Share

Serbuk Kenangan

Yang berbahaya itu bukan hanya pertemuan dengan mantan, tetapi berbenturan dengan kenangan. Tak berwujud pun kenangan sanggup mengacaukan sebuah usaha melupakan.

Lanjut Salah, Berhenti Susah |01|

***

"Besok jadi mau minta surat rekomendasi dari IDI, Mas?"

Yendra menelan makanan yang tengah dikunyah lebih dulu sebelum akhirnya bersuara, "Iya, jadi. Siapa tahu kalau persyaratannya rampung dilengkapi, perizinan bisa keluar secepatnya."

Ayya mengangguk mafhum. Calon suaminya itu memang tengah sibuk mengurus segala sesuatu terkait klinik yang baru didirikan. Wajar kalau intensitas pertemuan mereka semakin menyempit. Yendra tak hanya harus pintar membagi waktu antara urusan klinik, keluarga, dan Ayya, tetapi juga urusan kampus, mengingat belum lama ini lelaki itu didaulat menjadi dosen di salah satu universitas swasta.

Setiap ditanya apakah Yendra tidak lelah dengan rutinitas yang sedemikian padat? Yendra pasti menjawab, kejar setoran buat modal menikah. Padahal, seharusnya Yendra tidak bekerja sekeras itu. Kalau Ayya siap, pernikahan mereka bisa dilangsungkan dengan sederhana. Namun, Ayya belum benar-benar siap.

"Jaga kesehatan, Mas. Sibuk boleh, tapi jangan menyiksa diri," ujar Ayya lagi.

Sudut bibir lelaki berkemeja biru muda itu terangkat ringan, mencetak senyum sempurna. Tangannya terulur mengusap lembut puncak kepala calon istrinya. "Itu berlaku juga buat kamu, Ay. Sekarang KPS, kan, anggotanya sudah lebih dari dua ratus orang. Jadi, beri kesempatan mereka berbuat baik juga. Jangan semuanya kamu kerjakan sendiri. Nanti sakit."

Si gadis berambut ikal tak lagi bersuara. Ia hanya tersenyum semampunya mendapat perlakuan manis dari Yendra. Hatinya berteriak memaki, mempertanyakan kepantasan Ayya dicintai sebegitu dalam oleh lelaki yang bahkan tidak pernah dicintainya.

"Setelah ini kamu mau ke mana?"

Ayya mendongak, membuka buku agendanya, lalu menjawab, "Membeli kebutuhan orang-orang di rumah singgah. Biasanya akhir bulan begini persediaan beras menipis. Sayur dan buah juga. Kalau air minum biasanya diantar rutin, dua atau tiga hari sekali."

"Mau diantar?"

"Enggak usah. Mas juga pasti sibuk."

Yendra menganggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Memang benar, setelah ini ia harus pergi ke klinik menggantikan jaga dokter sebelumnya.

Setelah sama-sama menghabiskan makanannya, Yendra segera berpamitan. "Ay, aku pergi duluan, ya. Kamu hati-hati. Sabuk pengamannya jangan lupa dipasang. Satu lagi, jangan kepincut sama dokter ganteng lain di rumah sakit."

"Kamu satu aja enggak habis. Masa aku kepincut sama yang lain?"

Sekali lagi Yendra tersenyum, kemudian mencondongkan tubuh, menghadiahkan kecupan singkat di dahi Ayya. "Hati-hati, ya, Sayang."

Ayya tertegun. Dulu seseorang di masa lalunya juga melakukan hal serupa. Rindu dengan cepat menguasainya. Memang akan sangat sulit melupakan lelaki itu karena nyaris setiap ruang di otaknya hanya berisi nama Kafa yang sudah tercatat selama bertahun-tahun.

***

"Mammam ... mammam."

Kafa tersenyum tipis mendengar putra kecilnya meracau melafalkan kata-kata yang belum terlalu jelas. Tangan kekar Kafa terulur, membawa anak itu ke dalam pangkuannya. "Arka lapar, hm?"

Mata bocah satu tahun itu berbinar. Senyumnya mengembang sempurna, meski terhimpit pipi bulat yang seolah siap meledak. Aroma bedak bayi dan minyak aromaterapi menguar kentara, membuat Kafa betah berlama-lama menciumi putranya.

"Teh, makanannya udah belum? Kasihan nih." Kafa berteriak.

Tak berselang lama, perempuan bernama Arini datang membawa semangkuk bubur bayi untuk Arka. "Mau Aa yang suapi?" tanya perempuan itu sembari menyerahkan mangkuk berisi makanan putranya pada Kafa.

