Share

Bab 6. Perkelahian

Penulis: Runayanti
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-14 23:52:26

Di depan pintu keluar pesta, Dea tiba-tiba berjongkok, memeluk lututnya yang bergetar. Air matanya jatuh begitu saja, membasahi gaun elegan yang tadi membuatnya tampak begitu anggun di atas panggung. Ia berusaha menahan isakannya, tetapi dada yang terasa sesak tak bisa dibohongi.

Samar-samar terdengar suara tangis yang tertahan.

Yama berdiri tak jauh darinya, terpaku. Sosok Dea yang tadi kuat dan penuh percaya diri kini terlihat rapuh. Sejak awal, dia tahu ada sesuatu yang wanita itu sembunyikan di balik tatapan tajam dan senyum tipisnya. Tapi baru saja ia melangkah mendekat, niatnya terhenti oleh suara nyaring dari ponsel Dea.

**Drrtt... Drrtt...**

Dea tersentak. Dengan cepat, ia mengusap wajahnya yang basah lalu merogoh tas kecilnya. Ketika melihat nama yang tertera di layar, jantungnya seolah berhenti berdetak.

"Ibu"—nama yang jarang muncul di layar ponselnya kecuali dalam keadaan darurat atau dia melakukan kesalahan sehingga pantas diomeli.

Dea segera menghapus air matanya dengan punggung tangan.

Tangan Dea bergetar saat mengangkat panggilan. "Halo, Bu?" suaranya lirih, sedikit serak karena menangis.

"Dea! Ayahmu—" suara ibunya terdengar panik, napasnya tersengal. "Ayahmu masuk rumah sakit! Dia dipukul sampai pingsan… polisi bilang ada perkelahian!"

Dunia Dea seakan berputar. "Apa?! Ayah kenapa, Bu?! Dia baik-baik saja?!"

"Aku tidak tahu, Nak… aku baru sampai di rumah sakit. Dokter belum bilang apa-apa…"

Tanpa berpikir panjang, Dea berdiri dan mulai berlari. Sepatunya yang tinggi hampir membuatnya tersandung, tetapi ia tak peduli.

"Bu, aku segera ke sana!" ucapnya sebelum menutup telepon.

Melihat Dea yang bergegas, Yama refleks melangkah maju. "Hei, tunggu!"

Namun, Dea tidak mendengarnya. Dengan cepat, ia memberhentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas. Sopir membuka pintu, dan Dea segera naik tanpa ragu.

Yama mengumpat pelan. "Sial!"

Tanpa pikir panjang, ia berlari ke arah petugas untuk meminta mobilnya yang diparkir agak jauh. Karena layanan VIP, mobil tiba di hadapannya dua menit kemudian.

Dengan cepat, ia masuk ke dalam, menyalakan mesin, dan melajukan kendaraannya di malam yang semakin dingin.

Di dalam taksi yang membelah jalan raya, Dea menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis. Pikirannya kacau. Siapa yang tega memukul ayahnya? Kenapa? Apakah ini ada hubungannya dengan masalah lama yang selama ini mereka hindari?

Dia menggenggam ponselnya erat. Tak ada pesan baru dari ibunya.

Taksi itu bergerak pelan, dan rasanya terlalu lama. Hatinya semakin gelisah.

Ketika akhirnya taksi sampai di depan rumah sakit, Dea langsung melompat turun tanpa peduli dengan tatapan orang-orang. Dia berlari, menembus koridor rumah sakit dengan panik.

Begitu mendekati ruang UGD, langkahnya melambat saat melihat ibunya yang berdiri di depan ruang itu dengan wajah penuh kecemasan.

"Bu!" panggil Dea dengan napas tersengal.

Ibunya menoleh. Wajah wanita itu terlihat lebih tua dari sebelumnya, dengan mata yang sembab dan penuh kesedihan.

"Dea…" suaranya lirih.

Dea langsung meraih tangan ibunya. "Bagaimana Ayah? Apa kata dokter?"

Sebelum ibunya sempat menjawab, pintu ruang UGD terbuka. Seorang dokter keluar dengan ekspresi serius.

"Siapa keluarganya?" tanyanya.

"Iya, Dok, kami keluarganya," jawab ibunya cepat.

Dokter menghela napas. "Pasien mengalami luka di bagian kepala akibat benturan benda tumpul. Untungnya, tidak ada perdarahan di otak, tapi dia mengalami gegar ringan dan beberapa luka memar di tubuhnya. Kami akan mengawasinya selama 24 jam untuk memastikan kondisinya stabil."

