"Arghh, kalian pintar membuat drama!" pekik Dea kegirangan. Efek mabukbercampur obat perangsang sudah menguasainya sepenuhnya. Sementara Yama tidak bisa menahan diri lagi. Dia mulai membuat gerakan yang membuai Dea sehingga gadis itu tidak sanggup menolak pesona yang ditawarkan pria dengan tubuh atletis yang sedang menuntunnya dengan cara unik tersebut.
Beberapa pagutannya malah membuat Dea yang terpengaruh alkohol dengan kesadaran minim, tidak berkuasa menolak sama sekali. Sentuhan ringan yang diberikan pria bernama Yama itu membuat Dea mabuk benaran.
Dea memekik tertahan saat bagian intinya robek dan kehormatan yang dia miliki selama dua puluh tahun akhirnya direngut oleh pria tampan yang tidak dikenalnya. Lebih tepatnya, dia tahu sebagai pria yang disewa oleh sahabat untuk menghibur hatinya yang luka.
“Ternyata aku penguasa yang pertama bagimu,” bisik Yama setelah berhasil menerobos pertahanan Dea, “ini bayaran yang sepadan.”
Yama bukan hanya melakukannya satu kali, dia membiarkan gadis itu terlelap sejenak sesudah permainan pertama. Setelah lima belas menit berlalu, Yama kembali memonopoli tubuh kelelahan milik Dea dan membuatnya memekik beberapa kali dengan kenikmatan yang terucapkan.
"Kamu sudah melunasi perbuatan Ibumu, tetapi aku tidak akan melepaskanmu, Sayang," bisik Yama sebelum menembus pertahanan Dea untuk kesekian kalinya.
Meskipun minim kesadaran, Dea menikmati setiap sentuhan yang membuatnya melangkah menuju kedewasaan pertama sepanjang hidupnya. Sesekali dia memekik dan suara manjanya membuat Yama malah menjadi candu untuk menyiksa dia lagi.
Selama dua tahun menjadi kekasih Sanjaya, dia tidak pernah melakukan lebih dari sebuah ciuman walau Sanjaya sudah beberapa kali mencoba membuat hubungan mereka lebih intim di masa lalu.
Saat pagi menjelang, Dea terbangun dan merasa tubuhnya remuk seperti tulang yang terpisah dari ototnya.
Menyadari sosok pria di sebelahnya masih tertidur membelakanginya, Dea menarik handuk putih yang ada di samping meja nakas lalu membalut dirinya. Berusaha mengingat apa yang terjadi semalam.
Sebuah tatoo burung phoenix yang cukup besar di punggung pria itu, membuat dirinya bergidik ngeri.
Saat menelusuri tatapannya ke lantai kamar dengan pakaian yang berserakan, Dea mulai memahami betapa jalan yang sudah dilaluinya sudah salah. Belum lagi rasa nyeri pada pangkal pahanya membuatnya meringis.
Dea segera berjinjit perlahan dengan kaki yang bergetar menahan sakit, melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Saat pintu kamar mandi tertutup, Yama membuka kedua matanya.
Sudut bibir pria tampan itu terangkat, menunjukkan sebuah kepuasan yang tidak terucapkan dari mimik wajah seorang pria.
Yama menarik selimut yang menutup sisi lain dan mendapatkan beberapa bercak noda sebagai saksi perbuatannya semalam.
"Hmm, dia milikku seutuhnya, jangan berharap bisa lepas dari genggamanku," gumam pria itu lalu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
Beberapa perkataan dari seberang panggilan itu membuat Yama mengernyitkan kedua alisnya dan terduduk tegak, "Jadi kalian salah tangkap?"
Yama memijit keningnya mendengar penjelasan dari seberang panggilan, sesaat sebelum akhirnya memutuskan panggilan dengan kesal.
Tidak lama kemudian, Dea keluar dari kamar mandi dan terkejut saat menemukan Yama sudah terbangun, duduk dengan santai di atas ranjang dengan bersandar di sandaran ranjang. Memberikan tatapan datar kepada Dea.
Selimut putih kamar itu hanya menutupi pinggangnya. Otot perut dan tubuh sempurna miliknya terpampang dengan sempurna, membuat Dea hanya bisa menelan salivanya saat membayangkan adegan semalam.
“Uhm.”
"A-aku akan membayarmu. Tapi aku butuh pakaian," ucap Dea dengan malu-malu lalu menarik kemeja putih milik Yama dari lantai dan memakainya.
"Sedikit kebesaran, tetapi setidaknya aku tidak bisa keluar dalam keadaan begini, bukan?" Dea mengancingkan kemejanya dalam keadaan canggung.
