Melihat reaksi bundanya, Zaki menghentikan makannya dan minum. "Udah, nanti aja makanannya Bun. Bun, kalo aku punya temen terus dia tukang selingkuh gimana?" Bundanya mengernyit, "Temen kamu ada yang suka selingkuh?"
Zaki menjelaskan situasinya pada bundanya. Bundanya memberikan pendapatnya, "Selingkuh kan perbuatan ga baik, nanti kalo nular sama anak Ibu gimana? Masih banyak orang baik yang bisa dijadikan teman." Zaki sedikit berpikir lalu mengangguk. "Temen kaya gitu dibuang aja, kalo cewe yang diselingkuhin sama temenku, aku wajar ga ngerasa bersalah, Bun?" Bundanya sedikit berpikir, "Bersalah gimana sayang? Kamu kan ga buat jahat sama cewe temenmu." Zaki menjelaskan perasaannya, "Cewe nya ga tau, Bun, kalo cowo nya selingkuh, dan ga Zaki kasih tau juga... Zaki kasian, Bun." Sekilas bundanya melihat Zaki terlihat murung saat menceritakan hal tersebut. Bundanya memberikan dukungan pada Zaki, "Ya udah, koko kasih tau aja, harus berani jangan sampe temen koko terus nyakitin dia." Mendengar dukungan Bunda, Zaki berpikir lagi. "Tapi gak tega, Bun, kalau nanti dia bunuh diri--" Ucapan Zaki terhenti saat Bunda mencomot bibir Zaki sampai tertutup rapat. Bibirnya dijadikan bibir bebek. "Jangan ngomong gitu, amit-amit, positif thinking dong," ucap Bunda dan melepaskan tangannya. Menerima comotan dari tangan Bunda membuat Zaki bad mood. "Nanti aja ah, Zaki pikirin. Tuh tangan Bunda bau body lotion, udah Zaki mau lanjut makan." Bunda terkekeh kecil. "Maaf, Bunda refleks, sayang." Zaki membaringkan tubuhnya, hatinya sedikit gelisah. Membuka aplikasi W******p dan mengetik pesan, Zaki mengirim sebuah pesan teks pada Kania, mengajaknya bertemu besok untuk mengatakan sesuatu. Keesokan harinya, Zaki sudah siap dengan stelannya. Hanya beberapa langkah lagi dia sampai di tempat itu. Zaki melihat Kania sedang berdiri melihat danau cantik di hadapannya. Zaki berjalan mendekat dan menyapa Kania. "Hi, lo sudah lama sampai sini?" Tanya Zaki pada Kania. Namun, saat Zaki melihat ekspresi Kania, dia sudah tahu jawabannya. "Sorry ya, tadi gue--" "Gak apa-apa, lo mau ngomong apa, Ki? Langsung aja," ucap Kania menyelip ucapan Zaki. Mendengar itu, Zaki merasa grogi. "Ini gue kasih tahu sekarang atau lain kali..." pikir Zaki, membuat Kania menunggu. "Heh, kok diam aja?" Zaki menatap Kania dengan grogi dan cemas. Kania menghela napas. "Kalau lo gak mau ngomong-ngomong, gue mau pergi. Gue mau lihat event, keburu telat." Zaki menatap Kania dan berkata dalam hatinya. "Pantes dandan cantik banget, ternyata dia ada tujuan datang ke tempat lain." "Ya udah, gue ikut, yo," ucap Zaki sambil tersenyum ke arah Kania. "Katanya mau ngomong sesuatu?" Tanya Kania bingung. Zaki malah mendorong tubuh Kania dari belakang untuk segera pergi. "Yo, ke event," ucap Zaki. Saat Kania mencoba meminta penjelasan, dia hanya sekedar memberikan senyuman. ... Akhirnya mereka pun sampai di mall tempat event berlangsung. Sedari SMP, Kania adalah penggemar figure action. Dan sialnya, ini adalah untuk ketiga kalinya Zaki kehilangan Kania. "Di mana sih... cape banget, duduk dulu kali ya. Biarin aja tuh bocah ilang," Zaki terlihat kewalahan, wajahnya sampai berkeringat. Atmosfernya juga tak enak karena berdesakan. "Haduh, haus banget..." Zaki berjalan ke arah kedai minum dengan berjalan lunglai. Tak lama kemudian, "Mantap dah, ke-charge lagi nih. Tinggal nyari anak hilang." Zaki berjalan dengan langkah besar dan percaya diri dengan energi dari minuman teh susu yang habis ia minum. Zaki berjalan ke arah toilet karena di sana tidak terlalu ramai dengan pengunjungnya. "Kania, where are you? Mana sih, jangan-jangan ditangkap anomali tung-tung." Zaki ngawur berbicara sendiri. Tak