Lestari- Ibu Sanjaya, perempuan berpenampilan mewah dan elegan dengan wajah yang dipenuhi kebencian dan tatapan sinis, berkata lantang, “Aku tidak pernah menyukaimu sebagai kekasih anakku, Dea. Lihat dirimu, terlihat rendahan sekali. Kau tidak pantas untuk putraku.”
"Status putra tercintaku satu-satunya saat ini sudah menjadi Kepala Cabang perusahaan ternama sementara Melia, menantuku yang cantik ini adalah anak pengusaha, hanya dia yang cocok menjadi menantuku."
Lestari mengambil alih microphone yang dipegang putranya, lalu menceritakan sedikit tentang Dea di depan para tamu. Dengan nada tegas namun penuh kekecewaan, Lestari memulai ceritanya.
"Para tamu yang terhormat, mohon maaf jika saya harus mengambil waktu sejenak untuk berbicara. Ada sesuatu yang perlu saya sampaikan tentang keputusan putra saya, Sanjaya, untuk menikah dengan Melia. Ini bukan hal yang mudah bagi saya, sebagai seorang Ibu, untuk mengungkapkan hal ini di depan kalian semua, namun saya merasa ini adalah waktu yang tepat untuk menjelaskan."
Semua tamu mulai hening, penuh perhatian mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Lestari.
Dia melanjutkan, "Dea, mantan kekasih Sanjaya, ternyata menyimpan rahasia yang sangat mengecewakan kami semua. Selama bertahun-tahun, kami mengira dia adalah sosok yang sempurna untuk Sanjaya, tetapi baru-baru ini kami mengetahui bahwa dia terlibat dalam masalah yang sangat serius."
Lestari berhenti sejenak, menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Dea ternyata mandul, dan saya meragukan apakah dia tidak sedang terlibat hubungan dengan ... seorang wanita bernama Jean."
"Haaahh?"
Suara riuh para tamu mulai terdengar dan Dea menatap Lestari tanpa berkedip, tidak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh ibu Sanjaya tersebut.
"M-mandul?" Dea merasa semakin bingung dan tertekan. Dia tidak mengerti mengapa mereka memberikan vonis seperti itu.
Dea ingin menjelaskan bahwa Jean adalah sahabat terbaiknya dan apa yang dituduhkan Ibu Sanjaya adalah sebuah fitnahan. Namun, bibir Dea terasa kelu.
"Ini tentu tidak terpuji dan akan merusak reputasi keluarga kami. Dia bukan hanya terlibat dalam tindakan yang tidak etis, tetapi juga membawa pengaruh buruk bagi Sanjaya. Ini membuat Sanjaya sangat terpukul dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Kami semua sangat kecewa, namun kami mendukung keputusan Sanjaya untuk melanjutkan hidupnya tanpa Dea."
"Sanjaya butuh seorang istri ... yang normal dengan status sosial yang tinggi dan bisa dibanggakan!" Lestari menantang tatapan tajam dari Dea sambil tersenyum mencibir.
Para tamu saling berbisik, terkejut mendengar pengungkapan tersebut. Melia segera menggandeng tangan Sanjaya seolah-olah ingin menguatkannya, mereka mengarahkan pandangannya ke Dea, yang terlihat tenang meski sedikit terkejut dengan situasi yang terjadi.
"Kami sangat bersyukur Sanjaya bertemu dengan Melia. Dia adalah sosok yang baik hati, penuh pengertian, dan memiliki nilai-nilai yang sesuai dengan keluarga kami."
Lestari menoleh ke arah pasangan yang sedang berbahagia tersebut lalu melanjutkan kalimatnya, "... dan Melia sangat cantik, saya mempercayakan putra kesayanganku, dia akan bisa merasakan kasih sayang seorang wanita dan Ibu atas cucu-cucuku yang lucu nantinya."
Lestari kembali melihat ke arah Dea lalu berkata, "Kami percaya bahwa dengan Melia, Sanjaya bisa menemukan kebahagiaan yang sejati."
Melia tersenyum, berusaha menahan rasa gugupnya. Lestari mengakhiri pembicaraannya dengan, "Kami berharap semua tamu yang hadir di sini bisa mendukung keputusan Sanjaya dan Melia, dan memberikan doa terbaik untuk kehidupan mereka ke depan."
"... dan sekarang, duduklah dengan sopan di kursi yang sudah disediakan bagimu dan silakan mengikuti acara bila Anda merasa berhak, tetapi bila merasa tidak nyaman, kami juga tidak melarang Anda pergi. Yang penting, jangan menggila di sini atau Anda akan berhadapan dengan pihak yang berwajib."
