Jean, yang masih di telepon meskipun suara Dea terdengar dari jauh, berteriak, "Hei! Dea, hei! Apa yang kau rencanakan sekarang? Hei! Jangan lakukan sesuatu yang bodoh lagi, Dea!"
Dea tidak menjawab. Dia sudah punya satu rencana di kepalanya, meskipun belum jelas apa yang akan dia hadapi.
"Mantan kekasihku yang harus disalahkan karena semua ini!" seru Dea dengan nada geram. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Dia yang memulai kekacauan ini, dan aku akan memberi pelajaran kepadanya!"
Pernikahan sang mantan pacar adalah hari ini, dan Dea sudah memutuskan akan hadir. Bukan untuk memberikan restu, melainkan untuk memastikan dirinya tidak dianggap remeh lagi.
"Dia pikir dia bisa hidup bahagia setelah meninggalkanku begitu saja? Tidak semudah itu!" katanya pada dirinya sendiri sambil bergegas pulang. Dea mengabaikan panggilan dari Jean yang masih juga berteriak di ujung panggilan dan langsung menekan tombol mengakhiri panggilan.
Sesampainya di rumah, Dea langsung menuju kamarnya. Dia membuka lemari dengan semangat, memilih gaun terbaik yang dimilikinya.
Lipstik merah, rambut yang digerai anggun, dan sepatu hak tinggi menjadi pilihan andalannya. Dengan riasan sederhana, dia memoles supaya luka pada sudut mata dan pelipisnya tidak terlihat.
"Hmm, masih cukup cantik," puji Dea seraya mematut dirinya di depan cermin.
Namun, sebelum sempat melangkah keluar kamar, pintu tiba-tiba terbuka lebar. Ibunya berdiri di sana, wajahnya merah padam dengan mata penuh kemarahan.
"Dea!" teriak sang ibu sambil mendekat dengan langkah cepat. Tanpa aba-aba, tangan ibunya melayang, memberikan tamparan keras di pipi kanan Dea.
"Ibu?!" Dea memegang pipinya yang terasa panas, matanya membelalak tak percaya.
"Menginap di mana kau semalam?!" seru sang ibu, nadanya penuh amarah sekaligus kekhawatiran. "Jangan katakan kau sudah menjual dirimu hanya karena uang!"
"Kau tidur dengan Sanjaya?" omel sang Ibu.
Dea terdiam, napasnya tertahan. Kata-kata itu menusuk seperti pisau tajam. Dia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, ingin membela diri tetapi lidahnya terasa kelu.
"Apa yang kau pikirkan, Dea? Pergi tanpa kabar, tidak pulang semalaman, dan sekarang berdandan seperti ini?!" lanjut sang ibu sambil menunjuk gaun yang dikenakan Dea.
"Ibu, tunggu..." suara Dea akhirnya keluar, pelan dan bergetar. "Aku tidak menjual diriku. Aku hanya... aku hanya... Semua ini kesalahpahaman!"
"Aku harus pergi ke pernikahan Sanjaya."
Ibunya mengerutkan dahi, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Salah paham? Apa maksudmu, Dea? Kau tahu betapa cemasnya ibu? Jean sibuk mencarimu dari semalam dan sekarang kau bicara soal pernikahan Sanjaya? Dia menikah sama siapa? Apa yang sebenarnya terjadi?!"
Dea menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjelaskan dari mana karena pertanyaan sang ibu sangat banyak.
Di satu sisi, dia merasa bersalah telah membuat ibunya khawatir, tetapi dia juga tidak bisa mengungkapkan sepenuhnya apa yang terjadi semalam, apalagi mengenai pria semalam yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Ibu, aku... aku akan menjelaskan nanti. Tapi sekarang, aku harus pergi," katanya akhirnya, menghindari tatapan ibunya dan bergegas melangkah menuju pintu.
"Dea! kembali! Hei! Jangan buat masalah lagi! Dengarkan ibu!" panggil sang ibu dari belakang, tetapi Dea terus melangkah keluar dan berlari secepat mungkin.
Saat berada agak jauh dari rumah dan yakin bahwa langkah sang ibu sudah ketinggalan, Dea akhirnya bisa menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, hatinya tetap bergejolak.
"Aku harus fokus," gumam Dea, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Pelajaran pertama adalah untuk Sanjaya yang tidak setia! Sesudahnya, aku akan berurusan dengan pria sombong bernama Yama itu!"
***
Dea memasuki gedung di mana pesta pernikahan mantan kekasihnya diangsungkan dengan penuh percaya diri.
Namun, ketika pandangannya tertuju pada altar, jantungnya serasa berhenti.
Di sana, berdiri Melia dengan gaun pengantin putih berkilau nan mewah, dan di sampingnya, dengan setelan jas hitam yang elegan, adalah pengantin pria, Sanjaya.
"Sanjaya!" seru Dea dengan suara bergetar.
