{Laporkan bahwa kartu itu hilang dan lakukan pencarian terhadap tersangka pencurian kartu.}
Beberapa menit kemudian, perintah itu dijalankan. Dea masih berdiri di depan meja kasir saat membayar biaya tambahan untuk ayahnya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara mesin EDC yang berbunyi nyaring.
"Maaf, kartu Anda ditolak," ujar petugas administrasi dengan ekspresi meminta maaf dan wajah penuh kecurigaan.
"Apa? Itu tidak mungkin," gumam Dea panik. Dia mengeluarkan kartu itu lagi dan mencobanya sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Kartu itu tidak dapat digunakan.
Panik mulai menjalari tubuhnya. Dia mencoba menghubungi Meisya, tetapi jawaban dari mesin penjawab membuatnya semakin putus asa.
Di saat yang sama, Meisya sedang berada di dalam pesawat ekonomi dan sedang berhadapan dengan beberapa hal yang membuatnya ingin muntah setiap saat.
"Maaf, Nona. Kartu ini telah dila
“Lapar, ya? Kamu mau susu, ya?” Yama mengendong sambil bergoyang-goyang, mencoba menenangkan. Tapi tubuh kecil itu terus merengek, menggeliat tak nyaman.Yama duduk, mencoba memberi susu formula dengan botol, tapi bayi itu menolak dan terus menangis. Tangisannya seperti memanggil seseorang—seseorang yang tak bisa hadir.“Ibumu... masih tidur, Nak,” bisik Yama, suaranya pecah. “Ayah juga ingin dia bangun. Ayah juga ingin dia peluk kamu. Tapi…”Matanya memerah. Tubuhnya menggigil karena rasa tidak berdaya.Tangis bayi tidak mereda.Akhirnya Yama memencet bel perawat dan berkata dengan suara lelah, “Aku… butuh ibu susu. Segera. Dia tak mau minum… dia butuh pelukan seorang ibu.”Beberapa hari kemudian…Dokter memanggil Yama ke ruangannya. Wajah sang dokter terli
Dan untuk pertama kalinya… Yama merasa seluruh dunia mencabut udara dari dadanya.Dia terduduk di lantai koridor rumah sakit.Diam.Gemetar.Tubuhnya menolak percaya bahwa semua ini nyata. Bahwa perempuan yang pagi tadi ia peluk penuh cinta… kini terbaring tak sadarkan diri, dengan perdarahan di otak.Air matanya jatuh tanpa suara. Bukan karena takut. Tapi karena penyesalan.“Maafkan aku…” bisiknya dalam isak tertahan. “Aku terlalu membiarkan emosi menguasai… dan sekarang kau membayar semuanya.”Beberapa jam kemudian, dokter keluar dari ruang observasi dengan wajah muram.Yama berdiri dengan cepat. “Bagaimana kondisinya?”Dokter melepas masker, menatap Yama dengan ragu. “Istri Anda mengalami benturan keras di bagian belakang kepala. CT scan menunjukkan ada pembuluh dara
Dea segera menghalangi Fatih untuk bertindak lebih. "Fatih, pergilah. Aku memilih untuk bersama Yama. Pergilah, Fatih. Kumohon."Fatih menatap Dea satu kali lagi, lalu perlahan berjalan mundur, keluar dari vila tanpa berkata apa-apa lagi. Dia sudah kalah karena Dea sudah memilih Yama dan mengusirnya. Tidak ada lagi tersisa tujuannya hadir di sana.Ketika pintu tertutup, Yama berdiri diam. Bahunya naik-turun karena emosi yang tertahan. Dea berjalan mendekat, menatap wajah Yama yang kini dihantam badai kecemburuan dan ketakutan kehilangan.“Yama… dengar aku dulu…”Namun Yama hanya menatapnya dalam diam, lalu berbisik lirih…“Kamu bilang kamu milikku. Tapi pelukan itu…?”"Apa yang kau inginkan, Dea? Apakah kamu masih menginginkan dia setelah semua yang kita alami?"Dea mundur satu langkah setelah menatap mata Yama yan
Ciuman itu bukan sekadar pelepas rindu. Tapi semacam pengakuan, bahwa cinta mereka belum mati. Hanya tertidur.Dan malam itu… cinta itu mulai terbangun.Dea merespons. Tidak lagi menolak. Tidak lagi kaku. Tubuhnya melemas dalam pelukan Yama, tangannya menyentuh dadanya yang hangat, dan napas mereka bersatu dalam irama yang sama.Saat mereka akhirnya melepas ciuman itu, Dea menunduk dengan wajah yang memerah. “Kamu masih bisa membuatku kehilangan akal.”Yama tertawa pelan, lalu menyentuhkan dahinya ke dahi Dea. “Itu baru permulaan.”“Jangan terburu-buru,” bisik Dea. “Aku masih belum boleh...”Yama menarik napas panjang, lalu memeluk istrinya lebih erat. “Aku akan bersabar. Tapi jangan terlalu lama… karena aku mencintaimu, Dea. Dan aku ingin mencintaimu setiap hari, dalam segala bentukmu, dalam setiap napasm
“Kamu tidak bisa lari,” bisik Yama sambil menatap istrinya yang tengah gelagapan."Satu tahun satu anak, prosesnya tiga kali sehari, bukan?"Dea memukul dada Yama dengan manja sekaligus kesal.“Setidaknya tunggu sampai aku sembuh betulan!”“Aku menunggu,” jawab Yama lembut. “Tapi tidak dengan sabar.”Dea kembali memukul pelan dada Yama. “Kamu… selalu bisa membuat orang jengkel!”Yama tertawa ringan, lalu membelai pipi Dea yang mulai memanas. “Tapi kamu tidak bisa menyangkal bahwa kamu suka aku seperti ini.”Dea menahan tawa, lalu menunduk. Ada perasaan bahagia yang perlahan tumbuh di dalam dadanya. Ucapan Yama tadi memang terdengar seenaknya, tapi di dalamnya tersembunyi satu hal yang selalu ia rindukan: harapan. Masa depan. Dan cinta."Aku sudah tidak tahan bila menatapmu seperti ini, Dea. Ini
Langit malam menggantung tenang di atas atap vila. Di luar, angin meniupkan dedaunan pelan, dan suasana hening menyelimuti seluruh sudut rumah. Vila itu tertidur dalam sunyi, seolah memberi ruang bagi cinta yang mulai tumbuh kembali di antara dua hati yang dulu pernah saling menyakiti.Di dalam kamar, Dea sudah lebih dulu terlelap, tubuhnya meringkuk dalam selimut tipis. Di sebelah tempat tidur, boks bayi berdiri tenang, putri kecil mereka pun ikut tertidur nyenyak, sesekali mengeluarkan suara lembut yang nyaris tak terdengar.Pintu kamar terbuka perlahan, hampir tanpa suara. Yama masuk, masih mengenakan kemeja yang sebagian besar kancingnya terbuka, dasinya tergantung longgar di leher. Wajahnya lelah. Mata memerah karena bekerja seharian, namun begitu matanya menangkap sosok Dea di atas ranjang, sebuah senyum kecil muncul.Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, melepas arloji dan ponsel tanpa suara, lalu berjalan pelan ke