Setelah itu, Lestari mengembalikan microphone kepada Melia.
Kalimat itu menghantam Dea seperti gelombang besar. Dia merasa terluka, dan dipermalukan di depan begitu banyak orang. Air mata sudah terasa penuh di matanya, namun ia menguatkan diri untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
Dea menatap Sanjaya dan ibunya sejenak sebelum memutar tubuhnya. Dia merasa dipermalukan saat itu juga. Dia merasa harus menghilang dari sana saat itu juga.
Namun, dia ingat tujuan dia hadir di dalam pesta tersebut lalu dengan langkah mantap mengambil sebotol minuman dari salah satu meja pesta yang terdekat.
"Pesta mewah ini bahkan menyajikan anggur berharga fantastis, setidaknya saya harus mengambil sebotol anggur dan mengucapkan selamat dengan tulus untuk kedua mempelai," ucap Dea lalu meminum anggur tersebut dengan sekali teguk, langsung dari botolnya sambil menaiki panggung, melangkah mendekati Sanjaya dan Melia.
Dengan mata memancarkan keberanian dan berkaca-kaca, Dea lalu menuangkan minuman tersebut ke atas kepala Sanjaya dan Melia secara cepat. Kedua pasangan itu mundur serentak karena terkejut.
Namun sebelum Sanjaya bisa bereaksi, Dea tertawa dengan keras dan merebut microphne yang dipegang oleh Melia sebelumnya.
"Dengarkan semua orang!" ucap Dea dengan suara yang tegas dan bersemangat, membuat semua mata tertuju padanya.
"Saya tidak akan membiarkan diri saya direndahkan oleh siapa pun, termasuk oleh Sanjaya dan Ibunya!"
Sebuah keheningan tegang melanda ruangan, dan Dea bisa merasakan detak jantungnya dipercepat. Namun, dia tidak mundur.
"Kalian bisa mempermalukan saya di depan semua orang, tapi saya tidak akan membiarkan itu menghentikan saya. Saya akan membuktikan bahwa saya lebih dari sekadar orang yang bisa diinjak-injak!" lanjutnya dengan penuh semangat.
Beberapa tamu mulai bertepuk tangan, mendukung keberaniannya. Dea melihat langsung ke arah Sanjaya, dengan tatapan yang penuh dengan tekad dan api yang menyala.
"Dalam hidup ini, kita mungkin menghadapi cobaan dan penolakan, tapi yang penting adalah bagaimana kita bangkit kembali dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya! Jadi, terima kasih atas 'keputusan' Anda, Sanjaya! Saya akan menggunakan itu sebagai bahan bakar untuk mencapai impian saya!"
Dengan itu, Dea melemparkan botol minum berisi anggur ke lantai panggung dengan penuh semangat, suaranya mengelegar, membuat beberapa tamu terpana.
Ada yang mendukung dan ada sebagian yang mencibir.
"... dan ingat! Wanita yang di sampingmu saat ini!" Dea melirik ke arah Melia lalu melanjutkan kalimatnya, "adalah wanita yang licik!"
Dea tertawa lalu menoleh ke arah Ibu Sanjaya lalu mengarahkan telunjuknya, "dan dia... mertua yang sama liciknya dengan putranya!"
Dea memutar tubuhnya lalu melangkah menuruni tangga.
"Semoga Anda berbahagia seperti hari ini!"
Tanpa melihat balik, dia meninggalkan ruangan dengan langkah yang mantap dan kepala tegak.
Dea tidak tahu, di antara tamu-tamu yang hadir dan menyaksikan perseteruan mereka di atas panggung, ada sepasang mata tajam dari seorang pria tampan yang tertawa tipis sambil mengenggam gelas mewah berisi wine.
Gayanya elegan dan merasa puas karena sudah menemukan Dea tanpa perlu mencari terlalu lama.
"Hmm, Dea..." desisnya.
Pria bernama 'Yama' menggoyangkan gelasnya lalu mencicipi wine sambil tetap menatap langkah Dea.
"That's my Lady D."
Yama meneguk minumannya sampai habis lalu menyusul langkah Dea keluar dari ruangan pesta.
