Lamaran Tak Terduga

Lamaran Tak Terduga

last updateLast Updated : 2025-04-18
By:  SilmeeiiOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
8Chapters
109views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Elvira Ayu Anindita tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena lamaran mendadak dari pria asing di depan kampusnya. Leonard Carell Mahendra, seorang pria dengan penampilan sederhananya namun sebenarnya adalah pewaris perusahaan besar, muak dengan tekanan keluarganya dan memilih Elvira untuk menjadi istrinya. Bagi Leonard, pernikahan ini hanya solusi cepat agar terbebas dari tuntutan keluarga. Namun, bagi Elvira yang memiliki trauma dengan orang kaya, ini adalah mimpi buruk. Di antara ketidakpercayaan, benturan ego, dan rahasia masa lalu, mampukah mereka menemukan jalan untuk saling menerima? Ataukah pernikahan ini hanya akan menjadi kesepakatan tanpa akhir bahagia?

View More

Chapter 1

Tawaran Tak Masuk Akal

Elvira Ayu Anindita adalah gadis berumur 20 tahun awal dengan tubuh ramping dan tinggi rata-rata, tidak terlalu mencolok, tapi ada sesuatu dalam caranya membawa diri yang membuat orang memperhatikannya. Rambutnya hitam gelap dengan potongan sebahu, sedikit berantakan karena angin saat ia berjalan tergesa-gesa menuju kampus. Kulitnya cerah, bukan putih pucat, tapi memiliki semburat hangat khas seseorang yang sering terkena sinar matahari.

Matanya bulat dengan tatapan tajam dan penuh semangat, meskipun pagi ini matanya terlihat sedikit lelah setelah bergadang belajar. Hidungnya kecil dan sedikit mancung, berpadu dengan bibir tipis yang selalu terlihat sedikit mengerucut saat ia berkonsentrasi membaca materi di ponselnya. Pakaian yang ia kenakan sederhana—kemeja lengan panjang warna peach yang digulung sampai siku, dipadukan dengan celana jeans gelap longgar dan sepatu sneakers yang sudah agak lusuh karena sering dipakai bekerja.

Tidak ada perhiasan mencolok di tubuhnya, hanya sebuah jam tangan murah di pergelangan tangannya. Meski sederhana, ada aura keteguhan dan ketegasan dalam cara ia berjalan, seakan dia tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal kecil seperti penampilannya. Baginya, yang penting adalah bagaimana bisa bertahan dan terus maju.

Elvira turun dari angkot dan berjalan cepat menuju kampus. Tangan kanannya sibuk menggulir layar ponselnya, membaca materi yang akan digunakan untuk praktik laboratorium pada jam pertama, sedangkan tangan kirinya menenteng kotak kontainer kecil berisikan peralatan praktik pribadi miliknya. Matanya fokus pada teks, sementara langkahnya setengah berlari di trotoar.

Di sisi lain, seorang laki-laki muda berumur awal 22-an dengan aura yang tenang dan misterius berdiri di pinggiran halte. Laki-laki tampan dengan rambut hitam pekat dan tertata rapi, wajahnya memiliki garis tegas dengan rahang kokoh, hidung mancung, dan mata tajam berwarna cokelat gelap yang sering kali terlihat datar, sulit dibaca. Posturnya tinggi dan tegap, sekitar 187 cm, dengan bahu lebar dan tubuh atletis yang terbentuk dari kebiasaan berolahraga. Dia lebih sering mengenakan pakaian sederhana—kemeja polos atau turtleneck dengan celana bahan atau jeans gelap, selalu tampak rapi tanpa usaha berlebihan. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang dingin membuatnya menarik perhatian banyak orang, tetapi dia sendiri tidak terlalu peduli dengan itu karena kini kepalanya masih dipenuhi suara keluarganya yang terus memaksanya menikah. Matanya menyapu sekitar, mencari solusi cepat untuk menghentikan semua tekanan ini.

Ketika sebuah angkot berhenti di depan halte tempatnya berdiri sekarang, saat itulah dia melihat seorang gadis yang keluar pertama kali dari angkot tersebut dengan tergesa-gesa. Seorang gadis yang jelas-jelas tidak peduli dengan sekelilingnya, asyik dengan ponselnya, dan tampak terlalu sibuk untuk peduli pada hal-hal lain. Namun di sisi lain, dia juga tampak familiar dengan wajah gadis tersebut, sehingga dalam pikirannya, hanya ada satu kata.

'Dia saja. Selesai.'

Tanpa berpikir panjang, pria tersebut melangkah maju dan menghadang Elvira. Gadis itu kaget hingga hampir menabraknya. Sebelum dia sempat protes, pria itu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya, membukanya, dan mengulurkan cincin ke arahnya.