"Aku enggak bisa. Nanti belepotan."

"Coba aja atuh, A. Aa banyak melewatkan tumbuh kembang Arka karena terlalu sibuk. Ini satu-satunya cara supaya Arka tetap kenal dan merasa dekat sama Aa."

Akhirnya Kafa menuruti permintaan istrinya. Memang benar, Kafa sering merasa takut jika Arka tidak akan mengenalinya karena terlalu sibuk. Lelaki itu mengambil alih mangkuk di tangan sang istri, dan mulai menyuapi Arka. "Makan dulu, ya, Nak."

Arka seolah paham. Anak itu bahkan makan dengan lahap. Sesekali bertepuk tangan atau memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut saat mulutnya mulai kosong.

"A, tadi aku beres-beres di ruang kerja Aa, terus lihat ini di laci. Punya Aa bukan?"

Spontan Kafa terbatuk. Ia tersedak salivanya sendiri melihat kalung dengan bandul setengah hati di tangan istrinya.

Arini menepuk-nepuk punggung suaminya. "Aa kenapa? Kok kayaknya kaget? Ini benar punya Aa? Sebelah hatinya laginya mana?"

Sorot pria itu redup. Sebelah hatinya lagi dibawa Ayya. Enggak pernah balik sampai sekarang, jawabnya dalam hati. "Kalung mainan punya teman. Rencananya mau aku kembalikan, tapi lupa simpan. Untung ketemu."

"Teman Aa pasti romantis, ya? Aku juga mau dibelikan kalung pasangan begini, A."

Kafa tak menjawab, hanya tersenyum untuk mengaburkan kecurigaan sang istri. "Kapan-kapan kita beli."

Jujur, kalung itu dibelinya beberapa tahun lalu. Hadiah pertama yang ia berikan untuk Ayya saat mereka baru berpacaran. Untunglah hingga detik ini tidak rusak karena Kafa merawatnya dengan baik. Dulu, si penjaga toko menggodanya dengan bertanya apakah kalung itu untuk kekasihnya? Dan Kafa mengangguk malu-malu.

Sesederhana itu kisah cintanya dulu. Namun, entah mengapa kenangan yang tercatat enggan juga hilang sampai detik ini. Ayya masih selalu ia rindukan.

***

Ayya melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia benar-benar lelah seharian bekerja. Sorotnya terpusat menatap langit-langit kamar. Ada hampa yang tak bisa dijelaskan. Seharusnya, setelah bertahun-tahun Ayya bisa hidup dengan baik. Ia memiliki pekerjaan tetap, teman-teman yang luar biasa, dan kekasih yang suportif. Apa yang kurang?

Andai hatinya tak lagi tertaut pada orang di masa lalu, hidup Ayya pasti baik-baik saja. Sayang, berbenturan dengan kenangan tak pernah mudah. Berulang kali Ayya harus mencecap sakit yang sama.

"Ay, dia udah nikah dan punya anak. Apa lagi yang kamu harapkan?"

Gadis itu bangkit, kemudian menatap pantulan wajahnya di cermin. Air matanya meluruh begitu saja saat sekelebat bayang lelaki itu muncul di benaknya. Dia memang tak pernah sederhana, sama seperti rasa sakit yang tercetak akhirnya. Seharusnya benci memudahkan untuk pergi, tetapi jangankan pergi, sekadar melangkah pun sulit.

"Kenapa, sih? Kenapa kamu enggak pernah mau pergi dari kepalaku? Aku punya kehidupan. Aku bahkan punya tunangan yang hatinya harus aku jaga. Kalau kamu enggak mau pergi, aku cuma bakal terus menyakiti dia."

Sayang, bukannya lenyap, sosoknya justru semakin nyata. Ucapan lelaki itu pun terngiang kembali di telinganya.

"Aku enggak akan pergi, kecuali itu harus," ucapnya saat itu. Ternyata benar. Dia tak pernah pergi, hanya menikah dengan orang lain, dan itu bukan keinginannya, tetapi sebuah keharusan. 

Gadis itu menghela napas panjang, berusaha untuk tidak menangis. Ini bukan kali pertama kenangan mencederai hatinya, seharusnya Ayya sudah lebih pandai mengontrol diri. Sayang, semua tak mudah. Ia masih menjadi orang yang sama seperti beberapa tahun lalu, perempuan yang mencintai pria itu begitu dalam. 

|Bersambung|

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status