Aku bumi dan kamu matahari, kita saling menatap, tapi tak bersatu.
Aroma parfum Arga kian memenuhi indra penciuman Ralin, begitu menyeruak sampai membuat Ralin mabuk tak berkedip melihat Arga di sampingnya.
"Ral, aku pinjam laptop kamu ya? Mau ngetik buat surat keterangan," kata Arga.
Ralin seketika mengangguk mengiyakan dan menyodorkan laptopnya kepada Arga.
"Thanks."Ralin mengambil camilan kacang garuda dari tasnya dan saat baru saja dia buka, Arga sudah meminta."Suapin," ucap Arga."Ha?" Ralin lalu mengambil beberapa kacang lalu menyuapkan ke mulut Arga
"Enak," ucap Arga.
"Ehem." Farhan sengaja berdehem karena melihat tingkah mereka berdua yang lucu.
Ralin menunduk malu, lalu dia menaruh kacang di tengah meja dan menawarkan kepada teman lainnya. Arga tidak lagi meminta suapan kedua, dia memilih mengambil sendiri. Antara risih dan bingung karena tatapan teman-temannya. Jujur saja, sejak dulu memang Ralin sudah menyimpan rasa kepada Arga, jauh sebelum Arga memasuki kehidupan Ralin. Pertama kali Ralin jatuh hati kepadanya saat masa orientasi, namun sayangnya Ralin mengubur dalam perasaan itu karena dia juga tau sahabatnya memiliki rasa tertarik kepada Arga. Hal yang paling Ralin benci, dua sahabat yang memperebutkan lelaki. Hal itu membuat dia mual dan menjauhi ‘drama’ semacam itu.
Awan cerah tiba-tiba menjadi mendung, rintik hujan mulai turun. Ralin bangkit dan mengambil tas dan bukunya, termasuk sekoteng dan Arga, mereka berteduh menghindari hujan dan masuk ke dalam perpustakaan.
"Duh hujan, aku mau ke TU jadi males, temenin lagi ya kesana," pinta Arga berbisik tepat di telinga Ralin, hembusan napas hangat Arga membuat pipi Ralin merona.
Arga berlari menembus hujan, Ralin mengikutinya dari belakang, andai saja jika Arga mau menggenggam tangan Ralin, mungkin kisah ini bisa jadi seperti film romansa yang mampu membuat hati bertekuk lutut. Sayangnya khayal terlalu tinggi, Arga malah berjalan tanpa menoleh ke belakang membiarkan Ralin yang mengikutinya kehujanan.
"Tunggu di sini, aku mau minta formulir suratnya."
Ralin hanya menanggapinya dengan tersenyum mengangguk, dia lalu duduk di ruang tunggu ruangan tata usaha, menunggu Arga yang berbaris antri di loket. Degupan jantung Ralin kian berdebar sangat kencang, hingga membuat napasnya tersengal, pemandangan yang begitu indah. Arga menyisir rambutnya yang basah, Ralin terpukau dengan gerakan itu. Di sini, di loket tata usaha, cintanya yang telah dia kubur selama dua tahun ini, bersemi kembali.
"Udah, ayok balik."
Ralin tak menanggapi dan hanya mengikuti jejak kaki Arga, aroma parfum Arga sangat khas dan berbeda, maskulin dan manly, seperti karakter Arga. Ralin sangat menyukai baunya. Tatapan Arga beralih kepada seorang gadis cantik bak dewi turun dari surga, cantik dan kecantikannya selalu diakui setiap pasang mata yang melihatnya, mahasiswi yang satu kelas dengannya dan memiliki ribuan followers di i*******m. Cantik, pintar, dan anggun. Siapa laki-laki yang tidak akan terpesona dengannya? Mika Anggrita, gadis cantik yang selama ini bersemayam di hati Arga.
Ralin menangkap itu semua, dia menangkap ekor mata Arga yang mengikuti kemana Mika berjalan. Ribuan jarum seperti menghujani hatinya, alam sadarnya membandingkan dirinya dengan Mika. Jauh, sangat jauh. Ralin seseorang yang jauh dari kata feminim, followers hanya ratusan bahkan mungkin tidak mencapai tiga ratus. Tomboy, rajin dan memiliki hati yang kuat, apalagi yang bisa dibanggakan seorang Ralin kecuali hatinya yang tulus dan menolong tanpa pamrih. Tidak secantik Mika, tidak pula sering dikejar lelaki manapun, tapi Ralin bak mahkota yang tidak tersentuh oleh siapapun. Mungkin mahkota yang tak pernah terlihat, karena kepercayaan dirinya selalu meredup.
"Aku masuk ke perpustakaan dulu ya," ucap Ralin.