"Aku butuh istri. Menikahlah denganku."

Hening.

Elvira mengerjapkan mata, yakin dia salah dengar. Tatapan pria itu tetap datar, seolah ini adalah transaksi bisnis biasa.

Seorang ibu yang lewat melirik mereka dengan penasaran. Beberapa mahasiswa di belakang Elvira mulai berbisik-bisik.

"Eh? Apa ini?" Elvira menatap pria di depannya dengan ekspresi campuran antara bingung dan jengkel. "Kamu siapa?"

"Nanti aku akan memberitahu mu," jawab pria itu singkat. "Sekarang jawab saja ya atau tidak."

Elvira ingin tertawa. Ini pasti prank atau taruhan konyol. Tapi ekspresi pria ini serius. Bahkan terlalu serius.

"Maaf, aku nggak ada waktu untuk bercanda." Dia berusaha berjalan melewati pria tersebut, tapi pria itu mengikutinya dan berdiri di depannya hingga menghalangi jalannya.

Salah satu teman sekelasnya yang baru turun dari ojek online melihat kejadian itu dan berlari ke arahnya sambil sedikit berteriak, "Elvira, dia siapa? Dia lagi lamar kamu?"

Elvira Mengedikkan bahu. Dia ingin tahu juga siapa orang gila ini?

Elvira masih terpaku di tempat, matanya menatap pria asing di depannya dengan campuran kebingungan dan kesal. Apa ini semacam lelucon?

Sebelum dia bisa menjawab, suara langkah temannya semakin cepat mendekat.

“Elvira! Ayo cepat, sudah mepet jam praktik di laboratorium ini, kamu tau kan kalau kamu telat nanti kamu nggak akan boleh ikut praktik” suara temannya yang bernama Rina terdengar panik saat dia menarik lengan Elvira. Matanya melirik pria tersebut dengan curiga. “Siapa dia? Kenapa tiba-tiba lamar kamu?” bisiknya di telinga Elvira.

“Itu juga yang mau aku tahu, dia itu siapa?” gumam Elvira.

Rina menatap pria itu sejenak, lalu menghela napas. “Udah, jangan pedulikan dia. Ayo, kita bakal telat nanti!”

Elvira mengangguk dan bersiap untuk pergi. Tapi sebelum dia bisa melangkah, suara pria itu terdengar lagi—tenang, tapi tegas.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kamu menerimanya.”

Elvira berhenti. Perlahan, dia menatap kembali  pria itu. “Kamu bercanda, kan?"

Pria itu menggeleng. Tatapannya tetap datar, tapi sorot matanya penuh keyakinan. Dia tidak akan pergi. Tidak akan menyerah.

Di kepalanya, hanya ada suara keluarganya yang terus mendesaknya. Cepat menikah. Cepat.

“Udah biarin aja dia. Orang aneh dia tuh.” ucap Rina lalu kembali menariknya lagi, tapi kali ini lebih kuat. Namun pria itu juga tak mau kalah, dia menahan tangan Elvira yang satunya.

“Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kamu menerimanya,” ulangnya dengan nada yang begitu tenang, seolah ini adalah hal paling wajar di dunia.

Elvira menghela napas. Dia tidak punya waktu untuk candaan bodoh ini. Jam sudah mepet dengan waktu praktik dan dia masih harus bersiap untuk praktik.

Pria tersebut tampaknya menyadari kebingungannya. Dia mengembuskan napas pelan, lalu tanpa ragu membuka telapak tangan Elvira dan meletakkan kotak cincin di telapak tangannya.

"Kalau begitu, bawa saja dulu," Ucapnya datar. “Aku akan menunggumu.”

Elvira mengerjap. “Apa?!!”

“Aku tidak suka mengulang,” Pria tersebut  menjawab santai. “Pergi ke kelasmu dan praktik lah dengan tenang, tapi bawa cincin ini.”

Elvira benar-benar tak habis pikir. Apa-apaan ini? Siapa sebenarnya pria ini?

Rina menariknya lebih kuat. “Udah El, bawa aja! Ayo, udah telat ini!”

Akhirnya, dengan perasaan campur aduk, Elvira mengepalkan tangan, membawa cincin itu tanpa benar-benar mengerti kenapa dia menurutinya. Dia harus pergi sekarang, urusan ini bisa dia pikirkan nanti.

Sementara itu, pria tersebut hanya memperhatikannya pergi, sebelum berbalik dan memasukkan tangannya ke saku.

Satu hal yang pasti, dia sudah memilih.

