Masuk
Pagi itu, alun-alun kota Yunzhou dipenuhi ribuan orang. Suasana meriah, namun juga penuh ketegangan. Bendera besar empat sekte besar berkibar gagah di udara: Sekte Awan Putih, Sekte Pedang Es Abadi, Sekte Tombak Petir, dan Sekte Teratai Emas.
Hari ini adalah hari perekrutan murid baru. Bagi pemuda maupun gadis, ini merupakan kesempatan emas untuk mengubah nasib.
"Perhatian! Perekrutan murid empat sekte besar dimulai sekarang!" suara seorang tetua Sekte Awan Putih bergema, membuat semua mata tertuju pada panggung utama.
Tahap pertama adalah tes kekuatan tubuh.
Batu uji berdiri di tengah alun-alun. Pemuda dan gadis maju satu per satu, memukul batu itu. Kebanyakan hanya menghasilkan cahaya samar, menunjukkan kekuatan rata-rata. Beberapa pemuda yang rajin berlatih fisik mampu membuat batu itu bergetar lebih kuat, tapi tetap dalam batas wajar.
Di antara peserta, tampak beberapa tuan muda dari keluarga besar kota Yunzhou. Mereka berpakaian mewah, sikapnya angkuh, dan setiap kali maju selalu diiringi tatapan penuh kagum dari kerumunan.
"Giliran Ye Tian, dari desa Qinghe!"
Seorang pemuda bertubuh kekar melangkah maju. Tubuhnya penuh otot, hasil latihan fisik keras sejak kecil. Meski hanya pemuda desa miskin, aura tenaganya membuat banyak orang melirik.
Ia menarik napas, lalu menghantamkan tinjunya ke batu.
BOOM!
Batu itu bergetar hebat, cahaya terang memancar. Banyak orang terperangah.
"Wow! Pukulan yang luar biasa!"
"Untuk pemuda desa, kekuatan fisiknya setara dengan para tuan muda kota!"
Ye Tian hanya menunduk sedikit, wajahnya tenang. Namun, ia tahu tahap berikutnya adalah ujian yang selalu menjadi aib baginya—tes akar spiritual.
Sebuah kristal bening ditempatkan di altar.
Satu per satu peserta meletakkan tangan di atasnya. Kebanyakan hanya memunculkan cahaya hijau pucat atau biru redup, menandakan akar spiritual tingkat menengah. Sesekali ada yang lebih terang, tapi tetap dalam batas wajar.
"Akar spiritual menengah, cukup untuk jadi murid luar sekte."
"Menengah lagi… memang beginilah di wilayah timur, akar langka jarang sekali muncul."
Sorak-sorai tetap terdengar tiap kali seorang tuan muda menghasilkan cahaya lebih terang, meski masih dalam kategori menengah. Wajah mereka sombong, seakan sudah pasti diterima.
Kini giliran Ye Tian. Ia maju dan meletakkan telapak tangannya di atas kristal.
Awalnya hening, lalu cahaya samar muncul—abu-abu kusam.
Kerumunan mendadak terdiam, sebelum tawa keras meledak.
"HAHAHA! Akar spiritual kusam!" Zhao Liang, yang berasal dari desa yang sama dengan Ye Tian, langsung menunjuk sambil tertawa terbahak-bahak.
"Benar-benar sampah! Fisikmu kuat, tapi dengan akar busuk begitu, kau tak akan pernah jadi kultivator!" ejek Lin Fei.
Mei Lan menutup mulutnya sambil terkikik. "Aku kira kau bisa sedikit mengejutkan, ternyata hanya sia-sia."
Para tetua sekte saling berpandangan, sebagian menggeleng.
"Akar kusam, ini nyaris tak berguna."
"Hmph, tubuh kuat saja tak cukup. Jalannya sudah tertutup sejak awal."
Di barisan depan, seorang tuan muda dari keluarga Zhao tersenyum meremehkan. "Orang macam sepertimu tak pantas bermimpi masuk sekte besar."
Ye Tian mengepalkan tepalak tangannya dengan erat. Meski dadanya terasa sesak mendengar ejekan, tatapannya tetap tajam. Ia menunduk sejenak, menahan emosi, namun api tekad dalam dirinya tidak padam.