Dea meremas tangannya. "Dok, ayah saya pasti akan baik-baik saja, kan?"

Dokter tersenyum kecil. "Kami sudah melakukan yang terbaik. Sekarang, kita hanya perlu menunggu."

Setelah mengucapkan terima kasih, Dea dan ibunya duduk di kursi tunggu. Tangannya menggenggam tangan ibunya erat, mencari kehangatan di tengah rasa takut yang masih menggantung di dadanya.

Tak lama, langkah cepat terdengar dari arah pintu masuk rumah sakit. Yama tiba di sana, tetapi dia memilih melihat kondisi sebelum muncul di hadapan Dea.

Yama bisa menebak, sesuatu yang serius sedang terjadi dalam kehidupan wanita itu dan dia tidak ingin kemunculannya menambah masalah baru bagi Dea.

Dia ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka, bawahannya sudah salah menculik wanita sehingga mereka terlibat dalam malam yang tidak pernah diinginkan, tetapi dia memilih menunggu saat yang tepat untuk sebuah penjelasan.

Yama duduk di kursi kosong dan berpura-pura melihat layar ponselnya, agak jauh dari lokasi di mana Dea dan Ibunya sedang menunggu.

Setelah satu jam berlalu, seorang perawat datang dan memberi tahu mereka bahwa pasien sudah sadar.

Dea dan ibunya langsung masuk ke ruangan tempat ayahnya dirawat. Pria paruh baya itu terbaring dengan wajah penuh lebam, tetapi matanya terbuka, menatap mereka dengan lelah.

"Pak…" suara ibunya bergetar.

John tersenyum lemah dengan wajahnya yang pucat. "Aku baik-baik saja."

Dea menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh lagi. "Siapa yang melakukan ini, Yah?"

"Seseorang yang ingin aku diam."

Dea terdiam. Ia tahu apa maksud ayahnya. Itu berarti… ini bukan perkelahian biasa.

Sementara itu, Yama mendekat, dia berdiri di luar ruangan, mendengar percakapan mereka dari balik pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya berubah serius.

Ekspresinya berubah dingin. Mata tajamnya menatap lantai rumah sakit yang mengilap, sementara pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia mendengar isak tangis Dea dari dalam ruangan sembari memeluk sang Ayah, dan itu semakin memperkuat niatnya.

Tanpa ragu, ia melangkah menjauh lalu mengeluarkan ponselnya. Begitu panggilannya tersambung, suara seorang pria di ujung telepon segera terdengar.

"Tuan Yama?"

"Temukan siapa yang berani mengganggu keluarga Dea," ucapnya dengan nada tegas. "Cari tahu siapa yang memukul Ayahnya. Beri mereka pelajaran, dan seret mereka kemari untuk meminta maaf."

Hening sejenak di seberang telepon sebelum suara berat pria itu menjawab, "Baik, Tuan. Beri kami dua jam. Kami akan segera mencari tahu."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 272

    Malam itu, mereka bercinta seperti dua jiwa yang kembali bertemu, mengulang malam pertama mereka dengan intensitas baru. Napas saling memburu, bisikan-bisikan rindu memenuhi sela waktu, dan pelukan itu… terasa seperti pelukan terakhir dari dunia yang mereka bangun ulang bersama.Ketika akhirnya mereka terbaring saling memeluk, Yama mencium dahi Dea dan membisikkan,“Terima kasih telah kembali padaku.”Dan Dea menjawab lirih, “Terima kasih karena tidak menyerah padaku.”"Dea, aku ingin anak yang banyak."Dea mengangguk kecil lalu menjawab, "paling banyak empat ya, aku tidak sanggup kalau terlalu banyak."Yama memperat pelukannya, "Kalau bisa sepuluh."Mendengar itu, Dea segera mencubit pinggang Yama."Jangan bergerak lagi atau sisi lain dari diriku bangun lagi dan aku akan membuat bayi kembar sekarang."Dea segera menghentikan gerakanny

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 271

    Perkataan Yama lebih terasa seperti bintang yang jatuh melewati bumi, tampak di mata Dea dengan bekas-bekas sinarnya.Dengan mata memerah, Dea mengangguk kecil.Saat itu juga, Dea yang berinisiatif untuk mencium Yama dengan ciuman penuh cinta dan kerinduan."Aku mencintaimu, Dea.""Ohya? Sejak kapan?"Yama berpikir sejenak lalu menjawab, "sejak pertama kali melihat dirimu yang tidak berdaya di bawah kukunganku. Malam itu, saat bawahanku salah tangkap."Dea mempererat pelukannya."Tidurlah, besok kita menikah."***Langit sore itu cerah, seolah turut merestui hari yang dinanti. Di halaman luas mansion modern milik keluarga besar Yama, pernikahan mewah tengah berlangsung. Tenda-tenda putih berhiaskan bunga mawar dan anggrek langka menjulang megah, sementara para tamu—pejabat tinggi negara dan pengusaha ternama—berlalu-lalang dengan setelan formal dan gaun-gaun berkelas.