Elsa menatap ekspresi itu dan merasa dadanya hancur. Bukan karena kemarahan Frans, tapi justru karena… ekspresi datar itu."Kau bahkan tidak menggertak, tidak berteriak, tidak membalas. Kau hanya... diam?!" pekik Elsa.Pangeran masih terduduk di atas ranjang dalam diam dan wajah membeku pucat."Baiklah, kubur aku dengan baik!"Tanpa aba-aba, ia berlari menuju dinding batu yang kokoh, tubuhnya bersiap menabrak dengan kecepatan penuh, seolah rasa sakit itu akan menghapus luka yang tak kasat mata.“ELSA!”Frans melompat dan menubruk tubuhnya dari samping. Mereka terjatuh bersamaan, tubuh Elsa terguling di lantai, menindih tubuh Pangeran Frans yang jatuh duluan namun wanita segera meronta liar. Memainkan dramanya dengan keahlian tinggi.“Apa-apaan sih kamu! Mau apa?!” teriak Frans panik, tubuhnya menahan Elsa agar tidak bangkit lagi.“
Wajahnya lelah. Matanya redup.“Elsa… aku ingin tidur. Jangan ribut malam ini.” Suaranya pelan, hampir seperti keluhan. Ia berjalan pelan ke ranjang, tanpa menyadari amarah yang perlahan menyala di dalam dada wanita yang menunggunya sejak seminggu yang lalu.Bruk!Sebuah bantal melayang tepat menghantam punggung Frans. Ia membalikkan badan dengan wajah kaget. “Apa-apaan sih kamu ini?”Elsa berdiri, mata sudah memerah, bahunya bergetar menahan amarah. “Aku sudah menunggu satu minggu. Kamu datang dan langsung tidur?! Seperti aku ini apa?!”Frans menghela napas dalam, menahan kesal. “Aku sudah sangat lelah, Elsa. Seminggu ini selalu bekerja lalu mendampingi Dea yang sakit… tubuhku nyaris rontok.”“Lelah karena menjaga istrimu yang tak berdaya itu lalu melepas kelelahan di sini?” sentak Elsa pedas.Frans menegang. Nada suara Elsa memicu bara
Begitu pintu kamar terbuka, aroma obat dan bunga segar memenuhi ruangan. Di atas ranjang mewah, Dea terbaring lemas. Wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya, dan tubuhnya begitu kurus hingga selimut tampak menggembung kosong. Tangannya lemah, terulur ke arah pria yang duduk di tepi ranjangnya. Perutnya terlihat tidak begitu besar untuk usia kandungan lima bulan.Tatapan Elsa bertemu dengan tatapan Pangeran Frans, pria itu terlihat sedikit terkejut, tetapi dia segera mengambil alih bubur dengan ekspresi datar seolah-olah Elsa hanyalah pelayan biasa.Dengan wajah cemas dan lembut yang belum pernah Elsa lihat sebelumnya, pangeran itu menyuapkan bubur dengan sendok kecil, sabar menunggu Dea membuka mulut.“Ayo, satu sendok lagi, Sayang… untuk bayi kita…” ucap Frans lirih, penuh kelembutan.Kalimat itu menusuk Elsa dengan tajam, karena dia merasa seharusnya dia yang berada di atas ranjang saat ini. Bayi dalam perutnya yang adalah keturunan asli dari Pangeran.Dea menggeleng pelan. “M
Satu minggu berlalu. Elsa semakin percaya diri. Dia kini berjalan dengan kepala tegak, bahkan berani menegur pelayan yang tidak merapikan vas bunga dengan benar. Membanting peralatan yang menganggu pandangannya sehingga beberapa pelayan semakin membencinya.“Kalau Pangeran melihat ini, kalian tahu akibatnya, kan?” bentaknya.Beberapa pelayan saling pandang dan bergumam, “Dia cuma pelayan biasa yang naik karena tidur dengan Tuan Pangeran. Tapi sombongnya minta ampun.”"Benar, lihat saja kalau tubuhnya sudah hancur dan tidak nikmat lagi, Pangeran pasti akan mencari yang lain."Elsa mendengarnya, tapi tak peduli. Ucapan itu baginya hanyalah bukti kalau dia berhasil naik. Cibiran adalah pertanda bahwa mereka iri. Lagipula, dia tidak butuh validasi dari pelayan rendahan. Tapi dia akan memikirkan cara agar Pangeran itu tetap jatuh ke dalam pelukannya karena itu adalah satu-satunya cara agar dia t