Dari arah kerumunan, tampak dua sosok muda menatap penuh rasa iba. Lin Hao, pemuda berwajah tegas dengan sorot mata jujur, mengepalkan tangannya kuat-kuat. Di sampingnya berdiri Meng Rou, seorang gadis berwajah lembut dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Mereka adalah sahabat Ye Tian sejak kecil. Keduanya tahu betapa kerasnya Ye Tian berlatih setiap hari, menempuh latihan fisik tanpa henti demi memperkuat tubuhnya, berharap bisa menebus kekurangan yang dimilikinya.
“Tidak mungkin??? Dengan tubuh sekuat itu, bagaimana bisa akar spritualnya hanya kusam?” gumam Lin Hao seraya menahan emosi.
Meng Rou menggigit bibirnya, jemari halusnya bergetar saat meremas kain bajunya. "Tian-ge sudah berlatih lebih keras daripada siapa pun… dia bahkan tak pernah menyerah meski diejek satu desa. Kenapa… kenapa hasilnya tetap seperti ini?"
Di tengah tawa dan ejekan yang tak kunjung reda, seorang tetua dari Sekte Pedang Es Abadi mengibaskan tangannya.
"Cukup! Tidak perlu dilanjutkan. Dengan akar spiritual kusam, pemuda ini tidak layak diterima oleh salah satu sekte mana pun."
Tetua lain dari Sekte Awan Putih menggeleng pelan, suaranya dingin, “Tubuhmu memang kuat, tapi apa gunanya tanpa fondasi spiritual? Jalur kultivasi bagimu hanyalah mimpi kosong."
Keputusan itu disambut gelak tawa para peserta yang iri sekaligus puas melihat ada yang dipermalukan. Zhao Liang sengaja melangkah maju, suaranya dibuat lantang agar seluruh orang mendengar.
“Hahaha, dengar itu, Ye Tian! Bahkan tetua sekte pun menganggapmu sampah!”
"Sejak dulu aku sudah bilang, kau tidak punya masa depan. Ternyata benar, kan?" timpal Lin Fei.
Mei Lan tersenyum sinis sambil melipat tangan. "Kau hanya buang-buang tenaga dengan semua latihan fisikmu."
Ye Tian berdiri terdiam. Suara riuh tawa bercampur cibiran seperti ribuan jarum menusuk telinga, tapi wajahnya tetap tenang. Tatapannya hanya lurus ke depan, seolah ejekan mereka tidak berarti apa-apa.
Lin Hao menunduk, mengepalkan telapak tangannya dengan kuat, sementara Meng Rou menitikkan air mata. Mereka ingin mendekat, namun kerumunan yang ramai membuat langkah mereka tertahan.
Akhirnya, Ye Tian menarik napas panjang. Ia berbalik tanpa sepatah kata pun, lalu melangkah meninggalkan alun-alun. Tubuhnya tegak, tetapi setiap langkahnya terasa berat seperti menahan beban teramat berat.
Kerumunan masih berbisik-bisik, sebagian tertawa, sebagian lagi merasa iba serta kasihan. Tapi Ye Tian tidak peduli lagi.
"Sejak awal aku sudah tahu jalanku berbeda, kalau sekte tak menginginkanku, maka aku akan mencari jalanku sendiri."
Di kejauhan, sosoknya perlahan hilang di antara lautan manusia, meninggalkan panggung perekrutan yang penuh dengan sorak-sorai dan tawa penghinaan.
Begitu sosok Ye Tian menghilang di balik kerumunan, Lin Hao segera meraih tangan Meng Rou. "Ayo, kita susul dia!"
Mereka bergegas menerobos keramaian hingga akhirnya berhasil menyusul Ye Tian yang berjalan sendirian di jalan. Matahari senja mewarnai langit dengan cahaya merah keemasan, membuat bayangan tubuh Ye Tian terlihat panjang dan kesepian.
"Ye Tian!" Lin Hao memanggil dengan suara parau. Ia menepuk bahu sahabatnya kuat-kuat. "Jangan hiraukan mereka. Yang penting kamu sudah berusaha, meski kamu gagal di terima menjadi murid sekte besar. Masih ada kami yang akan selalu mendukungmu."
Meng Rou menatap wajah Ye Tian dengan mata berkaca-kaca, "Apa yang di katakan, Lin Hao, benar Tian'ge. Kamu jangan berkecil hati karena hal ini. Boleh saja mereka menertawakanmu, meremehkanmu, tapi bagi kami kamu adalah sosok paling hebat."
