Besoknya di sekolah, Kania tak sengaja berpapasan dengan Zaki di kantin. Kania ingat bahwa Zaki meminta semangkuk bakso sebagai ucapan terima kasih.
"Nih bakso lu," Kania meletakkan baksonya di hadapan Zaki, dan Zaki menerimanya dengan senang hati. "Thanks ya," Zaki sengaja tersenyum begitu ramah ke arah Kania di depan Galang. Dalam sekilas, Zaki melihat ekspresi wajah Galang yang berubah. "Ay sini," pinta Galang pada Kania agar duduk di sampingnya, dan Kania pun menghampiri dengan sumringah. "Kamu napa ngasih itu?" Bisik Galang mempertanyakan interaksi dengan Zaki. Kania berbisik pada Galang, "Aku traktir karena kemarin dia anter aku pulang pas hujan, itu aja kok sayang." Bisiknya dan memberikan senyum manis. "Oke," Galang mengangguk sambil melihat Zaki yang menyantap semangkuk baksonya dengan nikmat. Selang beberapa menit, Zaki sudah menghabiskan baksonya dan tak sengaja melihat Saskia yang melewati mejanya. "Eh, Sas!" Panggil Zaki. Saskia berhenti dengan bingung. "Kenapa?" Zaki tersenyum smirk. "Sini lah gabung sekali-kali biar akrab, kan kita sekelas, ya ga, Hes?" Zaki menyenggol tangan Mahesa. "Yoi sini gabung, Sas." Saskia dengan canggung duduk di samping Mahesa tepat berhadapan dengan Galang. Galang terlihat tidak nyaman dengan situasinya, membuat Mahesa dan Zaki merasa puas. "Eh, kemarin gue ga sengaja liat lo deh, Sas, di cafe sama cowo, pacar lo ya?"Tanya Mahesa dengan wajah polos andalan nya. "Beneran, Hes? Dih ga bilang-bilang kalo lo dah punya pacar! Sas." ucap Zaki menambah kan. Saskia menatap Galang sekilas. "Oh... iya, dia pacar aku kita lagi ketemuan, emang harus ngasih tau lu zak?" Tanya Saskia sambil menatap ke arah Zaki. "Iya dong, gue kan salah satu cowo terganteng di sekolah ini, seharusnya lo ngefans ke gue aja, sih" mendengar ucapan Zaki yang amat narsis membuat teman semeja merasa mual. "Narsis banget, anjir, bikin ga nafsu!" ucap Mahesa menatap Zaki dengan mata sipitnya. "Kalo mau nafsu jangan sama gue, sama janda deket gang rumah lo tuh" ucap Zaki menimpali, membuat Kania terkekeh mendengarnya. bell pulang sudah lama berbunyi kini Kania sedang berjalan di koridor sekolah sambil membawa setumpuk buku untuk ia simpan ke perpustakaan. Kania berjalan dengan pelan agar bukunya tetap aman. Namun, tanpa ia sangka, tali sepatunya lepas hingga talinya terinjak oleh kaki kirinya. Bruk! Di koridor yang sepi, Kania terjatuh, lututnya terbentur keras ke lantai. "Aduh..." Di sisi lain, Zaki berjalan santai untuk pergi ke toilet. Saat dalam perjalanan, ia tak sengaja melihat Kania tersungkur. "Kania?" Zaki berjalan cepat menghampiri gadis itu. "Kenapa bisa jatuh? Sini gue bantu," Zaki membantu Kania untuk bangun. "A-aduh... lutut gue," Kania meringis karena lutut kaki kanannya sangat sakit. Zaki keheranan dan menundukkan kepalanya lenih dekat melihat lutut Kania yang mulai berdarah karena luka kulitnya mengelupas. "Eh... ini harus cepet-cepet ke UKS," Zaki menatap Kania dengan wajah risau. Zaki segera mengambil tas dan buku-buku tadi. dengan cekatan Zaki berjongkok. "Gue gendong, cepetan." Kania menatap punggung lebar milik Zaki. Sekilas Kania takut Galang melihatnya dan salah paham, tapi ini sudah lewat jam pulang, Galang pasti sudah pulang sedari tadi, pikir Kania. Lalu dia naik ke gendongan Zaki. "Berat ga, Zak?" Tanya Kania tak enak. "pertama Jangan banyak gerak, darahnya jadi kemana-mana. Kurus ke ikan tawes