Beranda / Romansa / Lamaran Tak Terduga / Dibelenggu Bayangannya

Share

Dibelenggu Bayangannya

Penulis: Silmeeii
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-12 14:37:43

Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.

Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.

Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.

Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.

Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.

Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya lebih cepat dari biasanya, berharap bisa segera sampai di kamar dan tidur tanpa harus berpikir tentang Leonard.

Tapi begitu dia berbelok ke gang kecil menuju kosannya, dia mendadak berhenti.

Jantungnya mencelos.

Di seberang jalan, bersandar pada sepeda motornya, Leonard berdiri dengan santai.

Elvira hampir mengumpat. 'Lagi-lagi dia.'

Dia ingin pura-pura tidak melihat, ingin berjalan cepat tanpa memberi reaksi. Tapi Leonard jelas melihatnya. Dan seperti biasa, pria itu tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap.

Elvira menghela napas tajam dan berjalan cepat melewati gang, mengabaikan keberadaan Leonard. Dia masuk ke dalam kosan tanpa menoleh ke belakang.

Begitu sampai di kamar, dia membanting pintu pelan dan langsung merebahkan diri di kasur.

"Kenapa dia ada terus sih" gumamnya kesal.

Dia merasa diawasi ke mana pun dia pergi.

Dan itu melelahkan.

Hari berikutnya pun masih begitu. Saat Elvira sedang berjalan menuju kantin kampus setelah kelas selesai, begitu sampai, matanya langsung menangkap sosok Leonard yang duduk di sudut ruangan, dengan secangkir kopi di tangannya. Dia tampak fokus menatap buku di hadapannya, tapi sesekali, tatapannya beralih ke arah pintu masuk.

Elvira mengerjap, jantungnya mencelos.

Tidak mungkin. Dia pasti tidak sengaja di sini, batin Elvira.

Menahan napas, Elvira berbalik ke arah lain, pura-pura melihat-lihat menu di papan atas kasir, meskipun dia sudah tahu apa yang ingin dibelinya. Saat akhirnya memesan dan berbalik untuk mencari tempat duduk, dia melirik ke sudut ruangan tempat Leonard tadi duduk.

Kosong.

Elvira merasakan tengkuknya meremang.

Bahkan sebelum dia sempat melangkah keluar, dari ekor matanya, dia menangkap sosok Leonard yang kini berdiri di dekat pintu keluar, seolah menunggu.

Detik itu juga, Elvira memilih untuk berputar arah dan menuju toilet kantin, berharap Leonard akan pergi lebih dulu.

Tapi saat dia keluar beberapa menit kemudian, Leonard sudah tidak ada.

Elvira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ini pasti kebetulan.

Namun, kebetulan itu terjadi lagi.

Kemudian, saat Elvira baru saja selesai bekerja di kafe. Dia berjalan menuju halte dengan langkah cepat, ingin segera pulang ke kosannya. Tapi saat sampai di sana, dia melihat seseorang berdiri di bawah lampu jalan, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

Leonard. Lagi.

Seolah dia sudah tahu Elvira akan ke sana.

Detik itu juga, Elvira membatalkan niatnya naik angkot dan memilih berjalan kaki lebih jauh ke halte berikutnya.

Saat melewati Leonard, dia bisa merasakan tatapan pria itu padanya. Namun, Leonard tidak mengatakan apa pun. Tidak memanggilnya. Tidak mencegahnya pergi. Hanya berdiri diam, membiarkan Elvira berlalu begitu saja.

Hal itu semakin membuat Elvira bingung. Apa maksudnya? Kenapa dia terus ada di mana-mana, tapi tidak melakukan apa pun selain menatapku seperti itu?

Selanjutnya saat Elvira pergi ke minimarket dekat kosannya untuk membeli beberapa kebutuhan. Dia sedang memilih mie instan ketika seseorang berjalan melewatinya.

Saat dia menoleh, perasaannya langsung tidak enak.

Leonard lagi.

