Raya mengaduh keras saat tas berwarna cokelat milik Destri mendarat mulus ke tubuhnya. Laki-laki itu meringis sambil menampakkan wajah bersalah.
"Maaf, Des. Aku gak maksud."
"Gak maksud apaan?! Jelas-jelas kamu jadiin aku kambing hitam barusan!"
Destri tidak bisa menghentikan bayangan dirinya dalam sebuah video saat dirangkul oleh Raya dan diteriaki secara histeris oleh Putri di belakangnya, kemudian video itu akan diunggah ke media sosial dengan caption yang mungkin akan membuat orang lain salah paham.
Semoga saja tidak terjadi, karena Destri tidak akan pernah siap menerima hujatan dari para netizen yang maha benar.
"Maaf, Des, aku bener-bener gak tahu gimana caranya supaya bisa lepas dari cewek itu."
Destri berdecak, "Tapi bukan berarti kamu bisa jadiin aku kambing hitam, Ray."
Laki-laki di hadapan Destri itu menghela napas, "Oke, gini aja, sebagai gantinya, aku bakal ngelakuin apapun yang kamu minta hari ini. Anggap aja sebagai uca
Destri menghentikan langkahnya saat melihat Rendra yang sedang asyik berbincang dengan Oma di ruang tamu. Gadis itu nyaris melangkah mundur andai saja Oma-nya tidak menyapanya."Sini, Des. Kamu diajakin Rendra bareng ke kampus."Destri tersenyum tipis, langkahnya gontai menuruni anak tangga. Ia hampiri dua orang tersebut dan duduk di sebelah Oma.Tak lama, Mama muncul dan mengajak Rendra untuk sarapan bersama. Hari ini kebetulan Mama memasak nasi uduk, makanan yang sudah lama dipesan oleh Papa."Om gak ikut sarapan, Tante?"Mama menggeleng seraya menyendokkan nasi ke piring Rendra, "Om udah berangkat lebih pagi tadi, jadi udah sarapan duluan."Rendra mengangguk, menerima sepiring nasi uduk yang wanginya begitu menggiurkan.Sejujurnya, laki-laki itu tidak pernah makan nasi untuk sarapan. Sejak kecil ia sudah terbiasa untuk sarapan dengan sereal atau roti.Semoga perutnya akan baik-baik saja."Tante tinggal dulu, ya. Tamba
"Kok bisa berangkat bareng Rendra?"Gadis yang ditanya membuang muka, menatap sisi jalanan melalui kaca mobil yang tertutup rapat. Sejak tadi gadis itu melirik pemutar musik di dalam mobil, seperti ingin menyalakannya. Ia butuh suara musik untuk memecahkan keheningan yang canggung antara dirinya dan Raya."Tadi tiba-tiba Rendra jemput."Raya melirik sekilas gadis yang duduk di sebelahnya tersebut. Tangannya memindahkan persneling dan memutar kemudi ke kanan.Destri memandanginya dengan bingung. Ini bukan jalan ke arah rumahnya, Raya berniat membawanya pergi lagi seperti malam itu?"Aku mampir sebentar," ujar Raya. Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah toko bunga. Laki-laki itu kembali beberapa menit kemudian dengan tangan membawa sebuah buket besar berisi bunga gerbera.Buket itu ia letakkan hati-hati di kursi belakang. Dari cermin rear-vision, Destri bisa melihat bunga gerbera putih dan pink, serta beberapa tangkai baby breath untuk mengi
Detak jarum jam mengisi keheningan.Di atas karpet merah, di antara susunan simetris meja-meja lingkaran, seorang gadis tengah duduk, mengamati sekelilingnya yang lengang. Detik berganti menit, mengontrol debaran jantungnya yang menggema keras di telinganya sendiri."Pak Hendrawan menyewa seluruh restoran ini khusus untuk acara makan malam kalian, Nona."Destriana menaikkan sudut bibir, tersenyum paksa pada seorang pelayan yang tengah menuang air ke gelasnya."Saya yakin sebentar lagi Pak Hendrawan datang."Destri tak banyak bicara. Matanya menatap hiruk pikuk pusat kota beserta lampu-lampu jalan dan bangunan yang kerlap kerlip. Dari atas bangunan ini, ia tidak bisa mendengar keributan apapun.Hening. Lengang. Hanya terdengar suara gesekan sepatu para pelayan yang hilir mudik, entah sibuk melakukan apa karena Destri sendiri baru saja diberitahu kalau ia adalah satu-satunya
Natal tahun pertama."Tadi keluarga Pak Hendrawan kesini."Aku masih mengetik, membalas satu per satu ucapan natal dari teman temanku. Punya banyak grup chat membuat ponselku tidak berhenti berdering sejak awal hari tadi. Kebanyakan dari mereka mengajak untuk bertemu, berkumpul di rumah salah seorang temanku yang lain."Destri, Mama lagi ngomong sama kamu loh."Aku meletakkan ponselku dan memandang mama, "Iya, Ma?""Tadi keluarga Pak Hendrawan kesini."Aku, tentu saja, langsung mengangkat satu alisku heran. "Terus apa hubungannya sama aku?""Mereka bilang anak sulungnya suka sama kamu."Aku memfokuskan diri kembali ke ponsel, "Terus Mama jawab apa?"Mama berdeham sebentar sebelum menjawab, "Ya... Mama bilang kalau kamu masih mau fokus studi dulu. Belum waktunya nikah."
