Share

BAB.6

Seorang pria bertubuh tinggi dan sedikit kurus memakai celana kaos panjang serta kaos polos putih perlahan menuruni tangga. Belum terlihat jelas wajahnya, dengan rambut hitam gondrong sedikit ikal yang terurai menutupi wajahnya. Ketika jarak kami hanya sekitar dua meter, sekarang cukup jelas terlihat wajahnya. Di tutupi dengan bulu bulu sepanjang pipi hingga dagu, dan juga kumis tipis yang kurang terawat. Tapi terlihat mata indahnya dengan bola mata coklat terang, bulu mata panjang dengan alis tersusun rapi melungkung simetris satu sama lain bahkan lebih rapi dari alisku.

Hidung mancung serta bibir tipis yang agak sedikit pucat tidak mengurangi bahwa pria ini cukup tampan dengan penampilan sekarang. Mungkin bila bulu bulu yang memenuhi pipi ny di rapikan atau mencukur kumisnya, dia bahkan seperti pemeran utama pria di film T***nic. Sekilas dia memang mirip dengan Opa Jun, ya tak salah karena dia memang keturunannya.

Oma menepuk bahuku, sedikit mengejutkan aku yang benar benar memperhatikan penampilan Mas Bagas. Aku jadi salah tingkah, haruskah aku bersalaman?atau sekedar berkata hai?tanpa sadar aku melirik ke Oma, agar mencairkan suasana canggung ini.

"Ingga ini Bagas, kalian silahkan ngobrol saja dulu Oma tinggal ke kamar sebentar ya," Ucap Oma.

"Tidak Oma, Aku harap Oma tetap di sini saja, aku hanya perlu memastikan sesuatu," Terdengar suara berat khas laki laki keluar daru mulut Mas Bagas. Aku hanya diam menelan air liurku,entah apa yang harus di pastikan Mas Bagas.

"Kamu cukup duduk kembali di tempatmu sekarang, aku hanya butuh lima menit saja. Tolong jangan lakukan pergerakan yang tiba tiba." Pinta Mas Bagas seperti perintah untukku,dan lagi aku hanya menurut. Aku duduk kembali dan berdiam seperti yang di minta. 

Mas Bagas mendekati ku, lalu duduk tepat di samping sofa dimana aku duduk. Memencet gawainya untuk mencari stopwatch, lalu mengatur ke hitungan mundur dari angka lima menit. Ku lirik gawai yang dia mainkan, waktu baru berjalan tiga puluh detik. Rasanya sudah seperti tiga puluh menit aku duduk seperti ini. Oma pun hanya diam menatap kami, tapi seolah mengerti apa yang di lakukan oleh Mas Bagas.

Lima menit berlalu, di simpannya kembali gawai itu ke dalam saku celana. Terdengar helaan nafas lega dari Mas Bagas dia melirik ke arah Oma, Oma hanya mengangguk kan kepalanya dan tersenyum tipis. Aku yang melihat hanya merasa bingung dengan situasi ini.

Tanpa berkata kata, Mas Bagas bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan kami begitu saja. Rasanya sangat canggung dan aku merasa kikuk di hadapan Oma. Padahal aku hanya duduk diam selama lima menit. Aku melihat tubuh Mas Bagas menjauh, ketika menaiki anak tangga dia sempat melirik ke arahku. Mata kami bertemu, ku palingkan wajahku pura pura mengambil handphone yang ada di dalam tas. Mengapa pipiku terasa sedikit panas di ruangan yang penuh dengan pendingin ruangan ini.

"Maaf Ingga, kamu pasti bingung dengan tingkah Bagas tadi kan?" Tanya Oma memecah keheningan ini.

"Ahh..iya Oma, sebenarnya kalau Ingga boleh tau Mas Bagas ingin memastikan apa ya? Sampai Ingga hanya di suruh duduk diam selama lima menit?" Balik aku bertanya kepada Oma dengan wajah penasaran.

"Bagas itu kalau bertemu seorang wanita asing jangankan lima menit, satu menit saja dia tidak tahan langsung merasa pusing dan mual. Tadi dia memastikan bahwa memang hanya dengan kamu saja dia tidak merasa seperti itu. Lihatkan dia tadi merasa nyaman di dekatmu Ingga," Oma melemparkan senyum ramahnya dengan raut wajah yang senang.

"Oma bertambah yakin kalau memang kamu satu satunya yang bisa membantu Bagas untuk keluar dari rasa traumanya Ngga."

"Mungkin terasa sulit, namun cobalah untuk berteman dengannya dulu ya nak. Sering seringlah main kerumah Oma. Oma juga ingin dia hidup normal seperti orang orang. Bahkan dia tidak melewati masa remaja pada umumnya, masa di mana bisa bersenang senang bersama teman sebaya." Raut muka Oma kembali sendu.

Hati ini terenyuh melihat wajah Oma yang sedih kembali. Aku kurang yakin bisa membantu di situasi ini, jangankan berteman mendekati Mas Bagas saja rasanya sulit. Tapi lagi lagi aku tidak bisa menolak permintaan Oma.

"Oma bagaimana cara Ingga bisa membantu? Ingga takut tidak bisa memenuhi keinginan Oma. Ingga takut tidak bisa memenuhi harapan Oma malah nanti akan mengecewakan Oma," Jawabku jujur kepada Oma.

"Ingga, kalau boleh cobalah sesering mungkin kerumah Oma, walau hanya bertemu sebentar dengan Bagas, kalau saja Bagas terbiasa dengan keberadaanmu bisa membuat hatinya sedikit terbuka untuk berteman. Nanti Oma akan meminta izin dari Mama dan Papa kamu agar kamu dengan leluasa kerumah Oma tanpa membuat khawatir orang tuamu Ngga."

"Apapun nanti yang kamu butuhkan, pasti Oma akan siapkan. Bila perlu menginaplah di sini nanti selama beberapa hari," Pinta Oma padaku dan beliau menelungkupkan tanganku di dadanya pertanda dia memang sungguh sungguh dengan ucapannya.

Aku menarik nafas yang dalam berpikir sejenak, mencerna kata kata Oma lalu mengingat kembali sosok Mas Bagas, seperti ada dinding pembatas yang tinggi ketika bertemu tadi. Mampukah aku menolong laki laki itu,pikirku.

"Baiklah Oma, Ingga akan mencoba sebisa Ingga. Tetapi Ingga tidak berjanji dapat membantu banyak." Jawabku pasti.

"Inipun Oma sangat sangat senang dan berterima kasih sama kamu Ingga," Oma memelukku dan mengusap kepalaku dengan lembut nampak binar kebahagian di matanya.

Setelah mengobrol sebentar, aku pun pamit untuk segera pulang. Sekali lagi Oma memelukku dan mengucapkan terima kasih.

"Ngga, kapanpun kamu mau dan apapun yang kamu butuhkan, kamu bisa minta sama Oma ya sayang. Kabari Oma saja ketika kamu akan kesini lagi," Ucap Oma sebelum aku masuk ke dalam mobilku.

"Baik Oma, secepatnya Ingga akan mengabari Oma," Ku tatap Oma dengan seulas senyuman. Sekilas ku lihat ada yang mengintip dari balik tirai jendela diatas. Ehmmh mungkinkah itu Mas Bagas?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status