Mata Dea melebar, dan tangan yang menggenggam tas selempeng mulai gemetar
Kepala Dea dipenuhi pertanyaan dan kebingungan. Bagaimana mungkin kekasihnya tiba-tiba menikah dengan teman kerjanya sendiri tanpa sepengetahuannya? Sejak kapan mereka mulai berselingkuh?
Semua terasa seperti mimpi buruk. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipinya. Di tengah kebingungannya, seorang pelaksana acara menepuk bahunya, “Nona, anda ingin naik ke panggung untuk memberi ucapan selamat? Di belakangmu masih banyak yang sedang mengantri.”
"Oh!"
Dengan tangan gemetar, Dea mengangguk lalu mundur beberapa langkah, memberi jalan kepada tamu yang lain untuk lewat dan naik ke panggung.
Dea bisa melihat Melia yang tersenyum bahagia sambil berjabat tangan dengan beberapa tamu yang memberi selamat.
Senyum yang dulu Dea kenal begitu baik kini terasa seperti pisau yang menusuk hatinya. Teman kerjanya selalu siap memberikan bantuan pada saat dia mengalami kesulitan di kantor, saat ini malah merebut kekasihnya.
Sementara Sanjaya mematung dan melihat keberadaan Dea di sudut tangga menuju panggung, dengan lidah yang terasa kelu.
Dea berbalik dengan lutut lemas dan pandangan mata yang mulai buram, berusaha meninggalkan gedung dengan langkah berat. Namun, sebelum ia mencapai langkah ketiga, Sanjaya memanggilnya, “Dea, tunggu!”
Dea berhenti, punggungnya kaku. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ia tidak berbalik dan tidak berkata apa pun. Saat ini, dia tahu bahwa semua mata hadirin sedang tertuju padanya dan Sanjaya.
“Aku bisa jelaskan semua ini,” kata Sanjaya dengan nada mendesak.
Jarak mereka berada sejauh dua meter dan Dea menahan langkahnya. Musik yang mengalun mendadak terdiam, seolah-olah sudah diatur sedemikian rupa sehingga mereka menjadi fokus utama.
Dea menghela napas dalam, menguatkan diri sebelum akhirnya menoleh, menatap Sanjaya dengan mata penuh kebencian dan rasa sakit. “Kau punya banyak hal untuk dijelaskan, Sanjaya, tapi aku tidak yakin aku siap mendengarnya.”
"S-selamat," ucapnya dengan suara parau.
Dengan kata-kata itu, Dea berbalik, melangkah keluar, berusaha meninggalkan Sanjaya yang terpaku di tempat. Hatinya hancur, tapi ia tahu satu hal: hidupnya tak akan pernah sama lagi!
Namun, sebelum ia mencapai pintu keluar, sebuah suara wanita dari speaker terdengar lantang, “Tunggu, Dea!”
Dea berhenti, jantungnya berdetak kencang.
Seluruh ruangan hening, dan semua mata sudah pasti sedang tertuju pada mereka. Menyimak, memantau dan sebagain mulai mencibir dengan bumbu-bumbu yang lezat tentunya.
Di panggung, Melia memegang microphone dengan senyum penuh kemenangan.
“Sanjaya ingin kamu mendengar beberapa hal sebelum kamu pergi,” katanya dengan nada yang dibuat-buat manis, tapi penuh sindiran.
Dea merasakan dunia berputar di sekitarnya.
Perlahan, Sanjaya mengambil alih microphone dan mulai berkata-kata “Ini semua sudah diatur,” kata Sanjaya pelan, hampir berbisik.
"Kedua orang tuaku menganggap pernikahanku dengan Melia adalah lebih tepat daripada bersama denganmu," lanjutnya sambil menatap Dea dengan tatapan penuh arti.
Sebelum Dea bisa merespons, suara lain terdengar dari sudut panggung. Berteriak dengan suara lantang tanpa menggunakan microphone.
Malam itu, mereka bercinta seperti dua jiwa yang kembali bertemu, mengulang malam pertama mereka dengan intensitas baru. Napas saling memburu, bisikan-bisikan rindu memenuhi sela waktu, dan pelukan itu… terasa seperti pelukan terakhir dari dunia yang mereka bangun ulang bersama.Ketika akhirnya mereka terbaring saling memeluk, Yama mencium dahi Dea dan membisikkan,“Terima kasih telah kembali padaku.”Dan Dea menjawab lirih, “Terima kasih karena tidak menyerah padaku.”"Dea, aku ingin anak yang banyak."Dea mengangguk kecil lalu menjawab, "paling banyak empat ya, aku tidak sanggup kalau terlalu banyak."Yama memperat pelukannya, "Kalau bisa sepuluh."Mendengar itu, Dea segera mencubit pinggang Yama."Jangan bergerak lagi atau sisi lain dari diriku bangun lagi dan aku akan membuat bayi kembar sekarang."Dea segera menghentikan gerakanny
Perkataan Yama lebih terasa seperti bintang yang jatuh melewati bumi, tampak di mata Dea dengan bekas-bekas sinarnya.Dengan mata memerah, Dea mengangguk kecil.Saat itu juga, Dea yang berinisiatif untuk mencium Yama dengan ciuman penuh cinta dan kerinduan."Aku mencintaimu, Dea.""Ohya? Sejak kapan?"Yama berpikir sejenak lalu menjawab, "sejak pertama kali melihat dirimu yang tidak berdaya di bawah kukunganku. Malam itu, saat bawahanku salah tangkap."Dea mempererat pelukannya."Tidurlah, besok kita menikah."***Langit sore itu cerah, seolah turut merestui hari yang dinanti. Di halaman luas mansion modern milik keluarga besar Yama, pernikahan mewah tengah berlangsung. Tenda-tenda putih berhiaskan bunga mawar dan anggrek langka menjulang megah, sementara para tamu—pejabat tinggi negara dan pengusaha ternama—berlalu-lalang dengan setelan formal dan gaun-gaun berkelas.