Ye Tian berhenti sejenak, lalu menoleh pada kedua sahabatnya. Wajahnya tetap tenang, meski ada kilatan getir di matanya. "Kalian… terima kasih. Tanpa kalian, mungkin aku sudah terjatuh."
Mereka bertiga lalu kembali melangkah bersama, meninggalkan hiruk pikuk alun-alun. Tujuan mereka adalah penginapan sederhana yang sejak kemarin mereka sewa, ruangan kecil dengan ranjang kayu sederhana dan lampu minyak yang temaram.
Saat tiba, suasana kota Yunzhou masih ramai oleh pesta perekrutan. Namun di dalam kamar penginapan itu, hanya ada keheningan. Lin Hao duduk di tepi ranjang, menatap sahabatnya. "Besok pagi-pagi sekali, kita kembali ke desa."
Ye Tian hanya menganggukkan kepala menanggapi perkataan Lin Hao. Di balik ketenangan wajahnya, hatinya sedang berkecamuk hebat. Hinaan para tetua sekte, ejekan Zhao Liang, Lin Fei, dan Mei Lan, bahkan cemoohan para tuan muda dari keluarga besar di kota ini, semuanya berputar-putar dalam pikirannya.
Di malam hari, tampak Tetua Yun Shen dan Gao Yang tengah terlibat dalam sebuah pembicaraan serius di dalam kamar. Suasana ruangan begitu hening, hanya terdengar suara angin malam di luar. Tetua Yun Shen duduk sambil menatap muridnya dengan tajam, "Gao Yang, apa keputusanmu sudah bulat? Jika kita benar-benar meninggalkan Sekte Teratai Emas… maka kita harus siap dengan konsekuensi yang ada." Kan bagus kaya gini Gao Yang tidak ragu sedikit pun. “Guru, aku sudah memikirkannya dengan matang. Aku tidak ingin hidup di bawah pemimpin yang mengorbankan muridnya demi ambisi pribadi. Sekte Teratai Emas yang sekarang… bukan lagi rumah bagi kita.” Tatapan Tetua Yun Shen mengeras, namun ada sekilas rasa lega di matanya. "Aku juga sudah lama menahan diri. Zhen Kang semakin buta oleh kekuasaan. Jika ia berani mencelakai murid dari sekte lain hanya demi akar spiritual… maka cepat atau lambat dia akan menghancurkan sektenya sendiri.” Gao Yang menunduk hormat. "Karena itulah aku ingin memba
Setelah proses penerimaan hadiah selesai, Ye Tian, Su Wan'er, Lin Hao, Meng Rou, dan Meng Jin memutuskan kembali ke tenda peristirahatan mengingat hari sebentar lagi akan beranjak malam. Sedangkan Su Mo dan keluarganya kembali ke penginapan yang ada di kota Jinling. Juara pertama mendapatkan senjata kualitas tinggi, lima ratus ribu batu spiritual atas, serta pil Peledak Energi tingkat empat. Juara kedua mendapatkan senjata kualitas tinggi, tiga ratus ribu batu spiritual atas, dan pil Peledak Energi tingkat tiga. Juara ketiga mendapatkan senjata kualitas menengah dan seratus ribu batu spiritual atas. Sedangkan juara keempat dan kelima mendapatkan senjata kualitas menengah serta lima puluh ribu batu spiritual atas. Sesampainya di depan tenda, sosok Gao Yang datang menghampiri mereka. Tentu hal itu mengundang tanda tanya bagi Ye Tian dan rombongannya. Mereka ingin tahu alasan di balik kedatangan salah satu murid sekte Teratai Emas tersebut. "Saudara Gao Yang, ada keperluan apa kau
Menyadari lawannya mampu menghindari serangan dengan mudah, Luo Shanying meningkatkan intensitas gempurannya. Ayunan pedangnya menjadi lebih cepat, lebih berat, menebas dan menusuk ke titik-titik vital tubuh Su Wan’er. Mau tak mau, Su Wan’er mulai serius menghadapi serangan Luo Shanying. Trang! Trang! Trang! Dentingan logam terdengar berturut-turut ketika kedua pedang saling beradu. Keduanya saling menunjukkan kemampuan terbaik mereka dalam seni berpedang. Slash! Slash! Slash! Luo Shanying mengayunkan pedangnya secara horizontal dan vertikal. Tiga larik cahaya merah berbentuk bulan sabit langsung meluncur deras ke arah Su Wan’er. “Tarian Pedang Es,” ucap Su Wan’er. Seketika suhu udara di panggung mendadak menjadi dingin, bersamaan dengan kemunculan bilah-bilah pedang yang terbuat dari es. Duar! Duar! Duar! Panggung bergetar kuat ketika ledakan itu terjadi. Udara dingin merembes keluar hingga ke area kompetisi, membuat para penonton dan murid perwakilan setiap sekte m