Ukuran tubuh Dea yang hanya memiliki tinggi seratus enam puluh sentimeter membuat kemeja itu menjulur sampai menutupi pahanya. Dea bisa menebak tinggi badan pria itu hampir dua kali ukuran kepalanya. Setidaknya seratus delapan puluh lima sentimeter.
Dea segera menarik sisa gaunnya yang robek untuk diikatnya ke pinggang. Kemeja Yama yang kebesaran malah menjadi gaun sederhana bagi wanita itu.
Yama hanya tersenyum, menyadari ada kesalahpahaman yang cukup besar di antara mereka.
Wanita yang sedang dicarinya ternyata bukan Dea dan menyadari dia sudah merenggut kehormatan gadis tidak bersalah itu, Yama akan berusaha bertanggung jawab.
Yama masih memikirkan mengenai hal itu, tetapi dia tertegun saat Dea mengulang kalimatnya.
"Minta nomer rekeningmu, kita akan berpisah sesudah ini dan jangan sampai ada yang tahu malam ini!"
"Kau... menganggapku pria bayaran?" Yama memiringkan kepalanya, bibirnya membentuk senyum tipis penuh arti.
Dia adalah sosok penguasa yang selalu dihormati, tetapi justru kini mendapat tatapan meremehkan dari gadis yang baru saja ditaklukkannya semalaman.
Namun, alih-alih marah, tatapan itu malah membuatnya tertarik. Permainan ini semakin menarik.
"Memangnya kenapa kalau iya?" Dea menjawab santai sambil melipat tangan di dadanya. Nada bicaranya begitu tajam, seakan sengaja memprovokasi.
"Jangan katakan kau ingin memeras lebih banyak dariku!" lanjut Dea dengan dramatis. "Jean pasti sudah memberitahumu, kan? Tabunganku itu nggak banyak. Aku masih harus bayar sewa bulan ini!"
Yama mengangkat alis, tidak menanggapi langsung. Sementara itu, Dea celingukan ke sekeliling ruangan. "Ngomong-ngomong, tasku di mana, ya?" tanyanya lebih kepada dirinya sendiri.
Sebelum Yama sempat menjawab, ketukan di pintu memecah suasana. Dengan gerakan malas, Yama mengangkat satu tangannya, memberi isyarat agar Dea saja yang membuka pintu. Senyumannya singkat, menyeringai.
Dea mendengus sebal tapi tetap melangkah dengan patuh menuju pintu. Di sana berdiri seorang pria berkacamata tebal, rapi dengan setelan jas hitam, membawa sebuah bungkusan kertas dan tas miliknya.
"Oh, ini dia! Pas sekali. Terima kasih!" Dea menyambut barang-barang itu dengan senyum kemenangan, lalu menutup pintu dengan suara keras.
"Bam!"
Tanpa basa-basi, dia melempar bungkusan kertas itu ke arah Yama yang masih santai bersandar di sandaran ranjang. "Nah, ambil ini!"
Dea merogoh tasnya dengan cekatan dan mengeluarkan sebuah dompet kecil lalu melemparkannya ke arah Yama.
"Ini, dompetku," katanya sambil menyodorkannya pada Yama. "Di dalamnya ada dua ratus ribu. Kau ambil saja."
Yama memandangi dompet kecil berwarna merah itu, lalu menatap Dea dengan ekspresi tercengang. "Dua ratus... ribu?" suaranya terdengar seperti tidak percaya.
Dea melipat tangan di pinggang. "Kenapa? Jangan bilang itu tidak cukup! Layananmu semalam tidak sehebat itu, tahu! Harga itu sudah lebih dari pantas!"
"Kau membuatku kesakitan, aku bisa mengajukan komplain ke atasanmu bila kamu meminta lebih!" Seiring dengan kalimat yang diucapkannya, Dea melempar dompet kecil itu ke atas ranjang, di samping Yama berbaring.
Yama menghela napas panjang, lalu berdiri dengan gerakan lambat. Dea segera menutup kedua matanya dan memutar tubuhnya dengan canggung saat menyadari pria itu polos.