lama kemudian, langkah Zaki terhenti saat melihat Kania sendiri di tempat yang tidak banyak orang lewat. Ia tahu persis stelan yang dipakai Kania tadi. Zaki berjalan pelan mendekati Kania yang berjongkok. Zaki ikut berjongkok melihat keadaannya. "Kenapa?" Tanya Zaki dengan nada cemas. Kania menggeleng dengan tatapan kosong. Zaki melihat mata Kania yang bengkak dan pipinya yang basah bekas air mata. "Heh, lo kenapa?" Zaki menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahnya. Zaki menghela napas dengan lembut, Zaki menepuk bahu Kania beberapa kali. "Berdiri dulu..." Zaki pun memapah Kania untuk duduk di bangku. Setelah itu, Kania belum berkata satu patah kata pun, membuat Zaki merasa bingung. Kemudian dia menyerahkan minuman teh susu pada Kania. "Minum, jangan nangis terus." Kania menerima dengan gerakan pelan dan lemas. "Makasi," ucapnya dengan suara serak. Zaki tidak akan menanyakan kenapa Kania nangis agar dia tidak merasa tertekan. "Lo masih mau di sini atau pulang?" Kania terlihat lesu. "Pulang aja, Ki. Aku udah cape." Zaki berdiri dari duduknya. "Yaudah, gue anter lu cuci muka dulu. Mata lo nanti perih lagi," ucapnya sambil memegang pergelangan tangan Kania lembut. Kania sedikit terharu karena Zaki baik sekali. Dia berjalan ke dalam toilet dan mencuci mukanya. Saat pertama kali melihat wajahnya, ia syok saat melihat wajah yang bengkak dan jelek. "Ya ampun, malah kayak popo Barbie," gumam Kania dengan suara serak. Dia merasa malu dengan wajah yang seperti ini dan dilihat oleh Zaki sedari tadi. Kania selesai mencuci muka dan hendak berjalan pergi dari toilet bersama Zaki. Namun, tiba-tiba Kania berbalik badan mencoba menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat oleh Galang dan Saskia. Awalnya Zaki merasa kebingungan dan heran. Namun, saat Zaki menyadari hal itu, dia segera memeluk Kania dan menyembunyikan wajahnya di tengkuk Kania agar wajahnya juga tidak terlihat oleh mereka. Terlihat Saskia dan Galang masuk ke toilet bersamaan. Zaki sekarang tahu alasan kenapa Kania menangis sedari tadi. Ternyata sebelum dia memberi tahu tentang perselingkuhan itu, Kania sudah melihatnya lebih awal. Perasaan kesal muncul dan mulai memuncak, membuat Zaki tanpa sadar mengeratkan pelukannya. Selang beberapa detik, Galang dan Saskia pergi. Zaki pun menghela napas dan melepaskan pelukannya. "Oh no, she is crying again," ucap Zaki dalam hati. "Jadi ini alasan kamu nangis, emang brengsek si Galang. Kania jujur gue malu pernah temenan sama orang bajingan kaya dia." "Sekarang jangan nangis lagi, oke? Ayo pulang." Zaki berjalan pelan menjauh dari toilet, tapi Kania tak mengikutinya dan hanya tersedu-sedu di tempat. Membuat Zaki mengeluarkan jari tengah pada sembarang orang. Dalam hati Zaki berkata, "Kenapa harus terjadi padaku? Dasar Galang sialan tukang menyakiti wanita! Jadi gue kan yang repot." Zaki menghampiri Kania dan menghela napas pelan. "Ayo," ajaknya baik-baik. Kania tetap diam di tempat sambil terisak-isak. "Ayo pulang, tadi katanya mau pulang?" "Krik krik... "Gue tinggal juga lo!" Zaki tak sengaja meninggikan suaranya, dan itu semakin memperburuk keadaan, membuat Zaki meringis lelah. Zaki memegang pergelangan tangan Kania, lebih tepatnya pada kain baju yang ada di pergelangan tangannya. Zaki adalah gentleman. Zaki menariknya, tapi Kania tak kunjung ikut, dia masih mematung. Zaki melepaskan tarikannya. Dia akhirnya melampiaskan amarahnya dengan menghela napas tepat di telinga Kania dan di wajahnya. Kania tidak bisa bernapas dengan baik, mendongakkan wajahnya dan melihat Zaki. "Lo ngapain, hiks?" Sekarang Zaki lah yang mulai ingin menangis, tapi ada sebuah pepatah bahwa pria tidak menangis. "Ih, gak