Share

Bab 3

Penulis: Ulya Faudiyah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-24 12:47:42

Bab 3: Tekanan Sekolah dan Rumah Tangga

Aisyah mendongak, menatap Reza dengan mata yang memerah.

“Kenapa Mas menikah sama aku?” tanyanya, suaranya bergetar.

Reza terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Matanya terpaku pada wajah Aisyah yang tampak lelah. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah yang sedikit kusut karena seharian dipakai. Tatapan Aisyah begitu tajam, meski bercampur kebingungan dan rasa sakit.

“Aku… aku nggak tahu harus jawab apa, Dek Ais,” ucap Reza akhirnya. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Aku juga nggak pernah mengira semuanya bakal jadi seperti ini.”

Aisyah mengalihkan pandangannya. Dia menunduk, menatap ujung rok seragamnya yang mulai memudar warnanya. Hening menyelimuti ruang makan kecil itu, hanya suara kipas angin yang berdecit pelan terdengar di antara mereka.

“Aku capek, Mas,” gumam Aisyah akhirnya.

Reza menatapnya, ingin mengatakan sesuatu, tetapi dia ragu. Setiap kali dia mencoba memahami Aisyah, selalu ada dinding tinggi yang memisahkan mereka. Mungkin itu rasa sakit, mungkin juga rasa tidak percaya.

“Kalau capek, istirahat aja, Dek—”

“Bukan capek fisik, Mas,” potong Aisyah. Tatapannya kembali mengarah pada Reza. Kali ini, matanya lebih tajam. “Aku capek sama semuanya. Sama sekolah, sama omongan orang, sama… sama pernikahan ini.”

Reza menghela napas panjang. Dia tahu ini tidak mudah bagi Aisyah. Dia juga tahu pernikahan ini bukan keinginannya. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Semuanya sudah terjadi.

“Mas ngerti,” jawab Reza akhirnya. “Tapi kita harus jalanin ini, Dek. Aku nggak akan maksa kamu buat terima semuanya sekarang. Aku cuma mau kita pelan-pelan, ya? Aku janji, aku bakal jadi suami yang baik buat kamu.”

Aisyah ingin percaya pada kata-kata itu, tetapi hatinya masih penuh dengan keraguan. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamarnya tanpa berkata apa-apa lagi. Reza hanya menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu kamar.

Keesokan paginya, Aisyah berdiri di depan cermin, merapikan seragamnya. Matanya sedikit sembab karena semalam dia menangis dalam diam. Dia menarik napas panjang, mencoba mengembalikan semangatnya. Tapi bagaimana dia bisa semangat jika di sekolah saja dia menjadi bahan ejekan teman-temannya?

“Dek Ais, Mas antar ke sekolah, ya?” seru Reza dari ruang makan. Suaranya terdengar santai, seperti tidak ada yang terjadi semalam.

Aisyah membuka pintu kamarnya perlahan. Dia menatap Reza yang sudah rapi dengan kemeja biru muda dan celana hitam. Meskipun pernikahan ini terpaksa, Aisyah tidak bisa menyangkal bahwa Reza memang pria yang tampan. Tapi itu tidak cukup untuk membuatnya merasa nyaman.

“Nggak usah, Mas. Aku naik angkot aja,” jawab Aisyah singkat.

“Biar Mas antar aja. Kita udah telat,” balas Reza. Dia melirik jam tangannya dan menghela napas. “Ayo, cepet. Aku tunggu di mobil.”

Aisyah tidak punya pilihan lain. Dia mengambil tasnya dan mengikuti Reza keluar. Mobil hitam mewah milik Reza terparkir di depan rumah. Aisyah merasa tidak nyaman setiap kali naik mobil itu. Dia tahu teman-temannya akan memperhatikan, dan itu hanya akan memperburuk gosip di sekolah.

Seperti yang Aisyah duga, kedatangan mobil mewah di depan gerbang sekolah langsung menarik perhatian banyak orang. Beberapa siswa yang sedang berkumpul di depan gerbang melirik ke arah mobil dengan tatapan penasaran.

“Eh, itu mobil siapa? Kok mewah banget?” bisik seorang siswi pada temannya.

“Kayaknya itu mobilnya Aisyah,” jawab temannya. “Kayak pernah liat dia turun dari situ kemarin.”

Aisyah membuka pintu mobil dengan canggung. Langkahnya terasa berat saat melewati gerbang sekolah. Dia bisa merasakan tatapan mata teman-temannya yang penuh rasa ingin tahu. Beberapa bahkan berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya.

Salah satu teman sekelasnya, Rina, menghampirinya saat dia baru saja duduk di bangkunya.

“Aisyah, itu tadi mobil siapa? Kok mewah banget?” tanyanya dengan nada yang jelas penuh sindiran.

Aisyah hanya tersenyum tipis. “Punya saudara.”

“Saudara? Atau suami?” Rina tertawa kecil sambil menutup mulutnya. Beberapa teman sekelas yang mendengar langsung ikut tertawa.

Aisyah meremas tali tasnya erat-erat. Dia ingin sekali membalas, tetapi dia tahu itu hanya akan memperkeruh suasana.