Kali ini, dia berdiri di depan rak minuman, memperhatikan barisan botol dengan ekspresi datar.

Tidak, ini terlalu kebetulan. Tidak mungkin dia terus ada di mana-mana.

Elvira mencoba mengabaikannya, tetapi saat dia berjalan menuju kasir, dia bisa merasakan tatapan Leonard mengikuti pergerakannya.

Tapi lagi-lagi, dia tidak mengatakan apa pun.

Elvira menghela napas kasar setelah keluar dari minimarket. Kakinya melangkah cepat menuju kosan, ingin segera masuk ke kamar dan mengunci diri di dalam. Namun, perasaan risih masih menghantuinya.

Apakah Leonard benar-benar mengawasinya?

Atau dia hanya paranoid?

Dia tidak tahu, tapi satu hal yang pasti—semakin hari, kehadiran Leonard mulai terasa seperti belenggu yang tidak bisa dia hindari.

Elvira sudah muak.

*****

Keesokan harinya, Rina datang ke kosan Elvira setelah kelas selesai. Dia membawa dua bungkus es kopi susu dan langsung duduk di lantai tanpa menunggu diundang.

“Elvira, kamu kenapa? Mukamu kelihatan lelah,” tanya Rina sambil menyerahkan salah satu kopi.

Elvira menerima minuman itu dengan lesu. “Aku capek, Rin.”

Rina menaikkan alisnya. “Capek kenapa?”

Elvira menatap sahabatnya itu, lalu menghela napas berat. “Leonard.”

“Lagi?” Rina tertawa kecil. “Memang dia ngapain? Kamu udah lama nggak cerita ke aku”

Elvira meletakkan kopinya ke meja. “Aku merasa dia ada di mana-mana, Rin. Di kampus, di jalan, di depan kosan... Aku capek. Aku merasa seperti dikuntit.”

Rina terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Dan kamu tidak suka?”

Elvira mendesah. “Gimana ya... awalnya aku pikir dia cuma bercanda atau sekadar iseng. Tapi semakin lama, ini mulai keterlaluan. Aku nggak bisa tenang, nggak bisa berpikir. Yang ada aku jadi kepikiran terus.”

Rina menatapnya lama. “Bentar, coba deh kamu cerita ke aku kejadian kamu ketemu dia”

Elvira mengangguk dan mulai menceritakan beberapa kejadian saat dirinya bertemu Leonard.

Malam itu, Elvira duduk di lantai kamar kosnya, punggungnya bersandar pada tempat tidur sementara Rina berbaring di atas kasur dengan bantal menutupi wajahnya.

"Jadi... selama ini dia beneran selalu ada di mana-mana?" tanya Rina setelah mendengar cerita Elvira.

Elvira menghela napas panjang. "Iya, dan aku mulai merasa ini bukan kebetulan lagi."

Rina menyingkirkan bantal dari wajahnya lalu menoleh ke Elvira. "Terus, dia ngapain? Cuma ngeliatin doang?"

Elvira mengangguk. "Iya, itu dia masalahnya! Dia nggak pernah bilang apa-apa, cuma muncul di mana-mana dan ngelihatin aku terus."

Rina mengangkat alis. "Kamu yakin dia nggak lagi ngejaga kamu?"

Elvira menghela napas. "Dijaga dari apa? Aku baik-baik aja! Aku nggak merasa dalam bahaya, malah bikin aku nggak nyaman tau. Ini kayak... kayak ada bayangan yang selalu mengikutiku ke mana-mana. Aku capek, Rin. Serius."

Rina menatap Elvira lekat-lekat sebelum akhirnya menghela napas dan duduk bersila.

“Tapi kamu bukan cuma capek karena dia ada terus, kan?”

Elvira terdiam.

Dia tahu apa yang dimaksud Rina.

Dia bukan hanya capek.

Dia juga bingung.

Tentang kenapa Leonard sangat menginginkannya. Tentang kenapa pria itu begitu yakin bahwa dia akan menerima lamarannya. Tentang kenapa, di balik tatapan intens itu, ada sesuatu yang lebih dalam yang belum bisa dia pahami.