Elsa tentu tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah drastis hanya dalam satu malam. Sebelum malam itu, dia hanya pelayan biasa, salah satu dari puluhan gadis yang bekerja di posisi terendah. Tapi kini, di depannya terpampang sebuah kotak beludru merah, penuh dengan perhiasan yang membuat matanya nyaris keluar dari rongga.Kalung safir, gelang berlian, hingga cincin zamrud, Elsa mengelusnya dengan mata yang basah. Semuanya terlihat nyata. Dan di sebelah kotak itu, tersusun rapi pakaian-pakaian mahal dari butik ternama milik Pangeran Frans, gaun-gaun itu terbuat dari kain sutra lembut yang bahkan tak berani dia sentuh dulu.Belum lagi, tas penuh uang tunai yang diserahkan langsung oleh tangan kanan Pangeran Frans dengan kalimat yang sulit dia lupakan: “Atas pelayanan yang telah Anda berikan, Tuan memerintahkan kepada kami untuk mengantar semua ini."Elsa sempat terpaku. Lalu, seperti meledak dari dalam dirinya, taw
Frans bangkit, melangkah perlahan menuju ke pintu.Sebelum keluar, ia menoleh sejenak. “Terima kasih... karena tidak membuatku merasa sendirian. Kamu sudah melayaniku dengan baik. Saya akan memberikan kompensasi kepadamu.”Elsa mengangguk. “Tuan juga... telah membuat saya merasa hidup.”"Ini... adalah pertama kalinya bagiku,” ujar Elsa pelan, nyaris seperti bisikan.Frans hampir menyentuh kenop pintu ketika suara lirih itu terdengar dari balik punggungnya.Langkah Frans terhenti. Ia diam sejenak, lalu perlahan menoleh. Pandangannya jatuh pada seprai putih yang sedikit kusut dan tatapannya berhenti di sebuah noda samar yang tak bisa disangkal.Ia menatapnya beberapa detik, kaku. Lalu bahunya turun, dan dia menatap Elsa yang kini mendekap selimut hingga ke dagu.“Maaf... aku tidak tahu.” Suaranya nyaris seperti bisikan. Sebuah
Elsa tak tahu harus berkata apa. Tapi nalurinya membuatnya menutup pintu dengan pelan dan menunggu, mematung di tempat. Dia tahu sesuatu yang buruk mungkin terjadi, namun dia juga sadar tidak memiliki kuasa untuk menolak.“Kau tahu rasanya... mencintai seseorang, lalu ditolak setiap kali kau mencoba mendekat?” suara Frans terdengar getir. “Aku mencoba sabar. Aku ingin dia bahagia. Tapi bagaimana jika aku tak pernah cukup?”Elsa melangkah pelan, berpikir sejenak suara hatinya berbisik ragu. Dia mulai mengerti Pangeran itu sedang membicarakan istrinya. “Mungkin Nyonya Muda hanya takut... Tuan.”“Takut apa?” Frans menoleh, tatapannya menusuk. “Takut padaku? Aku suaminya.”“Takut... kehilangan dirinya sendiri,” jawab Elsa pelan. “Kadang, cinta pertama membuat seseorang membangun dinding terlalu tinggi.”
Pagi itu cahaya matahari menyelinap lembut ke dalam kamar, menyentuh pipi Dea yang pucat namun tenang. Frans duduk di sisi ranjang, mengusap rambutnya pelan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap wajah istrinya yang sedang tidur dengan begitu banyak pikiran berseliweran di kepalanya.Dea perlahan membuka mata, merasa jauh lebih baik dari kemarin. Mualnya telah berkurang, meski tubuhnya masih terasa berat.“Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanya Frans, suaranya lembut dan tenang.“Lebih baik,” jawab Dea lirih. Ia menatap Frans, lalu perlahan duduk bersandar. Ada jeda canggung di antara mereka, seperti ada sesuatu yang perlu dibicarakan, tapi keduanya ragu untuk memulainya.Frans menatapnya penuh harap. “Kalau begitu, kau bisa kembali menjalankan tugasmu sebagai istri, bukan?”Pertanyaan itu membuat Dea menunduk. Ia tahu Frans telah bersikap bai
“Tidak ada tanda-tanda penyakit serius. Tapi dia sangat kelelahan. Tekanan mental dan fisik bisa menyebabkan gangguan lambung. Aku menyarankan istirahat total dan makanan lembut.”"Dia sedang hamil muda dan masih memerlukan penyesuaian yang cukup berat. Pahami saja apa yang tidak dia inginkan dan hindari pemicu muntahnya."Frans mengangguk. “Terima kasih. Tinggalkan kami sebentar.”Saat semua keluar, Frans membenahi bantal Dea dan menyelimuti tubuhnya. Sentuhannya lembut dan penuh perhatian. Frans memberikan ciuman lembut di kening Dea. Mengelus rambutnya dengan lembut.“Sayang. Aku akan memanggil koki terbaik untuk menyiapkan bubur kesukaanmu. Dan jika kau tidak bisa tidur, aku akan membacakan buku, okey?”Dea menatap Frans dalam diam, matanya berkaca-kaca, bukan karena rasa haru, tapi karena bingung. Laki-laki ini... bisa sangat menekan, lalu mendadak begi