bahan tertawaan untuk dirinya sendiri.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" bisiknya, matanya mulai berkaca-kaca. 

“Dea, hei!” Suara Jean memanggil teredengar panik, namun Dea hanya membiarkan  ponsel itu di lantai yang sedingin hatinya saat ini.

Bayangan Sanjaya sebagai awali kesialan yang dia alami tiba-tiba lewat dalam renungannya. Pria itu akan menikah hari ini. Dalam sekejap, ekspresinya berubah.

"Tidak! Aku tidak bisa menyerah seperti ini!" katanya sambil berdiri dengan tiba-tiba, mengepalkan tangannya seakan hendak melawan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 262

    “Kamu tidak bisa lari,” bisik Yama sambil menatap istrinya yang tengah gelagapan."Satu tahun satu anak, prosesnya tiga kali sehari, bukan?"Dea memukul dada Yama dengan manja sekaligus kesal.“Setidaknya tunggu sampai aku sembuh betulan!”“Aku menunggu,” jawab Yama lembut. “Tapi tidak dengan sabar.”Dea kembali memukul pelan dada Yama. “Kamu… selalu bisa membuat orang jengkel!”Yama tertawa ringan, lalu membelai pipi Dea yang mulai memanas. “Tapi kamu tidak bisa menyangkal bahwa kamu suka aku seperti ini.”Dea menahan tawa, lalu menunduk. Ada perasaan bahagia yang perlahan tumbuh di dalam dadanya. Ucapan Yama tadi memang terdengar seenaknya, tapi di dalamnya tersembunyi satu hal yang selalu ia rindukan: harapan. Masa depan. Dan cinta."Aku sudah tidak tahan bila menatapmu seperti ini, Dea. Ini

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 261

    Langit malam menggantung tenang di atas atap vila. Di luar, angin meniupkan dedaunan pelan, dan suasana hening menyelimuti seluruh sudut rumah. Vila itu tertidur dalam sunyi, seolah memberi ruang bagi cinta yang mulai tumbuh kembali di antara dua hati yang dulu pernah saling menyakiti.Di dalam kamar, Dea sudah lebih dulu terlelap, tubuhnya meringkuk dalam selimut tipis. Di sebelah tempat tidur, boks bayi berdiri tenang, putri kecil mereka pun ikut tertidur nyenyak, sesekali mengeluarkan suara lembut yang nyaris tak terdengar.Pintu kamar terbuka perlahan, hampir tanpa suara. Yama masuk, masih mengenakan kemeja yang sebagian besar kancingnya terbuka, dasinya tergantung longgar di leher. Wajahnya lelah. Mata memerah karena bekerja seharian, namun begitu matanya menangkap sosok Dea di atas ranjang, sebuah senyum kecil muncul.Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, melepas arloji dan ponsel tanpa suara, lalu berjalan pelan ke

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 260

    Dea lalu mengarahkan bayinya ke dadanya, dan dalam sekejap, mulut mungil itu menemukan sumber kehidupan. Hisapannya kuat meski belum sempurna. Dea terisak, kali ini bukan karena kesedihan… tapi karena kebahagiaan yang meluap begitu saja.Perasaan menjadi ibu sungguh nyata kini. Ada sesuatu yang lahir bersamaan dengan bayi itu—sebuah kekuatan baru, kasih tak terbatas, dan ikatan yang tak akan bisa direnggut siapa pun.Yama kembali melirik. Dan pemandangan di hadapannya menghentikan waktu dalam pikirannya: Dea, duduk di tempat tidur, menyusui bayi mereka dengan mata yang berkaca-kaca dan senyum kecil yang penuh cinta.“Aku belum pernah melihatmu secantik ini,” ucap Yama dengan suara nyaris berbisik.Dea menoleh, menatapnya dengan mata merah. “Jangan ganggu momen ini.”Yama tersenyum, lalu duduk di pinggir ranjang, dekat namun tidak menyentuh.

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 259

    "Karena kita sama-sama keras kepala," jawab Yama jujur.Dea menghela napas, lalu tiba-tiba berkata, “Cium aku.”Yama terdiam. Matanya membesar sedikit, ragu-ragu menatap perempuan di hadapannya. Ia ingin memastikan—apakah ini mimpi? Apakah ini luka yang sedang menguji?Tapi Dea tak berpaling. Tatapan itu serius. Lirih. Lelah. Namun tulus.“Untuk malam ini saja…” lanjutnya, “aku ingin percaya… bahwa cinta kita belum sepenuhnya mati.”Dan dengan hati-hati, Yama mengangkat tangannya, menyentuh pipi Dea dengan penuh kelembutan. Ibu jarinya menghapus air mata yang masih tertinggal di ujung kelopak mata Dea. Ia mendekat perlahan, memberi waktu bagi Dea untuk menarik kembali kata-katanya—jika memang itu hanya kerinduan sesaat.Tapi Dea tidak menjauh.Dan akhirnya… bibir mereka

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 258

    Malam turun perlahan, membawa angin lembut yang menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Vila tempat Dea disekap berada jauh dari kota—terpencil, sunyi, dan dijaga ketat.Di luar sana, dunia terus berjalan seperti biasa, tapi di ruangan ini, waktu seolah beku. Tidak ada suara lain kecuali detak jam dinding dan hembusan napas Dea yang teratur namun berat.Ia duduk bersandar di ranjang, selimut menutupi sebagian tubuhnya yang masih lemah. Sejak Yama mengizinkannya melihat putrinya pagi tadi—meski hanya sebentar—perasaannya campur aduk. Bayi kecil itu begitu mungil, berkulit merah muda, dengan mata yang tertutup rapat dan bibir mungil yang mengerucut pelan saat menangis.Tangan Dea masih gemetar saat mengingat detik-detik itu. Ia ingin menyentuh. Memeluk. Menyusui. Tapi semuanya dibatasi oleh satu kata: izin.Dan satu-satunya orang yang memegang izin itu… adalah Yama. 

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 257

    Fatih berdiri di depan kaca tinggi kantor Yama, menatap hamparan gedung pencakar langit yang berdiri angkuh di bawah sinar matahari siang. Tangannya mengepal di saku celana, rahangnya mengeras. Sudah dua hari penuh ia melacak jejak Dea, tapi semuanya buntu.Tidak ada CCTV rumah sakit. Tidak ada data keberangkatan. Bahkan saksi mata yang terakhir melihat Dea—seorang perawat tua—mengaku disumpah untuk diam.“Aku tahu dia ada di negara ini,” ujar Fatih tajam, menatap pria di depannya. “Dia melahirkan di sini. Tidak mungkin menghilang begitu saja.”Yama duduk tenang di belakang mejanya, jari-jarinya saling bertaut di atas map dokumen yang sengaja dibiarkan terbuka—pura-pura sibuk. Namun di balik sikap ramahnya, sorot mata Yama menyimpan sesuatu yang lebih gelap: Fatih adalah pria yang akan merebut Dea.“Aku bisa mengerti kekhawatiranmu, Fatih,” ujarnya dengan nada bersahabat yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status