tau ah, gue pulang aja." Zaki pergi dari hadapan Kania dengan langkah yang di hentak-hentakkan. Kania berhenti menangis dan mengelap wajahnya dengan tisu. Kania pikir Zaki sudah benar-benar pergi meninggalkannya karena Zaki sudah tidak terlihat. Tapi Kania tidak sengaja melihat wajahnya yang terpantul di kaca yang berada di samping Kania, membuat Kania terkekeh dalam hati. Ternyata lelaki itu sedang memantaunya di balik rak figure action. Kania terlihat berjalan mendekat ke arah rak dan berkata, "Zaki sama si Galang sama aja, sama-sama jahat, hiks." Ucapnya dengan sengaja menyamakan Zaki agar terdengar olehnya. Zaki yang mendengarnya hampir tersedak dengan hoax menyakitkan. "Heh, anak durjanah!" Sentak Zaki yang berada di belakang Kania dengan wajah konyol. Kania berbalik. "Eh, ada Zaki, katanya tadi mau pulang." Ucap Kania tidak tahu malu. Zaki memalingkan wajahnya kesal dan berjalan meninggalkan Kania begitu saja. Tapi Kania malah berjalan cepat menghampiri. "Gitu aja marah, sensi banget kayak ladyboy, haha." Ejek Kania. Awalnya Zaki merasa kesal dengan ejekannya, tapi lama-lama melihat Kania tersenyum dan terlihat lebih baik daripada tadi, dia mulai menikmati ejekannya dengan suka rela. Dua hari kemudian, para siswa/i SMA Negeri 1 Bandung sudah kembali sekolah seperti biasa. Bel istirahat sudah berbunyi, membuat Kania menghela napas.Kania menunduk sedikit, mendekatinya. Jemari lentiknya dengan hati-hati menyentuh rahang Arya, membuat pria itu menarik napas berat."Aku bisa bantu kamu," bisiknya. "Tapi kau harus membayar harga itu."Suara Kania bergetar samar, tapi sorot matanya menunjukkan tekad.Arya terpaku. Sekejap, ia menarik Kania kembali ke pangkuannya, dan sebelum Kania sempat berkata apa-apa, bibirnya sudah dicuri Arya—singkat, mengejutkan, namun penuh gejolak yang tak tertahan.Kania terhenyak, matanya membesar."Kau akan jadi milikku." bisik Arya tepat di telinganya, dengan nada rendah dan dalam.---Suara decitan ban mobil disusul benturan keras terdengar memecah suasana. "Brak!" Shelli terkejut, spontan menginjak rem. Matanya membelalak panik. “Gawat, aku menabrak seseorang…” gumamnya dengan suara gemetar, lalu menyembulkan kepala ke luar jendela. Tanpa pikir panjang, diliputi rasa takut dan ego, Shelli memilih kabur. Ia langsung tancap gas, meninggalkan lokasi kejadian.Tak disadari Shelli, aksi tab
Arya perlahan melepaskan cengkeramannya dari leher Shelli, menatap ke arah Kania yang masih berdiri terpaku. Kemarahannya tidak mereda — justru semakin membara.Tanpa berkata apa-apa, Arya berjalan cepat ke arah Kania. "Kenapa kau ada di tempat ini?!" tanyanya tajam dan penuh tekanan.Kania, yang masih terkejut, menatap Arya bingung. "Aku… aku cuma mengantar pesanan makanan,"ucapnya gugup, mencoba memahami situasi dirinya saat ini.Tangan Arya langsung meraih pergelangan tangan Kania dan menariknya menjauh dari lorong. "Hei! Lepaskan aku!" protes Kania, namun Arya tidak peduli.Tanpa menjelaskan apa-apa, Arya menyeret Kania ke sebuah kamar tamu VIP yang kosong di ujung lorong. Pintu terbuka dan keduanya masuk ke dalam — meninggalkan Shelli yang terpaku dengan wajah masam, dan lorong yang mulai terasa lebih dingin dari sebelumnya."Kau sangat beruntung!" Sahut Shelli dengan penuh amarah. Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan diri agar tidak bertindak lebih jauh. Namun, pikiran
