Di depan pintu keluar pesta, Dea tiba-tiba berjongkok, memeluk lututnya yang bergetar. Air matanya jatuh begitu saja, membasahi gaun elegan yang tadi membuatnya tampak begitu anggun di atas panggung. Ia berusaha menahan isakannya, tetapi dada yang terasa sesak tak bisa dibohongi.
Samar-samar terdengar suara tangis yang tertahan.
Yama berdiri tak jauh darinya, terpaku. Sosok Dea yang tadi kuat dan penuh percaya diri kini terlihat rapuh. Sejak awal, dia tahu ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan di balik tatapan tajam dan senyum tipisnya. Tapi baru saja ia melangkah mendekat, niatnya terhenti oleh suara nyaring dari ponsel Dea.
**Drrtt... Drrtt...**
Dea tersentak. Dengan cepat, ia mengusap wajahnya yang basah lalu merogoh tas kecilnya. Ketika melihat nama yang tertera di layar, jantungnya seolah berhenti berdetak.
"Ibu"—nama yang jarang muncul di layar ponselnya kecuali dalam keadaan darurat atau dia melakukan kesalahan sehingga pantas diomeli.
Dea segera menghapus air matanya dengan punggung tangan.
Tangan Dea bergetar saat mengangkat panggilan. "Halo, Bu?" suaranya lirih, sedikit serak karena menangis.
"Dea! Ayahmu—" suara ibunya terdengar panik, napasnya tersengal. "Ayahmu masuk rumah sakit! Dia dipukul sampai pingsan… polisi bilang ada perkelahian!"
Dunia Dea seakan berputar. "Apa?! Ayah kenapa, Bu?! Dia baik-baik saja?!"
"Aku tidak tahu, Nak… aku baru sampai di rumah sakit. Dokter belum bilang apa-apa…"
Tanpa berpikir panjang, Dea berdiri dan mulai berlari. Sepatunya yang tinggi hampir membuatnya tersandung, tetapi ia tak peduli.
"Bu, aku segera ke sana!" ucapnya sebelum menutup telepon.
Melihat Dea yang bergegas, Yama refleks melangkah maju. "Hei, tunggu!"
Namun, Dea tidak mendengarnya. Dengan cepat, ia memberhentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas. Sopir membuka pintu, dan Dea segera naik tanpa ragu.
Yama mengumpat pelan. "Sial!"
Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah petugas untuk meminta mobilnya yang diparkir agak jauh. Karena layanan VIP, mobil tiba di hadapannya dua menit kemudian.
Dengan cepat, ia masuk ke dalam, menyalakan mesin, dan melajukan kendaraannya di malam yang semakin dingin.
Di dalam taksi yang membelah jalan raya, Dea menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Pikirannya kacau. Siapa yang tega memukul ayahnya? Kenapa? Apakah ini ada hubungannya dengan masalah lama yang selama ini mereka hindari?
Dia menggenggam ponselnya erat. Tak ada pesan baru dari ibunya.
Taksi itu bergerak pelan, dan rasanya terlalu lama. Hatinya semakin gelisah.
Ketika akhirnya taksi sampai di depan rumah sakit, Dea langsung melompat turun tanpa peduli dengan tatapan orang-orang. Dia berlari, menembus koridor rumah sakit dengan panik.
Begitu mendekati ruang UGD, langkahnya melambat saat melihat ibunya yang berdiri di depan ruang itu dengan wajah penuh kecemasan.
"Bu!" panggil Dea dengan napas tersengal.
Ibunya menoleh. Wajah wanita itu terlihat lebih tua dari sebelumnya, dengan mata yang sembab dan penuh kesedihan.
"Dea…" suaranya lirih.
Dea langsung meraih tangan ibunya. "Bagaimana Ayah? Apa kata dokter?"
Sebelum ibunya sempat menjawab, pintu ruang UGD terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi serius.
"Siapa keluarganya?" tanyanya.
"Iya, Dok, kami keluarganya," jawab ibunya cepat.
Dokter menghela napas. "Pasien mengalami luka di bagian kepala akibat benturan benda tumpul. Untungnya, tidak ada perdarahan di otak, tapi dia mengalami gegar ringan dan beberapa luka memar di tubuhnya. Kami akan mengawasinya selama 24 jam untuk memastikan kondisinya stabil."
Dea meremas tangannya. "Dok, ayah saya pasti akan baik-baik saja, kan?"
Dokter tersenyum kecil. "Kami sudah melakukan yang terbaik. Sekarang, kita hanya perlu menunggu."