Dan itu membuatnya frustrasi.

Rina menghela napas, lalu menepuk bahu Elvira. “Kalau kamu memang nggak bisa begini terus, ya kamu harus bicara langsung sama dia. Kalau kamu nggak nyaman, bilang ke dia baik-baik. Minta dia berhenti."

Elvira menggigit bibirnya. "Aku nggak tahu gimana caranya. Dia selalu tenang, seolah-olah nggak ada yang aneh sama kelakuannya. Aku tau mungkin dia menunggu jawaban atas lamarannya padaku. Tapi kalau dibuntuti begini terus gimana aku mikirin jawaban untuknya Rin? Dia nggak mau ditolak,sedangkan aku mau menerima pun juga harus berpikir berkali-kali."

Rina menyentuh bahu Elvira. "Kalau gitu, jangan biarin dia terus-terusan gitu. Besok kalau dia muncul lagi, hadapi dia, El. Jangan lari."

Elvira menatap Rina, lalu mengangguk pelan.

Malam terus berlangsung. Rina yang malam ini memang berniat tidur di kos Elvira pun memilih untuk tidur, dan Elvira yang pikirannya lelah juga ikut tertidur disamping Rina.

*****

Keesokan harinya, rasa lelah dan frustrasi dalam diri Elvira semakin menumpuk. Dia sudah terlalu lama membiarkan ini terjadi.

Dan ketika malam tiba, saat dia pulang dari kafe setelah bekerja, dia kembali menemukan Leonard yang mengenakan kemeja hitam dengan tangan di saku celana, tengah berdiri di ujung gang sempit menuju kosannya.

Tatapannya lurus padanya.

Elvira menghela napas. Kali ini, dia tidak  menghindar.

Dengan langkah cepat, dia menghampiri pria itu, dadanya naik turun karena emosi yang sudah mencapai puncaknya.

"APA SIH MAUMU?!"

Leonard tidak terkejut dengan teriakannya. Dia hanya menatap Elvira, tetap dengan ekspresi datarnya yang biasa dan sedikit mengangkat alis.

Tapi Elvira tidak peduli. Dia melangkah lebih dekat, hingga jarak mereka hanya sekitar satu meter. Kini, dia bisa melihat wajah Leonard dengan jelas di bawah redupnya lampu jalan.

"Kenapa sih kamu terus muncul di mana-mana?!" Suara Elvira bergetar, bukan karena takut, tapi karena lelah. "Kamu pikir ini menyenangkan? Aku capek, Leonard!"

Mata Leonard menajam sedikit, tetapi dia tetap diam.

Elvira mengepalkan tangannya. "Aku tau kamu butuh jawabanku, tapi aku juga butuh berpikir untuk menerimanya! Kamu pikir menikah itu seperti mainan anak-anak?! Nggak, itu harus dipikirkan matang-matang! Aku butuh ruang, aku butuh waktu! Kamu ngerti nggak, betapa melelahkannya merasa selalu diikuti seperti ini?!"

Leonard diam.

Elvira menggenggam tali tasnya erat-erat. “Aku capek diikutin terus seperti ini. Aku capek merasa diawasi setiap saat. Aku capek selalu melihatmu ada di mana-mana.”

Leonard masih menatapnya, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di matanya.

Untuk pertama kalinya, Elvira melihat ekspresi pria itu berubah.

Wajahnya tidak lagi setenang biasanya.

Tidak lagi terlihat seolah dia tahu apa yang sedang dia lakukan.

Seolah dia baru menyadari sesuatu.

Sesuatu yang selama ini tidak terpikirkan olehnya.

Elvira menelan ludah. Dia bisa melihat sorot mata Leonard melembut, seolah dia menyadari bahwa tindakannya selama ini salah.

Seolah dia baru menyadari bahwa dia telah menekan Elvira terlalu keras.

Detik-detik berlalu dalam keheningan.

Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Leonard tidak memberikan respons apa pun.

Tidak ada jawaban penuh misteri.

Tidak ada senyum tipis yang membuat Elvira semakin bingung.

Tidak ada usaha untuk membuatnya tetap tinggal.

Dia hanya diam.

Mata Leonard menatap Elvira sejenak, seolah menyimpan sesuatu yang ingin dia katakan, tetapi akhirnya tidak diucapkan.

Lalu, tanpa sepatah kata pun, Leonard menarik napas pelan dan menundukkan kepalanya sedikit—bukan dalam arti menyerah, tapi lebih seperti seseorang yang baru menyadari kesalahannya lalu berbalik pergi.

Dan sebelum Elvira bisa mengatakan apa pun lagi, Leonard melangkah mundur, lalu berbalik pergi.

Meninggalkan Elvira dalam kebingungan.

Elvira tetap berdiri di tempatnya, napasnya masih belum teratur akibat emosi yang baru saja meledak.

Dia seharusnya merasa lega karena Leonard akhirnya pergi tanpa membalas kata-katanya.

Tapi ada sesuatu yang terasa aneh.

Melihat punggung pria itu menjauh, entah kenapa... dia merasa ada yang tidak beres dan justru menimbulkan rasa... tidak nyaman.

Bukan karena takut Leonard akan kembali, tetapi karena ekspresi yang tadi dia lihat di wajah pria itu.

Leonard yang biasanya penuh kendali, kali ini terlihat sedikit... goyah.

Kenapa dia pergi begitu saja?

Apa yang sebenarnya dia pikirkan?

Elvira menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai menggerogoti hatinya.

Apakah ini berarti Leonard menyerah?

Atau justru... dia sedang memikirkan cara lain?

Hanya waktu yang bisa menjawab.

*****

Saat Leonard masuk ke dalam mobilnya, dia duduk diam di kursi kemudi.

Tangannya mencengkeram setir, tetapi pikirannya jauh melayang.

Kata-kata Elvira tadi terus terulang dalam kepalanya.

"Aku capek diikutin terus."

Dia tahu dia mendesaknya terlalu keras. Tapi dia tidak menyangka dampaknya akan seperti ini.

Dia tidak menyangka bahwa dia benar-benar membuat Elvira merasa tidak nyaman.

Leonard menghela napas dalam.

Selama ini, dia selalu yakin dengan caranya sendiri. Dia selalu berpikir bahwa dia bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan, selama dia cukup gigih.

Tapi ternyata, Elvira tidak seperti itu.

Dan sekarang, dia harus memikirkan cara lain.

Tapi bagaimana?

Leonard memejamkan mata sejenak.

Satu hal yang pasti...

Dia tidak akan berhenti.

Tapi dia juga tidak ingin Elvira semakin menjauh.

*****

Elvira berjalan pulang dengan langkah yang lebih lambat dari biasanya. Pikirannya masih penuh dengan kejadian tadi.

Bayangan Leonard yang berdiri di depannya, tatapan matanya yang terdiam, dan cara pria itu pergi tanpa berkata apa-apa—semuanya terus terngiang dalam benaknya.

Dia seharusnya merasa lega.

Seharusnya, setelah mengatakan semua itu, dia bisa bernapas lebih mudah karena akhirnya mengungkapkan perasaannya.

Tapi kenapa hatinya malah terasa berat?

Begitu sampai di kosan, Elvira melemparkan tasnya ke atas kasur dan merebahkan diri dengan kasar.

Dia menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikirannya.

"Apa aku terlalu kasar tadi?"

Dia hanya ingin Leonard berhenti membuntutinya. Dia ingin diberi ruang untuk berpikir, bukan terus-menerus merasa diawasi setiap waktu.

Tapi dia juga tidak bermaksud menyakiti perasaannya.

Elvira memejamkan mata, mengingat ekspresi Leonard saat dia mengatakan bahwa dia lelah diikuti terus-menerus.

