“Dewi, kau merahasiakan sesuatu dariku,” ujar Nyonya Burhan tegas, sorot matanya tajam menatapku.
Dia mengatakan itu dengan dua tangan bersilang di depan dada, punggung tegak dan tatapan matanya seperti berusaha menusuk masuk menembus kepalaku.
'Aku punya hak untuk menyembunyikan rahasia darimu.
Seingatku waktu kita sepakat supaya aku tinggal di rumah ini, tidak ada perjanjian yang mengharuskan aku melaporkan semuanya padamu.' Dalam hati aku menjawabnya seketus itu.
Namun aku tak tega hendak mengucapkannya.
Aku hanya menghela nafas panjang-panjang untuk melonggarkan dada yang terasa mau meledak.
“Tante, aku beran
Mata Nyonya Burhan menatap layar TV lekat-lekat. Tangan dan mulutnya bergerak tanpa henti, mengambil dan mengunyah popcorn yang aku beli dalam perjalanan pulang. Sesekali dia berseru melepaskan emosi.Aku sudah tahu apa yang akan ditayangkan, karena aku jadi bagian dari tim produksi yang menyiapkan episode Shana Devi malam ini.Jadi buatku tayangan malam ini, tidak semenarik memperhatikan reaksi Nyonya Burhan saat menontonnya. Setiap kali aku melihat Nyonya Burhan bereaksi dengan penuh emosi, hatiku jadi mengembang oleh rasa bangga. Tidak heran, video yang merekam reaksi orang menonton sesuatu bisa jadi konsumsi yang laris dilahap oleh netizen.Ketika akhirnya tayangan itu berakhir, Nyonya Burhan menatapku seakan baru saja mengenalku untuk pertama kalinya.“Itu sem
Sejak percakapanku dengan Nyonya Burhan malam itu, aku jadi lebih waspada pada gejolak hatiku sendiri.Kenyataan bahwa aku bisa jatuh cinta pada seseorang yang kemungkinan terlibat dalam tindakan kriminal berat, membuat aku mencemaskan akal sehatku sendiri. Biasanya aku cukup bangga dengan akal sehatku, tapi tidak kali ini. Kutilik dari berbagai sudut pandang, aku tidak melihat pilihan yang lebih baik daripada pilihan untuk melaporkan keberadaan Harvey ke Mas Khosali.Masalahnya hatiku menolak untuk melakukan hal itu.Benar-benar keras kepala dia ini, aku sudah berargumen macam-macam, tapi hatiku tetap berkata agar aku percaya pada laki-laki misterius itu.Dia juga pandai berargumen, misalnya tentang pertarungan kami malam itu. Faktanya dia jauh lebih kuat dariku, jika d
“Apa Pak Johan bisa memberi saya waktu untuk menyelidiki lebih jauh tentang pria yang menyamar itu?” tanyaku berharap.“Tidak.” Pak Johan menjawab dengan pendek dan tegas.Aku menghela nafas, kalah, “Baiklah Pak, kalau begitu saya memilih melanjutkan penyelidikan saya dalam kasus ini, lewat medali batu itu.”Pak Johan tersenyum, terlihat puas dengan jawabanku itu, “Bagus, dalam waktu satu minggu aku berharap mendengar kabar baik darimu.Kalau tidak ….”Tanpa sadar aku menggigit bibir menahan kesal, apa dikira mudah menyelidiki sesuatu? Bagaimana mungkin dia memberiku waktu hanya satu minggu? Butuh beberapa lama sebelum akhirnya aku bisa menjawab, “Baik Pak, saya men
Bisa dilihat pada tanggal update, setelah awalnya cukup bersemangat dengan mengupload 1 bab/hari dan sebenarnya masih punya simpanan beberapa bab di HP, semangat saya mulai kendor ketika tak jua mendapatkan masukan dari pembaca. 'Ah... rasanya memang saya kurang punya bakat buat jadi penulis.' Kira-kira seperti itu yang terlintas dalam benak saya. Di lain sisi ada juga sebagian dari diri saya yang berkata, 'Ya kalau kurang menarik, coba donk perbaiki.' Tapi sisi pemalas rupanya lebih kuat, alhasil hari demi hari saya habiskan lebih banyak untuk membaca tulisan orang lain daripada menulis cerita saya sendiri. Sampai akhirnya iseng-iseng saya memeriksa novel ini dan menemukan sebuah komentar. Cuma satu kalimat, tapi berhasil memberikan semangat. Setulus hati saya ucapkan terima kasih buat anda yang bersedia meluangkan waktu untuk memberikan penyemangat. Terima kasih ...