*****

Elvira menghela napas panjang saat berdiri di depan laboratorium patologi. "Haahh.. Praktikum hematologi di jam pertama," gumamnya pelan sambil menghela nafas. Semester tiga benar-benar mulai terasa berat, terutama dengan materi-materi yang menuntut ketelitian seperti ini. Tapi bagaimanapun dia sudah memilih jurusan ini, jadi dia harus tetap semangat dalam menjalaninya apapun yang terjadi.

Kini Elvira tengah duduk di kursi laboratoriumnya, mengenakan jas lab putihnya dengan tangan bersarung tangan lateks,dan masker yang menutup setengah wajahnya. Hari ini, dia harus melakukan pengambilan darah vena sebelum melakukan pemeriksaan hematologi lainnya, sebuah teknik yang sudah sering dia lakukan dan pelajari. Tetapi untuk pertama kalinya, pikirannya terasa tidak fokus.

Di hadapannya saat ini, seorang teman sekelompoknya sudah siap menjadi subjek uji. Elvira mencoba menarik napas dalam dan mengingat langkah-langkah mengambil darah vena, yaitu dengan memasang tourniquet—toniquet adalah alat yang digunakan untuk menekan dan menghentikan aliran darah pada bagian tubuh tertentu dan bahannya biasanya terbuat dari nilon, karet, atau kain — kemudian mencari aliran darah vena, membersihkan area yang akan ditusuk, lalu masukkan jarum dengan sudut yang tepat.

Namun, lagi-lagi bayangan cincin yang diulurkan pria tak dikenal tadi masih menghantui pikirannya.

"Menikahlah denganku."

Kata-kata itu terus terulang di kepalanya, membuatnya kehilangan fokus. Dia bahkan sempat membayangkan pria tersebut berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi datarnya, menunggu jawaban darinya.

"El, kamu kenapa?" tanya Rina, menyadari Elvira yang tiba-tiba diam dengan jarum di tangannya.

Elvira tersentak. "Ah, iya, maaf. Aku cuma kepikiran sesuatu tadi"

"Oohh.. Yang fokus ya El, kalau kamu nggak fokus, nanti salah tusuk gimana? Efeknya bukan di aku aja yang kesakitan loh, tapi nilai kamu nanti juga bisa dikurang sama dosen" Ucap Rina mengingatkan.

"Iya Rin, makasih ya udah mengingatkan" Ucap Elvira sambil tersenyum, walaupun senyuman itu tidak akan terlihat oleh Nindi, karena setengah wajahnya yang tertutup masker.

Dia menggelengkan kepala pelan, berusaha mengusir pikirannya dan kembali fokus pada tugasnya. Tangannya kembali stabil saat dia memasukkan jarum ke dalam vena dengan presisi. Begitu darah mulai mengisi tabung vakum, dia menarik napas lega.

"Aku ini kenapa, sih?" pikirnya.

Praktikum terus berlanjut, setelah Elvira mengambil darah Rina, ganti Rina yang mengambil darah Elvira. Setelah pengambilan darah selesai, kini Elvira berdiri di depan mikroskop, tangannya sedikit gemetar saat memegang sebuah kamar hitung berjenis Improved Neubauer yang berisi campuran antara darah dan reagen pengencer. Dosen sudah memberi instruksi, tapi pikirannya lagi-lagi terfokus pada cincin yang ada di dalam sakunya—cincin dari pria asing yang tiba-tiba melamarnya pagi tadi.

"Konsentrasi, El," batinnya, lalu menyesuaikan fokus mikroskop.

Perlahan, garis-garis pada kamar hitung mulai terlihat dan tampak beberapa sel darah putih atau leukosit yang berbentuk tidak beraturan, berwarna terang, dan memiliki inti. Elvira pun mulai menghitung sel-sel darah putih tersebut dan menghitungnya. Namun hasil yang didapat yaitu jumlah sel leukositnya kurang dari nilai normal.

Elvira mengernyitkan dahi. "Kok hasilnya kurang dari normal ya. Masa iya leukopenia?" Gumam Elvira.

"Ada yang salah, El?" tanya Rina, melihat wajah Elvira yang mulai serius.

Elvira menegakkan duduknya, sedikit bingung. "Eee.. Jumlah leukositmu rendah Rin" Ucapnya ragu.

"Serius? Kamu salah hitung mungkin" Rina mencoba bercanda, tapi suaranya terdengar sedikit gugup.

"Sebentar aku cek ulang dulu ya Rin" Ucap Elvira. Ia kembali mengecek apakah ada kesalahan dalam pengenceran atau perhitungan, tapi semua tampak benar.

