Share

8. Gosip Tetangga

"Yu Mar, mau ke mana nih pengantin baru? Ngomong-ngomong, selamat ya atas pernikahannya," sapa Bu Minah pada perempuan setengah baya yang lewat depan rumahnya.

Dia mengulurkan tangannya yang penuh dengan perhiasan berkilau. Lambang refleks menoleh pada kedua perempuan yang bertegur sapa. Kebetulan dia mau ke warung Lek Siti untuk membeli sabun cuci. Letaknya satu gang dengan rumah Bu Minah. Hanya berjarak satu rumah. Jadi, mau tidak mau dia harus melewati rumah perempuan yang suka pamer itu.

"Ah, Bu Minah. Mau ke warung. Jangan bilang pengantin baru, lah. Wong sudah nikah tiga kali kok dibilang pengantin baru. Lagian aku sudah tua. Malu." Perempuan yang dipanggil Yu Mar itu tersipu. Dia berhenti di depan pagar rumah Bu Minah.

"Eh, nggak apa-apa, Yu Mar. Meski sudah tua yang penting masih laku. Dari pada si ono, janda muda tapi nggak laku-laku, ha-ha-ha," tawa Bu Minah membuat perut Lambang mulas.

"Siapa, Bu? Ih, pagi-pagi udah bikin orang pinisirin." Yu Mar mulai termakan hasutan Bu Minah.

Percakapan mereka masih terdengar oleh Lambang dari warung Lek Siti. Meski dia memilih untuk tidak peduli, tetapi telinganya tidak bisa untuk tidak mendengar.

"Itu yang sekarang jadi guru. Padahal,  jadi guru gajinya kecil, kan, ya? Tapi dia makannya banyak sampe badannya tambah gemuk. Pantas nggak ada satu pun laki-laki yang berani melamar. Nggak bisa merawat diri, sih." Bu Minah terus mempengaruhi lawan bicaranya.

"Eh, nggak baik bilang begitu. Siapa tahu dia memang belum mau membuka hatinya untuk pria selain mantan suaminya. Mungkin dia sangat mencintainya, sehingga tidak ingin menikah lagi," sahut Yu Mar.

Lambang sudah mendapatkan apa yang ingin dia beli. Setelah membayar pada Lek Siti, dia bergegas pulang dengan langkah seperti biasa. Bersikap seolah-olah tidak mendengar apapun. 

"Ih, emang bener, kok. Dia bisanya cuma makan. Lihat, tuh, badan sampe nggak berbentuk. Tetapi, hati-hati lo, Yu, suamimu dijaga. Jangan sampe berpa ...." Bu Minah terkejut melihat kemunculan Lambang dari arah warung Lek Siti. "Eh, Yu, mau beli apa ke warung? Buruan, Lek Siti keburu mau tutup." 

Bu Minah segera membelokkan arah pembicaraan. Hingga mendorong Yu Marni yang kebingungan untuk segera pergi.

"Eh, Lambang, dari mana?" Yu Marni malah menyapa Lambang. Bu Minah pura-pura memetik bunga yang tidak berdosa sebab masih kuncup.

"Ini, Yu, membeli sabun cuci di warung Lek Siti. Mari,  Yu Mar, Bu Minah, saya pulang dulu." Lambang menanggapi Yu Mar dengan ramah. Bahkan dia juga menyapa Bu Minah yang tiba-tiba menjadi gagap.

"I-iya, Nduk," jawabnya sambil berpegangan pada pagar.

Lambang tersenyum sambil berlalu. Mulutnya menahan diri untuk tidak tertawa. Yu Mar yang memang sangat polos dengan santai melanjutkan perjalanan ke warung yang sempat tertunda. 

Bu Minah berjalan sempoyongan masuk ke dalam rumahnya. Mungkin dia malu atau ingin menghilang saat itu juga. Lambang tidak terlalu mempedulikan kondisi Bu Minah yang sempat tertangkap ekor matanya.

Tiba di rumah dia segera ke belakang untuk mencuci baju. Ibunya terlihat ada di dapur mengerjakan pesanan orang membuat nasi kotak. Sambil membilas baju, dia memikirkan kejadian di rumah Bu Minah. Perempuan bertubuh subur tidak menyangka jika kehidupannya diperhatikan oleh tetangga. 

Dia tidak merasa pernah menyakiti Bu Minah. Namun, gunjingannya membuat Lambang khawatir akan sampai ke telinga ibunya. Cukup dirinya saja yang mendengar gosip tetangga. Karena itu, sebisa mungkin Lambang selalu menemani kemana pun ibunya ingin pergi. 