Tampaknya bukan cuma aku yang bergumul dengan perasaan, kulihat dahinya berkerut dan sesekali dia membuka mulut untuk bicara tapi kemudian membatalkan niatnya.Akhirnya aku yang membuka mulut lebih dahulu, “Apa pun yang dipercayakan dr. Satya padaku, kau tidak punya hak untuk ikut campur.Dia bukan mempercayakan benda itu padamu.”Harvey terdiam cukup lama. Ada sedikit penyesalan dalam hatiku sudah berkata demikian, tapi aku ingin tahu bagaimana dia akan membujukku untuk berbagi rahasia itu dengannya. Kalau lagi-lagi dia mengatakan bahwa keselamatanku terancam, maka aku akan menuntut dia untuk menjelaskan siapa yang mengincar benda itu.Dari situ, mungkin aku bisa menggali lebih banyak informasi yang bisa kujadikan berita.
Harvey membawaku ke tempat yang tak pernah aku kunjungi sebelumnya. Katanya tempat itu termasuk salah satu tujuan wisata buat mereka yang berkunjung ke Jakarta. Maklumlah kalau aku tak tahu, kalau dihitung-hitung belum lama aku hidup di ibu kota.Awalnya aku merasa sedikit seram melihat nisan-nisan dan monument tua yang bertebaran di tempat itu.Namun Harvey tampaknya tak menyadari itu. Sambil berjalan menyusuri jalan-jalan setapak di antara tebaran patung, monumen, dan nisan; dia bercerita selayaknya seorang pemandu wisata.Bercerita tentang sejarah tempat itu dan tiap-tiap artefak yang kami lewati.Perlahan-lahan aku ikut menikmati kesan yang asri dan tenang yang menaungi tempat itu.Waktu seakan berhenti di sana, terhenti
“Aduh!” seru Harvey mengaduh, saat tinjuku mendarat di dadanya.“Kenapa?” tanyanya keheranan sambil memegangi bahu.“Huh … nggak apa-apa. Cuman kesal aja,” jawabku sambil membuang muka, sedikit kesal.Kami berdua jadi terdiam dengan suasana canggung. Akhirnya aku menghela nafas dan berusaha memecahkan kecanggungan itu, dengan hati-hati aku bertanya, “Jadi benar kau anak dr. Satya dan Sofia Janssens?”Harvey tampak lega aku tak lagi mendiamkan dia, dengan cepat dia menjawab, “Aku menduga begitu, jadi … masalahnya aku dititipkan oleh kedua orang tuaku ke sebuah panti asuhan sejak aku masih kecil.Usiaku baru sekitar 4 atau 5 tahun waktu itu.”
"Haah ?" seruku terkejut."Benar, organisasi rahasia itu sangat tertarik dengan situs arkeologi yang sedang diteliti oleh mendiang suamimu.Setelah kecelakaan itu terjadi, perhatian mereka beralih ke dirimu.Diam-diam aku pun memutuskan untuk membayangi dirimu," jawabnya dengan lancar."Jadi saat itu kau sedang membayangiku, bukan membuntuti dr. Satya?" Aku ingin memastikan pendengaranku."Uhm… tidak juga." Dia terlihat ragu saat menjawab."Nah, sekarang kau yang membuatku bingung," ujarku sambil mengerutkan alis."Sebelum kejadian itu, ayahku …, dr. Satya..., saat itu aku tidak tahu kalau itu dia.