gini aja, mana ada berat?" Kania merasa ingin menonjok kepala Zaki, tapi ia urungkan karena lelaki yang menyebalkan ini baik terhadapnya. Sesampainya di UKS, Zaki mendudukkan Kania ke atas ranjang pasien dan meletakkan tas dan buku tadi. Zaki mencari petugas UKS tapi tidak menemukan mereka. "Kania, petugasnya sudah pada pulang. Kalau gue yang obatin boleh, gak?" Ucap Zaki meminta izin. Kania mengizinkan, dan Zaki pun mulai mencari kotak pertolongan pertama. Zaki membersihkan luka dengan kapas. Awalnya tidak terasa sakit, tapi saat Zaki mengoleskan obat merah, Kania mulai meringis. "Pelan-pelan dong, Ki," tegur Kania. Membuat Zaki mencoba dengan pelan, tapi dia benar-benar tidak bisa. "Perasaan ini sudah paling pelan, sampai kayak gak nyentuh nih kapas," ucap Zaki dalam hatinya sambil menatap luka di lutut Kania. Setelah pengobatannya selesai, Zaki membantu Kania menyimpan buku itu ke perpustakaan dan kembali ke UKS untuk menjemput Kania. "Kania, lo mau balik sama siapa? Orang tua lo jemput ke sini?" Kania menggeleng. "Gak, mereka lagi di luar kota, Ki. Gak bisa jemput. Gue pulang sendiri aja naik bus." "Bus? Kaki lo yang ada tambah parah. Pakai taksi aja," Zaki memapah Kania untuk duduk di bangku panjang. Zaki berjalan ke sisi trotoar untuk menghentikan salah satu taksi. Kania menatap Zaki. "Zaki baik banget dah," gumam Kania. ... Zaki terlihat effort sampai membuat Kania khawatir saat Zaki lalai. Beberapa kendaraan yang lewat dan takut menyerempet Zaki. "Hati-hati, Ki!" Teriak Kania. Tak lama kemudian, taksi berhenti dan Zaki meminta pada sang sopir untuk mengantar temannya sampai ke rumah dengan selamat. Zaki membantu Kania untuk masuk ke mobil. Kania menatap Zaki dari dalam mobil, "Zaki, makasih ya. Gue pulang dulu, bye." Pamitan Kania lalu mobil taksi yang dikendarai pun mulai melaju pergi dari sana. Zaki kembali ke kelas untuk mengambil tasnya. Baru saja ia ingin membuka pintu kelas, langkahnya terhenti mendengar obrolan dua orang yang ia kenal. Saskia berkata, "Tangan ku pegal-pegal nyatet nya banyak banget." Galang menjawab, "Nanti ku pijitin, mau langsung pulang sekarang?" Obrolan itu terus berlanjut sampai Saskia memeluk Galang. spontan Zaki memfoto mereka dan merekam secara diam-diam. Zaki mengurungkan niat nya untuk mengambil tas nya dan pergi pulang begitu saja. dirumah Zaki terlihat fresh dengan kaus hitam yang melekat pada tubuhnya yang ramping. Zaki membaringkan tubuhnya di atas sofa dan memutar rekaman yang ia ambil di sekolah. Suara Saskia terdengar jelas"Aku sayang banget sama kamu, Lang. Aku ga rela kalo kamu sama si Kania kapan kamu putusin dia?" Galang menjawab, "Aku bakal pikirin lagi caranya, kamu jangan khawatir, sayang. Yang aku cinta cuma kamu di hati aku." Saskia dan Galang terlihat mesra, namun di mata Zaki mereka berdua terlihat menjijikkan seperti tai kucing peliharaan omanya. Zaki ikut merasa kesal pada mereka walaupun Zaki tidak ada sangkut pautnya. "Gue lempar juga lama-lama lo berdua," ucap Zaki dengan greget. Zaki terlihat berpikir sebentar lalu memutuskan untuk tidak memberitahu Kania tentang perselingkuhan Galang. Namun, Zaki merasa tidak tega jika Kania tidak mengetahuinya. "Kasih tau ga ya si Kania? Ini bukan urusan gue, gue ga ada hak buat ikut campur, tapi kalo ini..." Zaki tidak meneruskan ucapannya. Zaki terlalu frustrasi dengan pikirannya dan pergi keluar kamar. "Bun!" Panggil Zaki