Bagi orang lain, "kamu" adalah kata ganti pihak kedua.Bagiku, "kamu" adalah orang yang spesial.Sayangnya, aku belum memiliki "kamu".Sudah setahun (atau lebih, entahlah, aku juga lupa), aku sendiri. Terakhir kali aku memiliki hubungan spesial dengan laki-laki, laki-laki itu adalah kakak tingkatku.Dan andai mobilku baik-baik saja, aku mungkin tidak akan menceritakan dirinya pada kalian semua.Namanya Andra. Lebih tua tiga tahun dariku. Kami berkenalan sebagai seorang senior dan junior pada awalnya.Dia adalah mahasiswa D3 yang telah lulus, lantas melanjutkan kuliah ke jenjang S1, masuk ke jurusan yang sama denganku. Awalnya, kami hanya bertukar pikiran karena secara tidak sengaja terdaftar di kelompok yang sama. Namun lama kelamaan, Kak Andra--begitu aku biasa memanggilnya--sering sekali menghubungiku dan menanyakan beb
Aku menguap lebar saat gorden kamar dibuka oleh Mama. Matanya ikut mengernyit saat sinar matahari memasuki jendela."Pagi, Des."Aku terduduk sambil mengucek mata, "Pagi, Ma."Jika kalian mengira membangunkan aku di pagi hari adalah kegiatan rutin Mama, kalian salah besar.Mama tidak pernah membangunkan aku di pagi hari kecuali jika memang ada hal yang benar-benar penting yang harus segera aku lakukan."Oma demam semalam, dan sampai sekarang demamnya gak turun juga. Mama, Papa, sama Opa bakal ke rumah sakit. Kamu tolong jaga adik-adik, ya.""Oma demam?"Mama mengangguk cepat, tampak tidak mau berlama-lama berbicara denganku. "Iya, tiga puluh delapan derajat. Kamu pesan makanan aja nanti kalau gak mau masak. Di kulkas sebenarnya ada--""Ma, it's okay. Aku tahu apa yang harus aku lakuin kok."Mama menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Thank you, Dear," ucapnya, lantas mengecup dahiku. "Mama berangkat dulu, y
Rendra terhenyak sesaat menerima panggilan dari bundanya. Bundanya bilang, Oma Destri sakit dan kini sedang dirawat di rumah sakit. Laki-laki itu langsung mengabari sekretarisnya, lantas bergegas menuju rumah sakit. Bundanya sudah ada di sana bersama Mama Destri. Mereka tersenyum dan membiarkan Rendra mendekati ranjang tempat Oma terbaring lemah. Napas Oma teratur, nampaknya obatnya mulai bekerja. Di kaki ranjang, seorang laki-laki berjas dokter berdiri bersebelahan dengan seorang perawat. Rendra memicingkan mata sejenak sebelum akhirnya sadar bahwa dokter itu adalah teman SMP-nya dulu. "Doni?" "Rendra?" Rendra tertawa kecil dan menjabat tangan Sang Dokter. "Aku gak tahu loh kalau kamu praktek di sini juga." "Dimana-mana sih, Bro. Kejar setoran." Doni tertawa pelan. "Btw ini pasiennya ada hubungan apa sama kamu?" "Oh, Oma-nya temenku. Sudah kayak Oma sendiri, sih. Gimana keadaannya?" "Tekanan darahnya ti
Hari ketiga Oma dirawat di rumah sakit, Destri membawakan semangkuk sup krim ayam kesukaan Oma. Wanita tua itu beberapa kali mengeluh dengan makanan rumah sakit yang menurutnya hambar. "Sekali ini aja ya, Oma." Oma menganggukkan kepala, tidak sabar untuk mencicipi sup krim kesukaannya. Diam-diam ia minta cucu kesayangannya itu untuk membawa makanan ini saat shift jaga Destri tiba. "Duh, enak banget, Des. Coba aja makanan rumah sakit kaya gini rasanya." Destri tertawa kecil. Gadis itu membiarkan Oma menghabiskan sup krimnya, sementara ia sendiri merapikan ruangan Oma yang penuh dengan bingkisan dari kolega. Destri baru saja duduk dan menyalakan tv saat pintu kamar diketuk, membuat Oma kaget dan hampir menumpahkan sup. "Ya ampun, Rendra. Kamu hampir bikin Oma jantungan." Rendra mengernyit dan tersenyum. "Berdua sama Destri aja, Oma?" "Iya, Mama barusan pulang buat ngurusin rumah. Tuker-tukeran shift jaga begini tiap hari.