Arga hanya menjawab dengan anggukan, Ralin tersenyum kecut. Apa yang sebenarnya dia harapkan? Sudah pasti ini perasaan sepihak. Ekor mata Arga masih saja memperhatikan Mika yang berjalan mulai menjauh. Dengan hati yang berat dan sedikit terluka Ralin terus melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Aroma buku dan ruangan yang sunyi, sesuatu hal yang Ralin sukai. Perpustakaan bagai rumah ketiga bagi Ralin. Yang pertama adalah rumah orang tuanya, kedua lapangan basket dan yang ketiga adalah perpustakaan.
Ralin gadis yang menyukai basket lebih dari apapun. Sayangnya Fakultas Ekonomi sangat jarang mengadakan pertandingan basket. Bahkan untuk komunitas basket putri saja sudah punah. Mau tak mau Ralin hanya berlatih di lapangan rumahnya, lapangan yang memiliki kenangan indah bersama orang yang telah pergi meninggalkannya. Beberapa tahun yang lalu saat dia masih di bangku SMP, dia sangat dekat dengan seseorang. Lelaki yang berhasil mencairkan gunung es yang ada di hati Ralin. Sayangnya dia pergi karena wanita lain yang jauh lebih menarik.
Kenangan lama itu tanpa Ralin sadari membuat dia selalu membuat penilaian terhadap fisik. Dia sendiri tidak percaya diri dengan tubuhnya. Ditinggalkan begitu saja membuat Ralin terluka, namun hebatnya hingga detik ini dia tidak lagi meratapi luka yang lama. Setidaknya Ralin masih bisa tersenyum bahagia tanpa melihat masa lalu. Berulang kali Ralin melihat ke arah luar gedung, mencari seseorang yang hingga detik ini belum juga masuk perpustakaan. Mungkin di luar, Arga masih menikmati menatap Mika, atau bahkan mungkin dia mengajaknya berbicara. Memikirkannya saja sudah membuat dia cemburu.
Damian melambaikan tangannya menyuruh Ralin untuk duduk, tapi gadis setengah tomboy itu memilih mengambil skripsi dan membawa ke meja dan duduk bersama sekoteng.
"Mana si Arga?" tanya Damian.
Ralin hanya mengendikkan bahunya, dia malas menjawab. Rasanya ingin bungkam mengingat hal tadi. Seperti ada rasa yang mengusik hatinya sejak tadi, rasa yang hadir kepada setiap insan jika mulai jatuh cinta, cemburu.
Farhan menangkap raut wajah Ralin yang cemberut dan seperti marah, dia melontarkan pertanyaan, "Arga pulang?"
Ralin mendongak membalas tatapan Farhan dan menggeleng pelan. Dia menempelkan jari telunjuknya di bibir, memberi kode untuk diam sebelum penjaga perpustakaan melayangkan sebuah buku ke kepala mereka karena berisik.
Derit pintu kaca berbunyi, kepala Arga menyembul di baliknya dan dia masuk ke dalam. Bajunya agak basah karena air hujan, dia lalu masuk dan duduk tepat di samping Ralin. Rasa desir halus kembali hadir di hati Ralin, dia masih mencoba fokus membaca buku skripsi walaupun hatinya berdebar tak karuan.
"Nah, kebetulan enaknya aku ngambil judul skripsi apa ya Lin?" tanya Arga sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ralin bangkit dari duduknya, tidak menjawab pertanyaan Arga dan berjalan menuju rak skripsi lagi. Kali ini mata Ralin menyusuri deretan skripsi Manajemen Sumber Daya Manusia. Mengambil sebuah skripsi itu dan memberikan kepada Arga.
"Mungkin ini bisa kamu ambil sebagai topik," ucap Ralin.
Arga menatap skripsi bersampul putih tulang itu dan membaca judul dan isinya, dari raut wajahnya memberikan tatapan jengah dan bosan, sesekali dia menguap karena tidak memahami isinya.
"Susah, jangan yang ini. Aku ada ide judul, nih."
Arga mengambil secarik kertas dan menuliskan dengan bolpoinnya, 'Pengaruh Gaji terhadap Kinerja melalui Kompensasi.'
Jujur saja, Ralin sangat buta dengan pelajaran SDM, dia hanya ahli di bidang Keuangan. Tidak bisa juga dibilang ahli, lebih tepatnya Ralin hanya 'memahami' soal keuangan.
"Maksudnya gimana?"
Tercetak jelas wajah Ralin yang seperti orang bodoh, bibirnya terbuka sedikit dan matanya yang membulat, dia sama sekali tidak mengerti mengenai ini.
Arga lalu menerangkan kepada Ralin sedikit demi sedikit dan pada akhirnya Ralin memahami, walau tak sepenuhnya mengerti apa maksud skripsi Arga, tapi setidaknya kerangka konseptual telah tergambar di otak Ralin.