pada bundanya yang sedang duduk di sofa ruang tamu sambil menonton TV. "Apa?" Jawab bundanya santai. Zaki menghampiri bundanya dengan wajah lesu. "Laper, mau mam, ada lauk ga?" Tanya Zaki. Bundanya tersenyum, "Ada sayang, sana makan udah mama siapin lauknya ada di lemari." Zaki segera pergi ke dapur, tak lama kemudian Zaki menghampiri bundanya dengan sepiring nasi dan beberapa lauk. "Kenapa ga di dapur makanannya?" Tanya bundanya saat melihat Zaki membawa sepiring makanannya dan duduk di sampingnya. "Ada yang mau Zaki omongin sama Bunda," ucap Zaki sambil memakan makanannya. Bundanya mengangguk, "Ya udah, koko selesain dulu makanannya." Zaki menggeleng, "Enggak Bun, langsung aja." Zaki berbicara sambil mengunyah makanannya membuat bundanya menatapnya dengan tatapan seribu arti. bersambung...Kania menunduk sedikit, mendekatinya. Jemari lentiknya dengan hati-hati menyentuh rahang Arya, membuat pria itu menarik napas berat."Aku bisa bantu kamu," bisiknya. "Tapi kau harus membayar harga itu."Suara Kania bergetar samar, tapi sorot matanya menunjukkan tekad.Arya terpaku. Sekejap, ia menarik Kania kembali ke pangkuannya, dan sebelum Kania sempat berkata apa-apa, bibirnya sudah dicuri Arya—singkat, mengejutkan, namun penuh gejolak yang tak tertahan.Kania terhenyak, matanya membesar."Kau akan jadi milikku." bisik Arya tepat di telinganya, dengan nada rendah dan dalam.---Suara decitan ban mobil disusul benturan keras terdengar memecah suasana. "Brak!" Shelli terkejut, spontan menginjak rem. Matanya membelalak panik. “Gawat, aku menabrak seseorang…” gumamnya dengan suara gemetar, lalu menyembulkan kepala ke luar jendela. Tanpa pikir panjang, diliputi rasa takut dan ego, Shelli memilih kabur. Ia langsung tancap gas, meninggalkan lokasi kejadian.Tak disadari Shelli, aksi tab
Arya perlahan melepaskan cengkeramannya dari leher Shelli, menatap ke arah Kania yang masih berdiri terpaku. Kemarahannya tidak mereda — justru semakin membara.Tanpa berkata apa-apa, Arya berjalan cepat ke arah Kania. "Kenapa kau ada di tempat ini?!" tanyanya tajam dan penuh tekanan.Kania, yang masih terkejut, menatap Arya bingung. "Aku… aku cuma mengantar pesanan makanan,"ucapnya gugup, mencoba memahami situasi dirinya saat ini.Tangan Arya langsung meraih pergelangan tangan Kania dan menariknya menjauh dari lorong. "Hei! Lepaskan aku!" protes Kania, namun Arya tidak peduli.Tanpa menjelaskan apa-apa, Arya menyeret Kania ke sebuah kamar tamu VIP yang kosong di ujung lorong. Pintu terbuka dan keduanya masuk ke dalam — meninggalkan Shelli yang terpaku dengan wajah masam, dan lorong yang mulai terasa lebih dingin dari sebelumnya."Kau sangat beruntung!" Sahut Shelli dengan penuh amarah. Ia mengepalkan tangannya, berusaha menahan diri agar tidak bertindak lebih jauh. Namun, pikiran
Setelah 1 jam berlalu Shelli akhirnya mulai merasa sangat bosan hanya berdiam diri di ruang medis. Ia akhirnya memilih keluar dan berjalan menuju kantin. Di lorong, ia tak sengaja berpapasan dengan Liam. Namun, Liam hanya memandangnya sekilas dengan tatapan acuh dan melanjutkan langkah. Shelli memperhatikan Liam yang menerima telepon beberapa langkah darinya. Telinganya menangkap sepenggal kalimat, _"Laporan kesehatan Kania akan sampai lima menit lagi, ada kendala teknis sedikit."_ Shelli refleks menutup mulutnya dengan tangan. “Kania? Kenapa harus Kania lagi…” gumamnya kesal. Tanpa pikir panjang, Shelli bergegas keluar kantor dan menunggu di depan gedung. Lima menit kemudian, sebuah motor berhenti di pelataran. Seorang kurir turun dengan membawa amplop cokelat di tangannya. Shelli segera menghampirinya. “Permisi, apa Anda mengantarkan dokumen data kesehatan atas nama Kania?” Kurir itu mengangguk. “Iya, saya diminta menyerahkannya langsung ke Pak Arya.” Shelli berpura-pura te