Asisten dosen yang mengawasi mendekat. "Kenapa? Ada kendala?"

Elvira menjelaskan temuannya, lalu asisten dosen ikut mengecek hasil di mikroskop. Setelah memeriksa beberapa kali, asisten dosen mengangguk pelan.

"Kalau memang hasilnya seperti ini, ada dua kemungkinan. Coba kamu sebutkan ada kemungkinan apa saja jika hasilnya kurang dari normal seperti ini?" Ucap asisten dosen itu.

"Pertama, bisa jadi Rina memang mengalami leukopenia, biasanya akibat infeksi virus, anemia, atau gangguan imun. Kedua, bisa juga ada kesalahan dalam prosedur pemeriksaan saya." Ucap Elvira.

"Nah sekarang kamu ingat-ingat lagi apakah ada kesalahan dalam prosedur pemeriksaanmu? Biasanya mahasiswa semester 3 memang banyak melakukan kesalahan saat menghitung jumlah leukosit ataupun eritrosit" Ucap asisten dosen tersebut.

Elvira langsung merasa bersalah. "Apa aku yang salah?" Batinnya. Dia mengecek ulang proses pemeriksaannya sambil mengingat-ingat. Apakah ia kurang mengocok sampel sebelum mengisi bilik hitung? Apakah larutan pengencernya sudah tepat? Apakah waktu inkubasinya kurang tepat?

Sementara itu, Rina ikut cemas. "Jadi... kalau benar hasilnya lebih rendah dari nilai normal,  aku harus gimana El?"

"Untuk lebih pastinya, lebih baik kamu cek ulang di rumah sakit deh Rin" jawab Elvira, tetap berusaha profesional meskipun pikirannya dipenuhi kecemasan.

"Iya El nanti aku coba cek ke rumah sakit, kamu nggak usah panik ya, kalaupun aku sakit, ya sudah tinggal diobati saja, tapi kalau misal karena kesalahan pemeriksaanmu, kamu jangan terlalu memikirkannya, kan kita masih mahasiswa, masih sama-sama belajar" Ucap Rina berusaha untuk menenangkan Elvira.

"Tapi gimana kalau aku memang melakukan kesalahan? Kalau aku nggak teliti, gimana kalau nanti aku jadi analis yang ceroboh?" Batin Elvira.

"Udah nggak usah dipikirin lagi El, besok kita masih ada praktikum yang sama, jadi kamu bisa memeriksa ulang darah milikku. Ayo sekarang kita membersihkan alat yang kita gunakan dulu lalu kita ke kelas, jam selanjutnya akan segera dimulai loh" Ucap Rina yang dibalas anggukan dan senyuman dari Elvira.

Setelah praktikum selesai, Elvira melepas sarung tangannya dan mencuci tangan, tapi pandangannya malah jatuh ke jari manisnya sendiri. Tanpa sadar, dia membayangkan bagaimana cincin itu akan terlihat indah di jarinya manisnya.

'Bodoh, kenapa aku jadi kepikiran itu sih?' Batinnya.

Elvira menggelengkan kepalanya lagi. Dia tidak boleh terpengaruh. Tapi entah kenapa, pertemuannya dengan pria tadi seakan meninggalkan jejak yang sulit dihapus.

Elvira menghela napas pelan. Sebelum berangkat menuju kelas, ponselnya bergetar di saku jas labnya. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

0838-xxxx-xxxx: sudah kamu pikirkan? 

Elvira menatap layar ponselnya sambil mengernyit heran. "Siapa ini? Apakah pria tadi? Jika iya, darimana dia tau nomor hp ku?" Batinnya sambil menatap layar dengan frustasi.

*****

Elvira duduk di salah satu gazebo fakultasnya sambil mengerjakan tugas membuat laporan praktik. Dia harus pandai mengatur waktunya untuk kuliah, praktik, mengerjakan tugas, belajar dan bekerja. Jurusan yang diambil oleh Elvira adalah Teknologi Laboratorium Medis (TLM) atau bisa juga disebut dengan analis kesehatan. Dia mengambil D4 yang artinya dia harus menempuh pendidikan kuliah di jurusan ini selama 4 tahun lamanya.

Elvira menghela napas panjang sambil tangannya terus menulis laporan praktiknya. Tangannya sudah pegal karena banyak sekali yang perlu ditulis,ditambah lagi pikirannya juga masih berusaha menghafal prosedur pemeriksaannya supaya besok tidak ada kesalahan dari dirinya lagi.

Jurusan Teknologi Laboratorium Medis bukan sekadar menghafal nama sel atau membaca hasil tes, tetapi juga menuntut ketelitian tinggi. Satu kesalahan kecil dalam prosedur bisa berakibat fatal bagi diagnosis pasien, contohnya seperti kecerobohan yang dilakukannya tadi.