Jika menginginkan sesuatu, Lambang selalu menawarkan dirinya pergi untuk membelikan. Tidak ingin ibunya mendengar apa pun sesuatu yang buruk mengenai keluarga mereka.

Kesibukan Lambang mengajar membuatnya lupa akan gunjingan tetangga mengenai dirinya. Sebenarnya, dia tidak mempermasalahkan hal itu. Gosip seburuk apapun tidak pernah dia pikirkan. 

Baginya, menjadi seorang tenaga pendidik sudah membuatnya bahagia. Bisa menanggung semua pengeluaran di rumah adalah kebanggaan dan kebahagiaan. Tidak ada lagi yang dia inginkan selain mengabdi pada negara melalui jalur pendidikan. 

Cintanya pada almarhum suaminya membuat dia tidak ada pikiran untuk menikah lagi. Tekadnya hanya bekerja untuk membahagiakan ibunya. Untuk masalah anak-anak, masih ada keponakannya yang terkadang menginap di rumah besar ini. 

Seringkali Lambang memberi mereka uang saku saat menerima gaji. Itulah sebabnya, apa yang dia peroleh sekarang sudah cukup baginya. Hanya meningkatkan keimanan dan ketaqwaan saja yang perlu dilakukan di sisa hidupnya. 

Siang itu usai mengadakan ulangan harian untuk kelas sepuluh, Bu Merlita mengajak Lambang untuk ikut pergi bersama guru-guru makan bakso di dekat stadion. Kebetulan Bu Merlita mendapat rezeki dan ingin mentraktir rekan-rekan kerjanya. Lambang tidak bisa menolak kendati dia ingin pulang membantu ibunya menyelesaikan pesanan. Kian hari pesanan ibunya semakin banyak.

Lambang menikmati baksonya dengan kuah merona. Perempuan humoris itu sangat menyukai bakso. Terkadang ibunya membuat menu bakso untuk Lambang. 

Dia menambahkan satu sendok sambal ke mangkok yang kuahnya sudah habis. Hanya tersisa pentol dan mie saja, sehingga ketika ditambahkan kecap, saos dan sambal akan terasa kental. Rekan sekerjanya juga ada yang melakukan hal yang sama. Rata-rata mereka adalah pecinta bakso dengan rasa pedas yang menggigit.

"Besok hari Minggu jalan-jalan, yuk. Udah lama kota gak rekreasi bareng," usul Bu Delia, guru Fisika.

"Setuju! Ke Pantai Pasir Putih saja. Ada tempat makan yang baru milik temanku," sambut Bu Kaila, guru Ekonomi.

Hampir semua menyetujui usulan untuk rekreasi. Hanya Lambang yang tidak berkomentar apapun. Dia masih canggung untuk ikut berkomentar meski sudah sekian lama satu tempat kerja dengan mereka. 

"Lambang ikut, ya? Sekali-kali gak apa-apa kan ikut jalan-jalan. Supaya pikiran bisa segar kembali saat mengajar di hari Senin. Ya? Mau, ya?" desak Bu Merlita.

Desakan orang yang sangat dihormatinya tidak mampu dia tolak. Bahkan Bu Merlita menawarkan untuk menjemputnya. Akhirnya Lambang mengangguk pasrah.

"Sekali-kali harus keluar, Bu, supaya pikiran tidak tegang. Siapa tahu di sana bisa ketemu jodoh," celetuk Bu Delia. 

Semua tertawa mendengarnya termasuk Lambang. Dia tidak merasa tersinggung karena sangat paham akan maksud Bu Delia hanya bergurau untuk memeriahkan suasana. 

Ketika pulang Lambang memesan satu bungkus bakso untuk ibunya. Semula dia mau membayar sendiri, tetapi Bu Merlita mengembalikan uangnya. Lambang semakin tidak enak hati dengan guru yang murah senyum itu.

Tiba di rumah, ibunya masih menyelesaikan pesanan nasi kotak. Lambang langsung turun tangan untuk membantu.

"Maaf, Bu. Tadi diajak teman mampir ke warung bakso. Ini aku bawakan untuk ibu juga," kata Lambang sambil menyerahkan sebungkus bakso.

"Nggak apa-apa, kamu juga berhak untuk sesekali bersenang-senang. Ibu malah sedih kalo kamu di rumah terus. Keluarlah bersama teman-temanmu. Supaya kamu bisa menikmati kebersamaan bersama mereka."

Lambang memeluk ibunya erat sambil menahan air mata. Dia bersyukur bisa memiliki ibu seperti perempuan tegar yang berkaca mata itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status