Arya mengepalkan tangannya. Perasaannya belum sepenuhnya tersampaikan, namun Kania sudah pergi dengan sikap acuh. Dengan berat hati, Arya meninggalkan apartemen itu.Sesampainya di mobil, Arya menutup pintu dengan keras. Ia menghela napas panjang, lalu memukul setir mobilnya dengan frustasi.“Shelli... kau benar-benar harus diberi pelajaran!” geramnya sambil melajukan mobil dan menghilang di tengah lalu lintas kota.---*Keesokan harinya, di kantor Arya.*Arya memanggil Liam ke ruangannya dan memerintah dengan nada tegas, “Berikan semua pekerjaan Kania yang tertunda... kepada Shelli.”Liam hanya mengangguk singkat sebelum keluar dari ruangan dan menjalankan perintah atasannya.Tak lama, Shelli duduk di meja kerjanya dan terperanjat saat melihat setumpuk dokumen desain dengan nama Kania. Ia mengerutkan kening, lalu berdiri dengan wajah kesal. “Apa-apaan ini?!” serunya sambil menunjuk berkas-berkas itu, lalu menatap Liam tajam. “Aku nggak mau ngerjain ini!”Liam tersenyum tipis, tenang
Sebelum Shelli sempat melakukan hal yang sama, pintu lift terbuka, menandakan bahwa mereka sudah sampai. Para karyawan lainnya berbondong-bondong keluar, begitu juga Arya yang segera berjalan cepat, meninggalkan Shelli tanpa peduli padanya. Shelli berdiri terpaku sejenak, lalu segera mengikuti langkah Arya.Setibanya di luar, Arya masuk ke dalam mobil dengan langkah cepat, tampak jelas sekali sedang tidak ingin diganggu. Shelli mengikutinya dan duduk di kursi belakang, lalu Arya duduk di kursi depan tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.Tiba-tiba, suara Arya memecah keheningan. "Tadi kau sengaja melakukan itu?" tanya Arya dengan nada datar, suaranya sedikit terdengar jengkel, namun dia masih fokus pada ponselnya.Shelli pura-pura tidak mengerti dan menyembunyikan senyum liciknya. "Melakukan apa? Maksud Anda, saat saya tidak meminta izin pada Anda?" jawabnya, berusaha terdengar polos.Arya mendengus dan hampir tidak sabar menjawab, "Kau jelas-jelas--"Namun, ucapan Arya terputus
Arya melangkahkan kakinya meninggalkan apartemen. Kania, yang masih berada di lantai atas, penasaran dan mengintip ke luar dari balkon. "Jadi dia masih berhubungan dengan Shelli, ya?" gumam Kania dalam hati, sedikit cemburu meski dirinya sendiri tidak yakin mengapa perasaan itu muncul. *Aku mengharapkan apa sih?* pikir Kania, mencoba menenangkan dirinya. Setelah itu, Kania masuk kembali ke kamar, meski perasaannya sedikit terganggu.Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar, mengalihkan perhatian Kania. Dia turun dari lantai atas untuk melihat siapa yang datang.Ternyata para pelayan sudah datang. "Nyonya, kami menerima perintah untuk membereskan buah-buahan," ucap salah satu pelayan.Kania menatap mereka dengan sedikit bingung. "Arya yang menyuruhnya?" tanya Kania, merasa sedikit cemas.Mereka mengangguk serentak. "Betul, Nyonya," jawab salah satu pelayan."Baiklah, masuklah. Bereskan semuanya, dan jika kalian ingin mengambil beberapa, silakan," kata Kania sambil membuka pintu