Dea menelan salivanya yang terasa seperti butiran kerikil di kerongkongannya.Pintu kamar mandi tertutup, menyisakan suara gemericik air."Temani aku mandi, Sayang."Dea tetap duduk di tempatnya. Ia ingin menangis, tapi air matanya tak keluar. Ia ingin marah, tapi tidak tahu kepada siapa. Ini bukan hanya tentang Fran, ini tentang dunia yang memaksanya menjadi wanita dewasa dalam semalam. Menemani pria itu mandi? setiap hari? Menjengkelkan, monolog Dea dengan kesal."Sayang... cepat!"Suara Frans membuat Dea merasa semakin kesal dan ingin muntah. Dengan geram, ia berdiri perlahan dan mulai membuka lemari pakaian. Tumpukan kemeja putih, dasi sutra, jas formal berbaris seperti prajurit yang siap berperang. Ia memilih satu kemeja putih dan salah satu jas dengan warna biru tua dan dasi perak, lalu meletakkannya di atas kursi.Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka,
Frans bangkit dari kursinya dan duduk di seberangnya. Ia menyendok telur orak-arik, lalu melirik ke arah Dea.“Kalau begitu... mari kita mulai dari awal. Anggap kita baru saling mengenal. Kamu tidak punya pilihan untuk tetap mencintai Yama.”Ada penegasan dalam suaranya.Dea menatapnya akhirnya, mata mereka bertemu. Ada ketegangan, tapi juga ketulusan.“Baik,” katanya pelan.Mereka makan dalam diam, tapi kali ini bukan diam yang canggung, melainkan diam yang berisi janji tak terucap. Keputusan yang harus dipatuhi.Namun jauh di dalam hati Frans, hasratnya belum padam. Ia masih menginginkannya. Tapi untuk sekarang, ia menahan diri. Karena mungkin, rasa yang tumbuh pelan-pelan... akan jauh lebih dalam daripada yang dipaksa terburu-buru. Dia ingin memeluk Dea dengan balasan yang sama, dia tidak ingin memaksa Dea melakukan hubungan suami istri begitu saja tanpa makna
Dea menelan ludah, otaknya bekerja cepat. Ia tahu tak bisa terus menolak tanpa alasan. Frans bukan pria bodoh, dan bagaimanapun, mereka memang telah dianggap pasangan sah, setidaknya di mata publik istana... mata semua orang yang menjadi saksi saat pernikahan dilangsungkan.Tapi... hatinya belum siap. Rasa trauma, ketidakpercayaan, semua masih membekas. Dan satu hal pasti, dia mencintai Yama, walau apa pun yang sudah terjadi di antara mereka hanyalah luka yang mendalam.“Aaah... aku... aku lapar, juga belum menyikat gigi,” kilah Dea dengan senyum canggung. Perutnya memang mengeluarkan suara "Kruk", seolah-olah mendukung kebohongan daruratnya.Frans terdiam, mengamati wajah Dea beberapa detik yang terasa lama. Ia tahu gadis itu berbohong. Tapi ia juga tidak ingin memaksanya, tidak sekarang. Ada rasa aneh dalam dirinya yang membuatnya bersedia menahan diri, setidaknya dia tidak tega membiarkan istrinya lapar.&n
Dengan hati yang patah, Meisya duduk di tepi ranjang. Ia menoleh sekali lagi ke Yama, yang masih terbaring kaku di ranjang, dan sebuah rasa sakit yang luar biasa menyelimuti hatinya."Aku akan selalu ada untukmu, Yama," katanya dengan suara serak. "Tapi jika kamu terus begini, aku tidak bisa melanjutkan. Aku tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang tidak pernah ada."Meisya berdiri di samping ranjang, air matanya yang belum kering masih membasahi pipinya. Meisya menarik bathrobe di samping ranjang dan memakainya.Hatinya terpecah antara keputusasaan dan harapan yang tersisa. Ia tahu betul, bahwa meskipun sudah berusaha dengan sepenuh hati, Yama masih tak mampu merasakan apa yang ia inginkan. Namun entah mengapa, ia tak bisa sepenuhnya menyerah. Dia hanya merasa haus dan lelah.Ketika ia hendak pergi, langkahnya terhenti. Tangan Yama yang dingin, namun kini terasa sedikit lebih kuat, meraih pergelangan tangannya
Di benua yang lain, malam pengantin itu terasa lebih panjang dari malam lainnya, dan Yama masih terdiam di kursi rodanya di depan cermin. Menatap ketidakberdayaannya.Hanya keheningan yang mengisi ruang kamar, membungkusnya dalam ketidakpastian. Meisya, dengan hati yang terpecah, berdiri di sudut ruangan, mengamati pria yang telah dipilihnya untuk dijaga dan dicintai. Tapi seiring berjalannya waktu, ia semakin merasa bahwa cintanya tidak sampai ke hati Yama. Pria itu terperangkap dalam dunia yang hanya dipenuhi bayang-bayang Dea.Meisya menghela napas panjang. Ia tahu bahwa Yama sedang berjuang melawan perasaannya, namun ia juga merasa bahwa ia tidak bisa hanya duduk diam. Sudah terlalu lama ia menahan rasa sakitnya, dan malam ini ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih, berharap bisa mengubah sedikitnya perasaan Yama.Dia ingin meminta hak sebagai istri, dia menginginkan malam pertama pernikahan mereka. Dia ing