Di jurusan ini, ia harus berurusan dengan praktikum yang penuh tekanan, mulai dari menghitung jumlah leukosit dengan metode manual, mengidentifikasi morfologi sel darah di bawah mikroskop, hingga memastikan teknik pengambilan sampel darahnya benar. Dosennya selalu menekankan, "Di dunia nyata, satu kesalahan bisa berarti salah diagnosis. Jangan pernah remehkan hitungan kalian."

Namun, kesulitan akademik bukan satu-satunya masalahnya. Begitu praktikum selesai, Elvira harus bergegas ke kafe tempatnya bekerja, melayani pelanggan hingga larut malam demi membayar biaya kuliah dan membantu keluarganya di rumah. Rasanya seperti dua dunia yang bertabrakan—di siang hari ia berkutat dengan tabung reaksi dan mikroskop, di malam hari ia berdiri berjam-jam mengantarkan pesanan kopi.

Kadang, tubuhnya terasa remuk, tetapi menyerah bukan pilihan. Ia tahu tidak ada kemewahan dalam hidupnya, tidak ada kesempatan untuk bersantai seperti mahasiswa lain yang bisa fokus hanya pada kuliah. Jika ingin bertahan di TLM dan lulus dengan baik, maka satu-satunya pilihan adalah berjuang lebih keras dibandingkan siapa pun.

Drrtt.. Drrttt..

Ponsel Elvira bergetar dan menunjukkan satu notifikasi pesan. Dia menghentikan aktivitas menulisnya lalu membuka pesan tersebut.

0838-xxxx-xxxx: kapan kita bisa bicara? Aku tidak suka menunggu

0838-xxxx-xxxx: Temui aku di depan kampus setelah selesai kelas

Sepertinya nomor ini beneran nomor pria yang melamarnya secara tiba-tiba. Kepala Elvira semakin pusing dibuatnya, pria itu datang secara tiba-tiba hanya untuk menambah beban dipikirannya. Padahal cuaca sedang cerah.

"Trus sekarang aku harus bagaimana?" Gumam Elvira frustasi. Dia mengeluarkan kotak cincin dari tasnya lalu melihat cincin tersebut. Jika diingat-ingat lagi, dia belum melihat cincin itu dengan jelas.

Tidak ada yang istimewa dari tampilan cincin tersebut. Tampak biasa saja. Bentuknya sederhana, tanpa ukiran rumit atau kilauan permata besar yang mencolok. Sekilas seperti cincin murah yang bisa ditemukan di toko aksesoris biasa. Apalagi bahan logamnya tidak terlalu berkilau, seperti sudah sedikit pudar. Bahkan dia dulu punya cincin yang modelnya sama seperti cincin ini yang dia beli di pasar malam.

"Orang ini serius atau bercanda sih? Cincin kayak gini buat lamaran?" Gumam Elvira. Dia pun menyimpan kembali cincin tersebut kedalam tasnya lalu kembali menulis laporan praktik tanpa membalas pesan dari pria itu. Dia tak menyadari jika disisi lain, pria itu justru mengharapkan adanya balasan pesan darinya.

Elvira juga tidak menyadari, bahwa jika diperhatikan lebih dekat, ada sesuatu yang berbeda dari cincin yang diberikan oleh pria itu. Sekilas memang tampak seperti cincin biasa, tapi Cincin itu sebenarnya terasa lebih berat dari cincin yang seharusnya, dan permukaannya meskipun tampak sederhana, memiliki kilauan halus yang hanya terlihat saat terkena cahaya tertentu. Jika seseorang yang paham perhiasan melihatnya, mereka akan menyadari ini bukan sekadar cincin biasa—ini adalah platinum asli dengan desain khusus, dibuat dengan teknik yang hanya digunakan oleh pengrajin perhiasan kelas atas.

Di bagian dalam lingkaran cincin, terukir sebuah simbol kecil, begitu halus hingga hampir tidak terlihat tanpa perhatian ekstra. Sebuah tanda tangan rahasia dari seorang desainer perhiasan eksklusif yang hanya menerima pesanan dari keluarga-keluarga kaya tertentu.

Bagi siapa pun yang tidak tahu, cincin ini hanya sebuah cincin tanpa nilai. Tapi bagi yang mengenal dunia perhiasan, ini adalah cincin yang tidak ternilai harganya.

Dan pria tersebut memilihnya bukan untuk pamer, tapi karena dia tidak ingin pernikahan ini menarik perhatian siapa pun lebih dari yang seharusnya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
8 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status