Laila, sahabatnya, menghampiri dan duduk di sebelahnya. “Udah, nggak usah diambil hati. Mereka cuma iri,” bisiknya sambil mencoba menghibur.

Tapi Aisyah tidak bisa mengabaikan ejekan itu. Setiap kali dia berjalan di koridor, ada saja bisikan yang terdengar. Kata-kata seperti “istri muda” atau “nikah paksa” menjadi makanan sehari-hari di telinganya.

Sore harinya, Aisyah pulang dengan wajah lelah. Dia menemukan Reza sedang duduk di ruang tamu, sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Ketika melihat Aisyah masuk, Reza langsung menutup laptopnya dan berdiri.

“Dek Ais, kamu kenapa? Mukamu kelihatan lelah banget,” tanyanya dengan nada khawatir.

Aisyah hanya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Mas.”

Reza mendekat dan menyentuh bahu Aisyah. “Kamu yakin? Kalau ada apa-apa, cerita sama Mas, ya.”

Aisyah menatap Reza sejenak. Perhatian itu terasa tulus, tetapi dia masih belum siap membuka hatinya. “Aku mau istirahat dulu, Mas.”

Reza mengangguk dan membiarkan Aisyah pergi ke kamar. Tapi di dalam hatinya, dia tidak bisa mengabaikan raut wajah lelah Aisyah. Dia tahu gadis itu sedang berjuang, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara membantunya.

Di sekolah, gosip tentang Aisyah semakin menjadi-jadi. Salah satu teman sekolahnya, yang kebetulan melihat Reza mengantar Aisyah, mulai menyebarkan cerita bahwa Aisyah menikah dengan pria kaya raya.

“Eh, tau nggak? Suaminya Aisyah itu katanya anak juragan kaya. Pantes aja dia dianter naik mobil mewah,” bisik salah satu siswi di kantin.

“Iya, aku juga denger. Tapi katanya dia nikah paksa, lho. Coba aja tanya langsung ke Aisyah,” timpal yang lain.

Aisyah mendengar semua itu, tetapi dia hanya bisa diam. Dia tahu tidak ada gunanya membela diri. Setiap kali dia mencoba membuka mulut, ejekan hanya semakin menjadi.

Laila mencoba membelanya. “Kalau nggak tau yang sebenarnya, nggak usah ngomong macem-macem!” serunya pada sekelompok siswi di kantin.

Tapi usaha Laila hanya membuat mereka semakin tertawa. Aisyah menarik tangan Laila, memintanya untuk berhenti. “Udah, La. Nggak usah dibahas lagi.”

Malam itu, Reza menerima telepon yang tidak dia duga. Suara di seberang membuatnya terdiam sesaat.

“Za, ini aku… Nadia,” suara itu terdengar akrab tetapi menyakitkan.

Reza menghela napas panjang. “Ada apa, Nad?”

“Aku cuma mau minta maaf,” kata Nadia dengan nada yang terdengar tulus. “Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya kabur waktu itu.”

Reza terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, dia sudah mencoba melupakan Nadia. Tetapi di sisi lain, kehadiran Nadia kembali hanya akan memperumit segalanya.

“Aku juga mau ketemu. Kita perlu bicara,” lanjut Nadia.

Reza menggenggam ponselnya erat-erat. Pandangannya melayang ke arah pintu kamar Aisyah, yang saat itu tertutup rapat. Banyak hal yang berkecamuk di pikirannya, tetapi dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk mengambil keputusan.

“Aku nggak janji, Nad,” jawabnya akhirnya.

Dari balik pintu kamarnya, Aisyah yang tidak sengaja mendengar percakapan itu merasa seluruh tubuhnya melemas.

“Siapa Nadia, Mas?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 28

    "Kamu pikir dengan melakukan semua ini, kami akan menerimamu?"Suara Ibu Reza menggema di ruang makan keluarga. Wajahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah Aisyah yang berdiri tegak di seberang meja. Di sekelilingnya, suasana tegang. Reza duduk di samping, ekspresinya sulit ditebak.Aisyah menelan ludah, tapi dia tidak menunduk. "Saya tidak melakukan ini untuk diterima, Bu. Saya melakukannya karena saya ingin."Ibu Reza mengangkat alis. "Ingin?"Aisyah mengangguk. "Saya ingin berada di sisi Mas Reza, dalam keadaan apa pun."Hening. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Laila, yang berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Reza sendiri belum berkata apa-apa, tapi tangannya terkepal di atas meja, menandakan ketidakpuasannya terhadap situasi ini."Kalau begitu, kenapa baru sekarang bicara seperti ini?" suara Ibu Reza penuh sindiran. "Dari awal, kamu hanya diam, menunduk, seolah tidak punya pendirian. Kamu tidak seperti Nadia."Jantung Aisyah mencelos mend