Leonard tidak mengatakan apa-apa.

Tapi dari caranya menatapnya, Elvira bisa melihat sesuatu yang aneh.

Seperti... Luka?

Atau mungkin kekecewaan?

Dia tidak tahu pasti.

Yang jelas, tatapan itu meninggalkan jejak dalam pikirannya.

Elvira menarik napas dalam dan bangkit dari kasur. Dia mengusap wajahnya, merasa kesal dengan dirinya sendiri.

"Kenapa aku jadi kepikiran sih..." gumamnya pelan.

Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang salah dengan apa yang dia katakan.

Tapi tetap saja, ada perasaan tidak nyaman di hatinya.

Perasaan bersalah yang tidak bisa dia jelaskan.

Pikirannya terus melayang sampai akhirnya ponselnya berbunyi. Dia meraih perangkat itu dan melihat nama Rina muncul di layar.

Tanpa pikir panjang, dia segera mengangkatnya.

“Halo?”

“Kamu di kosan?” suara Rina terdengar ceria seperti biasa.

“Iya.”

“Boleh mampir? Aku udah di depan.”

Elvira mengerjapkan mata. Rina bahkan tidak menunggu jawabannya sebelum datang.

Dia segera bangkit dan berjalan ke pintu, membukanya sebelum sahabatnya sempat mengetuk.

Rina tersenyum lebar. “Kamu kelihatan kacau.”

Elvira mendesah, lalu memberi jalan agar Rina bisa masuk. “Makasih sudah mengingatkanku.”

Rina tertawa dan langsung menjatuhkan diri ke atas kasur. “Oke, jadi... apa yang terjadi?”

Elvira menggigit bibirnya ragu. Tapi kemudian, dia menghela napas panjang dan duduk di samping Rina.

Dia butuh seseorang untuk mendengar.

Dan Rina adalah orang yang tepat.

“Aku bilang sesuatu ke Leonard tadi,” katanya pelan.

Rina langsung menoleh dengan antusias. “Apa? Jangan bilang kamu akhirnya menerima lamarannya?”

Elvira menggeleng. “Bukan. Aku... Aku bilang aku capek diikutin terus.”

Ekspresi Rina berubah. “Oh...”

Elvira menunduk, meremas ujung kausnya. “Aku tahu aku harus bilang sesuatu. Aku nggak bisa terus-terusan merasa tertekan seperti ini. Tapi... Entah kenapa, setelah mengatakannya, aku malah merasa nggak enak.”

Rina mengangkat alis. “Nggak enak gimana?”

Elvira menggigit bibirnya. “Aku nggak tahu. Ekspresi Leonard tadi aneh. Dia kelihatan kaget. Atau mungkin... Kecewa?”

Rina menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Elvira, kamu mulai peduli sama dia, ya?”

Elvira mendengus. “Bukan itu maksudku.”

“Tapi kamu kepikiran, kan?”

Elvira terdiam.

Dia memang kepikiran.

Tapi bukan berarti dia peduli, kan?

Rina tertawa pelan. “Ya sudah, kalau kamu memang merasa nggak enak, mungkin kamu bisa bicara lagi dengannya lain kali.”

Elvira mendesah. “Iya, mungkin”

Tapi kapan?

Entahlah, dia juga tidak tahu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Lamaran Tak Terduga   Langkah Baru

    Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Lamaran Tak Terduga   perubahan tak terduga

    Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-16
  • Lamaran Tak Terduga   tanpa sadar peduli

    Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-17
  • Lamaran Tak Terduga   Menjaga Tanpa Diminta

    Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-18
  • Lamaran Tak Terduga   Tawaran Tak Masuk Akal

    Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Lamaran Tak Terduga   Cincin Ini Masih Ada

    Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11
  • Lamaran Tak Terduga   Alasan Dibalik Lamaran

    Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-11

Bab terbaru

  • Lamaran Tak Terduga   Menjaga Tanpa Diminta

    Elvira menatap Leonard yang duduk diam di bangku kantin dengan wajah yang lebih pucat dari sebelumnya. Dia sudah menyuruhnya makan, tapi tetap saja rasanya aneh melihat seseorang seperti Leonard dalam keadaan selemah ini. Biasanya, pria itu selalu terlihat tenang dan tak terpengaruh oleh apapun—dingin, bahkan.Tadi, setelah dia memaksa Leonard untuk makan roti dan minum teh hangat, pria itu menurut saja. Itu pun setelah Elvira menunjukkan ekspresi tidak terima kalau dia menolak. Leonard akhirnya menghabiskan semuanya tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik Elvira yang sibuk menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.Setelah menghabiskan roti dan teh yang dibelikan Elvira, Leonard menghela napas dalam. Meskipun tubuhnya masih terasa berat, setidaknya perutnya sudah terisi. Ia menegakkan punggungnya, bersiap untuk berdiri dari kursi kantin.Namun begitu ia berdiri, kepalanya langsung berputar, dan tubuhnya oleng ke samping. Hampir saja ia kehilangan kes

  • Lamaran Tak Terduga   tanpa sadar peduli

    Sudah tiga hari sejak terakhir kali Elvira melihat Leonard.Setelah dia menghilang karena Elvira mengatakan jika dia capek diikuti terus-menerus dan muncul kembali dengan perubahan sikap, Elvira pikir hari-hari berikutnya dia juga akan bertemu dengan Leonard di tempat yang sama. Tapi ternyata, itu hanya pikirannya saja.Awalnya, dia merasa lega. Setelah semua perhatian kecil yang diberikan pria itu dengan tiba-tiba, dia mendapatkan kembali waktu untuk menjernihkan pikirannya. Butuh jarak agar tidak semakin terbawa arus perasaan yang tidak dia mengerti.Tapi anehnya, bukannya merasa lebih tenang, dia justru merasa ada yang berbeda.Bukan hal besar. Hanya sesuatu yang terasa... Kosong.Dulu, dia tidak pernah memperhatikan sekitarnya seintens ini. Tidak pernah merasa perlu menengok setiap kali ada siluet pria tinggi yang berjalan melewati gedung fakultasnya. Tidak pernah berpikir dua kali saat melangkah ke taman kampus. Tidak pernah memperha

  • Lamaran Tak Terduga   perubahan tak terduga

    Udara malam semakin dingin, dan Elvira bisa merasakan tubuhnya mulai kehilangan energi setelah seharian penuh beraktivitas. Jam di dinding menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tapi kafe tempatnya bekerja masih cukup ramai. Beberapa pelanggan masih asyik mengobrol, sementara yang lain sibuk dengan laptop masing-masing.Elvira merapikan celemeknya sebelum kembali ke meja kasir, bersiap menangani pesanan berikutnya. Matanya menyapu ruangan, memastikan tidak ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.Saat itulah dia melihatnya.Di sudut ruangan, Leonard duduk diam dengan sebuah buku di tangannya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Elvira tahu betul kalau pria itu sedang memperhatikannya.Sudah berapa lama dia ada di sana?Elvira pura-pura tidak peduli dan segera kembali bekerja, mencoba fokus pada pesanan pelanggan berikutnya. Tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada.Dia sudah terbiasa dengan cara Leonard yang muncul tiba-

  • Lamaran Tak Terduga   Langkah Baru

    Suasana malam begitu sunyi, hanya suara deru kendaraan yang melintas di kejauhan. Leonard duduk di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan, tidak jauh dari apartemennya. Lampu jalan yang remang-remang memantulkan bayangan samar di kaca jendela mobilnya, menciptakan suasana hampa yang seakan mencerminkan pikirannya saat ini. Tangannya menggenggam setir erat, tapi pikirannya mengembara ke kejadian tadi. "Aku capek diikutin terus seperti ini." Suara Elvira masih terngiang di telinganya, menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya. Selama ini, ia selalu berpikir bahwa jika ia cukup gigih, cukup bertahan, maka semuanya akan berjalan sesuai keinginannya. Tapi tadi malam, untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia merasakan penolakan yang tidak hanya datang dari bibir seseorang, tetapi dari hati. Dan itu membuatnya sadar akan satu hal: ia tidak hanya menginginkan jawaban dari Elvira.

