Bagaimana perasaanmu ketika menjadi Aisyah yang menjadi pengganti pengantin, Nadia, kakaknya hilang di hari H. Demi acara tetap berlangsung dan uang panai sudah diterima keluarganya. Jadilah peristiwa ini terjadi. Apakah Aisyah akan bahagia?
Lihat lebih banyakBab 1: Hari Perjodohan yang Berantakan
“Nadia ke mana?!” Suara Ibu menggema di ruang rias, membuat semua orang di dalam ruangan terpaku. Aisyah berdiri kaku di sudut, menggenggam ujung jilbab putihnya yang sudah basah oleh keringat dingin. Dari pantulan cermin besar, ia bisa melihat wajah Ibu yang merah padam, sementara Bapak mencoba menenangkan istrinya dengan suara rendah. “Tadi masih di sini, Buk. Dia bilang mau ke kamar mandi,” jawab salah seorang kerabat yang ikut membantu acara. “Sudah setengah jam!” Ibu mendengus kesal. Ia menoleh ke arah Aisyah. “Ais, kamu lihat kakakmu enggak?” Aisyah menggeleng cepat. “Enggak, Bu. Tadi Mbak Nadia bilang mau ke kamar mandi, tapi Ais enggak tahu ke mana lagi.” Ibu menekan pelipisnya, napasnya memburu. “Ya Allah… apa dia kabur?” gumamnya, hampir tak terdengar. Namun, itu cukup membuat Aisyah terkejut. “Bu, jangan berpikiran macam-macam dulu. Mungkin Nadia hanya butuh waktu,” sahut Bapak, mencoba meredakan situasi. “Waktu apa, Pak? Penghulu sudah datang! Reza sudah menunggu di ruang akad! Tamu-tamu mulai gelisah! Ini bukan main-main!” Aisyah menunduk, tak berani menatap wajah Ibu yang semakin tegang. Di luar, suara riuh tamu undangan bercampur dengan instrumen musik tradisional yang dimainkan pelan, seolah menambah atmosfer mencekam di dalam ruangan. Tiba-tiba, pintu ruang rias terbuka keras. Laila, sahabat Aisyah, muncul dengan napas terengah-engah. “Bu, Pak… ini! Saya nemu ini di kamar Mbak Nadia!” Ia mengangkat sebuah ponsel, layar masih menyala menampilkan sebuah pesan. Ibu buru-buru merebut ponsel itu, matanya bergerak cepat membaca isi pesan. Seketika, wajahnya memucat. “Dia… dia ke rumah mantannya?” Aisyah mendongak kaget. “M-mantan?” “Dia dapat pesan dari mantannya! Lihat ini!” Ibu menyerahkan ponsel itu ke Bapak dengan tangan gemetar. Bapak membaca pesan di layar dengan raut wajah tegang. “Nad, aku belum bisa melupakanmu. Tolong temui aku untuk terakhir kalinya sebelum kamu menikah. Aku ada di rumah. Kumohon, Nad.” Aisyah menutup mulutnya, tak percaya. “Jadi… Mbak Nadia pergi ke sana?” “NA-DIA!” Ibu berteriak marah, hampir saja menjatuhkan ponsel itu ke lantai. “Anak ini benar-benar… benar-benar memalukan keluarga!” Di sisi lain kota, Nadia berdiri di depan sebuah rumah sederhana dengan tangan gemetar. Ia membaca ulang pesan yang dikirim oleh Bayu, mantan kekasihnya. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, membuat hatinya bimbang. “Kenapa aku ke sini?” gumamnya pelan. Tapi, langkah kakinya tetap membawanya masuk ke halaman rumah. Pintu terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Bayu berdiri di sana, mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Ia tersenyum tipis, tetapi matanya tampak gugup. “Nadia… kamu datang,” ucapnya pelan. “Aku enggak tahu kenapa aku ke sini,” jawab Nadia cepat. “Kamu bilang ini terakhir kali, kan? Apa yang mau kamu bicarakan?” Bayu menggaruk belakang kepalanya, ragu. “Masuk dulu, Nad. Kita bicara di dalam.” Nadia menggeleng. “Enggak. Aku cuma punya waktu sebentar. Apa yang sebenarnya kamu mau?” Bayu terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Aku cuma… aku cuma mau minta maaf. Aku masih sayang sama kamu, Nad. Aku enggak bisa lihat kamu menikah dengan orang lain.” Mendengar itu, Nadia merasakan hatinya mencelos. Ia tahu ia seharusnya tidak mendengarkan ucapan itu. Namun, bagian kecil dari dirinya masih berharap Bayu benar-benar tulus. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” tanya Nadia, suaranya bergetar. Bayu menunduk. “Karena aku pengecut. Dan aku tahu aku salah.” Sejenak, Nadia terpaku. Namun, sesuatu di wajah Bayu membuatnya merasa aneh. Ada kegelisahan yang tidak biasa. “Bayu, kamu serius enggak sih?” Bayu terlihat semakin gelisah. Ia membuka mulut, tapi sebelum kata-kata keluar, suara tawa keras terdengar dari dalam rumah. Nadia menoleh, bingung. Dari celah pintu, ia melihat beberapa teman Bayu duduk di ruang tamu, memegang ponsel dan tertawa-tawa. “Dia datang, ya? Wah, gila sih, Bay! Enggak nyangka dia beneran mau ke sini gara-gara dare!” salah satu dari mereka berceletuk. Nadia membeku. “Dare?” Bayu langsung panik. “Nad, aku bisa jelasin—” “Jadi ini cuma permainan?” suara Nadia bergetar, matanya memerah menahan amarah. “Kamu ngajak aku ke sini hanya karena tantangan?” “Nad, aku enggak bermaksud begitu! Aku beneran sayang sama kamu, tapi mereka… mereka cuma bercanda, aku enggak bisa nolak!” PLAK! Tangan Nadia mendarat keras di pipi Bayu. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan cepat keluar dari rumah, air mata mengalir di pipinya. Di rumah, suasana semakin tegang. Waktu akad sudah lewat dari jadwal, dan tamu mulai mempertanyakan keberadaan Nadia. “Pak, kita harus bagaimana? Kalau tamu tahu Nadia kabur, kita bakal malu besar!” Ibu mondar-mandir di ruang tamu, sementara penghulu dan keluarga Reza menunggu di ruang utama dengan wajah canggung. “Aisyah.” Aisyah yang sejak tadi duduk diam di sudut ruangan tersentak mendengar suara Bapak. “I-iya, Pak?” “Kamu harus menggantikan kakakmu,” ujar Bapak tegas. Mata Aisyah melebar. “Apa? Tapi, Pak… Ais…” Bapak menatapnya lekat. “Nama baik keluarga kita dipertaruhkan. Kamu tahu itu, kan? Kamu harus kuat, Nak.” Aisyah merasakan tubuhnya gemetar. Semua mata di ruangan kini tertuju padanya. Ibu memegang bahunya, menatapnya dengan penuh harap sekaligus tekanan. “Ais, tolong, Nak. Kita enggak punya pilihan lain,” bujuk Ibu. Air mata mulai menggenang di sudut mata Aisyah. Ia menoleh ke arah ruang utama, di mana Reza berdiri dengan wajah tegang. Pria itu jelas marah, meskipun ia berusaha menutupinya. “Reza… dia pasti enggak akan setuju, Bu,” bisiknya lemah. “Itu urusan nanti. Yang penting sekarang, kamu harus menggantikan Nadia,” sahut Ibu dengan nada memerintah. Aisyah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ia tidak punya pilihan. Dengan berat hati, ia mengangguk pelan. “Baik, Bu.” “Saudara Reza bin Sulaiman, apakah Anda menerima Aisyah binti Abdul Hamid sebagai istri Anda?” Ruangan hening. Semua mata tertuju pada Reza, yang duduk di depan penghulu dengan wajah dingin. Aisyah, yang duduk di sisi lain, menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun. Butuh beberapa detik sebelum Reza akhirnya menjawab, “Saya terima.” Suara itu terdengar datar, tanpa emosi. Aisyah merasakan hatinya mencelos. Bahkan setelah akad selesai, Reza tidak menoleh kepadanya. Ia hanya berdiri, mengucapkan salam pada penghulu dan tamu, lalu keluar dari ruangan tanpa sepatah kata pun. Aisyah hanya bisa menelan ludah, menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tahu ini bukan awal pernikahan yang ia bayangkan, tetapi inilah takdirnya sekarang. Setelah semua tamu pulang, dan rumah mulai sepi, Aisyah mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Reza. Ia mengetuk pintu kamar yang kini menjadi kamar mereka. “Mas Reza?” Tidak ada jawaban. Aisyah menghela napas dan membuka pintu perlahan. Di dalam, Reza duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela. “Mas… maaf,” ucap Aisyah pelan."Kamu pikir dengan melakukan semua ini, kami akan menerimamu?"Suara Ibu Reza menggema di ruang makan keluarga. Wajahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah Aisyah yang berdiri tegak di seberang meja. Di sekelilingnya, suasana tegang. Reza duduk di samping, ekspresinya sulit ditebak.Aisyah menelan ludah, tapi dia tidak menunduk. "Saya tidak melakukan ini untuk diterima, Bu. Saya melakukannya karena saya ingin."Ibu Reza mengangkat alis. "Ingin?"Aisyah mengangguk. "Saya ingin berada di sisi Mas Reza, dalam keadaan apa pun."Hening. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Laila, yang berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Reza sendiri belum berkata apa-apa, tapi tangannya terkepal di atas meja, menandakan ketidakpuasannya terhadap situasi ini."Kalau begitu, kenapa baru sekarang bicara seperti ini?" suara Ibu Reza penuh sindiran. "Dari awal, kamu hanya diam, menunduk, seolah tidak punya pendirian. Kamu tidak seperti Nadia."Jantung Aisyah mencelos mend
"Aku bukan bayangan Mbak Nadia, Mas."Suara Aisyah bergetar, tapi sorot matanya teguh. Reza menatapnya, terdiam beberapa saat. Di ruangan apartemen mereka yang remang, ketegangan terasa seperti udara yang mengental, menunggu untuk dipecahkan."Aku tahu," suara Reza lebih pelan, tetapi tak lantas mereda. "Dek Ais, aku nggak pernah menganggap kamu begitu."Aisyah menelan ludah. "Tapi Mas Reza selalu ragu-ragu. Aku bisa merasakannya."Reza mengusap wajahnya, napasnya berat. "Aku hanya butuh waktu...""Waktu untuk apa?" potong Aisyah. "Untuk menyadari kalau aku benar-benar istri Mas Reza? Untuk melihat aku bukan cuma seseorang yang hadir karena keadaan?"Hening. Suara detak jam di dinding terasa begitu jelas, seolah mengikuti irama ketegangan di antara mereka. Reza menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat. "Aku memang butuh waktu, Aisyah. Tapi bukan untuk itu."Aisyah diam, menunggu. Dia tahu bahwa di balik setiap kata Reza terdapat sebuah ketulusan yang terpendam."Aku butuh waktu