Setelah mengucapkan terima kasih, Dea dan ibunya duduk di kursi tunggu. Tangannya menggenggam tangan ibunya erat, mencari kehangatan di tengah rasa takut yang masih menggantung di dadanya.
Tak lama, langkah cepat terdengar dari arah pintu masuk rumah sakit. Yama tiba di sana, tetapi dia memilih melihat kondisi sebelum muncul di hadapan Dea.
Yama bisa menebak, sesuatu yang serius sedang terjadi dalam kehidupan wanita itu dan dia tidak ingin kemunculannya menambah masalah baru bagi Dea.
Dia ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka, bawahannya sudah salah menculik wanita sehingga mereka terlibat dalam malam yang tidak pernah diinginkan, tetapi dia memilih menunggu saat yang tepat untuk sebuah penjelasan.
Yama duduk di kursi kosong dan berpura-pura melihat layar ponselnya, agak jauh dari lokasi di mana Dea dan Ibunya sedang menunggu.
Setelah satu jam berlalu, seorang perawat datang dan memberi tahu mereka bahwa pasien sudah sadar.
Dea dan ibunya langsung masuk ke ruangan tempat ayahnya dirawat. Pria paruh baya itu terbaring dengan wajah penuh lebam, tetapi matanya terbuka, menatap mereka dengan lelah.
"Pak…" suara ibunya bergetar.
John tersenyum lemah dengan wajahnya yang pucat. "Aku baik-baik saja."
Dea menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh lagi. "Siapa yang melakukan ini, Yah?"
"Seseorang yang ingin aku diam."
Dea terdiam. Ia tahu apa maksud ayahnya. Itu berarti… ini bukan perkelahian biasa.
Sementara itu, Yama mendekat, dia berdiri di luar ruangan, mendengar percakapan mereka dari balik pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya berubah serius.
Ekspresinya berubah dingin. Mata tajamnya menatap lantai rumah sakit yang mengilap, sementara pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia mendengar isak tangis Dea dari dalam ruangan sembari memeluk sang Ayah, dan itu semakin memperkuat niatnya.
Tanpa ragu, ia melangkah menjauh lalu mengeluarkan ponselnya. Begitu panggilannya tersambung, suara seorang pria di ujung telepon segera terdengar.
"Tuan Yama?"
"Temukan siapa yang berani mengganggu keluarga Dea," ucapnya dengan nada tegas. "Cari tahu siapa yang memukul Ayahnya. Beri mereka pelajaran, dan seret mereka kemari untuk meminta maaf."
Hening sejenak di seberang telepon sebelum suara berat pria itu menjawab, "Baik, Tuan. Beri kami dua jam. Kami akan segera mencari tahu."
Langit malam menggantung tenang di atas atap vila. Di luar, angin meniupkan dedaunan pelan, dan suasana hening menyelimuti seluruh sudut rumah. Vila itu tertidur dalam sunyi, seolah memberi ruang bagi cinta yang mulai tumbuh kembali di antara dua hati yang dulu pernah saling menyakiti.Di dalam kamar, Dea sudah lebih dulu terlelap, tubuhnya meringkuk dalam selimut tipis. Di sebelah tempat tidur, boks bayi berdiri tenang, putri kecil mereka pun ikut tertidur nyenyak, sesekali mengeluarkan suara lembut yang nyaris tak terdengar.Pintu kamar terbuka perlahan, hampir tanpa suara. Yama masuk, masih mengenakan kemeja yang sebagian besar kancingnya terbuka, dasinya tergantung longgar di leher. Wajahnya lelah. Mata memerah karena bekerja seharian, namun begitu matanya menangkap sosok Dea di atas ranjang, sebuah senyum kecil muncul.Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, melepas arloji dan ponsel tanpa suara, lalu berjalan pelan ke
Dea lalu mengarahkan bayinya ke dadanya, dan dalam sekejap, mulut mungil itu menemukan sumber kehidupan. Hisapannya kuat meski belum sempurna. Dea terisak, kali ini bukan karena kesedihan… tapi karena kebahagiaan yang meluap begitu saja.Perasaan menjadi ibu sungguh nyata kini. Ada sesuatu yang lahir bersamaan dengan bayi itu—sebuah kekuatan baru, kasih tak terbatas, dan ikatan yang tak akan bisa direnggut siapa pun.Yama kembali melirik. Dan pemandangan di hadapannya menghentikan waktu dalam pikirannya: Dea, duduk di tempat tidur, menyusui bayi mereka dengan mata yang berkaca-kaca dan senyum kecil yang penuh cinta.“Aku belum pernah melihatmu secantik ini,” ucap Yama dengan suara nyaris berbisik.Dea menoleh, menatapnya dengan mata merah. “Jangan ganggu momen ini.”Yama tersenyum, lalu duduk di pinggir ranjang, dekat namun tidak menyentuh.