Setelah 1 jam berlalu Shelli akhirnya mulai merasa sangat bosan hanya berdiam diri di ruang medis. Ia akhirnya memilih keluar dan berjalan menuju kantin. Di lorong, ia tak sengaja berpapasan dengan Liam. Namun, Liam hanya memandangnya sekilas dengan tatapan acuh dan melanjutkan langkah. Shelli memperhatikan Liam yang menerima telepon beberapa langkah darinya. Telinganya menangkap sepenggal kalimat, _"Laporan kesehatan Kania akan sampai lima menit lagi, ada kendala teknis sedikit."_ Shelli refleks menutup mulutnya dengan tangan. “Kania? Kenapa harus Kania lagi…” gumamnya kesal. Tanpa pikir panjang, Shelli bergegas keluar kantor dan menunggu di depan gedung. Lima menit kemudian, sebuah motor berhenti di pelataran. Seorang kurir turun dengan membawa amplop cokelat di tangannya. Shelli segera menghampirinya. “Permisi, apa Anda mengantarkan dokumen data kesehatan atas nama Kania?” Kurir itu mengangguk. “Iya, saya diminta menyerahkannya langsung ke Pak Arya.” Shelli berpura-pura te
Arya mengepalkan tangannya. Perasaannya belum sepenuhnya tersampaikan, namun Kania sudah pergi dengan sikap acuh. Dengan berat hati, Arya meninggalkan apartemen itu.Sesampainya di mobil, Arya menutup pintu dengan keras. Ia menghela napas panjang, lalu memukul setir mobilnya dengan frustasi.“Shelli... kau benar-benar harus diberi pelajaran!” geramnya sambil melajukan mobil dan menghilang di tengah lalu lintas kota.---*Keesokan harinya, di kantor Arya.*Arya memanggil Liam ke ruangannya dan memerintah dengan nada tegas, “Berikan semua pekerjaan Kania yang tertunda... kepada Shelli.”Liam hanya mengangguk singkat sebelum keluar dari ruangan dan menjalankan perintah atasannya.Tak lama, Shelli duduk di meja kerjanya dan terperanjat saat melihat setumpuk dokumen desain dengan nama Kania. Ia mengerutkan kening, lalu berdiri dengan wajah kesal. “Apa-apaan ini?!” serunya sambil menunjuk berkas-berkas itu, lalu menatap Liam tajam. “Aku nggak mau ngerjain ini!”Liam tersenyum tipis, tenang
Sebelum Shelli sempat melakukan hal yang sama, pintu lift terbuka, menandakan bahwa mereka sudah sampai. Para karyawan lainnya berbondong-bondong keluar, begitu juga Arya yang segera berjalan cepat, meninggalkan Shelli tanpa peduli padanya. Shelli berdiri terpaku sejenak, lalu segera mengikuti langkah Arya.Setibanya di luar, Arya masuk ke dalam mobil dengan langkah cepat, tampak jelas sekali sedang tidak ingin diganggu. Shelli mengikutinya dan duduk di kursi belakang, lalu Arya duduk di kursi depan tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Tiba-tiba, suara Arya memecah keheningan. "Tadi kau sengaja melakukan itu?" tanya Arya dengan nada datar, suaranya sedikit terdengar jengkel, namun dia masih fokus pada ponselnya.Shelli pura-pura tidak mengerti dan menyembunyikan senyum liciknya. "Melakukan apa? Maksud Anda, saat saya tidak meminta izin pada Anda?" jawabnya, berusaha terdengar polos.Arya mendengus dan hampir tidak sabar menjawab, "Kau jelas-jelas--"Namun, ucapan Arya terputus
Arya melangkahkan kakinya meninggalkan apartemen. Kania, yang masih berada di lantai atas, penasaran dan mengintip ke luar dari balkon. "Jadi dia masih berhubungan dengan Shelli, ya?" gumam Kania dalam hati, sedikit cemburu meski dirinya sendiri tidak yakin mengapa perasaan itu muncul. *Aku mengharapkan apa sih?* pikir Kania, mencoba menenangkan dirinya. Setelah itu, Kania masuk kembali ke kamar, meski perasaannya sedikit terganggu.Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar, mengalihkan perhatian Kania. Dia turun dari lantai atas untuk melihat siapa yang datang.Ternyata para pelayan sudah datang. "Nyonya, kami menerima perintah untuk membereskan buah-buahan," ucap salah satu pelayan.Kania menatap mereka dengan sedikit bingung. "Arya yang menyuruhnya?" tanya Kania, merasa sedikit cemas.Mereka mengangguk serentak. "Betul, Nyonya," jawab salah satu pelayan."Baiklah, masuklah. Bereskan semuanya, dan jika kalian ingin mengambil beberapa, silakan," kata Kania sambil membuka pintu