  • Lamaran Tak Terduga   Dibelenggu Bayangannya

    Sejak pertemuan di perpustakaan, Elvira mulai merasa ada yang tidak beres. Bukan karena kata-kata Leonard yang penuh misteri, tapi karena keberadaannya yang seolah selalu ada di sekitarnya. Setiap kali dia menoleh, dia selalu merasa ada Leonard di sekitarnya. Kadang hanya sekadar duduk di kejauhan, kadang dengan tatapan yang seolah menunggu sesuatu darinya.Awalnya, Elvira masih menganggapnya sebagai kebetulan. Namun, semakin hari, semakin sering dia menemukan Leonard muncul di tempat-tempat yang juga ia datangi.Bahkan saat dia sedang bekerja di kafe, dia merasa seakan-akan ada mata yang mengawasinya.Dia mencoba mengabaikannya, mencoba fokus pada tugas-tugas kuliah dan pekerjaannya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia merasa lega karena berpikir Leonard tidak ada, tiba-tiba pria itu muncul.Seperti malam ini, ketika dia berjalan pulang ke kosan setelah kerja.Hawa malam yang seharusnya terasa sejuk malah membuatnya gelisah. Langkahnya le

  • Lamaran Tak Terduga   Alasan Dibalik Lamaran

    Elvira merebahkan tubuhnya di kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar kosannya. Malam sudah larut, tetapi kantuk sama sekali tidak menghampirinya. Pikirannya terus-menerus kembali ke satu kejadian menyebalkan di kafe tadi. Bukan tentang bagaimana Leonard muncul secara tiba-tiba. Bukan juga tentang tatapan matanya yang seperti menembus isi kepalanya. Tapi tentang satu hal konyol yang terus mengganggu pikirannya—wink itu. Elvira menghela napas panjang. “Kenapa dia melakukan itu, sih?” gerutunya pelan, berbalik ke sisi lain sambil menarik selimut. Leonard menatapnya lama sebelum pergi. Bukan sekadar tatapan biasa, tapi sesuatu yang lebih dari itu. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi memilih untuk tidak mengatakannya. Dan wink itu... Itu benar-benar di luar dugaan. Pikirannya kembali ke momen itu. Tatapan Leonard yang tenang, sorot matanya yang sulit ditebak, dan cara bibirnya melengkung tipis s

  • Lamaran Tak Terduga   Cincin Ini Masih Ada

    Rina menatap Elvira yang melamun sejak dosen keluar dari kelas. Beberapa menit telah berlalu, bahkan kelas sudah sepi dan hanya menyisakan sedikit mahasiswa. "Kamu kenapa El? Ada masalah? " Tanya Rina. Rina ini adalah teman baik Elvira sejak masa ospek. "Aku masih kepikiran sama lamaran tiba-tiba tadi pagi Rin." Ucap Elvira. "Oh iya, emangnya dia siapa sih? Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau kamu udah punya pacar sih El, kamu anggap aku apa hah?! Aduuhh.. Mana aku tadi pagi sewot banget lagi, malu deehh" Ucap Rina. "Aku emang nggak punya pacar Rin, aku tadi pagi kan udah bilang kalau aku juga nggak tau dia siapa" Ucap Elvira. "Lah, aneh banget. Mungkin dia secret admirer mu El, kamu kan cantik, baik hati, dan suka menolong" Ucap Rina. "Kamu ngejekin aku ya? Dekil kayak gini kamu bilang cantik? Mana ada yang suka sama cewe lusuh kayak aku gini. Lagian ya Rin, bisa aja kan itu tadi cuma pr

  • Lamaran Tak Terduga   Tawaran Tak Masuk Akal

    Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhn

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status