"Gimana? Paham?" tanya Arga.
"Lumayan paham." Ralin mengangguk kecil.
"Kalau gitu mulai besok bantuin aku ngerjain ya."
Ralin mengangguk dengan mantap tanpa tau anggukannya membawa petaka kepada hatinya, membukakan hati yang telah tertutup kepada seorang Arga. Lelaki tampan dan tinggi namun pendiam dan terkesan misterius, hingga Ralin sendiri tidak bisa menebak bagaimana perasaan Arga dibalik ini semua.
Mungkin cinta bisa hadir dan tumbuh kapan saja, tapi apakah mungkin cinta itu akan tumbuh tanpa pupuk? Rasa itu adalah rasa yang paling sakral dan mampu membuat seorang Ralin yang memilik hati yang kuat terlihat rapuh.
Saat kau dekat, berhasil membuat aku terpikat.Sore ini adalah waktu yang pas bagi Ralin untuk berlari mengelilingi lapangan membakar kalori nasi goreng tadi pagi. Dengan sigap, Ralin mengenakan sepatu olahraganya dengan membawa hanphone dan berlari mengelilingi lapangan basket di dekat rumahnya. Putaran pertama masih terasa ringan, putaran kedua tubuhnya mulai memanas keringatnya bercucuran dan bajunya mulai basah.Putaran ketiga Ralin mulai merasakan napasnya tersengal, dia memilih duduk di pinggir lapangan. Tiba-tiba hanphonenya berdering, notifikasi line dari Arga. Entah kenapa akhir-akhir ini Arga semakin intens menghubungi Ralin. Dengan cepat Ralin membuka notifikasi itu dan bertanya kepadanya."Kamu enggak mau cari uang sediri ta Lin?"Ralin menyerngitkan dahinya, dia tidak memahami maksud Arga. Lalu dia membalas pesannya dengan bertanya apa maksud Arga. Selang lima menit kemudian Arga kembali membalas dengan memberikan gambar sebotol plas
Aku kira kita memiliki waktu yang lama. Tapi ternyata sangat singkat, sampai aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal.Ralin memutar-mutar ponsel yang ada di dalam genggamannya. Dia sangat gelisah menunggu Arga karena sejak sejam yang lalu dia belum juga memberi kabar keberadaannya. Mereka telah berjanji untuk bertemu pagi ini bersama dengan kelompok kewirausahaan dulu. Ralin melangkah keluar dari kelasnya, dan berjalan menuju Gazebo bersama Monica, dan Maria. Satu teman lainnya bernama April ijin untuk tidak bisa mengikuti diskusi karena belajar menari. Baru saja sampai di depan lorong G9 Arga muncul dan menunjukan gigi putihnya. Ralin hanya menghela napas karena ternyata dia menunggu seseorang yang sejak tadi sudah ada disini namun di gedung yang berbeda."Ral, tunggu dulu. Kamu tau cara ngisi penilaian di sistem online?" tanya Arga."Penilaian sistem online? Seperti apa? Sistem non akademik?" tanya Ralin."Ya, dosen penasihatku tidak bisa,
Meninggalkan aku secara perlahan bagimu tidak menyakitkan, kamu salah. Semakin lama kamu pergi, semakin berat bagiku untuk berpaling.Sejak semalam Monica dan Ralin telah menyiapkan semua bahan untuk persiapan membuat makanan hari ini, mereka telah menentukan akan membuat cilok dan tahu fantasy dengan minuman soda gembira. Dengan mata berbinar dan semangat penuh kobaran api, Ralin mengambil tepung dan semua bahan, dia menyiapkannya dibantu dengan Monica."Mon, kemana ya anak-anak kenapa belum datang ya?" tanya Ralin.Monica hanya menghela napas kesal, dia sudah tau kedua anak itu pasti akan datang terlambat. Ralin tersenyum, jantungnya sudah dag dig dug tak karuan karena menunggu kedatangan Arga.Bunyi motor khas Yamaha X Ride membuat Ralin tersenyum senang, sudah pasti itu motor Arga yang datang. Ralin menuju kamar, mengenakan hijab dan baju lengan panjangnya lalu melangkah membuka pintu. Tak lupa dia menggunakan make up tipis, sejak kemarin Ral
Kamu hadir, tapi tidak menetap. Sama saja berbohong.Arga tampak begitu tampan dengan kemeja kotak-kotak kuning dan celana jeans. Rambutnya tersisir rapi dan aroma parfumnya tercium maskulin. Ralin masih terpaku dengan ketampanan Arga, bahkan tak berkedip."Jadi gimana? Kamu mau naik motor sama aku apa naik mobil?" tanya Arga.Hari ini bazar akan dimulai, semua peralatan masak dan makanan yang akan dijual sudah siap masuk ke dalam mobil. Hati kecil Ralin berteriak menginginkan naik motor berboncengan dengan Arga, tapi disisi lain, dia juga ingin menemani Monica naik mobil."Naik mobil aja, temenin Monica," jawab ibu Ralin.Ralin dengan Monica dan Arga saling pandang, sesuatu yang tidak bisa diartikan. Ralin akhirnya berpamitan dan masuk ke dalam mobil, menemani Monica dan memangku peralatan masak untuk bazar."Kamu pengen naik motor ya sama Arga?" tanya Monica sambil tersenyum menggoda Ralin. Sudah pasti jawaban Ralin hanya anggukan
Kemarin dan sekarang, bedanya ada dan tiada dirimu.Bazar masih sepi, belum banyak pengunjung tapi waktu menunjukkan pukul sebelas siang. Arga turun dari kursi setelah memasang lampu dan hiasan. Dia lalu menuju masjid kampus yang letaknya di dekat fakultas IPA."Aku ke masjid dulu ya, mau siap-siap salat Jumat."Maria mengangguk dan menyetujui permintaan Arga. Dia lalu kembali menata cilok untuk berjualan. Merasa sudah banyak murid berdatangan, Maria memilih menujual dagangan kita. Ralin masih fokus menata tahu fantasy dan menaruhnya pada mangkuk mika.