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 27

    "Aku bukan bayangan Mbak Nadia, Mas."Suara Aisyah bergetar, tapi sorot matanya teguh. Reza menatapnya, terdiam beberapa saat. Di ruangan apartemen mereka yang remang, ketegangan terasa seperti udara yang mengental, menunggu untuk dipecahkan."Aku tahu," suara Reza lebih pelan, tetapi tak lantas mereda. "Dek Ais, aku nggak pernah menganggap kamu begitu."Aisyah menelan ludah. "Tapi Mas Reza selalu ragu-ragu. Aku bisa merasakannya."Reza mengusap wajahnya, napasnya berat. "Aku hanya butuh waktu...""Waktu untuk apa?" potong Aisyah. "Untuk menyadari kalau aku benar-benar istri Mas Reza? Untuk melihat aku bukan cuma seseorang yang hadir karena keadaan?"Hening. Suara detak jam di dinding terasa begitu jelas, seolah mengikuti irama ketegangan di antara mereka. Reza menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat. "Aku memang butuh waktu, Aisyah. Tapi bukan untuk itu."Aisyah diam, menunggu. Dia tahu bahwa di balik setiap kata Reza terdapat sebuah ketulusan yang terpendam."Aku butuh waktu

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 26

    "Dek Ais, aku nggak mau dengar alasan apa pun lagi. Aku harus ada di sana."Suara Reza terdengar tegas. Aisyah, yang tengah duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Tangan mungilnya mengepal di atas pangkuan. Dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka, seperti arus listrik yang tak terlihat namun sangat kuat."Mas Reza, aku nggak mau merepotkan..." Reza berdecak, melangkah mendekat. "Kamu lulus hari ini. Hari penting dalam hidup kamu. Suamimu sendiri harus hadir, bukan?"Aisyah menggigit bibir. "Ibu nggak akan suka.""Ibu bisa berpikir sesukanya." Reza menggerakkan tangannya seolah menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghalangi mereka.Jantung Aisyah berdebar. Sejak pernikahan mereka, Reza memang selalu membela dirinya. Tapi tetap saja, dia tak ingin menjadi penyebab keretakan hubungan Reza dan ibunya. Rasa bersalah menyergapnya."Tapi, Mas..." Reza menunduk sedikit, menatap langsung ke matanya. "Nggak ada tapi. Aku suami kamu, dan aku mau ada di

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 25

    "Kenapa, Za? Kenapa kamu berubah gini?" Suara Nadia bergetar, tapi Reza tetap menatapnya tanpa ekspresi. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan itu seolah menekan setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya. "Aku nggak berubah, Nad. Justru ini pertama kalinya aku bersikap seperti yang seharusnya."Nadia menelan ludah. Ada sesuatu dalam tatapan Reza yang membuat dadanya sesak—seolah dia benar-benar kehilangan sesuatu yang selama ini dia pikir bisa dia kendalikan."Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak bisa ninggalin aku, Za. Kamu tahu itu!" Reza mendengus pelan."Kamu terlalu percaya diri, Nad."Nadia mengerjap, seolah belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Sejak awal, dia selalu percaya bahwa Reza akan tetap ada untuknya—entah sebagai pria yang dia cintai, atau setidaknya seseorang yang tidak bisa benar-benar lepas dari genggamannya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda."Kamu masih marah soal yang kemarin, kan?" Reza menghela napas. "Bukan cuma kemar

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 24

    Ruang tamu yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa dingin dan tegang. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantulkan bayangan samar di dinding, seolah mencerminkan pergolakan yang sedang berlangsung di antara dua wanita yang berdiri saling berhadapan. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, jilbab panjangnya yang berwarna krem menjuntai hingga menutupi sebagian pundaknya. Tangannya tersembunyi di balik kain itu, namun jika dilihat lebih dekat, jemarinya tampak mengepal erat, menahan gelombang emosi yang bergejolak di dadanya. Suaranya yang keluar dari bibirnya sedikit bergetar, namun matanya—mata yang biasanya lembut dan penuh kehangatan—kini menatap lurus ke arah Nadia tanpa sedikit pun gentar."Apa maumu sebenarnya, Mbak Nadia?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara ketegangan dan kemarahan yang ia coba tahan.Nadia, yang duduk santai di sofa empuk dengan kaki disilangkan, hanya tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya; ada sesuatu yang dingin dan licik ters

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 23

    “Apa yang kamu lakukan, Mbak Nadia?” Suara Aisyah bergetar, namun ada kekuatan yang tersirat dalam nada bicaranya. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang berdiri di depannya, sorot keteguhan yang belum pernah Reza saksikan sebelumnya memenuhi wajah lembut Aisyah. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan suasana yang tegang seolah udara di sekitar mereka ikut mengeras.Nadia tersenyum sinis, lengkungan bibirnya penuh dengan kepahitan yang sudah lama terpendam. “Kamu pikir aku akan membiarkan kamu merebut semuanya dariku, Aisyah? Aku tahu semua rahasia keluarga ini—setiap detail kecil yang disembunyikan dengan rapi di balik senyum manis dan kata-kata bijak. Dan aku akan memastikan kamu menyesal telah masuk ke dalamnya, menjejakkan kakimu di dunia yang bukan milikmu.”Reza melangkah maju, tubuhnya yang tinggi berdiri tegak di antara Aisyah dan Nadia, seolah menjadi benteng pelindung bagi wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status