Share

Lanjut Salah, Berhenti Susah!
Lanjut Salah, Berhenti Susah!
Penulis: Mimosa

Prolog

"Kalau kamu memang perempuan baik-baik, tidak seharusnya kamu menerima ajakan bertemu seorang pria yang sudah beristri."

Ayya tersentak kaget saat perempuan yang baru saja selesai memaki, ganti mendorong kuat tubuhnya hingga tersungkur jatuh. Sedangkan lelaki di sebelahnya tak banyak bicara, membela pun seolah enggan. Padahal, dia yang mengajaknya ke sini.

Perempuan yang lebih tinggi dari Ayya itu maju selangkah, menunduk, lalu kembali memukuli Ayya dengan brutal. Meski pukulan tersebut cukup kuat dan menyakitkan, tetap tak lebih sakit dibanding hatinya sekarang.

"Kenapa kamu jahat? Apa lelaki di dunia ini sudah benar-benar habis sampai kamu nekat menggoda suami orang?" ujarnya lagi dengan sorot yang lebih redup dari sebelumnya. Perempuan itu beralih pandang, menatap sang suami yang saat ini membatu di tempatnya. "Dan kamu, A, kenapa bisa sejauh ini? Apa kehadiran Arka di hidup kita tidak cukup untuk membuat kamu mencintaiku?"

"Aku cinta sama kamu, Rin, tapi bohong kalau aku sudah bisa melupakan Ayya. Ada beberapa tahun yang aku habiskan bersama dia, jauh sebelum aku mengikat kamu dalam sebuah pernikahan."

"Kamu jahat, A." Perempuan bermata sipit itu bertutur lirih. Tubuhnya merosot jatuh, bertumpu penuh pada tanah yang dipijaknya.

Ayya gemetar melihat tatapan nyalang perempuan itu. Tubuh yang sebelumnya tampak sudah kehilangan daya, seolah kembali terisi penuh. Tangan Arini terangkat, siap mengayunkan pukulan atau minimal satu tamparan lagi. Namun, belum sempat tangan mulus itu mendarat, seseorang lebih dulu mengguncang tubuhnya.

"Teh Ayya, bangun dulu. Ini Hani mau kasih lihat desain baru baju untuk komunitas kita."

Ayya menggeliat pelan. Kedua netranya mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar terbuka. "Ya ampun, saya ketiduran."

Hani tersenyum tipis. "Teteh pasti capek semalaman jaga di rumah sakit. Maaf karena Hani jadi ganggu Teteh."

"Enggak. Saya justru berterima kasih karena kamu bangunkan. Sebenarnya hari ini saya ada janji sama Mas Yendra," terang perempuan itu. Ia bangkit, lalu meraih selembar kertas dalam genggaman Hani. "Ini desain barunya?"

"Iya, Teh. Menurut Teteh bagaimana?"

"Wah, ini bagus. Saya suka."

Enam bulan belakangan ini, Ayyara Gauri Carabella memang aktif membina Komunitas Peduli Sesama. Sebuah komunitas yang bergerak memberi pendampingan pada pasien dengan penyakit kronis dan membutuhkan pengobatan jangka panjang. Pasien radioterapi contohnya. Dua puluh sampai tiga puluh kali radiasi jelas membutuhkan banyak waktu, sedangkan tidak semua pasien didampingi penuh oleh keluarganya.

"Kalau Teteh sudah setuju, biar nanti Hani bicarakan sama yang lain juga supaya cepat dibuat."

"Boleh," singkatnya. Ayya melirik jam warna putih yang melingkar di pergelangan tangannya, dan langsung memekik tertahan. Pasalnya, ia sudah terlambat tiga puluh menit untuk bertemu tunangannya. "Hani, saya pergi dulu, ya. Tolong bilang sama Alden kalau data pasien di rumah singgah Azalea sudah saya kirim via email."

"Iya, Teh, nanti saya bilang. Teteh hati-hati di jalan, ya."

Ayya hanya mengacungkan jempol sebagai jawaban. Ia buru-buru karena Yendra pasti sudah terlalu lama menunggu.

***

"Bapak, simulasinya kita jadwalkan tanggal 2 Juli, ya. Seminggu sebelum itu Bapak sudah harus ke sini untuk cek darah," terang Suster Gendis.

"Dok, kenapa jadwalnya lama? Kapan Bapak sembuh kalau pengobatannya diundur terus."

Kafa yang semula sibuk menulis resep untuk pasiennya refleks mengangkat kepala. Netranya beradu dengan sorot sendu gadis berperawakan mungil yang duduk di sebelah ayahnya. "Karena kondisinya, ayah kamu bahkan dijadwalkan lebih cepat dibanding yang lain. Jadi, kamu harus sabar karena semuanya memang butuh proses."

Gadis berambut sebahu itu tak bisa mengatakan apa-apa selain pasrah. Karena bagaimanapun, dokter lebih tahu kondisi dan yang terbaik untuk ayahnya.

Setelah pasien terakhirnya meninggalkan ruangan, Kafa langsung berbenah. Dua kali dalam seminggu ia akan dihadapkan pada pasien dengan ragam kondisi, dan jujur tidak ada yang tak membebani pikirannya. Kafa ingin mereka semua sembuh.

Gelar yang tersemat rapi di belakang namanya memang cukup memberatkan. Kafa bertanggung jawab penuh pada profesinya sebagai dokter spesialis onkologi radiasi. Ia berharap semua yang ditangani olehnya bisa melakukan pengobatan dengan baik dan berhasil mencecap kesembuhan. Meski tak mudah, Kafa menikmati setiap proses yang ia lalui. Setidaknya, dengan demikian, pikiran lelaki itu bisa teralih dari gadis masa lalunya.

|Bersambung|

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status