Cinta hadir tanpa diminta.Semakin malam bazar semakin ramai, panggung telah dipersiapkan untuk band. Pengunjung semakin ramai, namun sayangnya produk jualan mereka masih banyak. Ralin mengemasi tahu fantasy yang belum digoreng, masih ada sisa sekitar lima puluh buah, tidak mungkin jika membiarkan makanan terbuka, takut basi."Arga, anterin aku pulang dong. Ini tahu fantasynya dipulangin aja deh, biar masuk ke kulkas."Arga mengangguk, menyanggupi permintaan Ralin dan mengantarkannya pulang membawa satu kotak berisi tahu fantasy."Oke."Keduanya pulang, beberapa mahasiswa menggoda Ralin karena sekarang dekat dengan Arga, sekila Ralin melirik Arga, lelaki di sampingnya juga mengulas senyum. Entah senyum apa yang Arga maksud, namun hal itu membuat Ralin semakin berharap, dia memiliki perasaan yang sama.Seperti biasa, Arga bersikap manly, membuka footstep membiarkan Ralin naik. Manis, perilakunya sangat baik, membuat R
Jodoh, bukan hanya seseorang yang memberi janji, mendekat tanpa sekat. Tapi mendekat lalu akad.Pegal, sekujur tubuh Ralin sakit semua. Lelah, tubuhnya mengalami nyeri otot karena kelelahan. Jam menunjukkan pukul empat lebih, sudah waktunya dia salat subuh. Memaksakan diri untuk bangun, Ralin bangkit berdiri mengambil wudhu, tak luma dia sematkan doa menyebut nama Arga di sela sujudnya."Loh kok tidur lagi?" tanya ibu Ralin.Ralin hanya mengangguk lemah, dia kembali naik ke atas kasur dan meringkuk, badannya panas, tubuhnya kesakitan. Benar-benar payah, batin Ralin. Hanya bekerja keras selama dua hari saja membuatnya ambruk. Ralinmenutup mata, sebelumnya dia membayangkan wajah Arga yang tersenyum.Satu pukulan keras di pantat Ralin membuatnya bangun, dia meringis tertawa karena ibunya membangunkannya."Anak gadis abis subuh kok tidur, ayo bangun! Antar ibu ke pasar sekarang," ucap i
"Mencintai seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya, itu menyakitkan."Sebulan telah berlalu, tak ada kabar lagi dari Arga. Tidak pula ada lagi chat darinya, WhatsApp Ralin hanya dipenuhi canda tawa sahabatnya tanpa kehadiran Arga.Rasa rindu menggebu menguasai hati Ralin. Tidak seharusnya cinta tumbuh cepat begini. Bayangan wajah Arga memenuhi pikiran Ralin, dia tidak fokus mengerjakan skripsinya. Hari ini Ralin memutuskan memberanikan diri menghubungi Arga terlebih dulu. Meski satu kampus, bukan berarti mudah bertemu dengannya. Entah kemana sosoknya, Ralin tidak lagi melihat Arga.Dia merogoh sakunya, mengambil ponselnya, mengetikkan chat untuk Arga, singkat, sederhana namun sanggup membuatnya berdegup kencang. Aliran darahnya mengalir deras, tangannya mulai dingin karena gugup.Satu menit ...Dua menit ...Tiga menit ...Tidak ada balasan dari Arga, namun pesannya telah terbaca. Ralin menyerngitkan dahi. Kenapa tid