Patriark Mo Jiang Wuhen menatap putranya yang kesakitan, dadanya naik turun keras. Aura membunuh memancar liar dari tubuhnya, menekan siapa pun yang ada di dekatnya seolah udara di sekitar ikut bergetar. "Keparat! Berani‑beraninya Ye Tian mematahkan tangan putraku! Kau akan membayar perbuatanmu berkali‑kali lipat!" geramnya, matanya menyala penuh kemarahan. Sekali tatap, aura membunuhnya terasa menakutkan, bahkan membuat beberapa Tetua dan murid-murid tdi sekelilingnya menahan napas. Wajahnya merah padam, rahangnya menegang. Jika bukan karena peraturan kompetisi, ia sudah turun tangan saat itu juga. Sebagai tuan rumah kompetisi kalau sampai dia melakukan hal itu akan merusak reputasinya sebagai Patriark sekte besar. Di atas panggung, melihat reaksi kemarahan Patriark Mo Jiang Wuhen, Ye Tian tersenyum tipis. Bukan tanpa sebab ia melakukan itu. Pada pertandingan sebelumnya, Mo Zhang bertindak kejam, mematahkan tangan, kaki, bahkan tulang rusuk perwakilan murid Sekte Laut Biru d
Menjelang siang, keramaian area kompetisi semakin memuncak. Sorak penonton dan percakapan para murid dari berbagai sekte memenuhi udara. Su Wan’er yang baru saja duduk bersama rombongannya tiba-tiba membeku. Matanya membesar perlahan ketika melihat empat sosok yang sangat ia kenal berjalan melewati kerumunan—Ayahnya Su Mo, ibunya Su Lianhua, serta kedua kakaknya, Su Qian dan Su Rong. Ia langsung berdiri. "Ayah…? Ibu…? Kakak Qian… Kakak Rong…?” Suaranya bergetar, seperti tak percaya. Tanpa menahan diri lagi, Su Wan’er berlari menghampiri mereka. Begitu tiba, ia langsung memeluk kedua orang tuanya erat-erat. Pelukan yang penuh rindu, penuh kehangatan. Su Mo tersenyum lembut sambil menepuk punggung putrinya. "Ayah datang untuk memberi dukungan. Bagaimanapun juga, ini hari penting bagimu, Wan’er." Ibunya memeluk dari samping, suaranya lembut namun sarat emosi. "Kami ingin melihatmu berdiri di panggung itu. Ibu tahu kau sudah berlatih sangat keras." Su Wan’er mengusap air
Hujaman tombak terus mengarah ke anggota tubuh tanpa henti. Sehingga membuat lawannya itu hanya bisa menghindar tanpa memberi perlawanan. Setiap kali melancarkan serangan tubuh Ao Jian selalu berpindah tempat. Meski begitu, semua pergerakannya dapat dilihat jelas oleh Ye Tian. Tusk! Tusk! Tusk! Bibir Ao Ajian melengkung tipis saat tombaknya berhasil melukai wajah, bahu dan tangan Ye Tian. "Haha....terus saja menghindar, Ye Tian. Pada akhirnya kau akan kalah tanpa sempat melakukan perlawanan, haha....," ujar Ao Ajian seraya tertawa terbahak bahak. Tangannya begitu cepat menggerakan tombaknya itu. "Tertawalah sepuasmu, sebelum kau tidak berdaya menerima seranganku," gumam Ye Tian dalam hati. Semakin lama gerakan Ao Jian mulai melambat, nafasnya mulai terengah-engah. Menyadari lawan mulai kelelahan, Ye Tian memanfaatkan hal itu dan ia menghilang dari tempatnya berdiri. Wush! "Apa...!" Ao Jian terkejut menyadari Ye Tian menghilang tiba-tiba. Lalu dia mengedarkan pandan