Dea masih diam walau merasa sangat rendah dan Pangeran kembali mencoba menciumnya, namun wanita itu tidak membalas, tidak juga meronta.Bibirnya hanya diam saat dilumat dengan penuh gairah oleh Frans, demikian juga saat tubuhnya sudah benar-benar polos di bawah tubuh Frans yang menindihnya.Pria itu melahap bagian dadanya dengan buas sampai Dea harus mengigit bibirnya sendiri karena menahan nyeri, tetapi Dea hanya seperti patung, menangis dalam diam dengan tubuh yang bergetar halus menahan rasa jijik dalam dirinya.Dan diamnya Dea membuat gairah Pangeran itu tiba-tiba padam."Tidak menarik!" geramnya lalu duduk di tepi ranjang dengan perasaan gundah."Seperti menikmati patung manekin di ruang kerjaku!" lanjutnya dengan kesal lalu menjambak rambutnya sendiri, sementara Dea segera menutup tubuhnya yang terbuka dengan selimut yang berhasil ditariknya. Meringkuk dan memeluk kakinya dengan tubuh yang bergetar hebat.Pangeran Frans lalu berjalan keluar kamar dengan hanya memakai sebuah han
Meisya tersenyum samar, pelan, namun getir. “Ya. Aku nggak ke mana-mana, Yama. Aku akan menunggu sampai hatiku hanya akan menjadi milikku.”Hening membungkus mereka.Lalu, tanpa aba-aba, Yama menggeser tubuhnya ke depan, menatap Meisya lebih dalam, menembus batas luka dan amarah yang selama ini membelenggunya. Perlahan, ia menyentuh pipi Meisya yang dingin terkena embusan malam.Veil yang dipakai Meisya sudah bercampur dengan lumpur tanah di mana mereka berada, tetapi wanita itu tidak peduli. Kedua matanya menatap Yama dengan penuh harap.Dia menginginkan sebuah ciuman dari Yama. Pria yang dia cintai sepenuh hati.Dan Yama mencium wanita itu.Ciuman itu bukan ledakan gairah, melainkan ciuman yang pelan, panjang, dan sarat luka. Seolah Yama ingin berkata, “Maaf. Aku akhirnya melihatmu. Aku akhirnya sadar kamu nyata.”Meisya terdiam, membalas ciuman itu dengan hati yang berkecamuk. Ia ingin bahagia, tapi tahu ini lahir dari patah hati pria itu pada wanita lain. Tapi ia tidak peduli. Kar
“Saya bersedia.”Satu kalimat dari Dea. Ringan di bibirnya, tapi berat seperti batu karang di dada Yama.Tangannya yang memegang gelas bergetar. Getaran kecil yang hanya Meisya di sampingnya yang bisa rasakan.“Yama…” bisik Meisya lembut, menggenggam lengannya. “Tenanglah... Semua orang sedang melihat…”Tapi Yama tidak mendengar. Dia menunduk, menatap lantai marmer di bawah kakinya. Hatinya seperti dihantam ribuan pisau kecil—perlahan, tapi pasti mematikan.Meisya segera mengambil alih gelas yang dipegangnya agar tidak terjatuh.Tamu-tamu tertawa, musik berganti irama menjadi lebih cepat, champagne dituangkan lagi dan lagi. Namun bagi Yama, dunia menjadi sunyi. Ia merasa tidak berada di pesta. Ia merasa terjebak dalam neraka sunyi miliknya sendiri.Senyum palsu menyebar di seke
Karena keterbatasan waktu, Pangeran Frans membuat gaun yang lebih sederhana tetapi sangat elegan di banding gaun sebelumnya.Sebuah kalung berlapiskan permata biru melingkar di leher Dea. Betapa cantik dirinya saat ini dengan riasan make up yang natural.Pelayan berdiri terpaku. Bahkan mereka tak mampu menyembunyikan kekaguman. Tapi wajah Dea? Pucat. Matanya sedikit bengkak. Bibirnya diam, seolah menolak untuk ikut merayakan. Make up artist terpaksa menampakan gincu merah pada bibirnya supaya wajahnya terlihat lebih cerah.Seorang petugas mendekat dengan ponsel, bisik-bisik. Layar kecil itu menunjukkan siaran langsung dari pernikahan Yama.“Yama-sama… sudah tiba di altar…” lapor pelayan, setengah takut, namun itu adalah perintah Ratu. Ratu ingin Dea sadar bahwa pernikahannya hari ini adalah langkah yang benar karena pria yang dia harapkan juga melakukan hal yang sama.