"Karena kita sama-sama keras kepala," jawab Yama jujur.Dea menghela napas, lalu tiba-tiba berkata, “Cium aku.”Yama terdiam. Matanya membesar sedikit, ragu-ragu menatap perempuan di hadapannya. Ia ingin memastikan—apakah ini mimpi? Apakah ini luka yang sedang menguji?Tapi Dea tak berpaling. Tatapan itu serius. Lirih. Lelah. Namun tulus.“Untuk malam ini saja…” lanjutnya, “aku ingin percaya… bahwa cinta kita belum sepenuhnya mati.”Dan dengan hati-hati, Yama mengangkat tangannya, menyentuh pipi Dea dengan penuh kelembutan. Ibu jarinya menghapus air mata yang masih tertinggal di ujung kelopak mata Dea. Ia mendekat perlahan, memberi waktu bagi Dea untuk menarik kembali kata-katanya—jika memang itu hanya kerinduan sesaat.Tapi Dea tidak menjauh.Dan akhirnya… bibir mereka
Malam turun perlahan, membawa angin lembut yang menyusup melalui celah jendela yang sedikit terbuka. Vila tempat Dea disekap berada jauh dari kota—terpencil, sunyi, dan dijaga ketat.Di luar sana, dunia terus berjalan seperti biasa, tapi di ruangan ini, waktu seolah beku. Tidak ada suara lain kecuali detak jam dinding dan hembusan napas Dea yang teratur namun berat.Ia duduk bersandar di ranjang, selimut menutupi sebagian tubuhnya yang masih lemah. Sejak Yama mengizinkannya melihat putrinya pagi tadi—meski hanya sebentar—perasaannya campur aduk. Bayi kecil itu begitu mungil, berkulit merah muda, dengan mata yang tertutup rapat dan bibir mungil yang mengerucut pelan saat menangis.Tangan Dea masih gemetar saat mengingat detik-detik itu. Ia ingin menyentuh. Memeluk. Menyusui. Tapi semuanya dibatasi oleh satu kata: izin.Dan satu-satunya orang yang memegang izin itu… adalah Yama. 
Fatih berdiri di depan kaca tinggi kantor Yama, menatap hamparan gedung pencakar langit yang berdiri angkuh di bawah sinar matahari siang. Tangannya mengepal di saku celana, rahangnya mengeras. Sudah dua hari penuh ia melacak jejak Dea, tapi semuanya buntu.Tidak ada CCTV rumah sakit. Tidak ada data keberangkatan. Bahkan saksi mata yang terakhir melihat Dea—seorang perawat tua—mengaku disumpah untuk diam.“Aku tahu dia ada di negara ini,” ujar Fatih tajam, menatap pria di depannya. “Dia melahirkan di sini. Tidak mungkin menghilang begitu saja.”Yama duduk tenang di belakang mejanya, jari-jarinya saling bertaut di atas map dokumen yang sengaja dibiarkan terbuka—pura-pura sibuk. Namun di balik sikap ramahnya, sorot mata Yama menyimpan sesuatu yang lebih gelap: Fatih adalah pria yang akan merebut Dea.“Aku bisa mengerti kekhawatiranmu, Fatih,” ujarnya dengan nada bersahabat yan
Langit tampak temaram dari balik jendela tinggi yang dibungkus tirai putih tipis. Aroma antiseptik samar-samar memenuhi ruangan yang terlalu sunyi untuk disebut tempat yang nyaman."Rumah sakit?"Dea perlahan membuka matanya, kelopak yang berat seperti telah tertutup selama berhari-hari. Cahaya lampu di atas membuatnya mengerjap, dan perlahan kesadarannya merambat kembali, seiring rasa nyeri yang menusuk dari perut bagian bawah.Dia berusaha mengingat, dia menyadari baru saja melahirkan dan dalam kepalanya penuh dengan pernyataan, mengapa semua terlihat berbeda?Tubuhnya terasa lemah. Saat mencoba mengangkat tangan, infus masih terpasang di sana. Tapi bukan itu yang membuat napasnya tercekat—melainkan kenyataan bahwa ini bukan kamar rumah sakit tempat dia terakhir kali sadar."Aneh..." Dea menautkan alisnya dan kedua matanya menelusuri semua isi ruangan.Bukan ruang bersalin dengan suara perawat yang hilir mudik. Tidak ad