Pagi itu, langit cerah. Angin membawa aroma rumput dan bunga dari taman vila.Dea duduk di kursi roda, wajahnya menghadap jendela besar dengan selimut menyelimuti kakinya. Di pangkuannya, bayi kecil mereka duduk dengan lengan mungil memeluk boneka kain.Yama duduk di dekatnya, menyeruput teh hangat sambil membaca laporan kerja. Tapi matanya sesekali mencuri pandang pada dua orang yang ia cintai di dunia.“Aku pikir… hari ini aku bisa latihan berdiri sedikit lebih lama,” kata Dea pelan, membelai rambut anaknya.“Kamu sudah luar biasa, Sayang.” Yama tersenyum. “Tapi jangan terlalu memaksa. Perlahan. Langkah kecil.”Dea hanya mengangguk. Tapi dalam matanya, ada api kecil yang tak padam. Api seorang ibu yang tak ingin kehilangan satu detik pun dari tumbuh kembang putrinya.Tiba-tiba, bayi mereka, yang tadinya hanya mengo
Tubuhnya masih terasa berat dan pusing, tapi luka di hati jauh lebih berat.Yama perlahan mendekat, lalu berlutut di samping ranjang.“Aku sudah hampir kehilanganmu. Aku... kehilangan akal. Tapi aku tidak kehilangan rasa hormat padamu. Tidak sedetik pun.” Ia menggenggam sisi ranjang, menunduk. “Aku minta maaf karena kamu terbangun dalam situasi yang membingungkan. Aku salah karena terlalu egois karena sudah melakukannya. Tapi tolong, Dea…”Suara Yama parau. “…jangan tinggalkan aku. Bukan lagi.”"Maaf..."Dea menutup mata. Air matanya jatuh diam-diam. Dalam hati, masih ada kemarahan.“Aku haus…” bisiknya akhirnya.Yama langsung berdiri. “Tunggu. Aku akan ambil air.”***Udara pagi masuk melalui jendela yang dibuka setengah. Aroma embun, matahari, dan daun basah bercampur dengan kelembuta
Ia berdiri, melangkah pelan mendekat. Tangan gemetar menyentuh lengan Rahel.“Aku… lelah sekali. Kesepian. Kenapa dia tak bangun-bangun… kenapa?”Rahel menunduk, ingin menjauh. Tapi Yama menahan.Dia menatap wajah Rahel—mencari pelarian, bukan cinta. Mencari kehangatan sesaat yang bisa menghapus rasa kehilangan yang tak tertanggungkan.Wajah mereka makin dekat. Nafas Yama hangat, tercium samar aroma mabuk dan luka batin.Dan saat hanya berjarak sejengkal…TANGISAN BAYI terdengar dari kamar sebelah.Kuat. Seperti suara langit yang memanggil jiwa Yama kembali ke bumi.Ia membeku.Rahel terdiam. Tangisan itu… begitu familiar.Yama menutup matanya. Napasnya tercekat. Ia menoleh ke arah pintu kamar bayi, lalu melepaskan Rahel seketika.Langkah
Yama perlahan berdiri dan mendekat. Ia menatap Dea dengan perasaan yang campur aduk—rasa syukur, haru, dan luka yang belum kering. Bibir Dea masih tertutup rapat, tapi rona pipinya sedikit berubah. Mungkin hanya cahaya. Atau mungkin…Yama menyentuh rambut Dea yang tergerai.“Lihat, Sayang… putri kita kembali ke pelukmu. Walau kamu diam… dia tahu ke mana harus pulang.”Setelah menyusui, Rahel perlahan membetulkan pakaian Dea, lalu membungkus bayi kembali.Yama menatap bayinya yang kini tertidur dengan tenang di lengannya.“Terima kasih,” ucapnya kepada Rahel. “Aku… tidak akan lupakan ini.”Rahel tersenyum. “Mungkin ini bukan tentang saya, Tuan. Tapi tentang cinta yang terlalu dalam, yang masih melekat meski tubuh sudah diam.”Yama mengangguk, lalu duduk di te