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 270

    Pagi itu, langit cerah. Angin membawa aroma rumput dan bunga dari taman vila.Dea duduk di kursi roda, wajahnya menghadap jendela besar dengan selimut menyelimuti kakinya. Di pangkuannya, bayi kecil mereka duduk dengan lengan mungil memeluk boneka kain.Yama duduk di dekatnya, menyeruput teh hangat sambil membaca laporan kerja. Tapi matanya sesekali mencuri pandang pada dua orang yang ia cintai di dunia.“Aku pikir… hari ini aku bisa latihan berdiri sedikit lebih lama,” kata Dea pelan, membelai rambut anaknya.“Kamu sudah luar biasa, Sayang.” Yama tersenyum. “Tapi jangan terlalu memaksa. Perlahan. Langkah kecil.”Dea hanya mengangguk. Tapi dalam matanya, ada api kecil yang tak padam. Api seorang ibu yang tak ingin kehilangan satu detik pun dari tumbuh kembang putrinya.Tiba-tiba, bayi mereka, yang tadinya hanya mengo

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 269

    Tubuhnya masih terasa berat dan pusing, tapi luka di hati jauh lebih berat.Yama perlahan mendekat, lalu berlutut di samping ranjang.“Aku sudah hampir kehilanganmu. Aku... kehilangan akal. Tapi aku tidak kehilangan rasa hormat padamu. Tidak sedetik pun.” Ia menggenggam sisi ranjang, menunduk. “Aku minta maaf karena kamu terbangun dalam situasi yang membingungkan. Aku salah karena terlalu egois karena sudah melakukannya. Tapi tolong, Dea…”Suara Yama parau. “…jangan tinggalkan aku. Bukan lagi.”"Maaf..."Dea menutup mata. Air matanya jatuh diam-diam. Dalam hati, masih ada kemarahan.“Aku haus…” bisiknya akhirnya.Yama langsung berdiri. “Tunggu. Aku akan ambil air.”***Udara pagi masuk melalui jendela yang dibuka setengah. Aroma embun, matahari, dan daun basah bercampur dengan kelembuta

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 268

    Ia berdiri, melangkah pelan mendekat. Tangan gemetar menyentuh lengan Rahel.“Aku… lelah sekali. Kesepian. Kenapa dia tak bangun-bangun… kenapa?”Rahel menunduk, ingin menjauh. Tapi Yama menahan.Dia menatap wajah Rahel—mencari pelarian, bukan cinta. Mencari kehangatan sesaat yang bisa menghapus rasa kehilangan yang tak tertanggungkan.Wajah mereka makin dekat. Nafas Yama hangat, tercium samar aroma mabuk dan luka batin.Dan saat hanya berjarak sejengkal…TANGISAN BAYI terdengar dari kamar sebelah.Kuat. Seperti suara langit yang memanggil jiwa Yama kembali ke bumi.Ia membeku.Rahel terdiam. Tangisan itu… begitu familiar.Yama menutup matanya. Napasnya tercekat. Ia menoleh ke arah pintu kamar bayi, lalu melepaskan Rahel seketika.Langkah

  • Lady D Milik Sang Penguasa   Bab 267

    Yama perlahan berdiri dan mendekat. Ia menatap Dea dengan perasaan yang campur aduk—rasa syukur, haru, dan luka yang belum kering. Bibir Dea masih tertutup rapat, tapi rona pipinya sedikit berubah. Mungkin hanya cahaya. Atau mungkin…Yama menyentuh rambut Dea yang tergerai.“Lihat, Sayang… putri kita kembali ke pelukmu. Walau kamu diam… dia tahu ke mana harus pulang.”Setelah menyusui, Rahel perlahan membetulkan pakaian Dea, lalu membungkus bayi kembali.Yama menatap bayinya yang kini tertidur dengan tenang di lengannya.“Terima kasih,” ucapnya kepada Rahel. “Aku… tidak akan lupakan ini.”Rahel tersenyum. “Mungkin ini bukan tentang saya, Tuan. Tapi tentang cinta yang terlalu dalam, yang masih melekat meski tubuh sudah diam.”Yama mengangguk, lalu duduk di te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status