"Dek Ais, aku nggak mau dengar alasan apa pun lagi. Aku harus ada di sana."Suara Reza terdengar tegas. Aisyah, yang tengah duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Tangan mungilnya mengepal di atas pangkuan. Dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka, seperti arus listrik yang tak terlihat namun sangat kuat."Mas Reza, aku nggak mau merepotkan..." Reza berdecak, melangkah mendekat. "Kamu lulus hari ini. Hari penting dalam hidup kamu. Suamimu sendiri harus hadir, bukan?"Aisyah menggigit bibir. "Ibu nggak akan suka.""Ibu bisa berpikir sesukanya." Reza menggerakkan tangannya seolah menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghalangi mereka.Jantung Aisyah berdebar. Sejak pernikahan mereka, Reza memang selalu membela dirinya. Tapi tetap saja, dia tak ingin menjadi penyebab keretakan hubungan Reza dan ibunya. Rasa bersalah menyergapnya."Tapi, Mas..." Reza menunduk sedikit, menatap langsung ke matanya. "Nggak ada tapi. Aku suami kamu, dan aku mau ada di
"Kenapa, Za? Kenapa kamu berubah gini?" Suara Nadia bergetar, tapi Reza tetap menatapnya tanpa ekspresi. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan itu seolah menekan setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya. "Aku nggak berubah, Nad. Justru ini pertama kalinya aku bersikap seperti yang seharusnya."Nadia menelan ludah. Ada sesuatu dalam tatapan Reza yang membuat dadanya sesak—seolah dia benar-benar kehilangan sesuatu yang selama ini dia pikir bisa dia kendalikan."Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak bisa ninggalin aku, Za. Kamu tahu itu!" Reza mendengus pelan."Kamu terlalu percaya diri, Nad."Nadia mengerjap, seolah belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Sejak awal, dia selalu percaya bahwa Reza akan tetap ada untuknya—entah sebagai pria yang dia cintai, atau setidaknya seseorang yang tidak bisa benar-benar lepas dari genggamannya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda."Kamu masih marah soal yang kemarin, kan?" Reza menghela napas. "Bukan cuma kemar
Ruang tamu yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa dingin dan tegang. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantulkan bayangan samar di dinding, seolah mencerminkan pergolakan yang sedang berlangsung di antara dua wanita yang berdiri saling berhadapan. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, jilbab panjangnya yang berwarna krem menjuntai hingga menutupi sebagian pundaknya. Tangannya tersembunyi di balik kain itu, namun jika dilihat lebih dekat, jemarinya tampak mengepal erat, menahan gelombang emosi yang bergejolak di dadanya. Suaranya yang keluar dari bibirnya sedikit bergetar, namun matanya—mata yang biasanya lembut dan penuh kehangatan—kini menatap lurus ke arah Nadia tanpa sedikit pun gentar."Apa maumu sebenarnya, Mbak Nadia?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara ketegangan dan kemarahan yang ia coba tahan.Nadia, yang duduk santai di sofa empuk dengan kaki disilangkan, hanya tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya; ada sesuatu yang dingin dan licik ters
“Apa yang kamu lakukan, Mbak Nadia?” Suara Aisyah bergetar, namun ada kekuatan yang tersirat dalam nada bicaranya. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang berdiri di depannya, sorot keteguhan yang belum pernah Reza saksikan sebelumnya memenuhi wajah lembut Aisyah. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan suasana yang tegang seolah udara di sekitar mereka ikut mengeras.Nadia tersenyum sinis, lengkungan bibirnya penuh dengan kepahitan yang sudah lama terpendam. “Kamu pikir aku akan membiarkan kamu merebut semuanya dariku, Aisyah? Aku tahu semua rahasia keluarga ini—setiap detail kecil yang disembunyikan dengan rapi di balik senyum manis dan kata-kata bijak. Dan aku akan memastikan kamu menyesal telah masuk ke dalamnya, menjejakkan kakimu di dunia yang bukan milikmu.”Reza melangkah maju, tubuhnya yang tinggi berdiri tegak di antara Aisyah dan Nadia, seolah menjadi benteng pelindung bagi wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen